(Catatan
Pilkada ke-6)
Kanisius Teobaldus Deki
Waktu rejim Nazi di Jerman berkuasa, Hitler
menerapkan kediktatoran dan mengubah Negara itu menjadi totaliter. Hampir semua
aspek kehidupan dikendalikan oleh pemerintah. Rasisme menguat, khususnya anti
Yahudi. Seluruh
kekuasaan terpusat pada diri Hitler dan perintahnya menjadi hukum tertinggi.
Pemerintah menjadi mesin pembunuh bagi rakyatnya sendiri.
Hal paling mengerikan dari kekejaman Hitler adalah munculnya
kebijakan Holokaus (ὁλόκαυστος holókaustos: hólos,
"seluruh" dan kaustós, "terbakar") yakni
genosida atau pembunuhan massal secara terencana, sistematis dengan target
khusus masyarakat Yahudi. Korban holokaus ini tidak main-main, 6 juta orang
Yahudi mati di rumah-rumah gas beracun atau kamp konsentrasi karena kebijakan
Hitler itu.
Kengerian Rezim Nazi tumbang setelah Sekutu mengalahkan Jerman pada bulan Mei
1945. Kekalahan itu juga mengakhiri Perang Dunia II di seluruh Eropa. Bersamaan dengan itu, kekejaman berhenti juga. Namun luka kekejaman itu tak
sepenuhnya sembuh. Dunia ingin melupakannya sebagai sejarah hitam yang tak
layak dicatat.
Di tengah kengerian itu, ada pertanyaan yang tersisa mengapa kekejaman itu bisa terkonstruksi sedemikian sehingga menghancurkan kehidupan banyak masyarakat? Di mana para cendekia atau kaum intelektual Jerman saat itu? Ataukah mereka justru menjadi motor penggerak kekejaman? Pertanyaan-pertanyaan inipun menjadi pertanyaan abadi setiap kali ada perhelatan politik yang menentukan arah pembangunan. Itulah yang menjadi focus wacana dalam artikel ini.
Nazi dan Heidegger
Filsuf besar dunia dari Jerman, Martin
Heidegger sangat sohor dengan konsep-konsepnya tentang fenomenalogi,
eksistensialisme, dekonstruksi, hermeneutika dan pasca-modernisme. Kemampuannya
yang luar biasa mengubah orientasi filsafat Barat dari pertanyaan metafisis dan
epistemologis ke pertanyaan-pertanyaan ontologis.
Namun siapa sangka, Martin Heidegger bergabung dengan Nazi (NSDAP) pada tanggal 1 Mei 1933, sepuluh hari setelah terpilih sebagai Rektor Universitas Freiburg. Setahun kemudian, pada bulan April 1934, ia mengundurkan diri dari Rektor dan berhenti mengambil bagian dalam pertemuan Nazi. Walaupun demikian, ia tetap menjadi anggota Nazi sampai dirubuhkan pada akhir Perang Dunia II. Sidang denazifikasi segera setelah Perang Dunia II menyebabkan pemecatan Heidegger dari Universitas Freiburg. Disaat bersamaan melarang dia untuk tetap mengajar. Beberapa tahun kemudian, pada tahun 1949, melalui penyelidikan, Heidegger masuk klasifikasi Mitläufer (sesama pengelana). Dia diijinkan mengajar lagi tahun 1951. Tak lama sesudahnya Heidegger diberikan status emeritus pada tahun 1953 dengan hak-hak terbatas.
Ada hal yang mencengangkan di sini. Mengapa orang sekaliber Martin Heidegger masuk Nazi? Keikutsertaan Heidegger dalam gerakkan Nazisme, sikapnya terhadap orang Yahudi dan posisi diamnya yang nyaris total tentang Holocaust dalam tulisan dan pengajarannya setelah 1945 sangat kontroversial. Karyanya, The Black Notebooks, yang ditulis antara tahun 1931 dan 1941, memuat pernyataan anti Yahudi. Kesan keterlibatannya dalam Nazi makin kuat karena pasca 1945, Heidegger tidak pernah menerbitkan apa pun tentang Holocaust atau kamp pemusnahan. Dalam kengerian yang ditimbulkan Nazi, Heidegger tidak pernah meminta maaf untuk apa pun. Kendati demikian, secara pribadi, dia melukiskan jabatan rektor dan keterlibatan politiknya dalam Nazi sebagai "kebodohan terbesar dalam hidupnya" (die größte Dummheit seines Lebens). Sebuah situasi yang tak habis diakhiri penyesalan.
Cendekia sebagai Nabi
Kisah Nazi Jerman dan seorang filsuf besar seperti Heidegger yang hidup dan berkarya pada zaman itu membawa kita kepada wacana seberapa besar peran para cendekia dalam membangun Negara? Arus simpulan yang sederhana bisa ditarik. Keterlibatan Heidegger saat itu menjadi antithesis dari keberadaannya sebagai seorang cendekia di tengah masyarakat. Ia seharusnya menjadi pelawan atas kebijakan pemerintah Jerman yang destuktif. Dalam bahasa kitab suci, cendekia mestinya adalah seorang nabi (prophet) yang menegaskan kebenaran dalam situasi di mana kemanusiaan diluluh-lantakkan oleh kekuasaan.
Jika menelisik sejarah bangsa Indonesia, kaum cendekialah yang berdiskusi lalu berikhtiar agar Indonesia ini bebas dari penjajahan Belanda, juga Jepang. Karya teranyar Daniel Dhakidae yang diberi judul: Cendekiawan dan Kekuasaan Dalam Negara Orde Baru (2003:1) mendefenisikan cendekia sebagai manusia tapal batas dalam bingkai modal, kekuasaan dan budaya wacana kritis. Ia manusia bebas yang mengkonstruksi dirinya bagi kebenaran, keadilan dan kemaslahatan banyak orang. Sikap yang dimilikinya sebagai pembaca kenyataan yang kritis, pemasok ide-ide yang membangun hingga menyediakan diri sebagai penopang demokrasi, menjadi kekuatan tanding atas kekuasaan yang cenderung otoriter dan menyengsarakan rakyat.
Kaum cendekia atau para intelektual adalah api suar di tengah kegelapan budi masyarakat yang ditindas doktrin-doktrin kekuasaan yang salah arah. Mereka adalah para akademisi, para professional, tokoh media, tokoh agama, tokoh pemuda dan tokoh masyarakat yang memiliki insight pencerahan. Dalam hal pembangunan yang sudah tidak berkiblat pada bonum commune (kebaikan bersama), mereka adalah suara-suara yang terus bergema memberi pengaruh pada pelaku perubahan untuk terus berjuang gigih. Di sinilah mereka menjadi nabi yang pantang menyerah mempresentasikan sikap kritisnya.
Universitas dan Agama dalam Konteks Politik Pilkada
Heidegger dalam kebesarannya di dunia pemikiran internasional akhirnya kehilangan pamor karena pilihan sikap yang berseberangan dengan hakikat dirinya sebagai filsuf yang seharusnya memenangkan kebenaran dan kebaikan bersama. Filsuf besar yang menulis karya sohor seperti: Sein und Zait (1927), Die Grundprobleme der Phänomenologie(1927), Vom Wesen der Wahrheit (1935) dan masih banyak yang bisa dideretkan, tetap menimbulkan luka dari sejarah karena hilangnya peran seorang cendekia dalam pergumulan kemanusiaan.
Dari alur kisah historis Heideger sebagai rector universitas dan Nazi yang melakukan kekejaman, secara kasat mata kita melihat peralihan radikal yang salah dalam keberpihakan lembaga pendidikan tinggi dalam dunia politik. Universitas, termasuk rector, dekan dan seluruh civitasnya adalah pihak yang seharusnya menjadi tonggak kebenaran. Merekalah yang diharapkan oleh civil society pihak yang menjadikan kebenaran sebagai tonggak penopang arah pembangunan dan kehidupan. Merekalah yang mengkaji tentang keberhasilan pembangunan melalui data-data yang objektif. Dan jika temuan mereka pembangunan telah keluar dari relnya, maka merekalah pihak pertama yang menyuarakan mosi tidak percaya kepada pemerintah.
Selevel dengan Universitas, institusi agama juga demikian. Merekalah yang menenun nilai-nilai kebenaran. Suara profetis mereka gemakan, teriakan sehingga kehidupan bersama menjadi sebuah perayaan yang layak untuk disyukuri. Mereka tidak bisa memilih untuk kepentingan kelompoknya, melainkan kepentingan semua. Mereka tidak bisa mematok dukungan karena pragmatisme. Karena esensi kehadiran mereka adalah membawa kebaikan. Itulah sebabnya, mereka menjadi “pemisah” di tengah situasi dan kondisi yang serba buruk.
Ketika orang-orang universitas tidak mampu membangun disposisi batin dan politis yang benar dalam carut-marut pembangunan di daerah ini mereka adalah garam yang sudah tawar. Mereka menjadi hamba-hamba kekuasaan yang menggantungkan harga diri pada donasi pemerintah dan kehilangan kedigdayaan di tengah patokan moral yang terus disuarakan sebagian masyarakat kritis. Merekalah yang menciptakan kekelaman dalam pembangunan persis ketika masyarakat mengharapkan cahaya perubahan.
Tatkala pemimpin-pemimpin agama berdiam diri dalam ketenangan rohani semu yang berimbas kepada hilangnya kepedulian kesengsaraan dan penderitaan rakyat, mereka adalah lampu pelita tanpa minyak, listrik tanpa arus, pipa tanpa air mengalir di dalamnya, jalan raya berlubang, sawah tanpa hasil, kebun tanpa nilai rupiah dan pembangunan penuh slogan. Bersama para penguasa, mereka ikut ambil bagian dalam penciptaan kehidupan yang menyengsarakan rakyat.
Jika demikian adanya, baik orang-orang universitas maupun tokoh agama, juga para cerdik-pandai yang kita sebut sebagai cendekia atau kaum intelektual adalah pengkhianat kehidupan. Mereka tahu bagaimana seharusnya, tetapi mereka berani menyembunyikan kebenaran dan harapan karena mereka telah berubah menjadi pengecut!***
mantap Pak
ReplyDeleteTerima kasih Ite sudah membaca. Mari terus berdiskusi untuk kehidupan yang lebih baik.
Delete...motor penggerak perubahan pada suatu komunitas ada pada pundak kelompok kelas menengah salah satunya para cerdik pandai..buah pemikiran pak deky mengingatkan para cendikiawan agar keberadaan mereka tetap berpihak pada yang lemah
ReplyDelete..salam..
Sejarah membuktikan hal itu Ite. Peradaban yang baik dan benar datang dari kalangan ini. Coba saja mereka jangan salah arah apalagi menyediakan dirinya sebagai instrumen penguasa, kehidupan akan lebih baik dan berkualitas.
DeleteLuar biasa edukasi yg mencerdaskan..
ReplyDeleteTerima kasih Ite sudah membaca. Mari terus berdiskusi untuk kehidupan yang lebih baik.
DeleteTerimakasih tulisannya pak Nik.
ReplyDeleteSaran coba diatur lg tampilan blog agar lebih enak membacah tulisan gurih seperti ini. Mantap kae
Terima kasih Ite sudah membaca. Mari terus berdiskusi untuk kehidupan yang lebih baik. Kami sedang memindahkan semuanya ke web Ite. Moga2 mulai bulan depan Ite sudah bisa kunjungi ini di: wwww.kanisiusdeki.com
DeleteMantap ase dan ttp lah menulis
ReplyDeleteTerima kasih Ite sudah membaca. Mari terus berdiskusi untuk kehidupan yang lebih baik.
Delete