Tuesday, 26 April 2016

SISI LAIN BUDAYA PESTA Menilik Fenomena Kemiskinan Umat Keuskupan Agung Ende Sebuah Pergumulan Teologis-Kontekstual




Kanisius Teobaldus Deki*




Abstract: The local Church, the metropolitan Diocese of Ende, claims itself as the Church of the poor.  It is based on the fact that most of its people are economically poor. Many people face difficulties in fulfilling their primary needs appropriately. Most of them are farmer, like others in Nusa Tenggara Timur (90%). Many families have a very limited land for farming; some even have no land; therefore, they have to go to work as blue-collar workers abroad, such as to Malaysia ad other countries. In this writing, I try to explore the cultural factor which mostly influences the life of people of God and the pastoral life in The Metropolitan Diocese of Ende. Among the many phenomena, this writing is focusing on the fact which is related to traditional feasts and their business. The problem is analyzed simultaneously from sociological and theological perspective.

Key-words: Budaya, Kemiskinan, Pergumulan rangkap.

Sudah merupakan sebuah kenyataan yang tak terbantahkan bahwa manusia yang hidup di atas bumi adalah mahkluk yang berbudaya.[1] Kebudayaan melingkupi seluruh aspek kehidupan manusia. Ia mempengaruhi pola pikir dan tingkah laku bahkan turut membentuk identitas manusia. Hal ini disebabkan karena dalam setiap kebudayaan terdapat tiga aspek penting yang mempengaruhi dan memberikan isi kepada kebudayaan itu. Aspek pengetahuan berisi sejumlah pengetahuan yang diperoleh dari pengalaman konkret dan dijadikan pengetahuan bersama. Aspek nilai atau etika mengandung nilai-nilai yang diterima bersama, dan aspek tindakan berisi hasil-hasil karya manusia dari kebudayaan tertentu serta sejumlah aturan dan ketetapan yang mengontrol pelaksanaan aturan bersama tersebut. Ketiga aspek kebudayaan ini membuat kebudayaan manusia menjadi kaya tetapi serentak tatkala kebudayaan setempat dihadapkan dengan kebudayaan dan pandangan hidup lain, khususnya Gereja, maka secara spontan muncul sebuah proses penilaian. Dalam proses itu, budaya lokal akan temukan bahwa ada hal yang dimilikinya mesti dipertahankan dan ada pula hal yang perlu diperbaharui. Dengan demikian kebudayaan itu diharapkan akan tetap tumbuh bersama iman dan berkembang sesuai dengan tuntutan zaman.[2]
Sejalan dengan hal itu, patut disadari bahwa sebelum agama Katolik hadir di wilayah Keuskupan Agung Ende[3], masyarakat setempat sudah memiliki kebudayaan masing-masing. Namun sejak keberadaan Gereja di wilayah ini[4] masih cukup terasa bahwa antara Gereja dan kebudayaan setempat belum terlalu tampak pengaruh yang signifikan. Keduanya seakan berdiri sendiri-sendiri dengan memperlihatkan interaksi yang lemah hingga belum membawa pengaruh yang berarti.
Dalam kajian ini, saya coba membedah masalah kebudayaan umat KAE, yang sangat mempengaruhi kehidupan umat serta karya pastoralnya selama ini.[5] Ada banyak fenomena kebudayaan, tetapi saya hanya menyoroti kenyataan yang berkaitan dengan pesta-pesta adat dan segala urusan yang berkaitan dengannya. Sorotan terhadap persoalan ini ditinjau dari aspek sosial serta didalami secara teologis sebagai sebuah pergumulan rangkap.

MEMBACA KENYATAAN DAN MENEMUKAN TANTANGAN BUDAYA PESTA DI WILAYAH KAE

Kenyataan Dunia Mondial

Modernitas merupakan istilah yang kerap menjadi tema utama serentak menjadi arah dominan dalam perjuangan bangsa-bangsa di seluruh dunia. Modernitas lalu diterjemahkan secara ekslusif sebagai kemajuan. Lalu dampak yang lebih jauh ialah betapa kerapnya sebuah kemajuan disama-artikan dengan kesejahteraan. Karena itu tak pelak lagi, negara-negara berusaha untuk meningkatkan kesejahteraan, yang dilihat sebagai muara terciptanya sebuah negara, dengan meningkatkan kemampuan di segala bidang terutama mega-proyek ekonominya.
Usaha meningkatkan dan memperluas ekspansi ekonomi melahirkan banyak akibat. Persaingan yang tidak sehat hadir sebagai kenyataan yang tak terelakan. Negara-negara yang kuat akhirnya keluar sebagai pemenang tersebab ia memiliki keunggulan yang menguasai industri dan perdagangan lintas negara. Sedangkan negara-negara lain, umumnya negara dunia ketiga yang sedang berkembang, menjadi mangsa. Negara-negara berkembang, oleh karena ketidaksanggupannya meraih kesempatan dalam percaturan ekonomi internasional, menjadi konsumen yang tak kunjung membebaskan diri dari cengkraman negara-negara maju dari dunia pertama. Hutang-hutang semakin besar, ketergantungan semakin tinggi. Negara-negara berkembang akhirnya menjadi tak berdaya, bahkan untuk memutuskan sesuatu untuk dirinya sendiri.
Sementara negara-negara maju membuat pesta demi pesta untuk merayakan kemenangannya, negara-negara berkembang malah meratapi keadaan dirinya yang tak enggan keluar dari krisis ekonomi dan persoalan yang melilitinya di dalam negeri. Walaupun ada kegembiraan yang coba dirayakan negara-negara berkembang, itu tak lebih sebuah ungkapan prihatin atas kenyataan kemiskinan mereka di tengah kemajuan yang dicapai negara-negara maju di dunia pertama.

Kenyataan Indonesia

Sejak kemerdekaannya, perjuangan yang dilakukan Indonesia, sebagaimana negara-negara Asia umumnya, adalah “nation building”.[6] Nasionalisme dalam pelukisan ini dibaca M. M Thomas secara positif, yakni sebagai gerakan yang berupaya untuk melaksanakan “nation making” dan bukannya bersifat totaliter, agresif dan isolasionis.[7] Di tengah nation building itu, muncul berbagai tantangan, baik yang datang dari luar maupun yang datang dari dalam. Dari luar, keberpihakan politis terhadap negara tertentu serentak perlawanan kepada negara lain. Jika negara yang dilawan bersekutu dengan negara yang memberikan donasi kepada Indonesia, maka pembekuan donasi sama artinya membunuh kemajuan yang sedang merangkak menuju kenyataan yang lebih baik dan menciptakan krisis.[8] Krisis ekonomi lalu menjadi tantangan dari dalam. Ia bisa melahirkan gerakan fundamentalisme (Islam radikal, terorisme), separatisme (GAM, Papua), pertikaian antar ras (Sambas-Kalimantan), intervensi militer (TNI dalam Politik), konflik antar agama (Ambon, Poso) dsb. Yang menyebabkan negara menjadi kacau. Dalam kebalauan itu, negara lalu mengimpikan sebuah kenyataan yang ideal, masyarakat madani (civil society) dan serentak di satu pihak kenyataan itu tak mungkin, tersebab tidak tersedianya struktur yang lebih menjamin terciptanya (kekurangan keahlian, kesalahan manajemen, keserakahan, korupsi, kolusi dan nepotisme)[9] kemampuan untuk berproduksi dan melakukan transaksi dagang dengan dunia luar.
Badai krisis belum berlalu dari Indonesia, bahkan bisa dikata, negara Indonesia hanya hidup dari pinjaman luar negeri. Itu berarti menciptakan utang yang harus dibayar oleh generasi-generasi selanjutnya.

Kenyataan Gereja Lokal KAE
Sekilas Tentang KAE[10]

Sebelumnya, KAE terdiri dari tiga Kevikepan yakni: Bajawa, Ende dan Maumere. Masing-masing Kevikepan adalah satu wilayah Kabupaten. KAE menjadi Perfektus Apostolik tanggal 16 September 1913 lalu menjadi Vikariat Apostolik 12 Maret 1922. selanjutnya pada tanggal 8 Maret 1951 menjadi Vikariat Apostolik Ende dan menjadi Keuskupan Agung tanggal 3 Januari 1961. Hingga tahun 2001, KAE memiliki umat Katolik yang cukup besar di Flores dengan jumlah 654. 914. Umat sebanyak itu tersebar di 79 paroki dan dilayani oleh 119 imam projo dan 159 imam religius.
Terbanyak umat KAE memiliki mata pencaharian sebagai petani, sebagaimana masyarakat Nusa Tenggara Timur umumnya (sekitar 90%).[11] Keluarga-keluarga ini adalah petani yang memiliki lahan garapan sempit, bahkan sebagian tidak memiliki lahan sama sekali sehingga mesti mencari pekerjaan lain, entah sebagai buruh di kota maupun pergi ke tanah rantauan seperti Malaysia dan negara-negara lain. Di samping karena sempitnya lahan yang dimiliki, kondisi sebagian besar wilayah yang kering kerontang dan alat pertanian yang tidak memadai ikut mempengaruhi tingkat kemajuan dan kesejahteraan ekonomi masyarakat. Gencarnya tanaman perdagangan belakangan ini tidak menyentuh sebagian besar masyarakat karena akhirnya luas lahan ikut menentukan juga. Dengan angka ketergantungan yang besar dalam keluarga-keluarga ini, penghasilan yang kecil itu praktis dihabiskan untuk membeli makanan dan kebutuhan-kebutuhan dasar lainnya.
Gereja lokal KAE dalam berbagai kesempatan menyadari dirinya sebagai Gereja kaum miskin. Hal ini didasari oleh kenyataan umum bahwa umat KAE masih tergolong rendah tingkat ekonominya. Banyak umat masih kesulitan untuk memenuhi kebutuhan primernya secara lebih layak dan memadai.
Dalam kaitan dengan persoalan ini, MUSPAS[12] IV KAE tahun 2000 mencoba membuat terobosan dalam karya pastoral keuskupan dengan upaya pemberdayaan umat basis[13] sebagai solusi terhadap kenyataan pastoral yang dialami. Tujuan jangka panjangnya adalah agar Gereja lokal KAE bisa menjadi Gereja mandiri, baik dari segi ketenagaan, hidup iman dan mandiri secara ekonomi (ketersediaan dana yang cukup untuk memungkinkan kehidupan yang sejahtera). Tanpa mengabaikan dua kemandirian sebelumnya, hal yang terakhir menjadi sorotan utama akhir-akhir ini. Menurut refleksi kami, ada dua hal yang membuat Gereja lokal KAE masih sulit mandiri secara ekonomis tersebab kemampuan dan kondisi ekonomi umat yang masih lemah dan pola hidup umat yang dirasakan kurang mendukung kemandirian hidup itu, yang terkespresi dalam budaya pesta.
Pola hidup yang kurang mendukung kemandirian itu diangkat berdasarkan sebuah kenyataan umum di wilayah KAE yakni umat masih akrab dengan pola hidup boros yang terjadi dalam berbagai macam bentuk pesta adat atau dalam urusan yang berkaitan dengan adat. Pola hidup seperti itu dirasakan kurang mendukung perkembangan hidup masyarakat karena di sana telah terjadi pemborosan dan penghamburan: waktu, materi, peluang-kesempatan di satu sisi, sementara di sisi lain masih menjalankannya sebagai tradisi yang tak terbantahkan. Mereka menerima saja kenyataan itu tanpa menilai lebih jauh apakah masih cukup relevan dengan perkembangan hidup mereka serta pemenuhan kebutuhan hidup lainnya yang lebih urgen.

Membaca Kenyataan umat KAE: Injil Sebagai Paradigma
Untuk membaca kenyataan umat KAE dalam perspektif melihat budaya pesta dari sisi lain, maka saya menggunakan teks Yohanes 2:1-11 dengan sebuah perluasan sebagai satu paradigma. Beberapa pokok berikut ini akan dikemukakan.
1.               Dalam kisah yang telah dibaca, waktu Yesus sudah mempergandakan anggur sebanyak enam tempayan dengan kualitas terbaik di pesta perkawinan di Kana, nama Yesus semakin kuat bergema di daerah itu. Hal itu diketahui setelah tuan pesta menyelidiki dari mana asal anggur itu dan pelayan memberitahukan bahwa Yesuslah yang membuatnya dan Bunda Maria telah menyuruh mereka menyediakan tempayan yang berisi air. Orang-orang lalu berharap agar mereka, setiap kali pesta, mengundang Yesus dan Ia mau datang ke pesta mereka. Alasan  yang paling kentara ialah supaya Yesus melipat-gandakan jumlah anggur lagi sehingga mereka bisa minum sampai mabuk. Mereka mulai malas menyediakan anggur, sebab Yesus pasti berbelaskasihan dan mau membantu mereka mengadakan anggur terbaik. Dalam kemalasan itu, mereka tidak mau berbuat apa-apa, pasif, hanya menunggu kehadiran Yesus.
Kehadiran Gereja di tengah sebuah kebudayaan baru menimbulkan rasa kagum, ingin tahu karena berbeda dengan apa yang mereka miliki. Kekaguman itu nyata dari respek dan keinginan yang kuat untuk memilikinya. Para misionaris datang dari negeri jauh, tampang mereka lain, bahasa juga berbeda, aktivitas mereka yang tak sama dengan masyarakat setempat. Tatkala menyaksikan betapa sederhananya sarana yang digunakan oleh masyarakat setempat untuk mengolah tanah, mereka memperkenalkan alat-alat baru bahkan mesin-mesin yang modern. Mereka juga mendirikan gedung-gedung (Gereja dan Sekolah), membagikan makanan dan minuman asing serta gaya hidup yang menjadi impian masyarakat lokal. Bagi kebanyakan orang, mereka adalah wujud dari sebuah impian: di mana tak ada lagi derita kekurangan pangan, ketiadaan uang dan kekalutan yang disebabkan ketidakpastian hidup. Dan ketika umat di KAE (sebagai lahan baru) mengenal Gereja, mereka lalu memberi diri dibaptis, dengan suatu sikap spontan untuk mewujudkan impiannya tentang hidup yang lebih layak dan tampil “beda” dengan nenek moyang mereka.
Kekaguman mereka akan munculnya perubahan baru membuat mereka lupa akan akar, basis di mana mereka sendiri berasal. Mereka lalu hidup dalam imajinasi spontan[14], enggan menghargai hasil karya dan produksi sendiri. Bahkan yang lebih parah ialah mereka mulai bergantung pada donasi dari mereka yang datang. Tak ada usaha untuk menumbuhkan-kembangkan usaha ke arah kemandirian. Semuanya bersikap pasif, menunggu saja dari pihak luar, seraya berharap agar “mujizat” tak bosan-bosannya menghampiri mereka.
2.              Ternyata Yesus tidak selalu datang. Ini menimbulkan rasa kesal di hati tuan pesta dan mereka yang diundang. Mereka lalu mencemoohkan Yesus sambil tak mau melakukan sesuatu untuk mengadakan anggur mereka sendiri (entah membeli atau dari kebun sendiri).
Kehadiran Kabar Gembira (Yesus) Gereja yang pada mulanya menimbulkan “decak kagum” lalu beralih ke kemarahan spontan dan kemudian terstruktur. Mereka lalu bernostalgia pada masa lampau di mana Gereja begitu “bermurah hati”, dalam arti selalu gratis. Dalam nostalgia itu, mereka selalu ingat akan kebaikan Gereja masa lampau sambil membenci Gereja yang ada sekarang ini. Sikap benci itu sering tak dinyatakan secara eksplisit, melainkan hanya inplisit. Sebagai bentuk nyata yang terekspresi ke luar: Mereka lalu enggan untuk mengikuti kegiatan di Gereja, berbagai pembinaan diabaikan, program-program pengembangan sosial-ekonomi tak berjalan, kewajiban mereka sebagai anggota Gereja, khususnya dalam bidang tanggung jawab moral, adminstrasi, dsb. sering diabaikan.
Dalam keadaan penuh kemarahan, mereka menggantikan kekaguman akan “anggur baru-asing” dengan kembali ke anggur milik mereka. Mereka lalu terlibat lagi dalam kemabukan. Tetapi sekarang kemabukan itu disebabkan oleh dua hal. Pertama, kemabukan sering muncul sebagai muara real dari sebuah pesta. Dan kedua, kemabukan tersebab rasa frustrasi karena kehilangan anggur terbaik yang pernah mereka kecapi di pesta perkawinan itu. Perilaku hidup mereka yang kecewa akan perubahan Gereja lama ke Gereja Baru sangat kentara oleh pelbagai komentar yang ada dalam masyarakat tetapi sambil melegitimasi perbuatan buruk yang mereka lakukan. Komentar yang tidak konstruktif terus berjalan, sementara partisipasi dalam membangun Gereja dan masyarakat tidak tampak. Mereka tetap bernostalgia walaupun kenyataan hidup yang mereka alami menuntut mereka lebih bekerja keras.

3.              Peran Maria (para Imam atau petugas pastoral) sebagai Pengantara. Yesus tidak datang lagi ke pesta. Demikianpun Bunda Maria. Lalu, peran Maria sebagai pengantara kembali diambil alih oleh sebuah lembaga adat (yang sejak dulu sudah ada dan menjalankan fungsinya). Pengantara “baru” mulai memikirkan bagaimana menghadirkan sekian banyak tempayan anggur untuk memenuhi keinginan masyarakat. Mereka kemudian menemukan jawabannya: kita harus tetap membuat berbagai pesta sesuai dengan peristiwa-peristiwa penting. Itulah sebabnya pesta-pesta digelar secara periodik sesuai musimnya. Pesta-pesta dibuat dengan pelbagai maksud. Pengantara baru menetapkan aturan dan hukum untuk pesta-pesta itu. Antara lain: bahwa semua anggota masyarakat wajib mengikuti pesta adat, turut terlibat di dalamnya secara aktif termasuk membiayai pesta itu. Di sini pesta bukan lagi sebuah kesempatan untuk mengalami kegembiraan yang utuh, melainkan kenyataan yang terasa membebankan. Kegembiraan yang dituai hanya temporal saja sifatnya, sesudah itu ia hilang lenyap. Muncul kerinduan untuk mengikuti pesta perkawinan yang pernah dialami di Kana.
4.              Sementara umat berada dalam kebingungan apakah terus melanjutkan pesta-pesta (walaupun tanpa anggur sejati) dan kemabukan sebagai akibatnya, Gereja (secara langsung atau tidak) malah mengadaptasi pesta-pesta itu dalam pelbagai peristiwanya. Muncullah pesta Sambut Baru di Maumere (dulu termasuk wilayah KAE) yang menghabiskan banyak biaya dan menjadi peluang baru untuk membereskan urusan adat yang belum selesai, pesta-pesta kaul kekal meriah dan tahbisan yang menghabiskan biaya puluhan dan bahkan ratusan juta rupiah.
5.              Kenyataan adanya pesta, yang di dalamnya tak lagi ditemukan anggur sejati, pada satu sisi melahirkan kegembiraan (walaupun terbanyak hanya bersifat sementara) tetapi pada sisi lain menimbulkan rasa tak aman karena dililiti hutang, rasa tak puas karena telah terjadi pertikaian dan perpecahan dalam keluarga akibat ketakterlibatan beberapa anggota keluarga. Padahal, anggur (kebahagiaan) yang diberikan Yesus membuat orang merasa gembira dan pada akhirnya memuji karena telah “menyimpan anggur yang baik sampai sekarang”.
Pengembangan kisah pesta perkawinan di Kana bisa diperluas lagi. Tetapi saya hanya mengangkat tiga isu yang muncul dari perluasan teks itu sebagai tantangan yang harus dijawab. Tiga isu itu adalah:
1.               Isu sikap ketergantungan (dalam pokok satu): Dalam proses pewartaan Kabar Gembira (Injil) sikap mana yang mau dipakai Gereja: belajar budaya terlebih dahulu lalu mewartakan Injil melalui nilai-nilai positif dari budaya atau memberikan sesuatu yang baru sama sekali sampai mereka lupa akan akar budayanya?
2.              Isu Keterlibatan (pokok dua dan tiga): Gereja datang untuk mewartakan Kabar Gembira (Yesus, Anggur Sejati). Di saat yang sama, mereka telah memiliki budaya yang telah memberi mereka pegangan hidup. Ketika Gereja hendak mewartakan Kabar Gembira, apa yang dilakukan Gereja dalam membangun kehidupan umat:  bekerja sendiri atau bersama-sama? Dalam teologi Pembebasan misalnya, sangat ditekankan dimensi keterlibatan aktif bagi dan bersama kaum miskin dantertindas. Maka hanya dalam praksis pembebasan yang mentransformasikan hidup kaum miskin dan tertindas itu, hidup umat beriman berada dalam kesatuan dengan Sang Sabda yang mengidentifikasikan diri dengan mereka.[15]
3.              Isu Peran dan Misi Gereja (pokok empat dan lima): Setelah melihat bahwa ada bahaya mereka melupakan akar budaya mereka, Gereja berusaha membuat adaptasi, terjemahan atas isi Kabar Gembira (Yesus) ke dalam budaya setempat.[16] Karena itu Gereja juga membuka kesempatan untuk berpesta (merayakan hidup secara lain) Tetapi apakah Gereja bisa kritis-selektif terhadap budaya yang ada?[17]
Perluasan teks Yesus mempergandakan anggur dengan kualitas terbaik ini diberikan sebagai satu paradigma, sekaligus tantangan untuk membaca budaya pesta di KAE dengan beberapa isunya.
Terdapat tiga kerangkan teologis yang bisa digunakan untuk mejelaskan kenyataan yang ada, yakni kerangka “Penciptaan-Kejatuhan-Penebusan”, “Antikristus-Kristus” dan “Kematian-Kebangkitan Kristus”.[18]

1. Kerangka “Penciptaan-Kejatuhan-Penebusan”

Umat KAE lahir sebagai masyarakat agraris yang mayoritasnya menggantungkan hidup dengan berladang. Sejak zaman dulu mereka bergantung seutuhnya dari kemurahan alam. Berkaitan dengan ketergantungan itu, mereka lalu memiliki tata cara sendiri, yang merupakan bagian dari budaya, untuk menjaga keselarasan dengan alam itu. Alam atau kosmos adalah serentak Pengada pertama (causa prima) dan penjamin kehidupan. Ketika Gereja hadir, alam bukan lagi pusat melainkan Kristus sebagai Allah yang datang membebaskan dan menyelamatkan mereka. Gereja serentak membangun institusi pendidikan yang mengajarkan juga teknologi baru. Gereja mau melepaskan umat dari keterbelengguan kemiskinan dan keterbelakangan. Kehadiran Gereja dan pengaruhnya justru serentak merupakan kejatuhan bagi institusi budaya dengan hampir semua sistem (khususnya budaya pesta yang sudah ada). Kenyataan itu disadari oleh mereka yang sudah menghayatinya sejak sekian lama. Mereka sadar bahwa hidup ini kian ditantang oleh berbagai macam kebutuhan yang harus dipenuhi (kebutuhan sehari-hari, biaya pendidikan, biaya perawatan kesehatan, dsb). Karena itu muncul rintihan supaya dibebaskan dari situasi terbelenggu atau menurut bahasa Konsili Vatikan II, “mendidik manusia untuk kebebasan batin”.[19]

2. Kerangka “Antikristus-Kristus”
“Kristus Anggur Sejati” adalah simbol penebusan-pembebasan-penyelamatan yang dirindukan. Tetapi kedatangan Anggur Sejati selalu didahului oleh kenyataan Anggur Palsu. Anggur palsu selalu membuat orang-orang yang hadir dalam pesta kehidupan mabuk. Dalam kemabukannya mereka lalu dihinggapi benih-benih ilusi: lalu mereka mengejar ilusi dengan sikap pasif-enggan bekerja keras, terlibat dalam perjudian, pencurian, dan berbagai tindakan negatif lainnya. Tetapi anggur palsu akan kehilangan daya pikatnya sebab dia tidak sanggup membebaskan umat dari kemiskinan dan keterbelengguan yang ada. Hanya daya Anggur Sejati Kristuslah yang bisa menyelamatkan mereka.

3. Kerangka “Kematian-Kebangkitan Kristus”
Kristus-Anggur Sejati yang sudah wafat dan bangkit, wafat dan bangkit lagi dalam setiap situasi sejarah. Kita bisa mengatakan pesta-pesta yang sudah menimbulkan pelbagai macam soal (terlepas dari unsur positifnya), mengharuskan umat berteriak supaya dibebaskan dari tuntutan wajib untuk terlibat secara aktif. Kristus mati dalam diri mereka yang tidak mampu terlibat dalam pesta, sementara budaya menuntut mereka untuk terlibat. Akibatnya mereka yang tidak sanggup terkucil. Mereka tertindas karena pesta yang dibuat dengan suatu paksaan tanpa memperhitungkan ketidakmampuan ekonomi anggotanya.


BERUPAYA MENEMUKAN TITIK TEMU PASTORAL YANG RELEVAN: BERTEOLOGI SEBAGAI PERGUMULAN RANGKAP[20]

Terdapat tiga tahap atau metode yang saya angkat untuk bergumul dengan kenyataan dan tantangan umat KAE berkaitan dengan budaya pesta, yakni “attending” (menghadirkan dua kenyataan), “assertion” (menghadapkan dua kenyataan itu satu dengan yang lain) dan “decision” (memutuskan apa yang harus dilakukan).[21]

Attending: Budaya Pesta dan Sisi Positifnya[22]

Pesta-pesta yang dilakukan oleh umat KAE bukan tanpa nilai positif.[23] Ia juga muncul untuk tujuan itu. Berikut ini saya akan memperlihatkan nilai-nilai positif dari Budaya Pesta:

1. Kebersamaan dan Persatuan
Praktek hidup berbudaya mengajarkan masyarakat untuk bekerja sama dan menggalang persatuan yang kuat. Ini sebuah modal yang berarti bagi pengembangan hidup bersama. Setiap orang dipanggil untuk ikut serta dalam ikatan kebersamaan dan menyumbangkan pikiran, tenaga dan materi untuk sebuah maksud bersama.

2. Perwujudan Identitas Diri
Kebudayaan dan setiap unsur khas yang terdapat di dalamnya menunjukkan identitas seorang pribadi. Di dalamnya mereka bisa berperan sesuai dengan statusnya masing-masing. Orang dikenal dari kebudayaannya. Dan lebih dari itu seseorang tidak tercabut dari akarnya.

3. Kerja sama
Nilai ini sangat menonjol dalam setiap kebudayaan. Setiap pihak yang memiliki tugas dan tanggung jawab masing-masing bisa bertemu dan bekerja sama. Hal ini terlihat dari pembicaraan bersama sampai pada pelaksanaannya.

4. Kerukunan dan Persaudaraan
Ikatan budaya selalu membuat masyarakat merasa sebagai saudara. Tentu saja hal ini tidak luput dari konflik, tetapi warna persaudaraan sangat tampak dalam kegiatan-kegiatan adat setempat.

5. Nilai Syukur
Pesta-pesta yang digelar (baik adat maupun yang terkait dengan adat) selalu mengangkat nilai syukur sebagai hal dominant. Dengan demikian, adat- kebiasaan sungguh menekankan aspek ini kepada semua penganutnya.

Assertion: Budaya Pesta dan Praktek Pembebasan
Secara harfiah, mujizat yang terjadi di Kana sebenarnya hanya berupaya menyelamatkan rasa malu tuan pesta di hadapan para tamunya.[24] Sebagai tamu yang ikut diundang Yesus ingin supaya Ia dapat menyelamatkan situasi kritis yang dialami tuan pesta. Tapi dampaknya ialah bahwa tuan pesta merasa gembira karena diselamatkan. Rasa gembira itu begitu membekas lalu menimbulkan rasa ingin tahu, siapakah Yesus itu. Pertemuan dengan pribadi Yesus menyebabkan tuan pesta dari Kana merasa bahagia, bahagia karena dia mengenal tentang keselamatan. Itulah puncak dari pertemuan dengan Yesus: mengenal dan akhirnya mengalami keselamatan.
Pesta-pesta yang dilakukan juga memiliki tujuan positif. Semua orang tak akan memungkiri kenyataan itu. Tetapi, prosesnya untuk mengalami pembebasan, itulah yang memiliki terbanyak sisi gelapnya, sebuah kenyataan yang tidak membawa pembebasan. Pesta yang ada merupakan pembebasan sementara, tersebab kemudian usai pesta orang lebih terbelenggu karena menghadapi kenyataan hidup yang paradoksal. Kegembiraan yang dituai dari pesta akhirnya mengalami nasib naas: ia hanya bergerak selama pesta berlangsung, sesudahnya terjerat kembali ke dalam kubangan kemiskinan.
Berikut beberapa catatan singkat tentang sisi gelap budaya pesta:
1. Orang dituntut untuk memenuhi aturan adat dengan mengorbankan materi (barang maupun uang) yang begitu besar tanpa sering tidak memperhitungkan kemampuan orang secara ekonomis. Pesta-pesta adat selalu mempunyai siklus yang tetap setiap tahunnya, tetapi penghasilan umat tidak selalu tetap. Tetapi sebagai sesuatu yang ritual pesta itu harus tetap dijalankan, apapun yang terjadi.
2. Pesta adat dan hal-hal yang berkaitan dengannya sering menimbulkan konflik dan ketegangan dengan begitu banyak pihak. Orang-orang yang tidak terlibat dengan sendirinya dikucilkan atau merasa terkucil dari masyarakat adat (tanah persekutuan) Di sini muncul pemaksaan secara tidak langsung.
3. Ada pemborosan yang tidak perlu. Akibatnya urusan adat bisa membelenggu orang dan membuat orang tidak maju. Belum lagi pemborosan itu mengakibatkan banyak hal penting lain harus diabaikan.
4. Pesta adat dan pesta lain sering juga didasarkan atas gengsi atau harga diri (prestise) yang memiliki nilai yang dangkal. Kehebatan diri dianggap lebih penting daripada kesederhanaan.
5. Tuntutan pesta adat atau hal yang berkaitan dengannya sering berpengaruh pada hdup keluarga. Terkadang tuntutan adat (dalam perkawinan) mengabaikan perhatian yang sebenarnya diberikan kepada keluarga baru. Tuntutan belis yang tinggi menyebabkan lahir pola hidup merantau, orang terpaksa merantau untuk “membayar” belis atau utang yang ditimbulkan olehnya.[25] Selain itu dalam dunia pendidikan, anak-anak tidak bisa melanjutkan pendidikannya karena ketiadaan biaya.
Dari sekian sisi gelap sebuah budaya pesta, dapat dipastikan mengakibatkan hilangnya nilai-nilai lain: keharmonisan keluarga, kesejahteraan ekonomis, pendidikan yang terbengkelai, kesehatan yang tak terjamin, dsb.

Decision: Teologi yang Relevan dengan Konteks: Gereja Mau Buat Apa?

1. Bersikap Realistis-Kritis[26]

Budaya Pesta merupakan suatu kenyataan yang sudah ada sejak zaman lampau, jauh sebelum Gereja menghadirkan Kabar Gembira (Yesus) di KAE. Itu juga suatu fakta yang tak mungkin dimungkiri. Bahwa ia ada sebagai suatu realitas itu harus diterima dan diakui. Tetapi sikap pengakuan mesti merupakan suatu tindakan kritis, dalam arti pengakuan tidak merupakan pembenaran atas setiap aksi budaya itu. Lalu apa yang menjadi norma? Umat mesti memiliki suatu prioritas dalam hidup, yakni mengutama keselamatan (baca: kesejahteraan) lahir maupun batin.
Jika budaya pesta ternyata tidak menyebabkan kehidupan masyarakat ditandai oleh dijunjung tingginya nilai keadilan dan kebenaran, maka ia harus diarahkan ke jalan yang benar. Pesta sejati dilakukan hanya sebagai ekspresi atas penghirauan sikap yang adil dan benar. Allah, melalui nabi Amos, menandaskan hal itu. Kami mengutip teks itu:

Aku membenci, Aku menghinakan perayaanmu dan Aku tidak senang dengan perkumpulan rayamu…Jauhkanlah daripada-Ku keramaian nyanyian-nyanyianmu, lagu gambusmu Aku tidak mau dengar. Tetapi biarlah keadilan bergulung-gulung seperti air dan kebenaran seperti sungai yang mengalir (Bdk. Kitab Amos 5:21-27).

Keadilan dan kebenaran hendaknya menjadi tema yang terus bergema dan pada akhirnya bermuara pada Kristus sebagai keadilan dan kebenaran yang sejati.

2. Keterlibatan

Kemiskinan yang menjadi warna dominant umat KAE menjadi sebuah kenyataan lain. Kita perlu mencari akarnya. Salah satu temuan kita ialah budaya pesta yang tidak berimbang dengan kemampuan menghasilkan umat. Tapi juga pertanyaan perlu diarahkan kepada umat: kenapa kemampuan menghasilkan kurang? Apakah mereka betul telah tenggelam dalam pusaran anggur palsu (mental malas, hidup dalam ilusi) sehingga mereka mabuk (pasif, tidak tahu mau buat apa, pikiran dangkal)? Gereja hadir sebagai pengantara yang sanggup membaca kerisauan, kecemasan dan kebalauan umat yang sedang kehabisan anggur (kemampuan atau daya) untuk melanjutkan “pesta kehidupan”.
Gereja Nusa Tenggara Timur umumnya Gereja kaum agraris. Sejauh mana Gereja telah terlibat dala mengentaskan kemiskinan (pengetahuan, sumber daya) umatnya? Keterlibatan bisa diartikan dalam dua hal: pertama, Gereja terlibat untuk melibatkan umat dalam persoalan-persoalan mereka sendiri: mencari akar permasalahan, memikirkannya secara bersama lalu mencari jalan keluar. Sekarang bukan zaman donasi lagi. Sikap Yesus ialah menyuruh menebarkan jala ketika mereka ketiadaan ikan (Bdk. Luk  5:4). Jala ditebarkan karena mereka tidak memiliki ikan. Ikan tidak mereka miliki, tetapi jala ada. Tebarkanlah jalamu…adalah menebarkan segenap daya yang ada dalam diri mereka. Karena itu, partisipasi yang aktif dalam membangun hidup mereka (berangkat dari dalam) menyebabkan mereka realistis bahwa para perantara (Gereja) hanya berlaku sebagai mediator. Keputusan untuk maju berada di tangan umat sendiri. Hal ini dibuat supaya mereka tidak semata-mata tergantung pada belas kasihan pihak lain untuk membawa mereka ke hidup yang lebih layak.
Kedua, Gereja membaca kerisauan umat lalu mencari solusi alternatif. Kita sudah melibatkan umat dalam mencari solusi untuk persoalan mereka. Sebagai pengantara, Gereja memberikan juga solusi alternatif yang bisa membebaskan mereka. Menurut hemat kami, program Delsos atau PSE[27] mesti mendapat tempat yang luas dalam karya pastoral Gereja di KAE. Gereja berbicara dari mimbar dan praksis hidup nyata. Inilah jalan, di mana pada satu sisi mereka sendiri terlibat untuk mencari pembebasan selain itu sebagai pengantara kita juga memberikan jalan lain untuk tujuan yang sama. Inilah cara Gereja bersolider dengan kemiskinan mereka. Solider sejatinya adalah sikap aktif untuk melakukan tindakan pembebasan.

3. Self-Critic untuk Menjadikan Kesederhanaan sebagai Budaya Tandingan[28]: Model Perjuangan Gereja

Ketika Gereja memberikan penilaian kritis terhadap budaya pesta umat KAE, penilaian itu terasa tak menggigit. Jika Gereja lokal sadar bahwa budaya pesta juga menyebabkan umat KAE tetap terpuruk dalam situasi kemiskinan, maka kesadaran itu serentak mengarahkan dirinya untuk melakukan self-critic atas praksis teologi dan pastoralnya.
Bukan rahasia lagi bahwa Gereja, khususnya kaum religius dan klerus, sering kali menjadikan pesta sebagai budaya dan gaya hidup. Kita bisa sebut hal yang paling kentara ialah sisi lain pesta kaul kekal dan tahbisan. Kedua pesta ini selalu dijalankan dengan biaya yang sangat besar dan melibatkan begitu banyak orang di dalamnya. Padahal sering kali menjadi contradictio in terminis, menghayati kaul kemiskinan dengan gaya hidup yang kurang lebih mewah (anti kesederhanaan). Lalu kalau mau menjadikan budaya pesta dan sisi lainnya (yang menjadi salah satu faktor penghambat untuk mencapai hidup yang sejahtera) sebagai isu pastoral yang mau ditanggulangi bersama, bagaimana dengan perilaku imam, kaum religius? Kesederhanaan yang dibangun dari dalam diri Gereja sendiri menyebabkan umat sebagai anggota Gereja Allah mendapatkan sebuah model.[29] Model kemiskinan injili yang telah diajarkan Yesus merupakan imperative bagi anggota Gereja (klerus, religius, awam) untuk menjadikannya sebagai budaya tandingan bagi dunia yang cenderung mengarahkan dirinya kepada sikap konsumerisme yang karenanya eksploitasi menjadi kenyataan yang tak terelakan. Kita melawan kecenderungan itu untuk mengubah dari dalam Gereja sendiri. Pertobatan yang benar untuk berpihak kembali kepada kaum miskin dan tertindas, hanya mungkin kalau keterlibatan tampak dalam praksis. Praksis yang menjunjung tinggi pola hidup sederhana merupakan bentuk perlawanan atau tandingan bagi main stream dunia.
Keprihatinan dan keterlibatan Gereja dalam mensejahterakan umatnya ialah juga dengan memberikan contoh yang memungkinkan tersedianya tempat yang luas kepada pola hidup yang sederhana.


PENUTUP: SEBUAH KESIMPULAN

Gereja lokal KAE perlu terlibat membantu umat menemukan akar permasalahan yang mereka hadapi berkaitan dengan kemiskinan sebagian besar umatnya. Keterlibatan itu tampak dalam usaha penyadaran umat akan pentingnya kemandirian dan kerja keras serta penghargaan terhadap nilai-nilai krisiani dan universal seperti keadilan dan kebenaran serta pelayanan. Selain itu Gereja juga mesti terlibat mencari dan menemukan solusi alternatif dengan mengembangkan program-program sosial-ekonomi.
Harapan akan munculnya Anggur Sejati (Kristus) merupakan arah pembebasan yang mau dicapai. Di saat umat KAE sudah menghayati kemandiriannya (dalam berbagai aspek kehidupan), tatkala mereka berperilaku adil dan benar sebagai ekspresi iman mereka akan Kristus, dan saling melayani (Bdk. Kis  2:41-47), maka di saat itulah pesta sebenarnya baru terjadi.
Jika Kristus tidak ditampakkan sebagai jiwa dari sebuah pesta, dan pembebasan bukanlah tema sentral yang mau diangkat, maka pesta itu adalah sebuah acara untuk memabukan diri dengan anggur palsu yang membawa ilusi. Contoh yang benar dari Gereja akan membawa umat kepada sebuah model yang hidup, tetapi bukan berarti sebuah ketergantungan dan tanpa usaha sendiri. Budaya pesta akan menjadi sebuah saat di mana hidup betul dirayakan jika ada proses seleksi yang kritis atasnya dan membawa pembebasan yang utuh.***




BIBLIOGRAFI


Emanuel Gerrit Singgih, Berteologi dalam Konteks: Pemikiran-pemikiran 
Mengenai Kontekstualisasi Teologi di Indonesia. Yogyakarta: Kanisius, 2000

Ferd. Heselaars Hartono (ed.), Teologi Praktis Pastoral dalam Era 
Modernitas-Postmodernitas. Yogyakarta: Kanisius, 1999.

L.J., Luzbetac, The Church and Culture. California: 
William Carey Library, 1977.

R. Hardawiryana (penterj.), Dokumen Konsili Vatikan II. Jakarta: 
Obor, 1993.

Lambert Lame Uran, Sejarah Perkembangan Misi Flores 
Dioses Agung Ende. Ende: Sekretariat KAE, 1993.

F.X. Sumantara Siswoyo, et. al (penyunt.), Buku Petunjuk 
Gereja Katolik Indonesia 2001. Departemen Dokumentasi dan 
Penerangan KWI, 2001.

John M. Prior dan Amatus Woi (eds.), Membaca Tanda Zaman Pada 
Akhir Sebuah Zaman. Maumere: Puslit Candraditya, 2003.

Team Pusat Pastoral KAE, Pastoral Pembebasan Dan Pemberdayaan 
Keuskupan Agung Ende Memasuki Milenium Ketiga. Ende: PUSPAS, 2001.

J.B. Banawiratma & J. Muller, Berteologi Sosial Lintas Ilmu: 
Kemiskinan sebagai Tantangan Hidup Beriman. Yogyakarta: Kanisius, 1993. 
Yosep Maria Florisan (penterj.), Model-Model Teologi Kontekstual.
Maumere: Ledalero, 2002.

Yoseph Suban, Bahan Kuliah Membuat Kristologi Lokal. STFK Ledalero, 1999.
____________, Bahan Kuliah Teologi Asia. STFK Ledalero, 1999.
____________, Bahan Kuliah Teologi Kontekstual. STFKLedalero, 2003.


***
(Dipublikasikan pertama oleh: Jurnal Missio edisi 2007).


[1] Menurut Edward Brunnett Tylor (1832-1917) dalam bukunya: Primitive Culture, “Kebudayaan adalah keseluruhan yang merangkum pengetahuan, kepercayaan, kesenian, hukum, kebiasaan dan setiap kemampuan dan adat kebiasaan yang diperlukan manusia sebagai anggota masyarakat”, Bdk. L.J., Luzbetac, The Church and Culture, California: William Carey Library, 1977, hal. 59-60. Dalam karya ini, saya melihat bahwa pesta merupakan bagian dari budaya manusia. Searah dengan alur pemikiran di atas, dalam kajian ini saya mempersempit pemahaman budaya dalam konteks kebiasaan-kebiasaan manusiawi yang menjadikan pesta sebagai bagian tak terpisahkan dari budaya.
[2] Bdk. R. Hardawiryana (penterj.) “Konstitusi Lumen Gentium 57-62” dalam: Dokumen Konsili Vatikan II, Jakarta: Obor, 1993, hal. 583-593.
[3] Selanjutnya akan ditulis akronimnya: KAE.
[4] Tentang Sejarah keberadaan KAE, bdk. Lambert Lame Uran, Sejarah Perkembangan Misi Flores Dioses Agung Ende, Ende: Puspas KAE, 1993, hal. 13-24.
[5] Kajian ini mulanya muncul dari kerpihatinan bersama para frater Tahun Orientasi Pastoral di Keuskupan Agung Ende tahun 2002/2003.
[6] “Bangsa” dilukiskan oleh M. M Thomas sebagai “ satu struktur kehidupan bersama manusia yang muncul dalam sejarah modern diilhami dan didorong oleh ide nasionalisme”: sebagaimana dikutip oleh P. Yoseph Suban dalam: Kuliah Teologi Asia, STFK Ledalero 1999, hal. 23. Lihat M.M. Thomas, “Nation”, dalam Nichomas Lossky et. al., (eds.), Dictionary of the Ecumenical Movement, Genewa: WCC Publications, Grand Rapids: William B. Erdmans Publishing Company, 1991, hal. 709.
[7] P. Yoseph Suban, Ibid. Bdk. MM. Thomas, My Ecumenical Journey, Trivandrum: Ecumenical Publishing Cntre Private Limited, 1990, hal. 214, 218.
[8] Kebencian rasial Indonesia terhadap Israel sangat riskan sebab di belakang mereka ada AS. Dominasi AS pada organisasi moneter  internasinal (WTO, IMF, dsb) sangat besar. Bahkan dengan berbagai keunggulan yang mereka miliki, mereka bisa memveto keputusan dalam pertemuan yang membahas nasib negara-negara berkembang, termasuk Indonesia.
[9] Lihat Lampiran B tentang “Unsur-unsur Modernitas selama Pemerintahan Soekarno dan Soeharto” dalam buku karangan Gerben Heitink yang diedit oleh Ferd. Heselaars Hartono, Teologi Praktis Pastoral dalam Era Modernitas-Postmodernitas, Yogyakarta: Kanisius, 1999, hal. 227-233. Bdk. Lambert Lame Uran, Op. Cit.
[10] Data-data kami ambil dari, F.X. Sumantara Siswoyo, et. al (penyunt.), Buku Petunjuk Gereja Katolik Indonesia 2001, Departemen Dokumentasi dan Penerangan KWI, 2001, hal.  xii, E56.
[11] Bdk. Hubert Thomas Hasulie, “Masyarakat Nusa Tenggara Dalam Tantangan Zaman” dalam: John M. Prior dan Amatus Woi (ed.), Membaca Tanda Zaman Pada Akhir Sebuah Zaman, Maumere: Puslit Candraditya, 2003, hal. 182.
[12] MUSPAS akronim dari Musyawarah Pastoral mulai dikenal sejak tahun 1987 ketika muncul gagasan untuk melibatkan seluruh umat dalamkarya pastoral keuskupan. Hingga kini telah terlaksana empat kali MUSPAS KAE yang sekaligus menggambarkan perjalanan karya pastoral KAE. Bdk. Team Pusat Pastoral KAE, Pastoral Pembebasan Dan Pemberdayaan Keuskupan Agung Ende Memasuki Milenium Ketiga, Ende: PUSPAS, 2001, hal. 7.
[13] Ibid., hal. 23-51.
[14] Tanpa mereka sadari, tersebab terlalu berharap pada pihak lain yang membuat mereka terkagum-kagum, mereka selalu membuat pengandaian. Kehadiran seorang tokoh atau misionaris selalu diukur dari sejauh mana ia berpengaruh dalam kehidupan sosial. Dalam kenyataannya, peran setiap orang berbeda justru karena ketidaksamaan kemampuan, terutama dalam hal finansial.
[15] J.B. Banawiratma & J. Muller, Berteologi Sosial Lintas Ilmu: Kemiskinan sebagai Tantangan Hidup Beriman, Yogyakarta: Kanisius, 1993, hal. 184.
[16] Bdk. “Model Terjemahan” dalam karya Stephen B. Bevans. Lihat: Yosep Maria Florisan (penterj.), Model-Model Teologi Kontekstual, Maumere: Ledalero, 2002, hal. 63-95.
[17] R. Hardawiryana (penterj.), GS 59, Op. Cit., hal. 586-587.
[18] Saya mengikuti metode yang ditawarkan oleh P. Yoseph Suban, Bahan Kuliah Membuat Kristologi Lokal, STFK Ledalero, 1999, hal. 48-49.
[19] R. Hardawiryana (penterj.), GS 58, Op. Cit., hal. 586.
[20] Istilah Pergumulan Rangkap (Double Wresttle) sebagai satu istilah teologis mula-mula digunakan oleh H. Richard Niebuhr dalam bukunya ”Christ and Culture” sebagaimana dikutip oleh P. Yoseph Suban  dalam: Kuliah Teologi Asia, STFK Ledalero 1999, hal. 18-19 untuk menunjukkan “pergumulan yang dijalani Gereja dengan Tuhannya dan dengan masyarakat budaya, tempat dia bersimbiose”. Bdk. H. Richard Niebuhr, Christ and Culture, New York: Harper and Row, 1951, hal. xi
[21] Yoseph Suban, Ibid., hal. 20-22.
[22] Di satu pihak ada sisi positif, di lain pihak ada sisi negatif. Sisi negatif dijelaskan pada bagian berikutnya. Kedua kenyataan ini dihadapkan satu sama lain sebagai dua sisi mata uang dalam realitas umat KAE, tetapi penjelasannya berlanjut ke bagianbeikut: “assertion”.
[23] Arti Positif dalam perspektif kami ialah mempunyai nilai daya membangun.
[24] Dengan menyatakan demikian, kami tidak menafikan interpretasi lain terhadap peristiwa itu. Kami hanya membaca sesuai dengan konteks pembahasan dan perspektif kami.
[25] Hubert Thomas Hasulie, “Masyarakat Nusa Tenggara Dalam Tantangan Zaman”, Op. Cit., hal. 184.
[26] Richard Niebuhr mencatat lima sikap terhadap produk budaya: sikap radikal, sikap akomodatif, sikap sintetik, skap dualistic dan sikap transformatif. Sikap realistis-kritis, menurut hemat kami bisa memadukan beberapa sikap yang dikemukan Richard Niebuhr. Bdk. Emanuel Gerrit Singgih, Berteologi dalam Konteks: Pemikiran-pemikiran Mengenai Kontekstualisasi Teologi di Indonesia, Yogyakarta: Kanisius, 2000, hal. 36-40.
[27] Delsos atau PSE adalah Komisi yang bertanggungjawab dalam menganalisa pengembangan sosial-ekonomi umat. Mereka cukup memiliki perhatian untuk membantu umat yang tidak mampu dengan berbagai strategi yang mereka miliki.
[28] Bdk. Yosef Maria Florisan (penterj.) Op. Cit., hal. 281-248.
[29] Di Kevikepan Maumere (sekarang termasuk wilayah Keuskupan Maumere), Upacara Penerimaan Komunio Pertama (Sambut Baru) dijalankan serentak di semua paroki pada hari yang sama. Alasan yang dikemukakan di balik kebijaksanaan itu ialah supaya umat tidak membuat banyak pesta dengan menundanya ke hari yang lain. Pemikiran di balik pernyataan ini ialah pesta dilihat sebagai moment pemborosan. Tetapi bila dibandingkan dengan pesta tahbisan seorang Imam, mungkin memenuhi biaya untuk pesta Sambut Baru seluruh anak di Kevikepan ini pada hari yang sama.

No comments:

Post a Comment