Thursday, 28 January 2021

Dilige et quod vis fac! In Memoriam Kanisius Barung

 

 


M

ula pertama bertemu Pak Kanisius Barung sekitar tahun 1991. Kala itu saya masih duduk di bangku Sekolah Menengah Pertama. Guru Bahasa Indonesia kami, tamatan Universitas Sanata Dharma Jogjakarta, Dra. Editha Saka, merujukkan salah satu sumber pustakanya pada buku yang ditulis Pak Kanisius cum suis (dengan teman-temannya), diterbitkan oleh PT. Gramedia tahun 1990. Saya suka melihat para penulis buku. Itu bagian yang tak mungkin absen dari pandangan saya saat membaca sebuah buku. Ada adagium mengatakan, penulis kerap mencerminkan isi. Lalu muncul kebanggaan karena ternyata buku ini, salah satu penulisnya orang Manggarai.

Hingga tahun itu, nama penulis sohor yang tak mungkin dilupakan dalam pewacanaan Bahasa Indonesia adalah Dr. Gorys Keraf dengan puluhan buku dan artikel karyanya, termasuk yang paling banyak dibaca adalah buku Komposisi terbitan Nusa Indah. Munculnya nama Kanisius Barung setidaknya memiliki sebuah keterwakilan perasaan bahwa ada juga orang Manggarai yang berkarya dalam bidang bahasa.

Pertemuan tak terduga terjadi saat saya menjadi pengajar STKIP Santu Paulus tahun 2005. Sejak tahun 2003 kampus itu mengalami kesulitan yang teramat pelik, berhubung ada masalah internal yang berpuncak pada demonstrasi dan pengunduran diri dosen dan regenerasi yayasan. Persoalan antara sekolah dan yayasan, selama dua tahun, meluluhlantakkan banyak hal. Pergunjingan, perseteruan terbuka menjadi konflik yang berujung pada kekacauan, termasuk kebalauan akademik. Saya masuk pada saat ketegangan itu memuncak dan mencapai titik kulminasinya. Lalu ada itikad baik semua pihak untuk berdamai.

Meski sudah berdamai, serpihan-serpihan konflik masih terasa. Upaya untuk menyusun kembali kekuatan di segala aspek kampus menjadi sine qua non (syarat mutlak) untuk meneruskan denyut nafas akademik yang pada masa-masa sebelumnya berjalan abnormal. Saya dipercayakan untuk membangun Jurnal Ilmiah Missio. Jurnal ini sebelumnya ditangani oleh Pak Kanisius Barung. Di tangannya, ia bersama tim kerja, sempat menerbitkan satu edisi. Edisi ini kemudian menjadi cikal-bakal terbitan berkala kampus. Saya bersama teman-teman melanjutkan karya besar ini dengan beberapa modifikasi.

Jadilah jurnal ilmiah ini menjadi salah satu ikon penting kampus, khususnya untuk memublikasi kajian dosen kampus itu. Selain untuk pengembangan diri dosen, kehadiran jurnal ini menolong kampus dalam proses akreditasi mutu, baik Program Studi (Prodi) maupun Sekolah Tinggi. Di tangan saya, hingga masa jabatan berakhir, berhasil memublikasi 6 volume (12 edisi). Khusus untuk Prodi Teologi waktu itu meraih akreditasi A, grade paling bergengsi dengan rekor berturut-turut di Kopertis Wilayah VIII (Bali, NTB dan NTT).

Karya Akademik yang Berkelanjutan

Fokus Pak Kanisius dalam bidang bahasa memang sebuah pilihan profesi yang tak banyak dilakukan oleh orang lain. Kecintaan terhadap bahasa dan sastra melebur dirinya untuk terus berkutat dengan kegiatan-kegiatan kebahasaan. Ia menjadikan kegiatan Bulan  Bahasa sebagai moment penting. Ia mengikuti pelbagai konsorsium dan seminar tentang bahasa dan sastra.

Dalam karyanya sebagai pencinta bahasa, Ia seolah sepaham dengan St. Agustinus yang berujar “Dilige et quod vis fac” yang bisa diterjemahkan: cintailah dan lakukanlah apa yang kamu kehendaki. Pernyataan ini terdapat dalam Epistulum Iohannis ad Parthos tractatus decem VII,8. Pak Kanisius sungguh mencintai pekerjaannya dalam bidang profesinya.

Ia sungguh teliti dengan pekerjaan mahasiswanya. Ia tak segan-segan memarahi mahasiswa yang belum menguasai kemampuan dasar berbahasa. Teori-teori bahasa didekatkan dengan contoh-contoh sederhana. Dia sendiri juga menjadi contoh. Ia menulis pelbagai artikel bahasa. Ia memublikasikan konsep dan pikirannya dalam bentuk buku. Dalam sebuah sharing di ruang minum, pernah Pak Kanis bertutur bahwa dirinya mendapat banyak projek kebahasaan dari Pemda.

Ketika Drs. Yoseph Tote, M.Si menjadi Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Manggarai, mereka bersama menyusun sebuah buku tentang Pendidikan Karakter. Buku ini menjadi salah buku pegangan bagi Sekolah Dasar. Pada waktu Tote sudah menjadi Bupati Manggarai Timur, pekerjaan ini lebih diperluas. Bahkan Pak Kanisius menghasilkan 6 buku pelajaran pendidikan karakter siswa Sekolah dasar. 1 buku untuk setiap kelas. Tentu ini usaha yang sangat kreatif dan maju. Menyatupadukan bahasa, budaya dan karakter adalah hal yang paling dasar dalam melahirkan generasi milenial yang tak lupa akar. Lebih-lebih ketika arus globalisasi dengan Revolusi 4.0 menghantam pertahanan nilai di segala lini.

Tak hanya bergiat menulis buku teks, oleh integritasnya sebagai akademisi, Pemda Manggarai pernah memberi tugas menjadi Panwaslu sebagai perwakilan akademisi kepadanya. Selain itu, Pemda Manggarai Timur memercayakan dirinya menjadi asesor untuk seleksi Eselon II di kabupaten itu. Hal mana juga kepercayaan yang sama saya terima dari Pemda Manggarai. Kiprah akademisi yang merambah bidang-bidang lain menurut hemat saya adalah pengakuan akan kapasitas dan kualitas diri oleh pihak luar.

Dalam sebuah kesempatan dia bercerita panjang lebar tentang pengabdian masyarakatnya yang menjangkau banyak bidang dan orang. “Kita disebut bermutu bukan semata-mata karena internal demand. Dalam kampus, apalagi kita punya kuasa, kita bisa memaksa orang atau panitia untuk menokohkan kita. Itu-itu saja orang yang jadi pembicara, ya, karena mereka punya otoritas di sini. Coba hitung, berapa banyak mereka memeroleh external demand?”, tanyanya retoris seakan menjadi otorkritik terhadap situasi kampus waktu itu.

Karya akademiknya terus meretas jalan baru. Pada saat pandemic Covid-19 melanda semua pihak akrab dengan rapat atau pertemuan virtual. Melalui aplikasi Zoom Meeting Pak Kanisius menawarkan program pendidikan bahasa Indonesia kepada banyak pihak. “Ada banyak rekan yang meminta agar saya mengajar bahasa Indonesia melalui aplikasi itu. Saya menawarkannya kepada banyak orang melalui media social”, jelasnya pada suatu ketika saya bertamu ke rumahnya di Ngencung. Saya lihat tawaran itu di akun Facebook Pak Kanisius.

Kerinduan yang Tak Berkesudahan

Ketika usianya terus beranjak, Pak Kanisius tetap memiliki mimpi yang ingin diraihnya. Ia ingin menempuh pendidikan formal yang lebih tinggi. Kerinduan ini memang beralasan. Dua adiknya telah menyandang gelar doctor: Dr. Goridus Syukur dan Dr. Agustinus Bandur. Dalam sebuah catatan yang dibuat Dr. Fransiskus Borgias, mereka datang dari keluarga sederhana, anak tukang potret keliling. Namun keuletan dan ketekunan dalam berjuang telah menempah mereka menjadi pribadi-pribadi yang tangguh.

Pernah suatu kali dia berbincang-bincang soal studi lanjut. “Kampus tidak mungkin lagi mengirim kita untuk ke jenjang yang lebih tinggi”, katanya. Hal itu memang beralasan. Sejak tahun 2005, Ketua Sekolah Pater Servulus Isaak SVD, pernah memberi alur kebijakan: Orang yang dikirim studi ke jenjang S-3 adalah para dosen yang membiayai sendiri S-2nya. Waktu itu banyak rekan dosen memang berijazah S1. Prioritas pembiayaan studi ke jenjang S-2. Sebagai Kaprodi PGSD waktu itu dia cukup berpeluang dikirim. Namun begitulah, bersamaan dengan berjalannya waktu, hingga Pater Servulus diganti pemimpin baru, kesempatan itu tak kunjung datang.

Dia bukan tipe orang yang mudah menyerah. Bersama sohibnya, Yoseph Tote, mereka mendaftar di salah satu universitas di Surabaya untuk Program S-3. Fokus studi mereka pada manajemen sumber daya manusia. Mereka membiayai diri sendiri. Sebuah keberanian yang patut diacungi jempol karena persis di usia yang kian lanjut mereka masih berkeinginan untuk mencapai gelar tertinggi pendidikan formal. Hingga saat dirinya berpulang ke rumah Tuhan, saya tidak lagi mendengar soal akhir dari perjalanan studi S-3nya ini.

Pak Kanis berusaha menghasilkan karya-karya akademik yang dipublikasikan secara nasional. Ia seorang peneliti dan pengabdi ilmu yang senantiasa menyerahkan seluruh hidupnya pada profesinya.

Pemesan Roti Keju

Pada semester kedua 2020, kami mendirikan usaha roti yang kami namakan “Star A Roti”. Produk andalan kami adalah roti sobek yang kami proses dari bahan bermutu dan peralatan modern. Roti sobek memiliki 3 varian: original, cokelat dan keju. Beberapa kali Pak Kanisius dan Istrinya, Ibu Christine memesan roti sobek kami. Sayapun mengantar sendiri beberapa kali, kendati kami memiliki karyawan yang bertugas untuk itu. Yah, sebuah anjangsana setelah lama tak bersua muka.

Cerita-cerita singkat menjadi acara spontan dalam kunjungan itu. Saling menguatkan dan memberikan apresiasi. Saya tak menyangka sedikitpun jikalau dalam beberapa waktu terakhir ini Pak Kanisius mengalami sakit, apalagi terserang Covid-19. Pantas saja tak ada lagi pesan singkat yang meminta kami mengantar roti ke kediamannya.

Pada pagi, 27 Januari 2021, Pak Kanisius akhirnya menghembuskan nafas terakhir setelah berjuang menyelamatkan diri dari sesak nafas akibat Covid-19. Sebuah berita sedih akan kepergian seorang rekan dosen dan pencinta bahasa Indonesia. Selamat Jalan Kraeng, engkau sudah melakukan apa yang engkau cintai dalam kehidupanmu. Tuhan mengasihimu!***

No comments:

Post a Comment