Peta Manggarai Barat (Sumber: KomodoTour)
Kanisius Teobaldus Deki
Staf Pengajar STIE Karya, Peneliti Lembaga Nusa Bunga
Mandiri
Kasus tanah sengketa Labuan
Bajo sungguh menyita perhatian publik di Indonesia. Dalam temuannya, Kejaksaan
Tinggi (Kejati) NTT menetapkan kerugian Negara sebesar Rp.3 triliun. Adapun
tanah yang diklaim milik daerah atau Negara dengan luas kurang lebih 30ha terletak di Karanga, Toroh
Lemmah Batu Kallo, Labuan Bajo.
Pada Kamis, 14 Januari 2021,
terdapat 16 orang dinyatakan sebagai tersangka oleh Kejati NTT. Melalui beberapa
kali pemeriksaan para saksi, Kejati akhirnya memutuskan bahwa 16 orang ini
dijadikan tersangka dalam kasus tanah Karanga, Kelurahan Labuan Bajo, Kecamatan
Komodo dengan dugaan melakukan korupsi pengalihan asset daerah (Pos Kupang, 15 Januari 2021).
Banyak pihak, mendadak sontak,
memberikan reaksi beragam. Ada yang menyayangkan sikap para tersangka yang tega
menjual asset daerah. Ada yang berang karena praktik mafia pertanahan marak di
Labuan Bajo, kota destinasi super premium.
Ada pula yang secara kritis coba membuat analisis atas fakta yang terjadi dari
sisi tilik historis yakni memelajari dokumen-dokumen tanah lalu memberikan arah
baru bagi status quaetionis (duduk
soal) persoalan itu. Kajian ini adalah sebuah hasil kajian atas dokumen-dokumen
yang berkaitan dengan tanah itu.
Sejarah Awal Tanah
Sebagai Bupati Manggarai kala
itu, Drs. Gaspar Parang Ehok menjumpai Haji Ishaka, Dalu Nggorang, pemangku
adat yang sah tanah yang disengketakan. Pertemuan itu berlangsung di Labuan
Bajo. Maksud pertemuan itu adalah Bupati Gaspar meminta kepada Kraeng Dalu Nggorang, Haji Ishaka, sebidang
tanah bagi keperluan pembangunan Sekolah Perikanan dan Kelautan. Tanah yang
diminta ini, di luar tanah yang diberikan kepada pemerintah Manggarai pada
tahun 1961 dan tahun 1984. Jika ditotal, berdasarkan data dari dokumen Kantor
Pertanahan Kabupaten Manggarai, tanah Pemda Manggarai kurang lebih seluas
398,79ha di Labuan Bajo.
Selaku Dalu, Kraeng Haji Ishaka
langsung mengabulkan permintaan Bupati Gaspar dengan menyebut dan menunjuk
tanah ulayat di Keranga. Mereka ke lokasi bersama-sama. Setelah ada persetujuan
Kraeng Dalu maka Bupati Gaspar membentuk tim dan menugaskan untuk menyelesaikan
semua urusan adat dan seluruh proses administrasi pertanahan sesuai aturan yang
berlaku. Hal ini secara tertulis disampaikan oleh Bupati Gaspar dalam Surat
Pernyataannya pada 22 Oktober 2014.
Tim itu terdiri atas Drs. Frans
Padju Leok selaku Asisten Tata Praja pada Sekwilda Tingkat II Manggarai,
Oematan, BA dari Kantor Pertanahan Manggarai, Yos V. Ndahur selaku Camat
Komodo, Yoseph Latip sebagai Lurah Labuan Bajo, Haji Adam Djuje selaku Pemuka
Adat, Kanis Hamnu selaku Pemuka Adat, Ismail Karim sebagai Pemuka Adat, Donatus
Endo selaku Sekretaris Panitia dari Kantor Pertanahan dan Zulkharnain Djuje
selaku Pemuka Adat. Dari dokumen Daftar Hadir Pengukuran, hanya Donatus Endo
yang tidak menandatangani dokumen Daftar Hadir. Sedangkan 9 anggota tim
menandatangani dokumen itu. Bisa jadi, Donatus tidak ikut sampai ke lokasi
pengukuran saat itu.
Setelah ada kesepakatan antara
Bupati Gaspar dan Kraeng Dalu Ishaka, Pemda Manggarai memberikan uang ganti
rugi atas tanah itu sebesar Rp.10.000.000 (Sepuluh Juta Rupiah). Pada 14 Mei
1997, melalui Drs. Frans B. Padju Leok menyerahkan uang sebesar Rp.5.000.000
(Lima Juta Rupiah). Dalam dokumen Kuitansi disebutkan sisanya akan dibayar pada
tahap II. Ikut menandatangani dokumen adalah Dalu Ishaka (Dalu), Haji Adam
Djuje (Pemuka Adat), Yosep Latip (Lurah), Drs. Yos Vins Ndahur (Camat Komodo)
dan Ismail Karim (Pemuka Adat). Dalam dokumen ini, hanya Ismail Karim yang
tidak menandatangani dokumen.
Dalam sebuah dokumen yang
diberi judul: Surat Pernyataan Pelepasan Hak Atas Tanah, tanpa tanggal, bulan
dan tahun, dijelaskan bahwa yang menyerahkan tanah kepada Pemda Manggarai
adalah Haji Ishaka dan Haku Mustafa dan pihak yang menerima adalah Bupati
Gaspar. Dokumen ini ditanda tangani oleh Haji Ishaka, Haku Mustafa di atas
meterai, Camat Komodo Yos Vins Ndahur dan Lurah Labuan Bajo Yoseph Latip
disertai stempel masing-masing instansi. Adapun kehadiran Yoseph Latip dan Yos
Vins Ndahur dalam dokumen itu adalah selaku saksi.
Dokumen ini tidak
ditandatangani oleh Bupati Gaspar walaupun tercantum namanya di dalam dokumen
sebagai pihak kedua. Selain itu, dalam dokumen ketikan, tidak disertai dengan
umur Haji Ishaka, luas tanah sesuai pengukuran Kantor Pertanahan Manggarai pada
bulan Mei 1997. Batas-batas juga tidak disertakan. Tanggal dokumen dibuat dan
ditandatangani juga tidak dinyatakan. Dengan demikian dokumen ini sebenarnya
belum lengkap dan final.
Dalam Surat
Keterangan/Penegasan Bupati Gaspar, point 4 menyatakan bahwa hingga berakhirnya
masa jabatannya selaku Bupati Manggarai, tim tersebut belum tuntas
menyelesaikan tugasnya sehingga belum menandatangani Berita Acara Pelepasan
Hak/serah terima tanah tersebut. Bupati Gaspar mengakhiri masa jabatannya
selaku bupati pada 11 Januari 1998. Hingga Bupati Gaspar menyelesaikan
tugasnya, status tanah ini bisa dikata masih dalam proses, setidaknya ditilik
dari 2 hal. Pertama, Surat Pelepasan
Hak belum diselesaikan. Kedua, uang
ganti rugi masih tersisa Rp. 5.000.000 (Lima Juta Rupiah). Dengan kata lain, tanah yang sudah diserahkan
Kraeng Dalu Ishaka kepada Pemda
Manggarai belumlah final menjadi milik Pemda seutuhnya.
Berpindah Kepemilikan?
Hingga Bupati Gaspar
menyelesaikan masa baktinya, Bupati Antony Bagul Dagur menjadi Bupati Manggarai.
Pada masa kepemimpinan Buapti Anton, kepengurusan tanah di Karanga luput dari
perhatian. Dalam Surat Pernyataan 24 Oktober 2014, Bupati Anton mengakui,
selama masa jabatannya sebagai Bupati, tidak pernah mengetahui dan melihat
dokumen Penyerahan Tanah Karanga kepada Pemda Manggarai. Hal yang sama juga
diakui oleh Penjabat Bupati Manggarai Barat (2003)dan Bupati pertama wilayah
itu, Drs. Fidelis Pranda (2005-2010). Tanah itu tidak tercantum dalam Daftar
Lampiran Berita Acara Penyerahan Aset Daerah dari Pemkab Manggarai kepada
Pemkab Manggarai Barat. Bupati Fidelis mengakui hal itu dalam Surat Pernyataan
31 Januari 2014.
Lalu mengapa tanah di Toroh
Lemma Batu Kallo dikuasai oleh Haji Adam Djudje? Haji Adam Djudje memiliki
dokumen Surat Penyerahan Tanah dari Dalu Haji Ishaka pada tahun 1990. Dalam
dokumen itu dinyatakan bahwa tanah seluas 30ha diberikan oleh Dalu Nggorang
kepada Haji Adam Djudje. Atas dasar surat inilah, Haji Adam Djuje menjual tanah
ini kepada banyak pihak.
Jika menelisik pengakuan Bupati
Gaspar, Bupati Anton dan Bupati Fidelis, diketahui bahwa belum ada dokumen
final tentang penyerahan tanah di Karanga kepada Pemda Manggarai, termasuk
kemudian Pemda Manggarai Barat. Karena penjualan tanah Toroh Lemma Batu Kallo
menimbulkan soal, Bupati Gusty Dula mulai menaruh perhatian terhadap masalah
ini dan mengurusnya.
Usaha Pemda Manggarai Barat
Sebagai bentuk tanggung jawab
untuk menjaga asset daerah, Bupati Gusty membentuk tim kerja. Tim itu mulai
bekerja, menjumpai para saksi dan pelaku, termasuk pada 10 Mei 2013 menjumpai
Bupati Gaspar dan membuat Surat Keterangan. Pada tahun 2014, usaha ini makin
digencarkan. Tokoh-tokoh yang terlibat didatangi hingga dibuat pertemuan yang berlangsung
di Labuan Bajo pada 22 Oktober 2014. Tim kerja diberi kuasa oleh Bupati Gusty
untuk menyelesaikan kasus tanah di Toroh Lemma Batu Kallo.
Langkah lanjutan Bupati Gusty
adalah membuat pertemuan dengan Muspida lalu menyurati (Surat Pem.130/84/III/2015)
Badan Pertanahan Nasional (BPN) untuk segera memproses sertifikat tanah itu.
Namun BPN tidak segera melakukannya berhubung ada surat keberatan Haji Adam
Djuje terhadap tanah itu. Karena itu, Bupati Gusty menyurati Haji Adam Djudje
(Pem.131/137/V/2015) yang isinya menegaskan bahwa tanah Toroh Lemma Batu Kallo
adalah milik Pemda.
Dari tahun 2015 hingga tahun
2020, BPN belum juga melakukan proses sertifikat atas tanah Toroh Lemma Batu
Kallo yang sudah dijual oleh Hai Adam Djudje kepada banyak pihak. Pada tahun
2020, Pemda Manggarai Barat menganggarkan penyelesaian pengurusan ini, termasuk
bermaksud menggugat BPN karena belum juga menyelesaikan pengurusan sertifikat.
Hal itu belum dijalankan karena pandemic
Covid-19 melanda.
Dari telurusan dokumen, diketahui
bahwa Bupaty Gusty telah berupaya agar tanah di Toroh Lemma Batu Kallo, yang
kepemilikannya belum seutuhnya milik Pemda Manggarai atau Manggarai Barat, agar
menjadi asset daerah. Dengan kata lain, proses peralihan status tanah itu masih
berjalan. Bupaty Gusty bersama timnya, masih bekerja hingga saat ini. Karena
itu, keputusan Kejati NTT menetapkan Bupaty Gusty bersama tim kerjanya dari
Pemda Manggarai Barat terlihat mengada-ada. Bagaimana mungkin Bupati Gusty
dinilai merugikan Negara Rp. 3 triliun sementara status tanahnya belum menjadi
milik Pemda Manggarai Barat?
Error in Objecto?
Ada beberapa kontradiksi dalam
kasus ini. Pertama, Dokumen tanah
Toroh Lemma Batu Kallo milik Haji Adam Djudje bertahun 1990. Penyerahan kepada
Pemda Manggarai tanah yang sama tahun 1997. Jika tanah yang dimaksud adalah
tanah yang sama, mestinya ada dokumen pembatalan hak milik dari Dalu Haji
Ishaka kepada Haji Adam Djudje sehingga boleh diterbitkan dokumen baru atas
tanah itu atas nama Pemda Manggarai. Nyatanya, dokumen pembatalan itu tidak
ada. Apakah dokumen kepemilikan tanah Haji Adam Djudje palsu?
Kedua, masuk akal bila Pemda
Manggarai belum memiliki dokumen yang final, karena belum melunasi uang ganti
rugi, maka tanah itu belum bisa dikatakan milik Pemda. Hal itu memang dibenarkan
oleh berbagai dokumen Pemda Manggarai, kemudian Pemda Manggarai Barat yang
tidak terdata pada Kartu Inventaris Barang Asset Daerah, pada Laporan Keuangan
Daerah dari tahun 2003 hingga saat ini, tidak pernah membayar pajak atas tanah
itu dan tidak pernah menjadi temuan BPK dalam pemeriksaan keuangan dan asset
daerah. Singkatnya, tanah itu memang belum pernah dikuasai secara ril oleh
Pemda Manggarai pun Manggarai Barat. Penahan Bupaty Gusty dan tim kerjanya atas
dasar apa?
Ketiga, melampaui diskusi tanah
di Toroh Lemma Batu Kallo, kembali ke maksud Bupati Gaspar meminta tanah kepada
Dalu Haji Ishaka untuk membuka Sekolah Perikanan dan Kelautan, maka berdasarkan
tipologi tanah yang diberikan Dalu kepada Pemda di seluruh Labuan Bajo, selalu
berkontur rata. Tanah di Toroh Lemma Batu Kallo tidak sesuai dengan tipologi
itu. Di sekitar tanah Toroh Lemma Batu Kallo, di pinggir pantai Karanga(n),
terdapat sejumlah tanah hak milik pribadi dengan luas mulai dari 3,5ha hingga
10ha (dokumen tanah 17 Januari 1998, sebagai pembaharuan dokumen 21 Oktober
1991). Apakah sebenarnya tanah-tanah itulah yang diserahkan Dalu Ishaka kepada
Bupati Gaspar? Apakah karena Bupati Gaspar mengetahui bahwa sudah terjadi
perbedaan lokasi, maka dirinya tidak mau menandatangani dokumen penyerahan
tanah Pemda? Saksi-saksi yang menyertai Bupati Gaspar dan Dalu Ishaka ke lokasi
masih hidup.
Jika dugaan ini benar, maka ada
error in objecto. Tanah yang saat ini
disengekatakan bukanlah tanah yang sebenarnya. Akibatnya, error in persona, menetapkan tersangka pada orang-orang yang tidak
seharusnya! Ini adalah tugas berat Kejati NTT untuk menyelidiki kasus ini dari
awal lagi sampai menemukan kebenaran yang sesungguhnya.***
No comments:
Post a Comment