Monday, 25 April 2016

HERMENEUTIKA PAUL RICOEUR Upaya Distansiasi Teks dan Pembaca-Sebuah Diskursus Reflektif-Kritis




Kanisius Teobaldus Deki 



1.      Pengantar
Bagaimana sebuah teks diberi penilaian tatkala teks itu menimbulkan kekisruhan? Dapatkah kita membuat sebuah justifikasi atas peristiwa tertentu yang disajikan teks jika teks tersebut mempunyai tujuan tertentu yang khas, unik dan tersembunyi? Atas teks yang demikian, apa yang hendak dikatakan jika terbukti ia hanya memperkeruh suasana? Apa itu kebenaran yang disajikan teks, jika ternyata ia tidak memberikan kontribusi yang menciptakan keadilan? Bagaimana menafsir teks yang demikian? Itu sederetan pertanyaan yang muncul dalam benak banyak orang terhadap sebuah buku yang dinilai kontroversial dan penuh muatan politis karangan Mayjen (Purn) Kivlan Zen, Msi yang berjudul “Konflik dan Integrasi TNI AD”.[1] Buku ini berisi beberapa peristiwa dan penilaian atasnya berdasarkan pengamatan dan pengalaman Kivlan Zen sebagai prajurit TNI AD.
Kesan yang kuat tercipta tatkala saya membaca informasi tentang buku ini ialah diungkapkannya secara agak tuntas dan lugas carut marut wajah TNI akibat kebijakan perwira tinggi TNI di zaman Orde Baru berkuasa hingga bola api Reformasi digulirkan. Muara akhir dari buku ini berkesimpulan bahwa sejak L.B. Moerdani berkuasa di kursi singga sana militer hingga Wiranto konflik berdarah yang terus terjadi di Tanah Air juga disebabkan oleh pergulatan politis para perwira tinggi untuk merebut kekuasaan atau paling kurang mendapat jatah remah-remah kekuasaan. Bahkan kasus yang agak aktual seperti kerusuhan Mei 1998 dan pembentukkan Pam Swakarsa [Pasukan Pengaman Swakarsa] yang mengamankan Sidang Istimewa MPR/DPR pada Mei 1998 berada dalam koridor yang sama. Terlibatnya Wiranto dalam pelbagai kasus berdarah menimbulkan persoalan politis, khususnya berdampak langsung pada usahanya untuk menjadi presiden RI untuk masa jabatan lima tahun ke depan.[2] Ada sebuah pertanyaan yang tersembul keluar dari kenyataan ini: “Apa maksud Kivlan menulis sebuah buku yang justru menyudutkan Wiranto yang berada di tengah tekanan kelompok yang menolak calon presiden dari militer?”
Tentu terdapat banyak jawaban yang bisa diberikan, yang terlahir dari usaha hermeneutis ketika orang membuat suatu penafsiran atas teks tertentu. Tulisan ini mengedepankan hermeneutika Paul Ricoeur, seorang filsuf Prancis dan tidak bermaksud menjelaskan kasus yang diungkapkan di atas secara langsung. Ia hanya dipakai sebagai pengantar untuk memperlihatkan betapa penting sebuah penafsiran ketika kenyataan membutuhkan jawaban yang jelas dan tuntas. Tulisan ini dibagi dalam lima bagian: Pengantar, Siapakah Paul Ricoeur, Pemikiran Hermeneutis Paul Ricoeur, Catatan Reflektif-Kritis dan Kesimpulan.


2.      Siapakah Paul Ricoeur[3]
2.1.Riwayat Hidupnya
Paul Ricoeur dilahirkan di Valance, Prancis Selatan, tahun 1913 dan menjadi yatim piatu dua tahun kemudian. Ia berasal dari keluarga Kristen Protestan yang saleh dan dianggap sebagai seorang cendekiawan Protestan yang terkemuka di Prancis. Ia dibesarkan di Rennes. Di Lycee untuk pertama kalinya ia berkenalan dengan filsafat melalui R. Dalbiez, seorang filsuf berhaluan thomistis yang terkenal karena dialah salah seorang Kristen pertama yang mengadakan studi besar tentang psikoanalisa Freud [1936]. Ia memperoleh licence de philosophie pada tahun 1933, lalu mendaftarkan diri di universitas Sorbone Paris guna mempersiapkan diri untuk agregation de philosophie yang diperolehnya tahun 1935. Di Paris ia berkenalan dengan Gabriel Marcel yang akan mempengarugi pemikirannya secara mendalam. Ia pernah mengikuti wajib militer [1937-1939] dan bekerja di dinas militer Prancis hingga ditahan di Jerman sampai perang berakhir [1945]. Usai perang ia bekerja sebagai dosen pada College Cevenol. Tahun 1948 ia menggantikan Jean Hypolite sebagai Profesor Filsafat di Universitas Strasbourg. Tahun 1950 ia meraih gelar docteur es letteres.
Sejak tahun 1966 ia bekerja pada Universitas Sorbone yang mengembangkan sayapnya di Nanterre. Di sana ia mendukung harapan mahasiswa untuk membuat pembaharuan radikal terhadap sistem universiter dengan segala aspeknya, sambil tentu tidak menghalalkan segala cara kekerasan. Di tengah kerusuhan di Nantere, profesor Sastra mengundurkan diri dan Ricoeur dibujuk untuk menjadi penggantinya, meskipun ia bertahan hanya setahun [Maret 1969-Maret 1970]. Ketika kerusuhan mengarah ke tindak kekerasan ia mengalami sakit jantung dan meminta untuk mundur dari jabatan itu. Sejak saat itu itu ia mengajar sebagai profesor tamu di Universitas Leuven, Belgia dan sejak tahun 1973 mengajar lagi di Nanterre [sekarang disebut Universitas Paris X]. Ia kemudian menjadi direktur pada Centre d’etudes phenomenologiques et hermeneutiques-Pusat Studi Fenomenologi dan Hermeneutika. Ia kemudian menaruh perhatian pada masalah filsafat bahasa dan hermeneutika.

2.2.Karya-Karyanya
Pada waktu mobilisasi ia masuk lagi ketentaraan Prancis dan dijadikan tahanan perang sampai akhir perang [1945] bersama sahabat sesama tahanan ia menulis buku Karl Jasper et la philosophie de l’existence - Karl Jasper dan Filsafat Eksistensi [1947] dan pada tahun yang sama diterbitkan bukunya Gabriel Marcel et Karl Jaspers - Gabriel Marcel dan Karl Jaspers, sebuah studi tentang perbandingan antara dua tokoh eksistensialisme yang menarik banyak perhatian waktu itu. Ia lalu menulis Philosophie de la volonte-Filsafat Kehendak yang diberi anak judul Le volontaire et l’involonaire-Yang Dikehendaki dan Yang Tidak Dikehendaki [1950]. Atas berbagai usaha dan pemikirannya dalam bidang teologi, ia diberi anugerah doktor teologi honoris causa oleh Universitas Nijmegen, Belanda [1968]. Ia juga menulis di majalah Esprit dan majalah Christianisme social dan beberapa karangan tentang masalah sosial politiknya dikumpulkan dalam buku Historie et verite-Sejarah dan Kebenaran [1955, yang diperluas tahun 1964]. Pada tahun 1960 ia mempublikasikan jilid II dari Philosophie de la volonte- dengan anak judul Finitude et culpabilitye - Keberhinggaan dan kebersalahan. Ceramah - ceramahnya yang ia berikan di Yale University [AS, 1961], Universitas Leuven [Belgia, 1961], dikembangkan menjadi karya besar De l’interpretation. Essai sur Freud [1965]. Pada tahun 1975, ia menulis sebuah buku tebal yang membawa delapan studi tentang metafora dengan judul La metaphora vive - Metafora yang hidup.

3.      Pemikiran Hermeneutis Paul Ricoeur
3.1.Latar Belakang Pemikiran Tentang Hermeneutik
Setiap kali kita berusaha untuk memahami pemikiran filsafat Ricoeur, terdapat perspektif filsafat yang beralih dari analisis eksistensial menuju analitis eidetik [pengamatan yang demikian mendetail], fenomenologis, historis, hermeneutis dan bermuara pada semantic]. Meskipun ada begitu banyak perubahan, satu kenyataan yang sulit dipungkiri ialah bahwa keseluruhan filsafat Ricoeur pada akhirnya terarah kepada hermeneutik, khususnya interpretasi. Ia menegaskan hal itu dengan mengatakan bahwa pada dasarnya keseluruhan filsafat itu adalah interpretasi atas interpretasi. Sambil mengutip Nietzche ia memperluas pandangannya dengan mengatakan bahwa hidup itu sendiri adalah interpretasi.[4] Bila pada akhirnya terdapat kejamakan makna, maka di situ interpretasi dibutuhkan. Apalagi kalau simbol-simbol dilibatkan, interpretasi menjadi tak terelakkan, sebab makna memiliki pluralitas lapisan. Ia mengatakan juga bahwa filsafat pada dasarnya adalah sebuah hermeneutik yakni kupasan tentang makna yang tersembunyi dalam teks yang kelihatan mengandung makna.[5] Setiap interpretasi adalah usaha untuk memperlihatkan makna-makna yang masih terselubung atau usaha menyingkapkan makna yang terkandung dalam kesusastraan.[6]
Di sini peran bahasa, khususnya kata-kata sebagai simbol mendapat arti yang sangat penting dalam usaha penyingkapan makna itu. Hermeneutik lalu menjadi sebuah sistem [tata bahasa] dan diskursus [sintaksis] dalamnya usaha mengais makna adalah aktivitas yang melibatkan teks: entah tertulis maupun kehidupan manusia itu sendiri. Sebab bagi Ricoeur, hermeneutika bertujuan menghilangkan misteri yang terdapat dalam simbol dengan cara membuka selubung daya-daya yang belum diketahui dan tersembunyi dalam simbol-simbol tersebut.[7] Dan makna bagi Ricoeur mempunyai dimensi dasar yang ganda: dimensi objektif, yakni apa yang dimaksudkan oleh kalimat, dan dimensi subjektif, yakni apa yang dimaksudkan oleh pembicara atau penulis.[8]

3.2.Usaha Hermeneutis: Distansiasi Teks dan Pembaca
Dalam pembahasannya Ricoeur menaruh perhatian kepada teks sebagai sebuah inskripsi dari aktivitas diskursus. Alasannya adalah untuk mengembangkan sebuah pandangan filosofis yang tepat agar orang dapat menggunakan naskah-naskah peninggalan peradaban secara maksimal. Meskipun ada keraguan tentang teks tertulis yang muncul dari pemikir-pemikir besar seperti Plato, Rosseau dan Bergson, Ricoeur mengarahkan perhatiannya pada teks tertulis bukan karena teks dianggapnya sebagai satu-satunya bentuk komunikasi yang benar, melainkan karena kemungkinan yang ada pada teks untuk dipakai sebagai sarana pendidikan yang terus-menerus, sebagai bentuk dokumentasi.
Menurut Ricoeur, teks adalah diskursus tertulis, atau penulisan sebuah karya dalam diskursus. Teks adalah satu mata rantai pada komunikasi. Pada mulanya ada pengalaman eksistensial yang dibuat. Pengalaman ini ditransformasikan ke dalam bahasa, yakni diskursus. Terdapat dua bentuk diskursus, yakni lisan dan tertulis. Teks dihidupkan melalui berbagai pembicaraan. Membaca dan menceritakan kembali adalah cara-cara untuk menghidupkan kembali sebuah teks. Jika kita mengatakan bahwa teks adalah sebuah aktivitas, maka sebenarnya kita mau mengatakan bahwa sebuah teks adalah satu totalitas yang tidak dapat dikembalikan kepada kalimat-kalimat yang membentuknya.
Sebuah teks sebenarnya berbicara tentang dunia, bukan tentang lingkungan sekitar dari penulis. Dunia yang menjadi referensi ada di depan teks, dan bukan di belakang teks. Karena itu, Ricoeur menganjurkan kepada setiap pembaca untuk mengarahkan perhatian kepada sesuatu di depan teks. Maksudnya: setiap pembaca mesti membiarkan dirinya untuk dibawa oleh teks ke depan. Teks membuka pikiran dan perasaan pembaca untuk sesuatu yang ada di depan. Dunia diproyeksikan dalam teks. Apa yang terungkap dalam teks adalah satu percikan dari dunia tersebut.
Makna teks ada di depan teks, bukan di balik teks. Makna teks bukanlah sesuatu yang tersembunyi, tetapi sesuatu yang terbuka, terungkap. Pemahaman teks tidak banyak dipengaruhi oleh pengarang dan situasinya. Pemahaman berarti usaha mencari dan mendalami arti dunia sebagaimana terungkap dalam teks. Dengan kata lain, memahami sebuah teks berarti mengikuti gerak dari arti kepada referensi.
Memahami teks tidak berarti mengulangi peristiwa pembicaraan dalam satu peristiwa serupa. Memahami adalah upaya untuk menghasilkan sebuah peristiwa baru berdasarkan tujuan  yang telah disampaikan dalam tulisan itu sendiri. Bagi Ricoeur, segala sesuatu yang ada sekarang bersifat fragmentaris, tidak pernah mengungkapkan kebenaran secara menyeluruh. Dunia yang sebenarnya ada di depan kita. Tujuan yang paripurna tidak pernah dapat kita capai di dalam kondisi manusiawi kita. Dengan ini Ricoeur menanamkan sebuah harapan dan mendobrak setiap pintu ideologisasi.
Proses penafsiran bermula dengan penerkaan. Kita menerka makna sebuah teks sebelum kita memahaminya secara mendalam. Kita menerka berdasarkan kondisi subyektif kita. Ricoeur menerapkan kerangka berpikirnya tentang teks pada sebuah tindakan. Tindakan manusia itu serupa teks yang ada di depan seorang pembaca yang membutuhkan penafsiran.
Ricoeur merangkai kekhasan ini dalam pengertian distansiasi. Terdapat empat jenis distansiasi dari sebuah teks, yakni: Pertama, distansiasi dari peristiwa mana sesuatu itu ditulis oleh makna tentangnya sesuatu itu ditulis. Yang terungkap di dalam sebuah tulisan adalah makna, bukannya suasana. Kedua, distansiasi antara apa yang tertulis dengan penulisnya. Sebuah teks akan segera terlepas dari penulisnya. Teks dibaca untuk orang lain. Ketiga, distansiasi dari pembaca awal. Di dalam sebuah pembicaraan pendengar adalah kelompok tertentu. Apa yang dibicarakan kemudian diteruskan kepada pihak lain. Bisa jadi bahannya semakin meluas dan berkembang. Dan keempat, distansiasi dari referensi awal. Referensi awal adalah hal, kepadanya sebuah makna dirujuk atau tepatnya sesuatu, tentangnya sebuah tulisan berbicara. Distansiasi-distansiasi ini merupakan “jembatan” yang menghubungkan teks dan makna yang terkandung di dalamnya dengan pembaca yang ingin mengetahui makna itu.

4.      Catatan Reflektif-Kritis atas Hermeneutika Ricoeur

4.1.Posisi “Teks Aktual”[9] dan Interpretasi Atasnya
Harus diakui bahwa pemikiran Ricoeur tentang teks dan usaha distansiasi demi suatu pembacaan kembali untuk menggapai makna yang terkandung di dalamnya sangat penting. Dari Ricoeur kita menjadi sadar bahwa sebuah teks akan selalu aktual bila kita berusaha untuk membuat sebuah tafsiran kreatif yang mengindahkan jarak-jarak tertentu sehingga makna apa yang dihasilkan bukan hanya merupakan penemuan yang mewakili interese pribadi melainkan sungguh apa yang menjadi isi teks.
Hal tersebut di atas menjadi benar kalau seandainya teks itu berasal dari zaman lampau di mana yang menulis telah tiada karena dengan demikian kita tidak mempunyai referensi langsung lagi selain teks yang ada. Tetapi ketika kita diperhadapkan dengan teks aktual yang perlu ditafsir dan penulis yang menghasilkan teks itu masih ada, bukankah kita masih memiliki akses untuk menanyakan langsung apa yang telah disampaikannya lewat karya tulisnya [bila ada hal yang perlu diklarifikasi, misalnya]? Sebuah contoh aktual. Kivlan Zen menulis buku yang menurut banyak pihak merupakan “aksi buka-bukaan” tentang rahasia intern korps ABRI, khususnya keterlibatan Wiranto dalam kasus-kasus berdarah di negeri Indonesia ini. Buku itu [isi dengan maksud tertentu] di satu sisi, serta kehidupan manusia Indonesia [khususnya Wiranto dan para petinggi ABRI yang lain] di sisi lain adalah teks yang padanya kita akan membuat penafsiran untuk menemukan makna atau arti dari teks itu. Kisah-kisah yang tertera dalam teks [buku dan kehidupan manusia Indonesia pada saat itu, ruang lingkup buku itu] memberikan sebuah pembacaan atas situasi dan serentak penilaian atasnya. Penilaian Kivlan berdasarkan hasil pembacaannya adalah salah satu bentuk penafsiran atas satu teks yang mahaluas yang terbuka untuk bentuk penafsiran lainnya. Jika Kivlan memberikan interpretasinya, dan ada juga pihak lain yang membuat interpretasi atas teks [pihak Wiranto, misalnya], maka belum tentu penafsiran mereka akan sama karena terkait kepentingan tertentu sebagai “zits im leben” setiap penulisan.
Pertanyaannya, “bagaimana kita bisa menghasilkan sebuah interpretasi yang benar?” Ricoeur, sejauh yang saya tangkap tidak membicarakan tentang “teks aktual” [yang penulisnya atau penyaksi sejarahnya masih hidup] dalam hermeneutikanya. Karena itu peran seorang hermeneut sangat besar dalam arti kemandiriannya sangat ditantang. Tetapi berhadapan dengan teks yang penulisnya masih ada, satu-satunya jalan untuk mengetahui “kebenaran” yang terkandung dalam setiap teks yang hasil interpretasinya berbeda ialah membuat pengujian dan pembuktian langsung dengan menghadirkan bukti-bukti dan saksi-saksi yang akan mendukung setiap argumentasi yang benar. Jika ia sanggup membuat pembelaan atas apa yang ditulisnya maka ia menyajikan itu atas kebenaran [dalam arti sempit: fakta berdasarkan data]. Tanpa itu setiap teks yang dibuat dan interpretasi yang keluar adalah usaha untuk memenangkan kepentingan ideologis tertentu, hal mana yang ingin didobrak oleh Ricoeur. Jika hal itu yang terjadi maka pernyataan Ricoeur tentang aktivitas menafsir sebagai tindakkan yang bermakna eksistensial menjadi nirmakna. Padahal menurut saya, kebenaran dan usaha menafsir merupakan tuntutan hakikat manusia sebagai ens rationale untuk mengais makna atas teks [karya tulis dan kehidupan] yang mahaluas.

4.2.Teks, Interpretasi dan Kaitan [maknanya] dengan Masa Depan
Dengan memberi tekanan bahwa teks berbicara tentang dunia, Ricoeur mengabaikan penulis dan situasi lingkungan dari penulis bersangkutan. Bagi Ricoeur, membaca sebuah teks berarti membiarkan diri kita dibawa oleh teks ke depan. Dengan itu, Ricoeur mengabaikan semua peristiwa yang melingkupi terbentuknya teks tersebut. Seorang penulis dalam tulisannya selalu memberi tekanan pada situasi yang dihadapinya. Dengan itu, penulis menghendaki agar setiap pembaca bisa mencermati situasi yang ada lewat tulisan tersebut. Benar bahwa setiap penulis dalam tulisannya memberi suatu visi ke depan buat pembaca, akan tetapi visi yang ditampilkan oleh penulis tersebut berangkat dari latar belakang tulisannya. Visi yang ditawarkan dalam tulisannya tidak terlepas dari apa yang penulis hadapi. Maksudnya, visi yang ada berpijak pada pengalaman penulis sendiri.
Dengan memberi tekanan pada sesuatu yang ada di depan teks, Ricoeur mengabaikan dan bahkan meniadakan makna yang ada dibalik teks tersebut. Padahal sebuah teks menyembunyikan sesuatu buat pembacanya. Ada makna yang tersembunyi di balik lahirnya teks. Lewat teks, penulis ingin mengungkapkan sesuatu yang terjadi dengan dirinya atau dengan lingkungan yang mengitarinya. Kita ambil contoh Kitab Suci. Untuk mengerti dan mengambil makna yang ditunjukan oleh sebuah teks Kitab Suci seseorang juga mesti mengenal latar belakang [sitz im leben] terbentuknya teks Kitab Suci tersebut. Jadi sebuah teks selain mengungkapkan suatu maksud bagi setiap pembaca, dia juga menyembunyikan suatu makna yang tersembunyi, atau tersirat.
Ricoeur mengatakan bahwa tindakan manusia serupa dengan teks. Dengan itu setiap tindakan manusia mesti diberi penafsiran. Sedangkan penafsiran bagi Ricoeur adalah sesuatu yang ada di depan. Tindakan manusia menunjukkan sesuatu makna ke depan. Pada hal tidak semua tindakan manusia memberi makna ke depan. Karena tindakan manusia juga terlahir dari situasi yang melingkupi batinnya. Jadi, tindakan seseorang tidak terlepas dari pengaruh lingkungan dan dirinya sendiri. Ada sesuatu yang tesembunyi di balik tindakan seseorang.

4.3.Sumbangan Pemikiran Hermeneutis Ricoeur Bagi Refleksi Moral Masa Kini
Kita sudah bicara tentang hermeneutika Paul Ricoeur dalam konteks sebuah upaya distansiasi antara teks dan pembaca. Ricoeur menerapkan kerangka berpikirnya tentang teks pada sebuah tindakan. Yang membutuhkan interpretasi bukan hanya bahasa yang dibicarakan atau ditulis, tetapi juga tindakan manusia. Tindakan manusia itu serupa teks yang ada di depan seorang pembaca yang membutuhkan penafsiran. Pertanyaan yang perlu diajukan: “Apa hubungan hermeneutik Ricoeur dengan refleksi moral masa kini?” Saya berpikir bahwa hermeneutik berpengaruh luas dalam refleksi antropologis yang menandai dunia kultural kita dengan keterbukaan luas terhadap ilmu-ilmu budaya, namun tetap dalam usaha untuk membawa kembali kepadanya arti terdalam pada tingkat religius-edukatif.
Minat-minat eksistensial seringkali saling beradu dengan minat-minat antropologi dari yang dalam itu dan terbuka pada harapan-harapan religius. Dan justru dalam konteks budaya dan konteks hidup inilah refleksi hermeneutis Ricoeur penting. Manusia masa kini, dalam terang hermeneutik Ricoeur, sangat dibebani oleh pemikiran tentang kondisinya, yang terbuka terhadap setiap penelitian modern, namun tetap sadar akan batas-batas ilmu pengetahuan di hadapan tema-tema dasar tentang hidup: rasa sakit, rasa salah, keselamatan.[10]
Ilmu pengetahuan modern bertumpu pada data-data objektif dan formal karenanya ia cenderung bersifat reduktif dan tertutup. Karena itu dibutuhkan penafsiran untuk mengatasi data-data itu dan menemukan arti terakhir dari data-data itu. Penafsiran mengatasi reduksi dan mengantar kepada kedalaman. Dalam lingkup moral-edukatif masa kini sumbangan hermeneutik sangat berarti. Prinsip-prinsip dan nilai-nilai umumnya tidak dipahami dalam sistem yang tertutup yang mengajukan satu model formal untuk ditiru, melainkan dicerap dalam refleksi atas data-data dalam terang tuntutan akan arti dan makna.
Wacana moral dengan ini memastikan diri sebagai wacana hermeneutis dan seluruh hidup dipahami sebagai satu aktivitas penafsiran. Itu merupakan pengungkapan perhatian utama filsafat masa kini dalam istilah-istilah moral-edukatif, yaitu perhatian terhadap bahasa. Bahasa adalah aktivitas yang memungkinkan kita melepaskan diri dari aliran fakta-fakta yang mengungkapkan dan mengkomunikasikannya, dalam arti menafsirkannya, dengan maksud untuk menemukan arti dan maknanya bagi hidup kita. Penafsiran bertujuan untuk menangkap arti terdalam dari tindakan etis manusia. Penafsiran ini penting untuk masa kini mengingat situasi konkret di mana hidup moral senantiasa berubah.
Satu sikap umum dari revisi radikal atas model-model tradisional membawa kepada penolakan di satu pihak dan kepada penafsiran yang selalu baru di pihak lain. Penegasan, penolakan, penafsiran menandai pelbagai intervensi dalam bidang moral yang ungkapkan kesadaran mendalam terhadap hidup masa kini. Kesadaran ini tidak univok, berdasarkan kenyataan dari sifat-sifat mencolok dalam pluralitas persoalan-persoalan etis yang dihadapi.
Kita membuat analisis atas situasi konkret dan bukan mengajukan proposisi-proposisi. Jika analisis itu menawarkan unsur tertentu untuk ditafsirkan berdasarkan prinsip “seharusnya ada”, maka dapat dikatakan bahwa kita bisa menangkap dalam konteks refleksi moral atau etis masa kini satu “perjuangan hidup untuk menemukan arti”.
Pemikiran sebagai penafsiran, yaitu pemikiran yang terlibat bertujuan untuk menangkap arti dan makna terdalam dari hidup manusia. Penafsiran ini berkaitan dengan penegasan arti hidup dengan menghadapkannya dengan arti transenden. Dalam perspektif itu pemikiran yang menafsirkan berpadu dengan tindakan penyaksian: penafsiran dan kesaksian merujuk pada suatu realitas yang sama, yaitu menampakkan arti terdalam makna dari hidup manusia.

5.      Kesimpulan
Paul Ricoeur menyajikan kepada kita suatu bentuk penafsiran yang kritis atas teks demi memahami makna apa yang terkandung di dalamnya. Usaha menyingkapkan makna itulah yang disebut sebagai proses menafsir. Supaya penafsiran kita memiliki hasil yang obyektif [meskipun melibatkan subyek sehingga ia juga bersifat subyektif] maka perlu ada distansiasi. Ricoeur sadar bahwa tidak setiap teks dengan sendirinya menyajikan sesuatu yang bermakna bagi para pembacanya. Juga sebuah teks tidak pernah bebas dari kepentingan-kepentingan tertentu, khususnya ideologi. Sejalan dengan Habermas yang menyatakan perlunya kritik terhadap ideologi, Ricoeur menerapkan hermeneutika kecurigaan. Ini adalah satu bentuk sikap kritis yang merupakan bagian yang tak terpisahkan dari hermeneutikanya.
Meskipun hermeneutika Ricoeur mempresentasikan kepada kita secara gamblang tentang upaya distansiasi sebagai jalan untuk membuat teks “berbicara” kepada pembaca secara bermakna, namun ia tidak menyinggung soal bagaimana membuat penafsiran atas “teks aktual” dan bagaimana menemukan makna terdalam atasnya khususnya ketika kebenaran yang disampaikan teks dipertanyakan. Karena itu, selain membuat penafsiran atas apa yang dinyatakan teks melalui tulisan, kita juga bisa terlibat dalam diskusi langsung dengan penulisnya untuk membuat klarifikasi atas hal itu jika memang diperlukan atau membutuhkan kejelasan. Karena itu, “teks aktual” selalu terbuka untuk interpretasi dan itulah sebabnya ia tidak pernah menjadi final.


Referensi:

Bertens. Kees, Filsafat Barat Abad XX Jilid II Prancis. Jakarta: Gramedia, 1985.
Budi Kleden. Paulus, Hermeneutika Peran Interpretasi Dalam Penataan Sebuah Teologi
Kontekstual-Bahan Kuliah Hermenuetika. STFK Ledalero, 2002.
Ceunfin. Fransiskus, Etika Umum-Bahan Kuliah, STFK Ledalero, 2002.
Sumaryono. E., Hermeneutika Sebuah Metode Filsafat, Yogyakarta: Kanisius, 1993.
Zen. Kivlan, Konflik dan Integrasi TNI AD, Jakarta: Institute for Policy Studies, 2004.
Majalah MingguanTempo, Edisi: 21-27 Juli 2004
Montefiore, Philosophy in France Today. Canbridge University Press, 1983.
Ricoeur. Paul,  The Conflic of Interpretations. Evanston: Northwestern Univer. Press, 1970.

 (Dipublikasikan pertama oleh: Jurnal Missio, edisi 2005).



[1] Mayjen (Purn) Kivlan Zen, Msi, Konflik dan Integrasi TNI AD, Jakarta: Institute for Policy Studies, 2004.
[2] Informasi tentang hal ini disajikan majalah Tempo, 27 Juni 2004 dalam artikel-artikel berikut: “Satu Buku dan Aib Serdadu”, “Sebuah Buku dan Aib Serdadu”, “Sekutu Lalu Seteru”, “Kelompok Komando Masjid”, “Serial Konflik Elite”, hal. 25, 28-39.
[3] Bdk. Kees Bertens, Filsafat Barat Abad XX Jilid II Prancis, Jakarta: Gramedia, 1985, hal. 138-142.
[4] Bdk. Paul Ricoeur,  The Conflic of Interpretations, Evanston: Northwestern Univer. Press, 1970,  hal. 12.
[5] Ibid, p. 22.
[6] E. Sumaryono, Hermeneutik Sebuah Metode Filsafat, Yogyakarta: Kanisius, 1993,  hal. 98.
[7] Montefiore, Philosophy in France Today, Canbridge Univer. Press, 1983,  hal. 192.
[8] Paulus Budi Kleden SVD, “Hermeneutika, Peran Interpretasi Dalam Penataan Sebuah Teologi Kontekstual”- Bahan Kuliah Hermenuetik, Maumere: STFK Ledalero, 2003,  hal. 29.
[9] Saya memaksudkan “Teks Aktual” sebagai teks yang dihasilkan [khususnya oleh seseorang] yang penulisnya masih hidup sehingga kita dapat meminta pertanggungjawabannya apabila ingin membuat klarifikasi atas apa yang telah ia tulis.
[10] Fransiskus  Ceunfin, “Etika Umum”-Bahan Kuliah, Maumere: STFK Ledalero, 2002, hal. 23-26.

No comments:

Post a Comment