Sunday, 24 January 2021

Error in Objecto? Menelisik Kasus Tanah Sengketa Labuan Bajo

 


Peta Manggarai Barat (Sumber: KomodoTour)


Kanisius Teobaldus Deki

Staf Pengajar STIE Karya, Peneliti Lembaga Nusa Bunga Mandiri

Kasus tanah sengketa Labuan Bajo sungguh menyita perhatian publik di Indonesia. Dalam temuannya, Kejaksaan Tinggi (Kejati) NTT menetapkan kerugian Negara sebesar Rp.3 triliun. Adapun tanah yang diklaim milik daerah atau Negara dengan luas  kurang lebih 30ha terletak di Karanga, Toroh Lemmah Batu Kallo, Labuan Bajo.

Pada Kamis, 14 Januari 2021, terdapat 16 orang dinyatakan sebagai tersangka oleh Kejati NTT. Melalui beberapa kali pemeriksaan para saksi, Kejati akhirnya memutuskan bahwa 16 orang ini dijadikan tersangka dalam kasus tanah Karanga, Kelurahan Labuan Bajo, Kecamatan Komodo dengan dugaan melakukan korupsi pengalihan asset daerah (Pos Kupang, 15 Januari 2021).

Banyak pihak, mendadak sontak, memberikan reaksi beragam. Ada yang menyayangkan sikap para tersangka yang tega menjual asset daerah. Ada yang berang karena praktik mafia pertanahan marak di Labuan Bajo, kota destinasi super premium. Ada pula yang secara kritis coba membuat analisis atas fakta yang terjadi dari sisi tilik historis yakni memelajari dokumen-dokumen tanah lalu memberikan arah baru bagi status quaetionis (duduk soal) persoalan itu. Kajian ini adalah sebuah hasil kajian atas dokumen-dokumen yang berkaitan dengan tanah itu.

Sejarah Awal Tanah

Sebagai Bupati Manggarai kala itu, Drs. Gaspar Parang Ehok menjumpai Haji Ishaka, Dalu Nggorang, pemangku adat yang sah tanah yang disengketakan. Pertemuan itu berlangsung di Labuan Bajo. Maksud pertemuan itu adalah Bupati Gaspar meminta kepada Kraeng Dalu Nggorang, Haji Ishaka, sebidang tanah bagi keperluan pembangunan Sekolah Perikanan dan Kelautan. Tanah yang diminta ini, di luar tanah yang diberikan kepada pemerintah Manggarai pada tahun 1961 dan tahun 1984. Jika ditotal, berdasarkan data dari dokumen Kantor Pertanahan Kabupaten Manggarai, tanah Pemda Manggarai kurang lebih seluas 398,79ha di Labuan Bajo.

Selaku Dalu, Kraeng Haji Ishaka langsung mengabulkan permintaan Bupati Gaspar dengan menyebut dan menunjuk tanah ulayat di Keranga. Mereka ke lokasi bersama-sama. Setelah ada persetujuan Kraeng Dalu maka Bupati Gaspar membentuk tim dan menugaskan untuk menyelesaikan semua urusan adat dan seluruh proses administrasi pertanahan sesuai aturan yang berlaku. Hal ini secara tertulis disampaikan oleh Bupati Gaspar dalam Surat Pernyataannya pada 22 Oktober 2014.

Tim itu terdiri atas Drs. Frans Padju Leok selaku Asisten Tata Praja pada Sekwilda Tingkat II Manggarai, Oematan, BA dari Kantor Pertanahan Manggarai, Yos V. Ndahur selaku Camat Komodo, Yoseph Latip sebagai Lurah Labuan Bajo, Haji Adam Djuje selaku Pemuka Adat, Kanis Hamnu selaku Pemuka Adat, Ismail Karim sebagai Pemuka Adat, Donatus Endo selaku Sekretaris Panitia dari Kantor Pertanahan dan Zulkharnain Djuje selaku Pemuka Adat. Dari dokumen Daftar Hadir Pengukuran, hanya Donatus Endo yang tidak menandatangani dokumen Daftar Hadir. Sedangkan 9 anggota tim menandatangani dokumen itu. Bisa jadi, Donatus tidak ikut sampai ke lokasi pengukuran saat itu.

Setelah ada kesepakatan antara Bupati Gaspar dan Kraeng Dalu Ishaka, Pemda Manggarai memberikan uang ganti rugi atas tanah itu sebesar Rp.10.000.000 (Sepuluh Juta Rupiah). Pada 14 Mei 1997, melalui Drs. Frans B. Padju Leok menyerahkan uang sebesar Rp.5.000.000 (Lima Juta Rupiah). Dalam dokumen Kuitansi disebutkan sisanya akan dibayar pada tahap II. Ikut menandatangani dokumen adalah Dalu Ishaka (Dalu), Haji Adam Djuje (Pemuka Adat), Yosep Latip (Lurah), Drs. Yos Vins Ndahur (Camat Komodo) dan Ismail Karim (Pemuka Adat). Dalam dokumen ini, hanya Ismail Karim yang tidak menandatangani dokumen.

Dalam sebuah dokumen yang diberi judul: Surat Pernyataan Pelepasan Hak Atas Tanah, tanpa tanggal, bulan dan tahun, dijelaskan bahwa yang menyerahkan tanah kepada Pemda Manggarai adalah Haji Ishaka dan Haku Mustafa dan pihak yang menerima adalah Bupati Gaspar. Dokumen ini ditanda tangani oleh Haji Ishaka, Haku Mustafa di atas meterai, Camat Komodo Yos Vins Ndahur dan Lurah Labuan Bajo Yoseph Latip disertai stempel masing-masing instansi. Adapun kehadiran Yoseph Latip dan Yos Vins Ndahur dalam dokumen itu adalah selaku saksi.

Dokumen ini tidak ditandatangani oleh Bupati Gaspar walaupun tercantum namanya di dalam dokumen sebagai pihak kedua. Selain itu, dalam dokumen ketikan, tidak disertai dengan umur Haji Ishaka, luas tanah sesuai pengukuran Kantor Pertanahan Manggarai pada bulan Mei 1997. Batas-batas juga tidak disertakan. Tanggal dokumen dibuat dan ditandatangani juga tidak dinyatakan. Dengan demikian dokumen ini sebenarnya belum lengkap dan final.

Dalam Surat Keterangan/Penegasan Bupati Gaspar, point 4 menyatakan bahwa hingga berakhirnya masa jabatannya selaku Bupati Manggarai, tim tersebut belum tuntas menyelesaikan tugasnya sehingga belum menandatangani Berita Acara Pelepasan Hak/serah terima tanah tersebut. Bupati Gaspar mengakhiri masa jabatannya selaku bupati pada 11 Januari 1998. Hingga Bupati Gaspar menyelesaikan tugasnya, status tanah ini bisa dikata masih dalam proses, setidaknya ditilik dari 2 hal. Pertama, Surat Pelepasan Hak belum diselesaikan. Kedua, uang ganti rugi masih tersisa Rp. 5.000.000 (Lima Juta Rupiah).  Dengan kata lain, tanah yang sudah diserahkan Kraeng Dalu Ishaka kepada Pemda Manggarai belumlah final menjadi milik Pemda seutuhnya.

Berpindah Kepemilikan?

Hingga Bupati Gaspar menyelesaikan masa baktinya, Bupati Antony Bagul Dagur menjadi Bupati Manggarai. Pada masa kepemimpinan Buapti Anton, kepengurusan tanah di Karanga luput dari perhatian. Dalam Surat Pernyataan 24 Oktober 2014, Bupati Anton mengakui, selama masa jabatannya sebagai Bupati, tidak pernah mengetahui dan melihat dokumen Penyerahan Tanah Karanga kepada Pemda Manggarai. Hal yang sama juga diakui oleh Penjabat Bupati Manggarai Barat (2003)dan Bupati pertama wilayah itu, Drs. Fidelis Pranda (2005-2010). Tanah itu tidak tercantum dalam Daftar Lampiran Berita Acara Penyerahan Aset Daerah dari Pemkab Manggarai kepada Pemkab Manggarai Barat. Bupati Fidelis mengakui hal itu dalam Surat Pernyataan 31 Januari 2014.

Lalu mengapa tanah di Toroh Lemma Batu Kallo dikuasai oleh Haji Adam Djudje? Haji Adam Djudje memiliki dokumen Surat Penyerahan Tanah dari Dalu Haji Ishaka pada tahun 1990. Dalam dokumen itu dinyatakan bahwa tanah seluas 30ha diberikan oleh Dalu Nggorang kepada Haji Adam Djudje. Atas dasar surat inilah, Haji Adam Djuje menjual tanah ini kepada banyak pihak.

Jika menelisik pengakuan Bupati Gaspar, Bupati Anton dan Bupati Fidelis, diketahui bahwa belum ada dokumen final tentang penyerahan tanah di Karanga kepada Pemda Manggarai, termasuk kemudian Pemda Manggarai Barat. Karena penjualan tanah Toroh Lemma Batu Kallo menimbulkan soal, Bupati Gusty Dula mulai menaruh perhatian terhadap masalah ini dan mengurusnya.

Usaha Pemda Manggarai Barat

Sebagai bentuk tanggung jawab untuk menjaga asset daerah, Bupati Gusty membentuk tim kerja. Tim itu mulai bekerja, menjumpai para saksi dan pelaku, termasuk pada 10 Mei 2013 menjumpai Bupati Gaspar dan membuat Surat Keterangan. Pada tahun 2014, usaha ini makin digencarkan. Tokoh-tokoh yang terlibat didatangi hingga dibuat pertemuan yang berlangsung di Labuan Bajo pada 22 Oktober 2014. Tim kerja diberi kuasa oleh Bupati Gusty untuk menyelesaikan kasus tanah di Toroh Lemma Batu Kallo.

Langkah lanjutan Bupati Gusty adalah membuat pertemuan dengan Muspida lalu menyurati (Surat Pem.130/84/III/2015) Badan Pertanahan Nasional (BPN) untuk segera memproses sertifikat tanah itu. Namun BPN tidak segera melakukannya berhubung ada surat keberatan Haji Adam Djuje terhadap tanah itu. Karena itu, Bupati Gusty menyurati Haji Adam Djudje (Pem.131/137/V/2015) yang isinya menegaskan bahwa tanah Toroh Lemma Batu Kallo adalah milik Pemda.

Dari tahun 2015 hingga tahun 2020, BPN belum juga melakukan proses sertifikat atas tanah Toroh Lemma Batu Kallo yang sudah dijual oleh Hai Adam Djudje kepada banyak pihak. Pada tahun 2020, Pemda Manggarai Barat menganggarkan penyelesaian pengurusan ini, termasuk bermaksud menggugat BPN karena belum juga menyelesaikan pengurusan sertifikat. Hal itu belum dijalankan karena pandemic Covid-19 melanda.

Dari telurusan dokumen, diketahui bahwa Bupaty Gusty telah berupaya agar tanah di Toroh Lemma Batu Kallo, yang kepemilikannya belum seutuhnya milik Pemda Manggarai atau Manggarai Barat, agar menjadi asset daerah. Dengan kata lain, proses peralihan status tanah itu masih berjalan. Bupaty Gusty bersama timnya, masih bekerja hingga saat ini. Karena itu, keputusan Kejati NTT menetapkan Bupaty Gusty bersama tim kerjanya dari Pemda Manggarai Barat terlihat mengada-ada. Bagaimana mungkin Bupati Gusty dinilai merugikan Negara Rp. 3 triliun sementara status tanahnya belum menjadi milik Pemda Manggarai Barat?

Error in Objecto?

Ada beberapa kontradiksi dalam kasus ini. Pertama, Dokumen tanah Toroh Lemma Batu Kallo milik Haji Adam Djudje bertahun 1990. Penyerahan kepada Pemda Manggarai tanah yang sama tahun 1997. Jika tanah yang dimaksud adalah tanah yang sama, mestinya ada dokumen pembatalan hak milik dari Dalu Haji Ishaka kepada Haji Adam Djudje sehingga boleh diterbitkan dokumen baru atas tanah itu atas nama Pemda Manggarai. Nyatanya, dokumen pembatalan itu tidak ada. Apakah dokumen kepemilikan tanah Haji Adam Djudje palsu?

Kedua, masuk akal bila Pemda Manggarai belum memiliki dokumen yang final, karena belum melunasi uang ganti rugi, maka tanah itu belum bisa dikatakan milik Pemda. Hal itu memang dibenarkan oleh berbagai dokumen Pemda Manggarai, kemudian Pemda Manggarai Barat yang tidak terdata pada Kartu Inventaris Barang Asset Daerah, pada Laporan Keuangan Daerah dari tahun 2003 hingga saat ini, tidak pernah membayar pajak atas tanah itu dan tidak pernah menjadi temuan BPK dalam pemeriksaan keuangan dan asset daerah. Singkatnya, tanah itu memang belum pernah dikuasai secara ril oleh Pemda Manggarai pun Manggarai Barat. Penahan Bupaty Gusty dan tim kerjanya atas dasar apa?

Ketiga, melampaui diskusi tanah di Toroh Lemma Batu Kallo, kembali ke maksud Bupati Gaspar meminta tanah kepada Dalu Haji Ishaka untuk membuka Sekolah Perikanan dan Kelautan, maka berdasarkan tipologi tanah yang diberikan Dalu kepada Pemda di seluruh Labuan Bajo, selalu berkontur rata. Tanah di Toroh Lemma Batu Kallo tidak sesuai dengan tipologi itu. Di sekitar tanah Toroh Lemma Batu Kallo, di pinggir pantai Karanga(n), terdapat sejumlah tanah hak milik pribadi dengan luas mulai dari 3,5ha hingga 10ha (dokumen tanah 17 Januari 1998, sebagai pembaharuan dokumen 21 Oktober 1991). Apakah sebenarnya tanah-tanah itulah yang diserahkan Dalu Ishaka kepada Bupati Gaspar? Apakah karena Bupati Gaspar mengetahui bahwa sudah terjadi perbedaan lokasi, maka dirinya tidak mau menandatangani dokumen penyerahan tanah Pemda? Saksi-saksi yang menyertai Bupati Gaspar dan Dalu Ishaka ke lokasi masih hidup.

Jika dugaan ini benar, maka ada error in objecto. Tanah yang saat ini disengekatakan bukanlah tanah yang sebenarnya. Akibatnya, error in persona, menetapkan tersangka pada orang-orang yang tidak seharusnya! Ini adalah tugas berat Kejati NTT untuk menyelidiki kasus ini dari awal lagi sampai menemukan kebenaran yang sesungguhnya.***

No comments:

Post a Comment