Kanisius Teobaldus Deki*
Abstract: The local Church, the metropolitan Diocese of
Ende, claims itself as the Church of the poor.
It is based on the fact that most of its people are economically poor.
Many people face difficulties in fulfilling their primary needs appropriately.
Most of them are farmer, like others in Nusa Tenggara Timur (90%). Many
families have a very limited land for farming; some even have no land;
therefore, they have to go to work as blue-collar workers abroad, such as to
Malaysia ad other countries. In this writing, I try to explore the cultural
factor which mostly influences the life of people of God and the pastoral life
in The Metropolitan Diocese of Ende. Among the many phenomena, this writing is
focusing on the fact which is related to traditional feasts and their business.
The problem is analyzed simultaneously from sociological and theological
perspective.
Key-words: Budaya, Kemiskinan, Pergumulan rangkap.
Sudah merupakan sebuah
kenyataan yang tak terbantahkan bahwa manusia yang hidup di atas bumi adalah mahkluk
yang berbudaya.[1]
Kebudayaan melingkupi seluruh aspek kehidupan manusia. Ia mempengaruhi pola
pikir dan tingkah laku bahkan turut membentuk identitas manusia. Hal ini
disebabkan karena dalam setiap kebudayaan terdapat tiga aspek penting yang
mempengaruhi dan memberikan isi kepada kebudayaan itu. Aspek pengetahuan berisi
sejumlah pengetahuan yang diperoleh dari pengalaman konkret dan dijadikan
pengetahuan bersama. Aspek nilai atau etika mengandung nilai-nilai yang
diterima bersama, dan aspek tindakan berisi hasil-hasil karya manusia dari
kebudayaan tertentu serta sejumlah aturan dan ketetapan yang mengontrol
pelaksanaan aturan bersama tersebut. Ketiga aspek kebudayaan ini membuat
kebudayaan manusia menjadi kaya tetapi serentak tatkala kebudayaan setempat
dihadapkan dengan kebudayaan dan pandangan hidup lain, khususnya Gereja, maka
secara spontan muncul sebuah proses penilaian. Dalam proses itu, budaya lokal
akan temukan bahwa ada hal yang dimilikinya mesti dipertahankan dan ada pula
hal yang perlu diperbaharui. Dengan demikian kebudayaan itu diharapkan akan
tetap tumbuh bersama iman dan berkembang sesuai dengan tuntutan zaman.[2]
Sejalan dengan hal itu, patut disadari bahwa sebelum agama Katolik hadir di
wilayah Keuskupan Agung Ende[3], masyarakat setempat sudah
memiliki kebudayaan masing-masing. Namun sejak keberadaan Gereja di wilayah ini[4] masih cukup terasa bahwa
antara Gereja dan kebudayaan setempat belum terlalu tampak pengaruh yang
signifikan. Keduanya seakan berdiri sendiri-sendiri dengan memperlihatkan
interaksi yang lemah hingga belum membawa pengaruh yang berarti.
Dalam kajian ini, saya coba membedah masalah kebudayaan umat KAE, yang
sangat mempengaruhi kehidupan umat serta karya pastoralnya selama ini.[5] Ada banyak fenomena
kebudayaan, tetapi saya hanya menyoroti kenyataan yang berkaitan dengan
pesta-pesta adat dan segala urusan yang berkaitan dengannya. Sorotan terhadap
persoalan ini ditinjau dari aspek sosial serta didalami secara teologis sebagai
sebuah pergumulan rangkap.
MEMBACA KENYATAAN DAN
MENEMUKAN TANTANGAN BUDAYA PESTA DI WILAYAH KAE
Kenyataan Dunia Mondial
Modernitas merupakan istilah yang kerap menjadi tema utama serentak menjadi
arah dominan dalam perjuangan bangsa-bangsa di seluruh dunia. Modernitas lalu
diterjemahkan secara ekslusif sebagai kemajuan. Lalu dampak yang lebih jauh
ialah betapa kerapnya sebuah kemajuan disama-artikan dengan kesejahteraan.
Karena itu tak pelak lagi, negara-negara berusaha untuk meningkatkan
kesejahteraan, yang dilihat sebagai muara terciptanya sebuah negara, dengan
meningkatkan kemampuan di segala bidang terutama mega-proyek ekonominya.
Usaha meningkatkan dan memperluas ekspansi ekonomi melahirkan banyak
akibat. Persaingan yang tidak sehat hadir sebagai kenyataan yang tak terelakan.
Negara-negara yang kuat akhirnya keluar sebagai pemenang tersebab ia memiliki
keunggulan yang menguasai industri dan perdagangan lintas negara. Sedangkan
negara-negara lain, umumnya negara dunia ketiga yang sedang berkembang, menjadi
mangsa. Negara-negara berkembang, oleh karena ketidaksanggupannya meraih
kesempatan dalam percaturan ekonomi internasional, menjadi konsumen yang tak
kunjung membebaskan diri dari cengkraman negara-negara maju dari dunia pertama.
Hutang-hutang semakin besar, ketergantungan semakin tinggi. Negara-negara
berkembang akhirnya menjadi tak berdaya, bahkan untuk memutuskan sesuatu untuk dirinya
sendiri.
Sementara negara-negara maju membuat pesta demi pesta untuk merayakan
kemenangannya, negara-negara berkembang malah meratapi keadaan dirinya yang tak
enggan keluar dari krisis ekonomi dan persoalan yang melilitinya di dalam
negeri. Walaupun ada kegembiraan yang coba dirayakan negara-negara berkembang,
itu tak lebih sebuah ungkapan prihatin atas kenyataan kemiskinan mereka di
tengah kemajuan yang dicapai negara-negara maju di dunia pertama.
Kenyataan Indonesia
Sejak kemerdekaannya, perjuangan yang dilakukan Indonesia, sebagaimana
negara-negara Asia umumnya, adalah “nation building”.[6] Nasionalisme dalam
pelukisan ini dibaca M. M Thomas secara positif, yakni sebagai gerakan yang
berupaya untuk melaksanakan “nation making” dan bukannya bersifat totaliter,
agresif dan isolasionis.[7] Di tengah nation
building itu, muncul berbagai tantangan, baik yang datang dari luar maupun
yang datang dari dalam. Dari luar, keberpihakan politis terhadap negara
tertentu serentak perlawanan kepada negara lain. Jika negara yang dilawan
bersekutu dengan negara yang memberikan donasi kepada Indonesia, maka pembekuan
donasi sama artinya membunuh kemajuan yang sedang merangkak menuju kenyataan
yang lebih baik dan menciptakan krisis.[8] Krisis ekonomi lalu
menjadi tantangan dari dalam. Ia bisa melahirkan gerakan fundamentalisme (Islam
radikal, terorisme), separatisme (GAM, Papua), pertikaian antar ras
(Sambas-Kalimantan), intervensi militer (TNI dalam Politik), konflik antar
agama (Ambon, Poso) dsb. Yang menyebabkan negara menjadi kacau. Dalam kebalauan
itu, negara lalu mengimpikan sebuah kenyataan yang ideal, masyarakat madani (civil
society) dan serentak di satu pihak kenyataan itu tak mungkin, tersebab
tidak tersedianya struktur yang lebih menjamin terciptanya (kekurangan
keahlian, kesalahan manajemen, keserakahan, korupsi, kolusi dan nepotisme)[9] kemampuan untuk
berproduksi dan melakukan transaksi dagang dengan dunia luar.
Badai krisis belum berlalu dari Indonesia, bahkan bisa dikata, negara
Indonesia hanya hidup dari pinjaman luar negeri. Itu berarti menciptakan utang
yang harus dibayar oleh generasi-generasi selanjutnya.
Kenyataan Gereja Lokal KAE
Sekilas Tentang KAE[10]
Sebelumnya, KAE terdiri dari tiga Kevikepan yakni: Bajawa, Ende dan
Maumere. Masing-masing Kevikepan adalah satu wilayah Kabupaten. KAE menjadi
Perfektus Apostolik tanggal 16 September 1913 lalu menjadi Vikariat Apostolik
12 Maret 1922. selanjutnya pada tanggal 8 Maret 1951 menjadi Vikariat Apostolik
Ende dan menjadi Keuskupan Agung tanggal 3 Januari 1961. Hingga tahun 2001, KAE
memiliki umat Katolik yang cukup besar di Flores dengan jumlah 654. 914. Umat sebanyak itu
tersebar di 79 paroki dan dilayani oleh 119 imam projo dan 159 imam religius.
Terbanyak umat KAE memiliki mata pencaharian sebagai petani, sebagaimana
masyarakat Nusa Tenggara Timur umumnya (sekitar 90%).[11] Keluarga-keluarga ini
adalah petani yang memiliki lahan garapan sempit, bahkan sebagian tidak
memiliki lahan sama sekali sehingga mesti mencari pekerjaan lain, entah sebagai
buruh di kota maupun pergi ke tanah rantauan seperti Malaysia dan negara-negara
lain. Di samping karena sempitnya lahan yang dimiliki, kondisi sebagian besar
wilayah yang kering kerontang dan alat pertanian yang tidak memadai ikut
mempengaruhi tingkat kemajuan dan kesejahteraan ekonomi masyarakat. Gencarnya tanaman
perdagangan belakangan ini tidak menyentuh sebagian besar masyarakat karena
akhirnya luas lahan ikut menentukan juga. Dengan angka ketergantungan yang
besar dalam keluarga-keluarga ini, penghasilan yang kecil itu praktis dihabiskan
untuk membeli makanan dan kebutuhan-kebutuhan dasar lainnya.
Gereja lokal KAE dalam berbagai kesempatan menyadari dirinya sebagai Gereja
kaum miskin. Hal ini didasari oleh kenyataan umum bahwa umat KAE masih
tergolong rendah tingkat ekonominya. Banyak umat masih kesulitan untuk memenuhi
kebutuhan primernya secara lebih layak dan memadai.
Dalam kaitan dengan persoalan ini, MUSPAS[12] IV KAE tahun 2000 mencoba
membuat terobosan dalam karya pastoral keuskupan dengan upaya pemberdayaan umat
basis[13] sebagai solusi terhadap
kenyataan pastoral yang dialami. Tujuan jangka panjangnya adalah agar Gereja
lokal KAE bisa menjadi Gereja mandiri, baik dari segi ketenagaan, hidup iman
dan mandiri secara ekonomi (ketersediaan dana yang cukup untuk memungkinkan
kehidupan yang sejahtera). Tanpa mengabaikan dua kemandirian sebelumnya, hal
yang terakhir menjadi sorotan utama akhir-akhir ini. Menurut refleksi kami, ada
dua hal yang membuat Gereja lokal KAE masih sulit mandiri secara ekonomis
tersebab kemampuan dan kondisi ekonomi umat yang masih lemah dan pola hidup
umat yang dirasakan kurang mendukung kemandirian hidup itu, yang terkespresi
dalam budaya pesta.
Pola hidup yang kurang mendukung kemandirian itu diangkat berdasarkan
sebuah kenyataan umum di wilayah KAE yakni umat masih akrab dengan pola hidup
boros yang terjadi dalam berbagai macam bentuk pesta adat atau dalam urusan
yang berkaitan dengan adat. Pola hidup seperti itu dirasakan kurang mendukung
perkembangan hidup masyarakat karena di sana telah terjadi pemborosan dan
penghamburan: waktu, materi, peluang-kesempatan di satu sisi, sementara di sisi
lain masih menjalankannya sebagai tradisi yang tak terbantahkan. Mereka
menerima saja kenyataan itu tanpa menilai lebih jauh apakah masih cukup relevan
dengan perkembangan hidup mereka serta pemenuhan kebutuhan hidup lainnya yang
lebih urgen.
Membaca Kenyataan umat KAE:
Injil Sebagai Paradigma
Untuk membaca kenyataan umat KAE dalam perspektif melihat budaya pesta dari
sisi lain, maka saya menggunakan teks Yohanes 2:1-11 dengan sebuah perluasan
sebagai satu paradigma. Beberapa pokok berikut ini akan dikemukakan.
1.
Dalam kisah yang telah dibaca, waktu Yesus sudah
mempergandakan anggur sebanyak enam tempayan dengan kualitas terbaik di pesta
perkawinan di Kana, nama Yesus semakin kuat bergema di daerah itu. Hal itu
diketahui setelah tuan pesta menyelidiki dari mana asal anggur itu dan pelayan
memberitahukan bahwa Yesuslah yang membuatnya dan Bunda Maria telah menyuruh
mereka menyediakan tempayan yang berisi air. Orang-orang lalu berharap agar
mereka, setiap kali pesta, mengundang Yesus dan Ia mau datang ke pesta mereka.
Alasan yang paling kentara ialah supaya
Yesus melipat-gandakan jumlah anggur lagi sehingga mereka bisa minum sampai
mabuk. Mereka mulai malas menyediakan anggur, sebab Yesus pasti berbelaskasihan
dan mau membantu mereka mengadakan anggur terbaik. Dalam kemalasan itu, mereka
tidak mau berbuat apa-apa, pasif, hanya menunggu kehadiran Yesus.
Kehadiran Gereja di tengah sebuah kebudayaan baru menimbulkan rasa kagum,
ingin tahu karena berbeda dengan apa yang mereka miliki. Kekaguman itu nyata
dari respek dan keinginan yang kuat untuk memilikinya. Para misionaris datang
dari negeri jauh, tampang mereka lain, bahasa juga berbeda, aktivitas mereka
yang tak sama dengan masyarakat setempat. Tatkala menyaksikan betapa
sederhananya sarana yang digunakan oleh masyarakat setempat untuk mengolah
tanah, mereka memperkenalkan alat-alat baru bahkan mesin-mesin yang modern.
Mereka juga mendirikan gedung-gedung (Gereja dan Sekolah), membagikan makanan
dan minuman asing serta gaya hidup yang menjadi impian masyarakat lokal. Bagi
kebanyakan orang, mereka adalah wujud dari sebuah impian: di mana tak ada lagi
derita kekurangan pangan, ketiadaan uang dan kekalutan yang disebabkan
ketidakpastian hidup. Dan ketika umat di KAE (sebagai lahan baru) mengenal
Gereja, mereka lalu memberi diri dibaptis, dengan suatu sikap spontan untuk
mewujudkan impiannya tentang hidup yang lebih layak dan tampil “beda” dengan
nenek moyang mereka.
Kekaguman mereka akan munculnya perubahan baru membuat mereka lupa akan
akar, basis di mana mereka sendiri berasal. Mereka lalu hidup dalam imajinasi
spontan[14], enggan menghargai hasil
karya dan produksi sendiri. Bahkan yang lebih parah ialah mereka mulai
bergantung pada donasi dari mereka yang datang. Tak ada usaha untuk
menumbuhkan-kembangkan usaha ke arah kemandirian. Semuanya bersikap pasif,
menunggu saja dari pihak luar, seraya berharap agar “mujizat” tak
bosan-bosannya menghampiri mereka.
2.
Ternyata Yesus tidak selalu datang. Ini
menimbulkan rasa kesal di hati tuan pesta dan mereka yang diundang. Mereka lalu
mencemoohkan Yesus sambil tak mau melakukan sesuatu untuk mengadakan anggur
mereka sendiri (entah membeli atau dari kebun sendiri).
Kehadiran Kabar Gembira (Yesus) Gereja yang pada mulanya menimbulkan “decak
kagum” lalu beralih ke kemarahan spontan dan kemudian terstruktur. Mereka lalu
bernostalgia pada masa lampau di mana Gereja begitu “bermurah hati”, dalam arti
selalu gratis. Dalam nostalgia itu, mereka selalu ingat akan kebaikan Gereja
masa lampau sambil membenci Gereja yang ada sekarang ini. Sikap benci itu
sering tak dinyatakan secara eksplisit, melainkan hanya inplisit. Sebagai
bentuk nyata yang terekspresi ke luar: Mereka lalu enggan untuk mengikuti
kegiatan di Gereja, berbagai pembinaan diabaikan, program-program pengembangan
sosial-ekonomi tak berjalan, kewajiban mereka sebagai anggota Gereja, khususnya
dalam bidang tanggung jawab moral, adminstrasi, dsb. sering diabaikan.
Dalam keadaan penuh kemarahan, mereka menggantikan kekaguman akan “anggur
baru-asing” dengan kembali ke anggur milik mereka. Mereka lalu terlibat lagi
dalam kemabukan. Tetapi sekarang kemabukan itu disebabkan oleh dua hal. Pertama,
kemabukan sering muncul sebagai muara real dari sebuah pesta. Dan kedua,
kemabukan tersebab rasa frustrasi karena kehilangan anggur terbaik yang pernah
mereka kecapi di pesta perkawinan itu. Perilaku hidup mereka yang kecewa akan
perubahan Gereja lama ke Gereja Baru sangat kentara oleh pelbagai komentar yang
ada dalam masyarakat tetapi sambil melegitimasi perbuatan buruk yang mereka
lakukan. Komentar yang tidak konstruktif terus berjalan, sementara partisipasi
dalam membangun Gereja dan masyarakat tidak tampak. Mereka tetap bernostalgia walaupun
kenyataan hidup yang mereka alami menuntut mereka lebih bekerja keras.
3.
Peran Maria (para Imam atau petugas pastoral)
sebagai Pengantara. Yesus tidak datang lagi ke pesta. Demikianpun Bunda Maria.
Lalu, peran Maria sebagai pengantara kembali diambil alih oleh sebuah lembaga
adat (yang sejak dulu sudah ada dan menjalankan fungsinya). Pengantara “baru”
mulai memikirkan bagaimana menghadirkan sekian banyak tempayan anggur untuk
memenuhi keinginan masyarakat. Mereka kemudian menemukan jawabannya: kita harus
tetap membuat berbagai pesta sesuai dengan peristiwa-peristiwa penting. Itulah
sebabnya pesta-pesta digelar secara periodik sesuai musimnya. Pesta-pesta
dibuat dengan pelbagai maksud. Pengantara baru menetapkan aturan dan hukum
untuk pesta-pesta itu. Antara lain: bahwa semua anggota masyarakat wajib
mengikuti pesta adat, turut terlibat di dalamnya secara aktif termasuk
membiayai pesta itu. Di sini pesta bukan lagi sebuah kesempatan untuk mengalami
kegembiraan yang utuh, melainkan kenyataan yang terasa membebankan. Kegembiraan
yang dituai hanya temporal saja sifatnya, sesudah itu ia hilang lenyap. Muncul kerinduan untuk
mengikuti pesta perkawinan yang pernah dialami di Kana.
4.
Sementara umat berada dalam kebingungan apakah
terus melanjutkan pesta-pesta (walaupun tanpa anggur sejati) dan kemabukan
sebagai akibatnya, Gereja (secara langsung atau tidak) malah mengadaptasi
pesta-pesta itu dalam pelbagai peristiwanya. Muncullah pesta Sambut Baru di
Maumere (dulu termasuk wilayah KAE) yang menghabiskan banyak biaya dan menjadi
peluang baru untuk membereskan urusan adat yang belum selesai, pesta-pesta kaul
kekal meriah dan tahbisan yang menghabiskan biaya puluhan dan bahkan ratusan
juta rupiah.
5.
Kenyataan adanya pesta, yang di dalamnya tak
lagi ditemukan anggur sejati, pada satu sisi melahirkan kegembiraan (walaupun
terbanyak hanya bersifat sementara) tetapi pada sisi lain menimbulkan rasa tak
aman karena dililiti hutang, rasa tak puas karena telah terjadi pertikaian dan
perpecahan dalam keluarga akibat ketakterlibatan beberapa anggota keluarga.
Padahal, anggur (kebahagiaan) yang diberikan Yesus membuat orang merasa gembira
dan pada akhirnya memuji karena telah “menyimpan anggur yang baik sampai
sekarang”.
Pengembangan kisah pesta perkawinan di Kana bisa diperluas lagi. Tetapi
saya hanya mengangkat tiga isu yang muncul dari perluasan teks itu sebagai
tantangan yang harus dijawab. Tiga isu
itu adalah:
1.
Isu sikap ketergantungan (dalam pokok satu):
Dalam proses pewartaan Kabar Gembira (Injil) sikap mana yang mau dipakai
Gereja: belajar budaya terlebih dahulu lalu mewartakan Injil melalui
nilai-nilai positif dari budaya atau memberikan sesuatu yang baru sama sekali
sampai mereka lupa akan akar budayanya?
2.
Isu Keterlibatan (pokok dua dan tiga): Gereja
datang untuk mewartakan Kabar Gembira (Yesus, Anggur Sejati). Di saat yang
sama, mereka telah memiliki budaya yang telah memberi mereka pegangan hidup.
Ketika Gereja hendak mewartakan Kabar Gembira, apa yang dilakukan Gereja dalam
membangun kehidupan umat: bekerja
sendiri atau bersama-sama? Dalam teologi Pembebasan misalnya, sangat ditekankan
dimensi keterlibatan aktif bagi dan bersama kaum miskin dantertindas. Maka
hanya dalam praksis pembebasan yang mentransformasikan hidup kaum miskin dan
tertindas itu, hidup umat beriman berada dalam kesatuan dengan Sang Sabda yang
mengidentifikasikan diri dengan mereka.[15]
3.
Isu Peran dan Misi Gereja (pokok empat dan
lima): Setelah melihat bahwa ada bahaya mereka melupakan akar budaya mereka,
Gereja berusaha membuat adaptasi, terjemahan atas isi Kabar Gembira (Yesus) ke
dalam budaya setempat.[16] Karena itu Gereja juga membuka
kesempatan untuk berpesta (merayakan hidup secara lain) Tetapi apakah Gereja
bisa kritis-selektif terhadap budaya yang ada?[17]
Perluasan teks Yesus
mempergandakan anggur dengan kualitas terbaik ini diberikan sebagai satu
paradigma, sekaligus tantangan untuk membaca budaya pesta di KAE dengan
beberapa isunya.
Terdapat tiga kerangkan
teologis yang bisa digunakan untuk mejelaskan kenyataan yang ada, yakni
kerangka “Penciptaan-Kejatuhan-Penebusan”, “Antikristus-Kristus” dan
“Kematian-Kebangkitan Kristus”.[18]
1. Kerangka
“Penciptaan-Kejatuhan-Penebusan”
Umat KAE lahir sebagai
masyarakat agraris yang mayoritasnya menggantungkan hidup dengan berladang.
Sejak zaman dulu mereka bergantung seutuhnya dari kemurahan alam. Berkaitan
dengan ketergantungan itu, mereka lalu memiliki tata cara sendiri, yang merupakan
bagian dari budaya, untuk menjaga keselarasan dengan alam itu. Alam atau kosmos adalah
serentak Pengada pertama (causa prima) dan penjamin kehidupan. Ketika Gereja hadir, alam
bukan lagi pusat melainkan Kristus sebagai Allah yang datang membebaskan dan
menyelamatkan mereka. Gereja serentak membangun institusi pendidikan yang
mengajarkan juga teknologi baru. Gereja mau melepaskan umat dari
keterbelengguan kemiskinan dan keterbelakangan. Kehadiran Gereja dan
pengaruhnya justru serentak merupakan kejatuhan bagi institusi budaya dengan
hampir semua sistem (khususnya budaya pesta yang sudah ada). Kenyataan itu
disadari oleh mereka yang sudah menghayatinya sejak sekian lama. Mereka sadar
bahwa hidup ini kian ditantang oleh berbagai macam kebutuhan yang harus
dipenuhi (kebutuhan sehari-hari, biaya pendidikan, biaya perawatan kesehatan,
dsb). Karena itu muncul rintihan supaya dibebaskan dari situasi terbelenggu
atau menurut bahasa Konsili Vatikan II, “mendidik manusia untuk kebebasan
batin”.[19]
2. Kerangka
“Antikristus-Kristus”
“Kristus Anggur Sejati”
adalah simbol penebusan-pembebasan-penyelamatan yang dirindukan. Tetapi
kedatangan Anggur Sejati selalu didahului oleh kenyataan Anggur Palsu. Anggur
palsu selalu membuat orang-orang yang hadir dalam pesta kehidupan mabuk. Dalam
kemabukannya mereka lalu dihinggapi benih-benih ilusi: lalu mereka mengejar
ilusi dengan sikap pasif-enggan bekerja keras, terlibat dalam perjudian,
pencurian, dan berbagai tindakan negatif lainnya. Tetapi anggur palsu akan
kehilangan daya pikatnya sebab dia tidak sanggup membebaskan umat dari
kemiskinan dan keterbelengguan yang ada. Hanya daya Anggur Sejati Kristuslah
yang bisa menyelamatkan mereka.
3. Kerangka
“Kematian-Kebangkitan Kristus”
Kristus-Anggur Sejati yang
sudah wafat dan bangkit, wafat dan bangkit lagi dalam setiap situasi sejarah.
Kita bisa mengatakan pesta-pesta yang sudah menimbulkan pelbagai macam soal
(terlepas dari unsur positifnya), mengharuskan umat berteriak supaya dibebaskan
dari tuntutan wajib untuk terlibat secara aktif. Kristus mati dalam diri mereka
yang tidak mampu terlibat dalam pesta, sementara budaya menuntut mereka untuk
terlibat. Akibatnya mereka yang tidak sanggup terkucil. Mereka tertindas karena
pesta yang dibuat dengan suatu paksaan tanpa memperhitungkan ketidakmampuan
ekonomi anggotanya.
BERUPAYA MENEMUKAN TITIK
TEMU PASTORAL YANG RELEVAN: BERTEOLOGI SEBAGAI PERGUMULAN RANGKAP[20]
Terdapat tiga tahap atau metode yang saya angkat untuk bergumul dengan
kenyataan dan tantangan umat KAE berkaitan dengan budaya pesta, yakni “attending”
(menghadirkan dua kenyataan), “assertion” (menghadapkan dua kenyataan
itu satu dengan yang lain) dan “decision” (memutuskan apa yang harus dilakukan).[21]
Pesta-pesta yang dilakukan oleh umat KAE bukan tanpa nilai positif.[23] Ia juga muncul untuk
tujuan itu. Berikut ini saya akan memperlihatkan nilai-nilai positif dari
Budaya Pesta:
1. Kebersamaan dan
Persatuan
Praktek hidup berbudaya mengajarkan masyarakat untuk bekerja sama dan
menggalang persatuan yang kuat. Ini sebuah modal yang berarti bagi pengembangan
hidup bersama. Setiap orang dipanggil untuk ikut serta dalam ikatan kebersamaan
dan menyumbangkan pikiran, tenaga dan materi untuk sebuah maksud bersama.
2. Perwujudan Identitas
Diri
Kebudayaan dan setiap unsur khas yang terdapat di dalamnya menunjukkan
identitas seorang pribadi. Di dalamnya mereka bisa berperan sesuai dengan
statusnya masing-masing. Orang dikenal dari kebudayaannya. Dan lebih dari itu
seseorang tidak tercabut dari akarnya.
3. Kerja sama
Nilai ini sangat menonjol dalam setiap kebudayaan. Setiap pihak yang
memiliki tugas dan tanggung jawab masing-masing bisa bertemu dan bekerja sama.
Hal ini terlihat dari pembicaraan bersama sampai pada pelaksanaannya.
4. Kerukunan dan
Persaudaraan
Ikatan budaya selalu membuat masyarakat merasa sebagai saudara. Tentu saja
hal ini tidak luput dari konflik, tetapi warna persaudaraan sangat tampak dalam
kegiatan-kegiatan adat setempat.
5. Nilai Syukur
Pesta-pesta yang digelar (baik adat maupun yang terkait dengan adat) selalu
mengangkat nilai syukur sebagai hal dominant. Dengan demikian, adat- kebiasaan
sungguh menekankan aspek ini kepada semua penganutnya.
Assertion: Budaya Pesta dan Praktek
Pembebasan
Secara harfiah, mujizat yang terjadi di Kana sebenarnya hanya berupaya
menyelamatkan rasa malu tuan pesta di hadapan para tamunya.[24] Sebagai tamu yang ikut
diundang Yesus ingin supaya Ia dapat menyelamatkan situasi kritis yang dialami
tuan pesta. Tapi dampaknya ialah bahwa tuan pesta merasa gembira karena
diselamatkan. Rasa gembira itu begitu membekas lalu menimbulkan rasa ingin
tahu, siapakah Yesus itu. Pertemuan dengan pribadi Yesus menyebabkan tuan pesta
dari Kana merasa bahagia, bahagia karena dia mengenal tentang keselamatan.
Itulah puncak dari pertemuan dengan Yesus: mengenal dan akhirnya mengalami
keselamatan.
Pesta-pesta yang dilakukan juga memiliki tujuan positif. Semua orang tak
akan memungkiri kenyataan itu. Tetapi, prosesnya untuk mengalami pembebasan,
itulah yang memiliki terbanyak sisi gelapnya, sebuah kenyataan yang tidak
membawa pembebasan. Pesta yang ada merupakan pembebasan sementara, tersebab
kemudian usai pesta orang lebih terbelenggu karena menghadapi kenyataan hidup
yang paradoksal. Kegembiraan yang dituai dari pesta akhirnya mengalami nasib
naas: ia hanya bergerak selama pesta berlangsung, sesudahnya terjerat kembali
ke dalam kubangan kemiskinan.
Berikut beberapa catatan singkat tentang sisi gelap budaya pesta:
1. Orang dituntut untuk memenuhi aturan adat dengan mengorbankan materi
(barang maupun uang) yang begitu besar tanpa sering tidak memperhitungkan
kemampuan orang secara ekonomis. Pesta-pesta adat selalu mempunyai siklus yang
tetap setiap tahunnya, tetapi penghasilan umat tidak selalu tetap. Tetapi
sebagai sesuatu yang ritual pesta itu harus tetap dijalankan, apapun yang
terjadi.
2. Pesta adat dan hal-hal yang berkaitan dengannya sering menimbulkan
konflik dan ketegangan dengan begitu banyak pihak. Orang-orang yang tidak
terlibat dengan sendirinya dikucilkan atau merasa terkucil dari masyarakat adat
(tanah persekutuan) Di sini muncul pemaksaan secara tidak langsung.
3. Ada pemborosan yang tidak perlu. Akibatnya urusan adat bisa membelenggu
orang dan membuat orang tidak maju. Belum lagi pemborosan itu mengakibatkan
banyak hal penting lain harus diabaikan.
4. Pesta adat dan pesta lain sering juga didasarkan atas gengsi atau harga
diri (prestise) yang memiliki nilai yang dangkal. Kehebatan diri dianggap lebih
penting daripada kesederhanaan.
5. Tuntutan pesta adat atau hal yang berkaitan dengannya sering berpengaruh
pada hdup keluarga. Terkadang tuntutan adat (dalam perkawinan) mengabaikan
perhatian yang sebenarnya diberikan kepada keluarga baru. Tuntutan belis yang
tinggi menyebabkan lahir pola hidup merantau, orang terpaksa merantau untuk
“membayar” belis atau utang yang ditimbulkan olehnya.[25] Selain itu dalam dunia
pendidikan, anak-anak tidak bisa melanjutkan pendidikannya karena ketiadaan
biaya.
Dari sekian sisi gelap sebuah budaya pesta, dapat dipastikan mengakibatkan
hilangnya nilai-nilai lain: keharmonisan keluarga, kesejahteraan ekonomis,
pendidikan yang terbengkelai, kesehatan yang tak terjamin, dsb.
Decision: Teologi yang Relevan
dengan Konteks: Gereja Mau Buat Apa?
1. Bersikap
Realistis-Kritis[26]
Budaya Pesta merupakan suatu kenyataan yang sudah ada sejak zaman lampau,
jauh sebelum Gereja menghadirkan Kabar Gembira (Yesus) di KAE. Itu juga suatu
fakta yang tak mungkin dimungkiri. Bahwa ia ada sebagai suatu realitas itu
harus diterima dan diakui. Tetapi sikap pengakuan mesti merupakan suatu
tindakan kritis, dalam arti pengakuan tidak merupakan pembenaran atas setiap
aksi budaya itu. Lalu apa yang menjadi norma? Umat mesti memiliki suatu
prioritas dalam hidup, yakni mengutama keselamatan (baca: kesejahteraan) lahir
maupun batin.
Jika budaya pesta ternyata
tidak menyebabkan kehidupan masyarakat ditandai oleh dijunjung tingginya nilai
keadilan dan kebenaran, maka ia harus diarahkan ke jalan yang benar. Pesta
sejati dilakukan hanya sebagai ekspresi atas penghirauan sikap yang adil dan
benar. Allah, melalui nabi Amos, menandaskan hal itu. Kami mengutip teks itu:
Aku membenci, Aku
menghinakan perayaanmu dan Aku tidak senang dengan perkumpulan
rayamu…Jauhkanlah daripada-Ku keramaian nyanyian-nyanyianmu, lagu gambusmu Aku
tidak mau dengar. Tetapi biarlah keadilan bergulung-gulung seperti air dan kebenaran
seperti sungai yang mengalir (Bdk. Kitab Amos 5:21-27).
Keadilan dan kebenaran hendaknya menjadi tema yang terus bergema dan pada
akhirnya bermuara pada Kristus sebagai keadilan dan kebenaran yang sejati.
2. Keterlibatan
Kemiskinan yang menjadi warna dominant umat KAE menjadi sebuah kenyataan
lain. Kita perlu mencari akarnya. Salah satu temuan kita ialah budaya pesta
yang tidak berimbang dengan kemampuan menghasilkan umat. Tapi juga pertanyaan
perlu diarahkan kepada umat: kenapa kemampuan menghasilkan kurang? Apakah
mereka betul telah tenggelam dalam pusaran anggur palsu (mental malas, hidup
dalam ilusi) sehingga mereka mabuk (pasif, tidak tahu mau buat apa, pikiran dangkal)?
Gereja hadir sebagai pengantara yang sanggup membaca kerisauan, kecemasan dan
kebalauan umat yang sedang kehabisan anggur (kemampuan atau daya) untuk
melanjutkan “pesta kehidupan”.
Gereja Nusa Tenggara Timur umumnya Gereja kaum agraris. Sejauh mana Gereja
telah terlibat dala mengentaskan kemiskinan (pengetahuan, sumber daya) umatnya?
Keterlibatan bisa diartikan dalam dua hal: pertama, Gereja terlibat
untuk melibatkan umat dalam persoalan-persoalan mereka sendiri: mencari akar
permasalahan, memikirkannya secara bersama lalu mencari jalan keluar. Sekarang
bukan zaman donasi lagi. Sikap Yesus ialah menyuruh menebarkan jala ketika
mereka ketiadaan ikan (Bdk. Luk 5:4).
Jala ditebarkan karena mereka tidak memiliki ikan. Ikan tidak mereka miliki,
tetapi jala ada. Tebarkanlah jalamu…adalah menebarkan segenap daya yang ada
dalam diri mereka. Karena itu, partisipasi yang aktif dalam membangun hidup
mereka (berangkat dari dalam) menyebabkan mereka realistis bahwa para perantara
(Gereja) hanya berlaku sebagai mediator. Keputusan untuk maju berada di tangan
umat sendiri. Hal ini dibuat supaya mereka tidak semata-mata tergantung pada
belas kasihan pihak lain untuk membawa mereka ke hidup yang lebih layak.
Kedua, Gereja membaca kerisauan umat lalu mencari solusi alternatif. Kita sudah
melibatkan umat dalam mencari solusi untuk persoalan mereka. Sebagai
pengantara, Gereja memberikan juga solusi alternatif yang bisa membebaskan
mereka. Menurut hemat kami, program Delsos atau PSE[27] mesti mendapat tempat yang
luas dalam karya pastoral Gereja di KAE. Gereja berbicara dari mimbar dan
praksis hidup nyata. Inilah jalan, di mana pada satu sisi mereka sendiri
terlibat untuk mencari pembebasan selain itu sebagai pengantara kita juga
memberikan jalan lain untuk tujuan yang sama. Inilah cara Gereja bersolider
dengan kemiskinan mereka. Solider sejatinya adalah sikap aktif untuk melakukan
tindakan pembebasan.
Ketika Gereja memberikan penilaian kritis terhadap budaya pesta umat KAE,
penilaian itu terasa tak menggigit. Jika Gereja lokal sadar bahwa budaya pesta
juga menyebabkan umat KAE tetap terpuruk dalam situasi kemiskinan, maka
kesadaran itu serentak mengarahkan dirinya untuk melakukan self-critic
atas praksis teologi dan pastoralnya.
Bukan rahasia lagi bahwa Gereja, khususnya kaum religius dan klerus, sering
kali menjadikan pesta sebagai budaya dan gaya hidup. Kita bisa sebut hal yang
paling kentara ialah sisi lain pesta kaul kekal dan tahbisan. Kedua pesta ini
selalu dijalankan dengan biaya yang sangat besar dan melibatkan begitu banyak
orang di dalamnya. Padahal sering kali menjadi contradictio in terminis,
menghayati kaul kemiskinan dengan gaya hidup yang kurang lebih mewah (anti
kesederhanaan). Lalu kalau mau menjadikan budaya pesta dan sisi lainnya (yang
menjadi salah satu faktor penghambat untuk mencapai hidup yang sejahtera)
sebagai isu pastoral yang mau ditanggulangi bersama, bagaimana dengan perilaku imam,
kaum religius? Kesederhanaan yang dibangun dari dalam diri Gereja sendiri
menyebabkan umat sebagai anggota Gereja Allah mendapatkan sebuah model.[29] Model kemiskinan injili
yang telah diajarkan Yesus merupakan imperative bagi anggota Gereja (klerus,
religius, awam) untuk menjadikannya sebagai budaya tandingan bagi dunia yang
cenderung mengarahkan dirinya kepada sikap konsumerisme yang karenanya
eksploitasi menjadi kenyataan yang tak terelakan. Kita melawan kecenderungan
itu untuk mengubah dari dalam Gereja sendiri. Pertobatan yang benar untuk
berpihak kembali kepada kaum miskin dan tertindas, hanya mungkin kalau
keterlibatan tampak dalam praksis. Praksis yang menjunjung tinggi pola hidup
sederhana merupakan bentuk perlawanan atau tandingan bagi main stream
dunia.
Keprihatinan dan keterlibatan Gereja dalam mensejahterakan umatnya ialah
juga dengan memberikan contoh yang memungkinkan tersedianya tempat yang luas
kepada pola hidup yang sederhana.
PENUTUP: SEBUAH KESIMPULAN
Gereja lokal KAE perlu terlibat membantu umat menemukan akar permasalahan
yang mereka hadapi berkaitan dengan kemiskinan sebagian besar umatnya.
Keterlibatan itu tampak dalam usaha penyadaran umat akan pentingnya kemandirian
dan kerja keras serta penghargaan terhadap nilai-nilai krisiani dan universal
seperti keadilan dan kebenaran serta pelayanan. Selain itu Gereja juga mesti
terlibat mencari dan menemukan solusi alternatif dengan mengembangkan
program-program sosial-ekonomi.
Harapan akan munculnya Anggur Sejati (Kristus) merupakan arah pembebasan
yang mau dicapai. Di saat umat KAE sudah menghayati kemandiriannya (dalam
berbagai aspek kehidupan), tatkala mereka berperilaku adil dan benar sebagai
ekspresi iman mereka akan Kristus, dan saling melayani (Bdk. Kis 2:41-47), maka di saat itulah pesta
sebenarnya baru terjadi.
Jika Kristus tidak ditampakkan sebagai jiwa dari sebuah pesta, dan
pembebasan bukanlah tema sentral yang mau diangkat, maka pesta itu adalah
sebuah acara untuk memabukan diri dengan anggur palsu yang membawa ilusi.
Contoh yang benar dari Gereja akan membawa umat kepada sebuah model yang hidup,
tetapi bukan berarti sebuah ketergantungan dan tanpa usaha sendiri. Budaya
pesta akan menjadi sebuah saat di mana hidup betul dirayakan jika ada proses
seleksi yang kritis atasnya dan membawa pembebasan yang utuh.***
BIBLIOGRAFI
Emanuel Gerrit Singgih, Berteologi dalam
Konteks: Pemikiran-pemikiran
Mengenai Kontekstualisasi Teologi di Indonesia. Yogyakarta: Kanisius, 2000
Mengenai Kontekstualisasi Teologi di Indonesia. Yogyakarta: Kanisius, 2000
Ferd. Heselaars Hartono (ed.), Teologi Praktis Pastoral dalam Era
Modernitas-Postmodernitas. Yogyakarta: Kanisius, 1999.
L.J., Luzbetac, The Church and Culture. California:
William Carey Library, 1977.
R. Hardawiryana (penterj.), Dokumen Konsili Vatikan II. Jakarta:
Obor, 1993.
Lambert Lame Uran, Sejarah Perkembangan Misi Flores
Dioses Agung Ende. Ende: Sekretariat KAE, 1993.
F.X. Sumantara Siswoyo, et. al (penyunt.), Buku Petunjuk
Gereja Katolik Indonesia 2001. Departemen Dokumentasi dan
Penerangan KWI, 2001.
John M. Prior dan Amatus Woi (eds.), Membaca Tanda Zaman Pada
Akhir Sebuah Zaman. Maumere: Puslit Candraditya, 2003.
Team Pusat Pastoral KAE, Pastoral Pembebasan Dan Pemberdayaan
Keuskupan Agung Ende Memasuki Milenium Ketiga. Ende: PUSPAS, 2001.
J.B. Banawiratma & J. Muller, Berteologi Sosial Lintas Ilmu:
Kemiskinan sebagai Tantangan Hidup Beriman. Yogyakarta: Kanisius, 1993.
Yosep Maria Florisan (penterj.), Model-Model
Teologi Kontekstual.
Maumere: Ledalero, 2002.
Maumere: Ledalero, 2002.
Yoseph Suban, Bahan Kuliah Membuat Kristologi Lokal. STFK Ledalero, 1999.
____________, Bahan Kuliah Teologi Asia.
STFK Ledalero, 1999.
____________, Bahan Kuliah Teologi
Kontekstual. STFKLedalero, 2003.
***
(Dipublikasikan pertama oleh: Jurnal Missio edisi 2007).
[1]
Menurut Edward Brunnett Tylor (1832-1917) dalam bukunya: Primitive Culture,
“Kebudayaan adalah keseluruhan yang merangkum pengetahuan, kepercayaan,
kesenian, hukum, kebiasaan dan setiap kemampuan dan adat kebiasaan yang
diperlukan manusia sebagai anggota masyarakat”, Bdk. L.J., Luzbetac, The
Church and Culture, California: William Carey Library, 1977, hal. 59-60. Dalam karya ini, saya melihat bahwa pesta
merupakan bagian dari budaya manusia. Searah dengan alur pemikiran di atas,
dalam kajian ini saya mempersempit pemahaman budaya dalam konteks
kebiasaan-kebiasaan manusiawi yang menjadikan pesta sebagai bagian tak
terpisahkan dari budaya.
[2] Bdk. R. Hardawiryana (penterj.)
“Konstitusi Lumen Gentium 57-62” dalam: Dokumen Konsili Vatikan II,
Jakarta: Obor, 1993, hal. 583-593.
[3] Selanjutnya akan ditulis akronimnya: KAE.
[4] Tentang Sejarah keberadaan KAE, bdk.
Lambert Lame Uran, Sejarah Perkembangan Misi Flores Dioses Agung Ende,
Ende: Puspas KAE, 1993, hal. 13-24.
[5] Kajian ini mulanya muncul dari
kerpihatinan bersama para frater Tahun Orientasi Pastoral di Keuskupan Agung
Ende tahun 2002/2003.
[6] “Bangsa” dilukiskan oleh M. M Thomas
sebagai “ satu struktur kehidupan bersama manusia yang muncul dalam sejarah
modern diilhami dan didorong oleh ide nasionalisme”: sebagaimana dikutip oleh
P. Yoseph Suban dalam: Kuliah Teologi Asia, STFK Ledalero 1999, hal. 23.
Lihat M.M. Thomas, “Nation”, dalam Nichomas Lossky et. al.,
(eds.), Dictionary of the Ecumenical Movement, Genewa: WCC Publications,
Grand Rapids: William B. Erdmans Publishing Company, 1991, hal. 709.
[7]
P. Yoseph Suban, Ibid. Bdk. MM. Thomas, My Ecumenical Journey,
Trivandrum: Ecumenical Publishing Cntre Private Limited, 1990, hal. 214, 218.
[8] Kebencian rasial Indonesia terhadap
Israel sangat riskan sebab di belakang mereka ada AS. Dominasi AS pada
organisasi moneter internasinal (WTO,
IMF, dsb) sangat besar. Bahkan dengan berbagai keunggulan yang mereka miliki,
mereka bisa memveto keputusan dalam pertemuan yang membahas nasib negara-negara
berkembang, termasuk Indonesia.
[9] Lihat Lampiran B tentang “Unsur-unsur
Modernitas selama Pemerintahan Soekarno dan Soeharto” dalam buku karangan
Gerben Heitink yang diedit oleh Ferd. Heselaars Hartono, Teologi Praktis
Pastoral dalam Era Modernitas-Postmodernitas, Yogyakarta: Kanisius, 1999, hal.
227-233. Bdk. Lambert Lame Uran, Op. Cit.
[10] Data-data kami ambil dari, F.X. Sumantara
Siswoyo, et. al (penyunt.), Buku Petunjuk Gereja Katolik Indonesia 2001,
Departemen Dokumentasi dan Penerangan KWI, 2001, hal. xii, E56.
[11] Bdk. Hubert Thomas Hasulie, “Masyarakat
Nusa Tenggara Dalam Tantangan Zaman” dalam: John M. Prior dan Amatus Woi (ed.),
Membaca Tanda Zaman Pada Akhir Sebuah Zaman, Maumere: Puslit
Candraditya, 2003, hal. 182.
[12] MUSPAS akronim dari Musyawarah Pastoral
mulai dikenal sejak tahun 1987 ketika muncul gagasan untuk melibatkan seluruh
umat dalamkarya pastoral keuskupan. Hingga kini telah terlaksana empat kali
MUSPAS KAE yang sekaligus menggambarkan perjalanan karya pastoral KAE. Bdk.
Team Pusat Pastoral KAE, Pastoral Pembebasan Dan Pemberdayaan Keuskupan
Agung Ende Memasuki Milenium Ketiga, Ende: PUSPAS, 2001, hal. 7.
[13] Ibid., hal.
23-51.
[14] Tanpa mereka sadari, tersebab terlalu
berharap pada pihak lain yang membuat mereka terkagum-kagum, mereka selalu
membuat pengandaian. Kehadiran seorang tokoh atau misionaris selalu diukur dari
sejauh mana ia berpengaruh dalam kehidupan sosial. Dalam kenyataannya, peran
setiap orang berbeda justru karena ketidaksamaan kemampuan, terutama dalam hal
finansial.
[15] J.B. Banawiratma & J. Muller, Berteologi
Sosial Lintas Ilmu: Kemiskinan sebagai Tantangan Hidup Beriman, Yogyakarta:
Kanisius, 1993, hal. 184.
[16] Bdk. “Model Terjemahan” dalam karya
Stephen B. Bevans. Lihat: Yosep Maria Florisan (penterj.), Model-Model
Teologi Kontekstual, Maumere: Ledalero, 2002, hal. 63-95.
[17] R. Hardawiryana (penterj.), GS 59, Op.
Cit., hal. 586-587.
[18] Saya mengikuti metode yang ditawarkan
oleh P. Yoseph Suban, Bahan Kuliah Membuat Kristologi Lokal, STFK
Ledalero, 1999, hal. 48-49.
[19] R. Hardawiryana (penterj.), GS 58, Op.
Cit., hal. 586.
[20] Istilah Pergumulan Rangkap (Double
Wresttle) sebagai satu istilah teologis mula-mula digunakan oleh H. Richard
Niebuhr dalam bukunya ”Christ and Culture” sebagaimana dikutip oleh P. Yoseph
Suban dalam: Kuliah Teologi Asia,
STFK Ledalero 1999, hal. 18-19 untuk menunjukkan “pergumulan yang dijalani
Gereja dengan Tuhannya dan dengan masyarakat budaya, tempat dia bersimbiose”. Bdk.
H. Richard Niebuhr, Christ and Culture, New York: Harper and Row,
1951, hal. xi
[21]
Yoseph Suban, Ibid., hal. 20-22.
[22]
Di satu pihak ada sisi positif, di lain pihak ada sisi negatif. Sisi negatif
dijelaskan pada bagian berikutnya. Kedua kenyataan ini dihadapkan satu sama
lain sebagai dua sisi mata uang dalam realitas umat KAE, tetapi penjelasannya
berlanjut ke bagianbeikut: “assertion”.
[23]
Arti Positif dalam perspektif kami ialah mempunyai nilai daya membangun.
[24] Dengan menyatakan demikian, kami tidak
menafikan interpretasi lain terhadap peristiwa itu. Kami hanya membaca sesuai
dengan konteks pembahasan dan perspektif kami.
[25] Hubert Thomas Hasulie, “Masyarakat Nusa
Tenggara Dalam Tantangan Zaman”, Op. Cit., hal. 184.
[26] Richard Niebuhr mencatat lima sikap
terhadap produk budaya: sikap radikal, sikap akomodatif, sikap sintetik, skap
dualistic dan sikap transformatif. Sikap realistis-kritis, menurut hemat kami
bisa memadukan beberapa sikap yang dikemukan Richard Niebuhr. Bdk. Emanuel
Gerrit Singgih, Berteologi dalam Konteks: Pemikiran-pemikiran Mengenai
Kontekstualisasi Teologi di Indonesia, Yogyakarta: Kanisius, 2000, hal.
36-40.
[27] Delsos atau PSE adalah Komisi yang bertanggungjawab
dalam menganalisa pengembangan sosial-ekonomi umat. Mereka cukup memiliki
perhatian untuk membantu umat yang tidak mampu dengan berbagai strategi yang
mereka miliki.
[28] Bdk. Yosef Maria Florisan (penterj.) Op.
Cit., hal. 281-248.
[29] Di Kevikepan Maumere (sekarang termasuk
wilayah Keuskupan Maumere), Upacara Penerimaan Komunio Pertama (Sambut Baru)
dijalankan serentak di semua paroki pada hari yang sama. Alasan yang
dikemukakan di balik kebijaksanaan itu ialah supaya umat tidak membuat banyak
pesta dengan menundanya ke hari yang lain. Pemikiran di balik pernyataan ini
ialah pesta dilihat sebagai moment pemborosan. Tetapi bila dibandingkan dengan
pesta tahbisan seorang Imam, mungkin memenuhi biaya untuk pesta Sambut Baru
seluruh anak di Kevikepan ini pada hari yang sama.
No comments:
Post a Comment