Kanisius Teobaldus Deki
Penulis buku 100 Tahun Paroki Katedral Ruteng (2020)
Catatan: Artikel ini terbit tahun 2010 (Suara Nuca Lale edisi 15, 16-31 Maret 2010), jelang tahbisan Uskup Ruteng Mgr. Hubertus Leteng. Kami publikasikan kembali sebagai catatan jelang tahbisan Uskup Ruteng yang baru Mgr. Siprianus Hormat. Kiranya bermanfaat bagi kita.
“Berita gembira! Telah terpilih uskup Ruteng yang baru Romo
Dr. Hubert Leteng Pr.” Demikian sebuah short
message service (SMS) masuk ke ponselku. Aku memperhatikan kalender dan jam
dinding, hari itu, Sabtu 7 November 2009, pkl. 19.00. Spontan aku berkata
“syukur Tuhan!” Beliau terpilih
untuk menggantikan Mgr. Eduardus Sangsun, SVD yang meninggal dunia 13 Oktober
2008 lalu. Berita ini tentu sangat menggembirakan umat Katolik, khususnya di
Keuskupan Ruteng karena adanya tahta lowong sejak 13 Oktober 2008. Penantian
yang cukup lama ini disambut dengan kegembiraan yang penuh. Di setiap paroki
diumumkan tentang terpilihnya Doktor Spiritualitas ini sebagai uskup Ruteng
yang baru.
Dalam rasa gembira yang meluap-luap,
ingatanku berpulang pada hari-hari kuliah tahun 2004. Seorang laki-laki paro
baya memasuki pelataran parkir STFK Ledalero. Dari lantai dua mata kami terus
mengikuti langkahnya menuju tangga kampus. Langkah tegap yang disertai senyuman
setiap kali berpapasan dengan mahasiswa. Tegap, berwibawa serta sederhana,
adalah tampilan yang tak pernah alpa dari kepribadian seorang Hubert Leteng.
Cara pikir, tutur kata dan sikap yang bersahaja adalah ekspresi kental yang
menjadi cirinya. Begitulah, setiap kali kami disuguhi kuliah Spiritualitas
Imamat. Ada diskusi hangat yang kontekstual. Tak kurang kepiawaiannya dalam
menjawabi pertanyaan mahasiswa Pascasarjana. Lebih dari semua itu, pandangannya
yang tetap teguh berhadapan dengan kecenderungan modernitas yang seolah terakui
secara otomatis tanpa sikap kritis.
Seraya mengutip dokumen Pastores
Dabo Vobes ia berulang menandaskan tentang fokus pelayanan para imam
sebagai pihak yang dipanggil untuk hidup bersama dengan orang lain, bukan dalam
keterpisahan, sebab esensi panggilan mereka, selain “ada” yang berasal dari
Allah (man of God), juga sekaligus “ada” untuk sesama (man for
others) dalam bingkai cinta kasih pastoral. Panggilan kepada cinta kasih
pastoral memiliki dimensi sosial (social dimension) yang mau tidak mau
harus berhadapan dengan sesama. Sebab, jikalau ia hadir hanya untuk dirinya,
maka panggilannya menjadi nirmakna (meaningless). Dalam perjalanan
pelayanannya di tengah masyarakat kampus dan Seminari Tinggi, Hubertus tidak
hanya menjadi seorang tokoh spiritual tetapi juga imam-teolog yang
menginterpretasi kehidupan secara kreatif. Dan kini, beliau menjadi gembala
umat untuk keuskupan Ruteng!
Membaca konteks Manggarai Raya (Timur,
Tengah & Timur) yang masih dililiti
kemiskinan, pertanyaan yang perlu diajukan ialah praksis pastoral macam
mana yang perlu dilakukan Uskup baru ini? Pertanyaan ini adalah sebuah stand point untuk menentukan kiblat
pastoral di daerah yang mayoritas penduduknya adalah petani sederhana dan masih
dibeliti persoalan kemiskinan.
Ada secuil kegalauan membaca peta yang
terkuak secara inplisit dari persiapan tahbisan ini. Pertama, soal komposisi panitia tahbisan. Tak dapat disangkal,
ketua umum dan ketua pelaksana adalah orang jajaran atas di lingkup Pemkab
Manggarai. Pertanyaan yang muncul ialah: Apakah pemilihan ini tidak akan
menjebak sang gembala ke rimba persekongkolan
antara altar dan kuasa? STFK Ledalero juga mengingatkan hal ini sebagai
sikap kritis yang harus dihiraukan. Kedua,
soal tempat. Panitia sepakat untuk memilih Lapangan Motang Rua. Pertanyaan yang
spontan menyeruak masuk ialah: Mengapa kita tidak memanfaatkan Katedral nan
megah dengan pelatarannya yang luas? Lapangan ini berada di tengah kekuatan
modal (toko-toko, pasar) dan kekuatan kuasa (kantor Pemkab). Kalau peristiwa
mulia ini terjadi di Katedral, selain penegasan eksistensi, juga mengurangi
biaya. Ini adalah perayaan umat-rakyat. Maka pesta dirayakan seadanya, namun
sakral, serentak menghargai kemiskinan dan kepapaan umat-rakyat Manggarai.
Dengan demikian, tak perlu menghambakan diri pada pemilik modal dan penguasa
(donor sukarela di pentas jelang Pilkada) untuk meminta sesuap nasi di acara
resepsi.
Ada dua jawaban yang bisa diberikan. Pertama, secara teologis, gereja harus
keluar dari sikap eksklusivitasnya. Ia harus berada di lapangan dunia ini.
Bahasa Injilnya, “menjadi garam dan terang dunia” (Mat 5:13-16). Bahwasannya,
Allah hadir di mana saja Ia mau. Modal dan kuasapun, karenanya, bisa
disakralkan. Ini maksud yang sangat positif. Kedua, bisa jadi mengisyaratkan bahwa Gereja sendiripun menyerahkan
diri dikepung oleh kekuatan lain dan takluk-tunduk padanya seperti kenyataan yang
dirasakan oleh umat Manggarai selama ini. Jika ini yang menjadi spirit, maka
uskup baru sudah dibawa ke tempat pembantaian secara
metodologis-sistematis-sadar sebelum memainkan jurus reksa pastoral yang
profetik!
Menurut Paul Ricoeur (Borgias, 2009:
vi), seorang teolog, pemimpin umat atau orang beriman harus bisa menjadi prophete du sens, nabi yang mewartakan
atau menegaskan arti kehidupan. Seorang teolog-pemimpin umat adalah seorang
yang berani mewartakan atau menegaskan arti kehidupan. Seorang teolog adalah
seorang yang berani menggerakkan dirinya dalam alur triadik berteologi yakni going in, coming back dan going in
between. Dengan membawa tradisi kristiani yang dianutnya, seorang teolog
harus masuk ke dalam konteks (going in)
untuk belajar dari konteks. Oleh pengalaman dalam going in, seorang teolog mesti juga berani untuk melakukan coming back (kembali ke tradisi Kristen)
dan mengkonfrontir kenyataan konteks dengan tradisi Kristen. Buah dari sebuah coming back memungkinkan teolog-pemimpin
umat untuk bergerak di antara (going in
between), menjawab kenyataan-kenyataan konteks dengan tradisi Kristen yang
relevan.
Mgr. Hubertus, dalam kesahajaannya
adalah pribadi yang dekat dengan harapan Ricoeur. Dia adalah man of God serentak man for others dalam kesadaran sebagai ens sociale (mahkluk sosial) dan homo religiosus (mahkluk rohani). Bisa jadi ia sebagai yubilaris
tak bisa berkata dan berkomentar tentang persiapan penahbisannya. Tapi kita,
umat-teolog-rakyat Manggarai, diberi kesempatan yang sama untuk menjadi prophete du sens. Belajar dari konteks
sejarah masa lalu untuk menegaskan diri sebagai nabi yang tetap independent dan
memiliki otoritas dalam ajaran dan tindakan yang benar. Itu adalah hasil
pertautan dari going in, coming back dan going
in beetwen. Sebuah racikan untuk menemukan kembali jati diri gereja
Manggarai dan visinya di tengah dunia yang sedang kalap dan rancu. Bahkan kalau
itu harus berlawanan dengan pemilik modal dan penguasa.***
No comments:
Post a Comment