Kanisius Teobaldus Deki
Menilik beberapa kenyataan dunia modern yang ditampilkan pada bagian
terdahulu pembahasan ini,[1] maka penulis pada giliran berikutnya ingin mengetengahkan beberapa pokok
pikiran atau gagasan Sokrates sebagai suatu perbandingan sekaligus jawaban atas
persoalan-persoalan itu. Memang, harus diakui bahwa Sokrates tidak pernah
menjawab secara langsung persoalan yang dialami manusia modern secara lengkap.
Namun, kita harus akui bahwa Sokrates memberikan pendasaran etis atas
nilai-nilai yang dihidupi manusia
sepanjang sejarahnya. Karena itu, penulis yakin dan sadar bahwa apa yang
dihadapi manusia zaman modern, sejauh menyangkut persoalan manusia dan
eksistensinya, dapat dibaca dan direfleksikan dalam perspektif filsafat
Sokrates. Sehingga dengan demikian pemikiran etis Sokrates tetap relevan untuk
manusia dalam zaman manapun.
Manusia Mengenal
Dirinya (1)
D
|
alam situasi di mana arus kemajuan menjadi tak terelakkan, manusia berada
di persimpangan. Manusia harus mengambil keputusan untuk menentukan manakah
jalan terbaik baginya dalam meneruskan kehidupannya. Manusia modern oleh
teknologi yang ada bisa terpasung dalam lingkaran mesinisasi[2] segala aspek kehidupannya. Manusia mesti sanggup menentukan manakah arah
yang dicapainya untuk menemukan makna dan tujuan hidupnya, untuk mencapai
keluhuran martabatnya yang paling substansial. Sekali lagi, manusia sendiri dengan
otonomi[3] yang dimilikinya, mesti sadar dan tahu bahwa hidupnya tidak bergantung
kepada situasi, melainkan ia sendiri dalam banyak hal sanggup menguasai situasi
dan dengan demikian bisa menentukan arah hidupnya. Manusia oleh karena
kecerdasan yang dimilikinya, melalui daya refleksi akal budi, sanggup untuk
tidak mudah terjerumus ke dalam mesinisasi. Dari suatu renungan filsafat orang
mengharapkan untuk dapat menyelami hidup manusia secara lebih komprehensif dan
dapat mencapai visi atas manusia secara lebih tepat[4].
Sokrates mengajarkan bahwa
pengenalan akan diri sendiri itu penting. Pengenalan akan diri bermula dari
kesadaran akan ketidaktahuan. Sebab kita harus mengakui bahwa manusia
benar-benar mulai hidup ketika ia mulai menjadi sadar. Untuk mengetahui sesuatu
manusia perlu menyadari bahwa dirinya memiliki kekurangan. Peristiwa orakel di
Delphoi secara eksplisit menandaskan bahwa kesadaran akan ketidakbijaksanaannya
membuat Sokrates dinilai lebih bijaksana dari manusia lain karena dengan itu ia
kemudian merefleksikan hidupnya secara terus-menerus. Kesadaran itu hanya
mungkin ada justru karena pengenalan diri yang terus-menerus. Pengenalan diri
merupakan suatu proses belajar yang tak pernah berhenti. Menanggapi tema
pengenalan diri ini, Yohanes Paulus II menulis:
“Baik di Timur maupun di Barat, kita dapat menelusuri
perjalanan yang telah menuntun bangsa manusia dari abad ke abad untuk menjumpai
dan memasuki kebenaran dengan semakin
mendalam lagi. Perjalanan ini adalah perjalanan yang telah tergelar-sebagaimana
seharusnya- di dalam cakrawala kesadaran diri yangbersifat pribadi: semakin
manusia mengetahui dirinya sendiri dalam keunikannya, dengan pertanyaan
mengenai makna segala sesuatu dan eksistensinya sendiri menjadi semakin
mendesak. Inilah sebabnya segala sesuatu menjadi obyek pengetahuan kita,
menjadi bagian dari hidup kita. Nasihat, Ketahuilah diri Anda sendiri,
terukir pada pintu gerbang kuil di Delphoi, sebagai kesaksian mengenai
kebenaran mendasar yang harus diterima sebagai norma minimal oleh orang-orang
yang berdaya upaya untuk memisahkan diri mereka dari segala ciptaan yang lain
sebagai ‘manusia’, yakni orang yang ‘mengetahui dirinya sendiri’.”[5]
U
|
ntuk mengenal dirinya secara global dan mendalam, manusia memiliki dua
sumber yakni: pengalaman dan penyelidikan ilmiah. Pengalaman manusia terdiri
dari kesadaran tentang diri sendiri dan pengalaman tentang hidup bersama orang
lain. Dalam kesadaran tentang diri sendiri hidup manusia dialami secara
batiniah. Pengalaman ini tidak mungkin diserahkan kepada orang lain sebab hanya
terjadi di dalam diri sendiri. Apa arti kesadaran, apa arti hidup dalam badan
dapat manusia ketahui melalui refleksi yang terus menerus dengan dirinya
sendiri. Kesadaran batin sangat penting bagi penyelidikan tentang manusia. Semua
penyelidikan diarahkan dan dibimbing oleh kesadaran pribadi itu.
Dari pengalaman pribadi
manusia mengarahkan diri pada penyelidikan ilmiah. Ia mulai menyadari kehadiran
manusia lain dalam dunia. Manusia adalah mahkluk sosial, mahkluk yang hidup
selalu bersama orang lain dalam masyarakat. Adagium lama, “no man is an
island” membahasakan kenyataan ini secara lengkap. Pengalamannya
menunjukkan bahwa ia tidak sendirian, ia hidup dan ada bersama dengan yang
lain. Ia menyelidiki bagaimana manusia bisa bersahabat dan membangun hidup
secara bersama-sama mencapai tujuan yang sama: kebahagiaan. Dalam perjuangan
itulah manusia memberikan makna kepada setiap arah perjuangannya bersama orang
lain. Pengenalan diri dan penyelidikan ilmiah memungkinkan refleksi tentang makna
semakin diperdalam, diperluas dan diperkaya. Penyelidikan ilmiah tentang manusia jika dilakukan dengan suatu motivasi
yang luhur akan bermuara pada pengakuan akan kelemahan kodrati manusia sebagai
mahkluk fana. Kesadaran akan ketakberdayaannya pada gilirannya mengharuskan
manusia untuk mencapai tujuan akhir hidupnya secara bersama-sama. Karena itu
konsekuensinya ialah manusia menyadari bahwa pengakuan akan eksistensi dirinya
serentak juga merupakan peneguhan akan eksistensi sesamanya. Manusia, entah siapapun
dia, memiliki martabat yang sama, luhur dan tak tergantikan oleh apapun,
termasuk teknologi.
Konsep mengenal diri
Sokrates membawa akibat bahwa manusia harus berefleksi terus menerus atas
hidupnya. Refleksi dalam arti yang paling umum berarti meditasi yang dalam,
yang bersifat memeriksa. Meditasi ini berbeda dengan persepsi yang sederhana
atau dengan putusan-putusan langsung, involunter mengenai suatu obyek. Refleksi
juga dimengerti sebagai pembalikan. Pembalikan ini merupakan arti refleksi yang
sebenarnya. Refleksi juga berarti suatu kontemplasi (contemplation).[6] Karena itu secara khusus berarti berpalingnya perhatian seseorang dari
obyek-obyek eksternal, yang mendapat perhatian utama dalam soal-soal biasa,
kepada kegiatan rohani sendiri dan kepada cara berada di mana obyek-obyek ini
dimiliki sebagai obyek-obyek kegiatan ini. Karena itu konsep refleksi berkaitan
dengan konsep kesadaran. Namun kesadaran belaka akan tindakan-tindakan sendiri
tidak boleh disamakan dengan refleksi. Kesadaran kiranya diartikan sebagai
perhatian eksplisit terhadap kegiatan-kegiatan dan subyeknya, yakni ego.[7]
A
|
pa yang menjadi obyek refleksi manusia? Pertanyaan itu dapat kita baca
dalam pemikiran etis Sokrates. Dalam perspektif Sokrates, obyek dari refleksi
manusia adalah kesadaran akan eksistensi “yang baik”. “Yang baik” merupakan arete bagi setiap manusia. “Yang baik”
juga memiliki dimensi universal. Bagi Sokrates, tidak benar bahwa “yang baik”
itu lain bagi warga negara Athena dan lain bagi warga negara Sparta; atau
berbeda antara orang Yunani dengan orang barbar. “Yang baik” mempunyai nilai
yang sama bagi semua manusia. Itulah sebabnya keutamaan selalu berdasar pada
pengertian yang sama. Mempunyai arete
berarti memiliki kesempurnaan manusia sebagai manusia. Dengan demikian Sokrates
menciptakan etika yang berlaku bagi semua manusia. Manusia diminta untuk
membuka pikirannya dan berusaha melihat kembali sejauh mana ia tetap setia pada
komitmennya mencapai “yang baik”. Secara sederhana nilai-nilai “yang baik”
tercermin dalam keutamaan-keutamaan seperti keadilan, kebenaran dan keberanian.
Dalam perspektif Sokrates,
kita bisa melihat bahwa oleh karena manusia terbuka kepada realitas dan
membacanya lalu mengambil sikap tertentu, maka ia kemudian menjadi bijaksana.
Kebijaksanaan selalu lahir tatkala manusia berusaha menggunakan daya refleksi
atas setiap kejadian dengan ketajaman rasionya. Terbuka kepada realitas itu
berarti manusia menaruh perhatian kepadanya dan membiarkan realitas berbicara
kepadanya. Membaca kenyataan berarti manusia oleh daya analisisnya melihat
kenyataan itu serta mengambil sikap yang tepat menuju keutamaan. Pengenalan
diri akhirnya bermuara pada satu pilihan yakni, dengan sadar manusia mengambil
keutamaan atau arĂȘte sebagai jalan menuju penyempurnaan hidupnya:
kebahagiaan yang merupakan makna dan tujuan hidup manusia. Semakin manusia
merefleksikan hidup dan actusnya, ia semakin pasti berjalan kepada
kesempurnaan hidupnya. Sebab refleksi yang benar membawa manusia kepada suatu
transfromasi cara hidup (life style), dari cara hidup yang mengekalkan
tradisi, kurang reflektif menuju kepada semangat pembaharuan yang dilandasi
refleksi kritis terus menerus.
[2] Apa yang
penulis maksudkan dengan “mesinisasi” adalah kecenderungan untuk melihat segala
sesuatu dalam perspektif teknologi mekanis atau mesin, yang dengan sendirinya
sudah diatur secara otomatis, bisa dikendalikan dengan mudah dan takluk kepada
keinginan manusia. Dalam kerangka pemikiran seperti ini manusia akan kehilangan kebebasannya
sebagai makhluk yang memiliki otonomi. Istilah “mesinisasi”
yang penulis gunakan mengarah kepada pemahaman bahwa
segala aspek kehidupan diprogramkan secara sistematis, otomatis dengan mesin-mesin
hasil teknologi.
[3]
Dengan otonomi manusia dimaksud, bahwa manusia mengalami diri sebagai mahkluk
yang memiliki dirinya sendiri. Ia tidak begitu saja menjadi satu dengan dunia.
Walaupun ia sama sekali berada dalam dunia, ia tetap memiliki jarak terhadap
dunia. Jadi, ia mengalami diri sebagai otonom terhadap dunia. Bukan otonom
dalam arti, bahwa ia sama sekali tidak perlu memperhatikan dunia atau
seakan-akan tidak membutuhkannya, melainkan otonom dalam arti, bahwa ia dapat
menentukan sikapnya terhadap dunia dengan bebas. Franz von Magnis-Suseno, “Martabat Manusia dan Moralita”
dalam Majalah Orientasi (no 4, Tahun
1972), p. 44.
[4] Theo Huijbers, Manusia Merenungkan Dirinya
(Yogyakarta: Kanisius, 1996), p. 15.
[5] Yohanes Paulus II, Ensiklik Fides et Ratio,
diterjemahkan oleh A. Widyamartaya (Yogyakarta: Kanisius, 1999), pp. 7-8.
[6] V.
Neufeldt (ed.), Webster’s New World Dictionary (New
York: Warner Books, 1990), p. 495.
[7] L. Bagus, Kamus
Filsafat (Jakarta: Gramedia, 1996), pp. 944-945.