Kanisius Teobaldus
Deki
1. Pengantar
Bagaimana sebuah teks diberi penilaian tatkala teks itu
menimbulkan kekisruhan? Dapatkah kita membuat sebuah justifikasi atas peristiwa
tertentu yang disajikan teks jika teks tersebut mempunyai tujuan tertentu yang
khas, unik dan tersembunyi? Atas teks yang demikian, apa yang hendak dikatakan
jika terbukti ia hanya memperkeruh suasana? Apa itu kebenaran yang disajikan
teks, jika ternyata ia tidak memberikan kontribusi yang menciptakan keadilan?
Bagaimana menafsir teks yang demikian? Itu sederetan pertanyaan yang muncul dalam
benak banyak orang terhadap sebuah buku yang dinilai kontroversial dan penuh
muatan politis karangan Mayjen (Purn) Kivlan Zen, Msi yang berjudul “Konflik
dan Integrasi TNI AD”.[1]
Buku ini berisi beberapa peristiwa dan penilaian atasnya berdasarkan pengamatan
dan pengalaman Kivlan Zen sebagai prajurit TNI AD.
Kesan yang kuat tercipta tatkala saya membaca informasi
tentang buku ini ialah diungkapkannya secara agak tuntas dan lugas carut marut
wajah TNI akibat kebijakan perwira tinggi TNI di zaman Orde Baru berkuasa
hingga bola api Reformasi digulirkan. Muara akhir dari buku ini berkesimpulan
bahwa sejak L.B. Moerdani berkuasa di kursi singga sana militer hingga Wiranto
konflik berdarah yang terus terjadi di Tanah Air juga disebabkan oleh
pergulatan politis para perwira tinggi untuk merebut kekuasaan atau paling
kurang mendapat jatah remah-remah kekuasaan. Bahkan kasus yang agak aktual
seperti kerusuhan Mei 1998 dan pembentukkan Pam Swakarsa [Pasukan Pengaman
Swakarsa] yang mengamankan Sidang Istimewa MPR/DPR pada Mei 1998 berada dalam
koridor yang sama. Terlibatnya Wiranto dalam pelbagai kasus berdarah
menimbulkan persoalan politis, khususnya berdampak langsung pada usahanya untuk
menjadi presiden RI untuk masa jabatan lima tahun ke depan.[2]
Ada sebuah pertanyaan yang tersembul keluar dari kenyataan ini: “Apa maksud
Kivlan menulis sebuah buku yang justru menyudutkan Wiranto yang berada di
tengah tekanan kelompok yang menolak calon presiden dari militer?”
Tentu terdapat banyak jawaban yang bisa diberikan, yang
terlahir dari usaha hermeneutis ketika orang membuat suatu penafsiran atas teks
tertentu. Tulisan ini mengedepankan hermeneutika Paul Ricoeur, seorang filsuf
Prancis dan tidak bermaksud menjelaskan kasus yang diungkapkan di atas secara
langsung. Ia hanya dipakai sebagai pengantar untuk memperlihatkan betapa
penting sebuah penafsiran ketika kenyataan membutuhkan jawaban yang jelas dan
tuntas. Tulisan ini dibagi dalam lima bagian: Pengantar, Siapakah Paul Ricoeur,
Pemikiran Hermeneutis Paul Ricoeur, Catatan Reflektif-Kritis dan Kesimpulan.
2. Siapakah
Paul Ricoeur[3]
2.1.Riwayat
Hidupnya
Paul Ricoeur dilahirkan di Valance, Prancis Selatan, tahun
1913 dan menjadi yatim piatu dua tahun kemudian. Ia berasal dari keluarga
Kristen Protestan yang saleh dan dianggap sebagai seorang cendekiawan Protestan
yang terkemuka di Prancis. Ia dibesarkan di Rennes. Di Lycee untuk pertama
kalinya ia berkenalan dengan filsafat melalui R. Dalbiez, seorang filsuf
berhaluan thomistis yang terkenal karena dialah salah seorang Kristen pertama
yang mengadakan studi besar tentang psikoanalisa Freud [1936]. Ia memperoleh licence
de philosophie pada tahun 1933, lalu mendaftarkan diri di universitas
Sorbone Paris guna mempersiapkan diri untuk agregation de philosophie
yang diperolehnya tahun 1935. Di Paris ia berkenalan dengan Gabriel Marcel yang
akan mempengarugi pemikirannya secara mendalam. Ia pernah mengikuti wajib
militer [1937-1939] dan bekerja di dinas militer Prancis hingga ditahan di
Jerman sampai perang berakhir [1945]. Usai perang ia bekerja sebagai dosen pada
College Cevenol. Tahun 1948 ia menggantikan Jean Hypolite sebagai Profesor
Filsafat di Universitas Strasbourg. Tahun 1950 ia meraih gelar docteur es
letteres.
Sejak tahun 1966 ia bekerja pada Universitas Sorbone yang
mengembangkan sayapnya di Nanterre. Di sana ia mendukung harapan mahasiswa
untuk membuat pembaharuan radikal terhadap sistem universiter dengan segala
aspeknya, sambil tentu tidak menghalalkan segala cara kekerasan. Di tengah
kerusuhan di Nantere, profesor Sastra mengundurkan diri dan Ricoeur dibujuk
untuk menjadi penggantinya, meskipun ia bertahan hanya setahun [Maret
1969-Maret 1970]. Ketika kerusuhan mengarah ke tindak kekerasan ia mengalami
sakit jantung dan meminta untuk mundur dari jabatan itu. Sejak saat itu itu ia
mengajar sebagai profesor tamu di Universitas Leuven, Belgia dan sejak tahun
1973 mengajar lagi di Nanterre [sekarang disebut Universitas Paris X]. Ia
kemudian menjadi direktur pada Centre d’etudes phenomenologiques et
hermeneutiques-Pusat Studi Fenomenologi dan Hermeneutika. Ia kemudian
menaruh perhatian pada masalah filsafat bahasa dan hermeneutika.
2.2.Karya-Karyanya
Pada waktu mobilisasi ia masuk lagi ketentaraan Prancis dan
dijadikan tahanan perang sampai akhir perang [1945] bersama sahabat sesama
tahanan ia menulis buku Karl Jasper et la philosophie de l’existence -
Karl Jasper dan Filsafat Eksistensi [1947] dan pada tahun yang sama diterbitkan
bukunya Gabriel Marcel et Karl Jaspers - Gabriel Marcel dan Karl
Jaspers, sebuah studi tentang perbandingan antara dua tokoh eksistensialisme
yang menarik banyak perhatian waktu itu. Ia lalu menulis Philosophie de la
volonte-Filsafat Kehendak yang diberi anak judul Le volontaire et
l’involonaire-Yang Dikehendaki dan Yang Tidak Dikehendaki [1950]. Atas
berbagai usaha dan pemikirannya dalam bidang teologi, ia diberi anugerah doktor
teologi honoris causa oleh Universitas Nijmegen, Belanda [1968]. Ia juga
menulis di majalah Esprit dan majalah Christianisme social dan
beberapa karangan tentang masalah sosial politiknya dikumpulkan dalam buku Historie
et verite-Sejarah dan Kebenaran [1955, yang diperluas tahun 1964]. Pada
tahun 1960 ia mempublikasikan jilid II dari Philosophie de la volonte-
dengan anak judul Finitude et culpabilitye - Keberhinggaan dan
kebersalahan. Ceramah - ceramahnya yang ia berikan di Yale University [AS,
1961], Universitas Leuven [Belgia, 1961], dikembangkan menjadi karya besar De
l’interpretation. Essai sur Freud [1965]. Pada tahun 1975, ia menulis
sebuah buku tebal yang membawa delapan studi tentang metafora dengan judul La
metaphora vive - Metafora yang hidup.
3. Pemikiran
Hermeneutis Paul Ricoeur
3.1.Latar
Belakang Pemikiran Tentang Hermeneutik
Setiap kali kita berusaha untuk memahami pemikiran filsafat
Ricoeur, terdapat perspektif filsafat yang beralih dari analisis eksistensial
menuju analitis eidetik [pengamatan yang demikian mendetail], fenomenologis,
historis, hermeneutis dan bermuara pada semantic]. Meskipun ada begitu banyak
perubahan, satu kenyataan yang sulit dipungkiri ialah bahwa keseluruhan
filsafat Ricoeur pada akhirnya terarah kepada hermeneutik, khususnya
interpretasi. Ia menegaskan hal itu dengan mengatakan bahwa pada dasarnya
keseluruhan filsafat itu adalah interpretasi atas interpretasi. Sambil mengutip
Nietzche ia memperluas pandangannya dengan mengatakan bahwa hidup itu sendiri
adalah interpretasi.[4]
Bila pada akhirnya terdapat kejamakan makna, maka di situ interpretasi
dibutuhkan. Apalagi kalau simbol-simbol dilibatkan, interpretasi menjadi tak
terelakkan, sebab makna memiliki pluralitas lapisan. Ia mengatakan juga bahwa
filsafat pada dasarnya adalah sebuah hermeneutik yakni kupasan tentang makna
yang tersembunyi dalam teks yang kelihatan mengandung makna.[5]
Setiap interpretasi adalah usaha untuk memperlihatkan makna-makna yang masih
terselubung atau usaha menyingkapkan makna yang terkandung dalam kesusastraan.[6]
Di sini peran bahasa, khususnya kata-kata sebagai simbol
mendapat arti yang sangat penting dalam usaha penyingkapan makna itu.
Hermeneutik lalu menjadi sebuah sistem [tata bahasa] dan diskursus [sintaksis]
dalamnya usaha mengais makna adalah aktivitas yang melibatkan teks: entah
tertulis maupun kehidupan manusia itu sendiri. Sebab bagi Ricoeur, hermeneutika
bertujuan menghilangkan misteri yang terdapat dalam simbol dengan cara membuka
selubung daya-daya yang belum diketahui dan tersembunyi dalam simbol-simbol
tersebut.[7]
Dan makna bagi Ricoeur mempunyai dimensi dasar yang ganda: dimensi objektif,
yakni apa yang dimaksudkan oleh kalimat, dan dimensi subjektif, yakni apa yang
dimaksudkan oleh pembicara atau penulis.[8]
3.2.Usaha
Hermeneutis: Distansiasi Teks dan Pembaca
Dalam pembahasannya Ricoeur menaruh perhatian kepada teks
sebagai sebuah inskripsi dari aktivitas diskursus. Alasannya adalah untuk
mengembangkan sebuah pandangan filosofis yang tepat agar orang dapat
menggunakan naskah-naskah peninggalan peradaban secara maksimal. Meskipun ada
keraguan tentang teks tertulis yang muncul dari pemikir-pemikir besar seperti
Plato, Rosseau dan Bergson, Ricoeur mengarahkan perhatiannya pada teks tertulis
bukan karena teks dianggapnya sebagai satu-satunya bentuk komunikasi yang
benar, melainkan karena kemungkinan yang ada pada teks untuk dipakai sebagai
sarana pendidikan yang terus-menerus, sebagai bentuk dokumentasi.
Menurut Ricoeur, teks adalah diskursus tertulis, atau
penulisan sebuah karya dalam diskursus. Teks adalah satu mata rantai pada
komunikasi. Pada mulanya ada pengalaman eksistensial yang dibuat. Pengalaman
ini ditransformasikan ke dalam bahasa, yakni diskursus. Terdapat dua bentuk
diskursus, yakni lisan dan tertulis. Teks dihidupkan melalui berbagai pembicaraan.
Membaca dan menceritakan kembali adalah cara-cara untuk menghidupkan kembali
sebuah teks. Jika kita mengatakan bahwa teks adalah sebuah aktivitas, maka
sebenarnya kita mau mengatakan bahwa sebuah teks adalah satu totalitas yang
tidak dapat dikembalikan kepada kalimat-kalimat yang membentuknya.
Sebuah teks sebenarnya berbicara
tentang dunia, bukan tentang lingkungan sekitar dari penulis. Dunia yang
menjadi referensi ada di depan teks, dan bukan di belakang teks. Karena itu,
Ricoeur menganjurkan kepada setiap pembaca untuk mengarahkan perhatian kepada
sesuatu di depan teks. Maksudnya: setiap pembaca mesti membiarkan dirinya untuk
dibawa oleh teks ke depan. Teks membuka pikiran dan perasaan pembaca untuk
sesuatu yang ada di depan. Dunia diproyeksikan dalam teks. Apa yang terungkap
dalam teks adalah satu percikan dari dunia tersebut.
Makna teks ada di depan teks, bukan di balik teks. Makna
teks bukanlah sesuatu yang tersembunyi, tetapi sesuatu yang terbuka, terungkap.
Pemahaman teks tidak banyak dipengaruhi oleh pengarang dan situasinya.
Pemahaman berarti usaha mencari dan mendalami arti dunia sebagaimana terungkap
dalam teks. Dengan kata lain, memahami sebuah teks berarti mengikuti gerak dari
arti kepada referensi.
Memahami teks tidak berarti mengulangi peristiwa pembicaraan
dalam satu peristiwa serupa. Memahami adalah upaya untuk menghasilkan sebuah
peristiwa baru berdasarkan tujuan yang
telah disampaikan dalam tulisan itu sendiri. Bagi Ricoeur, segala sesuatu yang
ada sekarang bersifat fragmentaris, tidak pernah mengungkapkan kebenaran secara
menyeluruh. Dunia yang sebenarnya ada di depan kita. Tujuan yang paripurna
tidak pernah dapat kita capai di dalam kondisi manusiawi kita. Dengan ini
Ricoeur menanamkan sebuah harapan dan mendobrak setiap pintu ideologisasi.
Proses penafsiran bermula dengan penerkaan. Kita menerka
makna sebuah teks sebelum kita memahaminya secara mendalam. Kita menerka
berdasarkan kondisi subyektif kita. Ricoeur menerapkan kerangka berpikirnya
tentang teks pada sebuah tindakan. Tindakan manusia itu serupa teks yang ada di
depan seorang pembaca yang membutuhkan penafsiran.
Ricoeur merangkai kekhasan ini dalam pengertian distansiasi.
Terdapat empat jenis distansiasi dari sebuah teks, yakni: Pertama, distansiasi
dari peristiwa mana sesuatu itu ditulis oleh makna tentangnya sesuatu itu
ditulis. Yang terungkap di dalam sebuah tulisan adalah makna, bukannya suasana.
Kedua, distansiasi antara apa yang tertulis dengan penulisnya. Sebuah
teks akan segera terlepas dari penulisnya. Teks dibaca untuk orang lain. Ketiga,
distansiasi dari pembaca awal. Di dalam sebuah pembicaraan pendengar adalah
kelompok tertentu. Apa yang dibicarakan kemudian diteruskan kepada pihak lain.
Bisa jadi bahannya semakin meluas dan berkembang. Dan keempat,
distansiasi dari referensi awal. Referensi awal adalah hal, kepadanya sebuah
makna dirujuk atau tepatnya sesuatu, tentangnya sebuah tulisan berbicara.
Distansiasi-distansiasi ini merupakan “jembatan” yang menghubungkan teks dan
makna yang terkandung di dalamnya dengan pembaca yang ingin mengetahui makna
itu.
4. Catatan
Reflektif-Kritis atas Hermeneutika Ricoeur
4.1.Posisi
“Teks Aktual”[9]
dan Interpretasi Atasnya
Harus diakui bahwa pemikiran Ricoeur tentang teks dan usaha
distansiasi demi suatu pembacaan kembali untuk menggapai makna yang terkandung
di dalamnya sangat penting. Dari Ricoeur kita menjadi sadar bahwa sebuah teks
akan selalu aktual bila kita berusaha untuk membuat sebuah tafsiran kreatif
yang mengindahkan jarak-jarak tertentu sehingga makna apa yang dihasilkan bukan
hanya merupakan penemuan yang mewakili interese pribadi melainkan sungguh apa
yang menjadi isi teks.
Hal tersebut di atas menjadi benar kalau seandainya teks itu
berasal dari zaman lampau di mana yang menulis telah tiada karena dengan
demikian kita tidak mempunyai referensi langsung lagi selain teks yang ada.
Tetapi ketika kita diperhadapkan dengan teks aktual yang perlu ditafsir dan
penulis yang menghasilkan teks itu masih ada, bukankah kita masih memiliki
akses untuk menanyakan langsung apa yang telah disampaikannya lewat karya
tulisnya [bila ada hal yang perlu diklarifikasi, misalnya]? Sebuah contoh
aktual. Kivlan Zen menulis buku yang menurut banyak pihak merupakan “aksi
buka-bukaan” tentang rahasia intern korps ABRI, khususnya keterlibatan Wiranto
dalam kasus-kasus berdarah di negeri Indonesia ini. Buku itu [isi dengan maksud
tertentu] di satu sisi, serta kehidupan manusia Indonesia [khususnya Wiranto
dan para petinggi ABRI yang lain] di sisi lain adalah teks yang padanya kita
akan membuat penafsiran untuk menemukan makna atau arti dari teks itu.
Kisah-kisah yang tertera dalam teks [buku dan kehidupan manusia Indonesia pada
saat itu, ruang lingkup buku itu] memberikan sebuah pembacaan atas situasi dan
serentak penilaian atasnya. Penilaian Kivlan berdasarkan hasil pembacaannya
adalah salah satu bentuk penafsiran atas satu teks yang mahaluas yang terbuka
untuk bentuk penafsiran lainnya. Jika Kivlan memberikan interpretasinya, dan
ada juga pihak lain yang membuat interpretasi atas teks [pihak Wiranto, misalnya],
maka belum tentu penafsiran mereka akan sama karena terkait kepentingan
tertentu sebagai “zits im leben” setiap penulisan.
Pertanyaannya, “bagaimana kita bisa menghasilkan sebuah
interpretasi yang benar?” Ricoeur, sejauh yang saya tangkap tidak membicarakan
tentang “teks aktual” [yang penulisnya atau penyaksi sejarahnya masih hidup]
dalam hermeneutikanya. Karena itu peran seorang hermeneut sangat besar dalam
arti kemandiriannya sangat ditantang. Tetapi berhadapan dengan teks yang
penulisnya masih ada, satu-satunya jalan untuk mengetahui “kebenaran” yang
terkandung dalam setiap teks yang hasil interpretasinya berbeda ialah membuat
pengujian dan pembuktian langsung dengan menghadirkan bukti-bukti dan
saksi-saksi yang akan mendukung setiap argumentasi yang benar. Jika ia sanggup
membuat pembelaan atas apa yang ditulisnya maka ia menyajikan itu atas
kebenaran [dalam arti sempit: fakta berdasarkan data]. Tanpa itu setiap teks
yang dibuat dan interpretasi yang keluar adalah usaha untuk memenangkan
kepentingan ideologis tertentu, hal mana yang ingin didobrak oleh Ricoeur. Jika
hal itu yang terjadi maka pernyataan Ricoeur tentang aktivitas menafsir sebagai
tindakkan yang bermakna eksistensial menjadi nirmakna. Padahal menurut saya,
kebenaran dan usaha menafsir merupakan tuntutan hakikat manusia sebagai ens
rationale untuk mengais makna atas teks [karya tulis dan kehidupan] yang
mahaluas.
4.2.Teks,
Interpretasi dan Kaitan [maknanya] dengan Masa Depan
Dengan memberi tekanan
bahwa teks berbicara tentang dunia, Ricoeur mengabaikan penulis dan situasi
lingkungan dari penulis bersangkutan. Bagi Ricoeur, membaca sebuah teks berarti
membiarkan diri kita dibawa oleh teks ke depan. Dengan itu, Ricoeur mengabaikan
semua peristiwa yang melingkupi terbentuknya teks tersebut. Seorang penulis
dalam tulisannya selalu memberi tekanan pada situasi yang dihadapinya. Dengan
itu, penulis menghendaki agar setiap pembaca bisa mencermati situasi yang ada
lewat tulisan tersebut. Benar bahwa setiap penulis dalam tulisannya memberi
suatu visi ke depan buat pembaca, akan tetapi visi yang ditampilkan oleh
penulis tersebut berangkat dari latar belakang tulisannya. Visi yang ditawarkan
dalam tulisannya tidak terlepas dari apa yang penulis hadapi. Maksudnya, visi
yang ada berpijak pada pengalaman penulis sendiri.
Dengan memberi tekanan pada
sesuatu yang ada di depan teks, Ricoeur mengabaikan dan bahkan meniadakan makna
yang ada dibalik teks tersebut. Padahal sebuah teks menyembunyikan sesuatu buat
pembacanya. Ada makna yang tersembunyi di balik lahirnya teks. Lewat teks,
penulis ingin mengungkapkan sesuatu yang terjadi dengan dirinya atau dengan
lingkungan yang mengitarinya. Kita ambil contoh Kitab Suci. Untuk mengerti dan
mengambil makna yang ditunjukan oleh sebuah teks Kitab Suci seseorang juga mesti
mengenal latar belakang [sitz im leben] terbentuknya teks Kitab Suci
tersebut. Jadi sebuah teks selain mengungkapkan suatu maksud bagi setiap
pembaca, dia juga menyembunyikan suatu makna yang tersembunyi, atau tersirat.
Ricoeur mengatakan bahwa
tindakan manusia serupa dengan teks. Dengan itu setiap tindakan manusia mesti
diberi penafsiran. Sedangkan penafsiran bagi Ricoeur adalah sesuatu yang ada di
depan. Tindakan manusia menunjukkan sesuatu makna ke depan. Pada hal tidak
semua tindakan manusia memberi makna ke depan. Karena tindakan manusia juga
terlahir dari situasi yang melingkupi batinnya. Jadi, tindakan seseorang tidak
terlepas dari pengaruh lingkungan dan dirinya sendiri. Ada sesuatu yang
tesembunyi di balik tindakan seseorang.
4.3.Sumbangan
Pemikiran Hermeneutis Ricoeur Bagi Refleksi Moral Masa Kini
Kita sudah bicara tentang hermeneutika Paul Ricoeur dalam
konteks sebuah upaya distansiasi antara teks dan pembaca. Ricoeur menerapkan
kerangka berpikirnya tentang teks pada sebuah tindakan. Yang membutuhkan
interpretasi bukan hanya bahasa yang dibicarakan atau ditulis, tetapi juga
tindakan manusia. Tindakan manusia itu serupa teks yang ada di depan seorang
pembaca yang membutuhkan penafsiran. Pertanyaan yang perlu diajukan: “Apa
hubungan hermeneutik Ricoeur dengan refleksi moral masa kini?” Saya berpikir
bahwa hermeneutik berpengaruh luas dalam refleksi antropologis yang menandai
dunia kultural kita dengan keterbukaan luas terhadap ilmu-ilmu budaya, namun
tetap dalam usaha untuk membawa kembali kepadanya arti terdalam pada tingkat
religius-edukatif.
Minat-minat eksistensial seringkali saling beradu dengan
minat-minat antropologi dari yang dalam itu dan terbuka pada harapan-harapan
religius. Dan justru dalam konteks budaya dan konteks hidup inilah refleksi
hermeneutis Ricoeur penting. Manusia masa kini, dalam terang hermeneutik
Ricoeur, sangat dibebani oleh pemikiran tentang kondisinya, yang terbuka
terhadap setiap penelitian modern, namun tetap sadar akan batas-batas ilmu
pengetahuan di hadapan tema-tema dasar tentang hidup: rasa sakit, rasa salah,
keselamatan.[10]
Ilmu pengetahuan modern bertumpu pada data-data objektif dan
formal karenanya ia cenderung bersifat reduktif dan tertutup. Karena itu
dibutuhkan penafsiran untuk mengatasi data-data itu dan menemukan arti terakhir
dari data-data itu. Penafsiran mengatasi reduksi dan mengantar kepada
kedalaman. Dalam lingkup moral-edukatif masa kini sumbangan hermeneutik sangat
berarti. Prinsip-prinsip dan nilai-nilai umumnya tidak dipahami dalam sistem
yang tertutup yang mengajukan satu model formal untuk ditiru, melainkan dicerap
dalam refleksi atas data-data dalam terang tuntutan akan arti dan makna.
Wacana moral dengan ini memastikan diri sebagai wacana
hermeneutis dan seluruh hidup dipahami sebagai satu aktivitas penafsiran. Itu
merupakan pengungkapan perhatian utama filsafat masa kini dalam istilah-istilah
moral-edukatif, yaitu perhatian terhadap bahasa. Bahasa adalah aktivitas yang
memungkinkan kita melepaskan diri dari aliran fakta-fakta yang mengungkapkan
dan mengkomunikasikannya, dalam arti menafsirkannya, dengan maksud untuk
menemukan arti dan maknanya bagi hidup kita. Penafsiran bertujuan untuk menangkap
arti terdalam dari tindakan etis manusia. Penafsiran ini penting untuk masa
kini mengingat situasi konkret di mana hidup moral senantiasa berubah.
Satu sikap umum dari revisi radikal atas model-model
tradisional membawa kepada penolakan di satu pihak dan kepada penafsiran yang
selalu baru di pihak lain. Penegasan, penolakan, penafsiran menandai pelbagai
intervensi dalam bidang moral yang ungkapkan kesadaran mendalam terhadap hidup
masa kini. Kesadaran ini tidak univok, berdasarkan kenyataan dari sifat-sifat
mencolok dalam pluralitas persoalan-persoalan etis yang dihadapi.
Kita membuat analisis atas situasi konkret dan bukan
mengajukan proposisi-proposisi. Jika analisis itu menawarkan unsur tertentu
untuk ditafsirkan berdasarkan prinsip “seharusnya ada”, maka dapat dikatakan
bahwa kita bisa menangkap dalam konteks refleksi moral atau etis masa kini satu
“perjuangan hidup untuk menemukan arti”.
Pemikiran sebagai penafsiran, yaitu pemikiran yang terlibat
bertujuan untuk menangkap arti dan makna terdalam dari hidup manusia.
Penafsiran ini berkaitan dengan penegasan arti hidup dengan menghadapkannya
dengan arti transenden. Dalam perspektif itu pemikiran yang menafsirkan berpadu
dengan tindakan penyaksian: penafsiran dan kesaksian merujuk pada suatu
realitas yang sama, yaitu menampakkan arti terdalam makna dari hidup manusia.
5. Kesimpulan
Paul Ricoeur menyajikan kepada kita suatu bentuk penafsiran
yang kritis atas teks demi memahami makna apa yang terkandung di dalamnya.
Usaha menyingkapkan makna itulah yang disebut sebagai proses menafsir. Supaya
penafsiran kita memiliki hasil yang obyektif [meskipun melibatkan subyek
sehingga ia juga bersifat subyektif] maka perlu ada distansiasi. Ricoeur sadar
bahwa tidak setiap teks dengan sendirinya menyajikan sesuatu yang bermakna bagi
para pembacanya. Juga sebuah teks tidak pernah bebas dari
kepentingan-kepentingan tertentu, khususnya ideologi. Sejalan dengan Habermas
yang menyatakan perlunya kritik terhadap ideologi, Ricoeur menerapkan
hermeneutika kecurigaan. Ini adalah satu bentuk sikap kritis yang merupakan
bagian yang tak terpisahkan dari hermeneutikanya.
Meskipun hermeneutika Ricoeur mempresentasikan kepada kita
secara gamblang tentang upaya distansiasi sebagai jalan untuk membuat teks
“berbicara” kepada pembaca secara bermakna, namun ia tidak menyinggung soal
bagaimana membuat penafsiran atas “teks aktual” dan bagaimana menemukan makna
terdalam atasnya khususnya ketika kebenaran yang disampaikan teks
dipertanyakan. Karena itu, selain membuat penafsiran atas apa yang dinyatakan
teks melalui tulisan, kita juga bisa terlibat dalam diskusi langsung dengan
penulisnya untuk membuat klarifikasi atas hal itu jika memang diperlukan atau membutuhkan
kejelasan. Karena itu, “teks aktual” selalu terbuka untuk interpretasi dan
itulah sebabnya ia tidak pernah menjadi final.
Referensi:
Bertens. Kees, Filsafat Barat Abad XX Jilid II
Prancis. Jakarta: Gramedia, 1985.
Budi Kleden. Paulus, Hermeneutika Peran
Interpretasi Dalam Penataan Sebuah Teologi
Kontekstual-Bahan Kuliah
Hermenuetika. STFK Ledalero,
2002.
Ceunfin. Fransiskus, Etika Umum-Bahan Kuliah,
STFK Ledalero, 2002.
Sumaryono. E., Hermeneutika Sebuah Metode
Filsafat, Yogyakarta: Kanisius, 1993.
Zen. Kivlan, Konflik dan Integrasi TNI AD,
Jakarta: Institute for Policy Studies, 2004.
Majalah MingguanTempo, Edisi: 21-27 Juli
2004
Montefiore, Philosophy in France Today.
Canbridge University Press, 1983.
Ricoeur. Paul, The
Conflic of Interpretations. Evanston: Northwestern Univer. Press, 1970.
(Dipublikasikan pertama oleh: Jurnal Missio, edisi 2005).
[1] Mayjen (Purn) Kivlan Zen, Msi, Konflik dan
Integrasi TNI AD, Jakarta: Institute for Policy Studies, 2004.
[2] Informasi tentang hal ini disajikan majalah Tempo,
27 Juni 2004 dalam artikel-artikel berikut: “Satu Buku dan Aib Serdadu”,
“Sebuah Buku dan Aib Serdadu”, “Sekutu Lalu Seteru”, “Kelompok Komando Masjid”,
“Serial Konflik Elite”, hal. 25, 28-39.
[3] Bdk. Kees Bertens, Filsafat Barat Abad XX Jilid II
Prancis, Jakarta: Gramedia, 1985, hal. 138-142.
[4] Bdk. Paul Ricoeur,
The Conflic of Interpretations, Evanston: Northwestern Univer.
Press, 1970, hal. 12.
[5] Ibid, p. 22.
[6] E. Sumaryono, Hermeneutik Sebuah Metode Filsafat,
Yogyakarta: Kanisius, 1993, hal. 98.
[7] Montefiore, Philosophy in France Today,
Canbridge Univer. Press, 1983, hal. 192.
[8] Paulus Budi Kleden SVD, “Hermeneutika, Peran
Interpretasi Dalam Penataan Sebuah Teologi Kontekstual”- Bahan Kuliah Hermenuetik,
Maumere: STFK Ledalero, 2003, hal. 29.
[9] Saya memaksudkan “Teks Aktual” sebagai teks yang
dihasilkan [khususnya oleh seseorang] yang penulisnya masih hidup sehingga kita
dapat meminta pertanggungjawabannya apabila ingin membuat klarifikasi atas apa
yang telah ia tulis.
[10] Fransiskus
Ceunfin, “Etika Umum”-Bahan Kuliah, Maumere: STFK Ledalero, 2002,
hal. 23-26.
No comments:
Post a Comment