Kanisius Teobald Deki
- Pengantar
Hampir setiap hari kita
membaca di media massa tentang masalah krusial yang menimpa masyarakat Nusa
Tenggara Timur (NTT). Masalah – masalah itu berkutat antara bencana alam yang
diakibatkan oleh perubahan iklim global sampai pada bencana yang ditimbulkan karena
keserakahan manusianya. Selain dianggap wilayah kritis nan gersang, NTT kerap
dinilai sebagai wilayah yang paling banyak menimbulkan belas kasihan.[2]
Masalah kemiskinan yang memprihatinkan, sumber daya alam yang melimpah tetapi
tidak dieksplorasi secara maksimal,[3]
korupsi yang telah membudaya dan melibatkan hampir semua elemen masyarakat,
pengangguran intelektual yang sulit ditekan, perjudian yang sukar diberantas,
kekerasan dan ketidakadilan sosial dan hukum,[4]
budaya yang kian merosot dan tak jua mampu beradaptasi dengan kemajuan pesat
yang ditimbulkan trend modernitas dan kehidupan religius yang seolah-olah
menuju kepunahan.
Menghadapi Masalah-masalah
yang muncul ke permukaan kenyataan masyarakat NTT, pelbagai pihak memberikan
tanggapan serentak jawaban. Pemerintah dengan prosedur hukum dan kebijakannya,
coba mempresentasikan jawaban itu dalam program yang dicanangkannya. Demikian
juga lembaga-lembaga lain, termasuk Gereja. Penduduk NTT sebagian besar adalah
orang-orang Kristen. Bagaimana upaya Gereja menjawabi tantangan aktual NTT,
adalah sebuah pertanyaan yang urgen untuk dijawab. Tulisan ini berbicara
tentang upaya menemukan Teologi Pembebasan, sebuah usaha untuk menemukan jati
diri Teologi di tengah kemiskinan masyarakat untuk menemukan pembebasan.
Kerangka pembebasan memposisikan diri pada historisitas manusia yang selalu
berada dalam “proses menjadi” terus menerus. Bagaimana pertautan antara
refleksi teologis dan konteks aktual yang terperangkap dalam keterjajahan
kemiskinan dan struktur yang menindas, merupakan sisi tilik yang coba menjadi fokus tulisan
ini dalam usaha menemukan teologi yang kontekstual.[5]
- Teologi Pembebasan: Refleksi Historis dan Praksis
2.1. Kilas Balik Sejarah
Pertama nian saya ingin
mengemukakan arti teologi. Kata “teologi” berasal dari kata Yunani “theologia”
yang secara etimologis berarti ilmu (logia) tentang Allah [Theos].
Sebagai fides querens intellectum [iman yang mencari pemahaman], teologi
menggunakan sumber daya rasio, khususnya ilmu sejarah dan filsafat.[6]
Dengan kata lain teologi adalah pengetahuan adikodrati yang metodis, sistematis
dan koheren tentang apa yang diimani sebagai wahyu Allah atau berkaitan dengan
wahyu itu.[7]
Di hadapan misteri ilahi, teologi selalu “mencari” dan tidak pernah sampai pada
jawaban terakhir dan pemahaman yang selesai. Untuk itu dalam pencariannya,
teologi terbagi dalam berbagai gaya dan bidang[8]
sesuai dengan kebutuhan riil manusia, dan salah satunya adalah Teologi Pembebasan.
Sejak abad ke-15, saat
Columbus menemukan beberapa pulau di Karibia, Kolumbia, sejarah kolonialisme
mulai dibentangkan di negeri Amerika Latin. Negara-negara Barat khususnya
Spanyol dan Portugis datang ke negeri ini dan menjadi penjajah.[9]
Pada abad ke-19, banyak wilayah di Amerika Latin berhasil memperoleh
kemerdekaan dan berdiri menjadi negara-negara baru. Tragisnya, meski
kolonialisasi politis berakhir, tidak diikutsertakan kebebasan yang integral.
Kolonialisme politik diganti oleh kolonialisme ekonomi. Puncak eksploitasi
terjadi dalam dasawarsa 1950-an ketika Amerika Latin mengadopsi model ekonomi
Barat, yakni kapitalisme.[10]
Sistem ekonomi kapitalis ternyata tidak membawa kemakmuran bagi rakyat seperti
yang diharapkan tetapi malah mengakibatkan kemiskinan yang masif. Hanya
segelintir orang yang mengalami kemakmuran sedangkan mayoritas terbesar
masyarakat mengalami kemiskinan yang ekstrem. Kapitaslisme justru semakin
memantapkan struktur sosial ekonomia yang eksploitatif.
Berhadapan dengan realitas
kemiskinan ini, Gereja Amerika Latin pada umumnya tidak banyak melakukan hal
yang berarti selain kegiatan sosial karitatif seperti mendirikan dan mengelolah
rumah sakit, panti asuhan dan lembaga pendidikan. Gereja Amerika Latin hidup
dalam dunia getto-nya sendiri.[11]
Konsekuensinya jelas, Gereja Amerika Latin mengambil posisi netral terhadap
kenyataan kemiskinan yang masif. Kemiskinan adalah urusan negara dan karena itu
gereja tidak perlu membuat intervensi atasnya. Melalui posisi netralnya, Gereja
telah mendukung status quo kemiskinan. Netral berarti diam dan pasif
terhadap kenyataan yang ada. Itu artinya turut melanggengkan realitas
kemiskinan meskipun realitas tersebut merupakan ketidakadilan sosial dan
bertentangan dengan nilai-nilai Kerajaan Allah yang diwartakan Yesus dan
Gereja.[12]
Berpijak pada kenyataan ini
muncul refleksi dan reaksi yang coba diwakili oleh tiga kelompok besar.[13]
1) Umat kristen kebanyakan yang dalam pengalaman hidup hariannya merasakan
jarak besar yang memisahkan Gereja dari Injil dan keterasingan Gereja dari
dunia nyata Amerika Latin. 2) Kelompok orang yang dalam perjuangannya menemukan
Gereja sebagai kekuatan penghalang untuk membentuk masyarakat yang lebih adil.
2) Kelompok elite kaya dan berkuasa yang merasa tidak senang dengan inisiatif
dan gerakan perjuangan yang dilakukan oleh beberapa kelompok dinamis.
Refleksi yang muncul di atas
ketertindasan dan kemiskinan rakyat Amerika Latin diberi nama Teologi
Pembebasan (Liberation Theology). Teologi Pembebasan adalah sebuah nama
untuk teologi yang muncul dan berkembang di Amerika Latin dan berorientasi pada
kemerdekaan. Gerakan ini meluas dan menjadi sebuah perjuangan pergerakan di
Amerika Latin karena diilhami oleh pelbagai refleksi. Refleksi-refleksi itu
antara lain: 1) Peristiwa pembebasan orang Israel dari Mesir, pewartaan
kenabian yang menuntut keadilan, dan pewartaan Kerajaan Allah oleh Yesus
Kristus. 2) Membaca Kitab Suci dalam terang pembebasan integral; dan 3)
Mengarahkan diri pada akar di mana struktur-struktur ketidakadilan dan
ketergantungan ekonomi menindas begitu banyak orang miskin.
Tokoh-tokohnya yang terkenal: Juan Luis Segundo, John
Subrino dan Gustavo Gutierez melalui bukunya yang berjudul A Theology of Liberation,[14]
muncul untuk menyuarakan Teologi Pembebasan. Para tokoh gerakan ini sangat
memperhatikan peranan teologi dalam mendorong terjadinya perubahan sosial dan
mengembangkan spiritualitas pembebasan yang berpijak di atas tanah kehidupan
rakyat, iman dan perjuangan mereka.[15]
Menanggapi gerakan Teologi
Pembebasan di Amerika, pada tahun 1987 dalam ensiklik Solicitudo Rei
Socialis, Paus Yohanes Paulus II mengajak seluruh dunia untuk mengusahakan
“perkembangan dan pembebasan” yang mewujudkan diri dalam cinta dan pelayanan
sesama, khususnya mereka yang paling miskin.[16]
2.2. Menyesuaikan Konteks, Menemukan Format
Baru Berteologi
Gerakan Teologi Pembebasan
kemudian menjadi gerakan mondial yang merambah hampir ke seluruh dunia,
khususnya negara-negara yang tercakup dalam “dunia ketiga”,[17]
termasuk Asia dan Afrika, negeri yang kerap diidentikkan dengan “dunia ketiga”.
Dalam menjawabi soal dunia ketiga, yang miskin, terpecah, tertindas, bergantung
dan yang sedang membangun kepercayaan diri untuk memberikan alternatif baru,
teologi dunia ketiga terbentuk. Sehubungan dengan soal umum ini ada beberapa ciri umum dari teologi ini.[18]
1) Memilih berpihak pada yang
miskin dan lemah. 2) Solidaritas dengan mereka yang menderita dibentuk pada
level yang sangat mendasar dalam komunitas-komunitas dasar entah bersifat
kristen atau manusiawi/ekumenis, untuk hidup dan berjuang bersama. 3) Untuk
betul berakar dan percaya diri coba dijawabi tantangan indigenisasi dan
inkulturasi.[19]
4) Metode baru berteologi. Cara berteologi klasik yang hanya berkutat di ruangan
(kelas, belajar, tamu) ke dapur, bergumul dengan soal-soal kehidupan
sehari-hari sehingga menghasilkan teologi yang fragmentaris, tidak lengkap dan
pluralistik, yang menyatukan bacaan Kitab Suci, doa, diskusi dan refleksi.
Bergerak dalam satu lingkaran hermeneutik yang memadukan aksi dan refleksi, passing
over dan coming back, suspicion dan retrieval.
Perpaduan ini disebut “praxis”.
5) Bergumul dengan dosa dan
kejahatan yang bersifat pribadi (kultural) dan sistemik (struktural) dengan
satu strategi khusus: Kritik diri (otokritik) mesti dibuat untuk bisa (credible
dan berani) mengeritik yang lain. Dalam berpihak pada kaum miskin dan lemah,
pergumulan mesti juga dibuat dengan mereka yang sudah menciptakan kesengsaraan
dan ketidakberdayaan kaum miskin dan lemah itu. Cinta mesti dibuat tanpa
melupakan keadilan, Salib mesti dipikul untuk melengkapi yang masih kurang
dalam penderitaan Kristus dalam menebus dunia.
6) Allah kita adalah Tuhan
sejarah. Dia sedang bekerja di dunia ini, untuk membebaskan dan menyelamatkan
umatNya. Upaya pembebasan dan pemberdayaan mereka yang tertindas dan lemah
merupakan partisipasi kita dalam kerja Allah. 7) Tuhan sejarah sudah diwahyukan
dalam Yesus Kristus. Dia menunjukkan kita jalan bagaimana berpartisipasi dalam
karya Allah di dunia ini dan menjiwai kita dalam upaya berpartisipasi ini. 8)
Yesus Kristus Sabda yang menjelma, sebagai Logos[20]
abadi hadir dan bekerja secara universal. Kepercayaan akan kenyataan ini
menggerakan kita untuk membangun satu ekumene baru dan bekerja dengan semua
pihak demi satu tujuan yang sama yakni: menegakkan keadilan, kedamaian dan
keluhuran martabat manusia lelaki-perempuan dan alam ciptaan.
Jika Teologi Pembebasan di
Amerika Latin lahir dari kesejarahan dan konteks aktual mereka, maka dalam
bingkai yang sama, Afrika melahirkan “pembebasan” dalam teologi inkulturasi dan
Asia teologi ekumenis[21].
Misi pembebasan inilah yang menjadi bahasa dan praksis bersama sesuai dengan
pengalaman dan kenyataan serta kebutuhan dominan. Meskipun demikian, Teologi
Pembebasan dalam wilayah Asia dan Afrika yang telah menemukan nama dan bentuk
barunya, tetap memiliki keterkaitan dengan teologi Pembebasan Amerika Latin
tersebab mempunyai karakteristik dan persoalan yang sama.
- Menuju Konteks NTT: Gereja Yang Berpijak dan Terlibat[22]
3.1. Membaca Konteks NTT
Gereja masuk ke NTT sejak
abad ke-16 dan kemudian lebih intensif sejak abad ke-19. Sejak Gereja hadir terdapat pelbagai usaha
untuk meningkatkan sumber daya manusia melalui pengenalan kehidupan religius
dan proses pendidikan formal dan informal. Selain itu, melalui Gereja
diperkenalkan kepada masyarakat NTT rumah sakit dan panti-panti asuhan. Sejak
saat itu pula, Gereja menjadi sebuah lembaga yang dekat dan menyatu dengan
kehidupan umat NTT.
Dalam proses penyatuan total
dengan masyarakat NTT, ternyata Gereja cenderung menampilkan diri sebagai “yang
tetap asing” dalam pandangan orang NTT. Gereja [merasa] mewakili kultur Barat,
termasuk dalam cara ia berteologi. Adat istiadat orang asli serta
kepercayaannya akan Wujud Tertinggi dianggap sebagai penyembahan berhala dan
karenanya perlu dimusnahkan. Penghargaan akan nilai-nilai religius asli sangat
kurang.[23]
Melalui lembaga dan
strukturnya yang mapan, Gereja berjalan dalam kerangka logis dan sistematis.
Kerangka ini hanya bisa diimbangi oleh lembaga-lembaga yang memiliki metode dan
prinsip yang sama. Tragisnya, masyarakat NTT kebanyakan adalah masyarakat
agraris yang sulit memahami kerangka logis-sistematis dalam keseluruhan hidup
mereka. Karakteristik masyarakat NTT sulit beradaptasi dengan lembaga Gereja.
Karena itu, ada kesenjangan metodis yang terjadi antara lembaga Gereja di satu
pihak dengan masyarakat di pihak lain. Metode yang dipunyai Gereja tidak
adaptif dengan kenyataan masyarakat dan hanya bisa diimbangi oleh pemerintah
yang memiliki kerangka yang sama.
Dampak yang timbul ialah
bahwa Gereja dekat dengan pemerintah. Kedekatan ini bisa membawa sekaligus dua
efek. Pertama, Gereja bisa melayani umat-masyarakat yang satu dan sama
melalui pelbagai program yang multiaspek. Ada missio bersama yang harus
dijalankan demi tujuan yang sama. Akibat lanjutnya, Gereja-Pemerintah menjadi
mitra yang solid di berbagai sektor kehidupan: pendidikan, kesehatan, pembukaan
isolasi untuk wilayah-wilayah terpencil, dsb. Kerja sama yang tidak kritis bisa
melupakan kekhasan yang dimiliki oleh dua lembaga ini membawa akibat buruk bagi
masyarakat. Kekuasaan pemerintah dilegitimasi (atau tetap menjaga netralitas
dengan diam, mendukung status quo) oleh Gereja, termasuk kalau kekuasaan
itu terperosok ke dalam jurang bencana sosial: KKN, kekerasan, ketidakadilan,
dsb. Kedua, Gereja-Pemerintah tetap menjaga kekhasan tetapi memiliki
opsi yang sama untuk umat-masyarakat. Kedua lembaga ini otonom, tetapi saling
membagi (share of power). Jika ini yang terjadi, Gereja bisa tetap
menjalankan misi profetisnya. Ia menjadi sebuah kekuatan alternatif yang
berdiri sendiri, tahan terhadap pengaruh luar, tak rentan terhadap intervensi
yang mematikan.
Gereja regio Nusa Tenggara,
termasuk NTT berjalan dalam dua tegangan ini. Dalam banyak peristiwa yang
dialami umat-masyarakat, gereja tidak memberikan reaksi yang jelas. Ketika rakyat
dari Colol-Manggarai tertembak dan dianiaya tanggal 10 Maret 2005, Gereja
terkesan tidak menyuarakan posisinya secara jelas. Dalam sikap diamnya, Gereja
seolah-olah melegitimasi kekerasan dan ketidakadilan yang dialami oleh
rakyat-umat Manggarai. Kasus aktual, ketika Boni Tampoi, mantan Kapolres
Manggarai divonis bebas oleh PN Kupang, Gereja regio Nusra tak bergeming
sedikitpun untuk memberikan komentar ataupun pernyataan sikap. Gereja dan
institusinya menjadi terpencil, terlempar dari pusat aktivitas real umatnya.
3.2. Menemukan Jati Diri Teologi NTT yang
Membebaskan[24]
Untuk menghasilkan sebuah
Teologi yang membebaskan, berikut ini saya mempresentasikan tiga prinsip dasar
yang harus diindahkan oleh setiap penciptaan refleksi pembebasan dan
pemerdekaan di NTT.
3.2.1. Gereja
yang Berdialog
Pada zaman lampau ketika Gereja mewartakan Injil ke wilayah
NTT, para misionaris datang dengan anggapan yang keliru tentang budaya asli.
Praktek-praktek keagamaan asli kerap dianggap sebagai bentuk penyembahan
berhala. Karena itu mereka dijauhkan
dari akar kehidupan lokal dan kehilangan identitas budayanya. Kategori negatif
semacam itu sudah melekat sedemikian erat maka sulit untuk diubah.
Konsekuensinya, penghargaan terhadap budaya asli sangat kurang. Orang-orang
yang baru mengenal Kristus harus juga “bertobat” (baca: melepaskan) dari budaya
mereka sendiri. Di sini kebudayaan Kristen dianggap sebagai yang harus diterima
untuk serentak mengeliminasi budaya sendiri. Metode yang dipakai ialah
instruksi yang beraroma paksaan dengan “ancaman kutukan”.[25]
Pertemuan antara
masyarakat asli dengan Gereja NTT menghasilkan dua hal penting.[26] Pertama,
suatu campuran terjadi antara unsur kekristenan yang penting bagi masyarakat
dan kebudayaan asli mereka. Hal ini bisa dinamakan sebagai inkulturasi spontan.
Dalam istilah Antropologis, sinkretisme merupakan suatu “syarat mutlak” (sine
qua non) demi pengakaran Injil di antara kebudayaan-kebudayaan lain. Kedua,
oleh orang yang beragama muslim, kehadiran misi Gereja Katolik maupun Zending
Protestan merupakan bentuk penjajahan baru karena terkait erat dengan “pemain”
yang sama yakni orang Eropa. “Penjajahan” dalam bentuk lain juga dirasakan oleh
kebudayaan-kebudayaan asli.
Sejak gema
Konsili Vatikan II[27] bergaung hingga ke seluruh pelosok dunia,
Gereja regio Nusa Tenggara semakin menyadari perlunya menghargai kebudayaan
asli masyarakat setempat. Bahkan muncul berbagai usaha inkulturasi, dialog
antar agama dan gerakan pembebasan dalam teologi. Melalui upaya-upaya ini
muncullah dialog multi sektor, yang oleh Uskup se-Asia menyebutnya sebagai
“dialog rangkap tiga”.[28] Komunitas-komunitas Kristiani menjadi
sadar bahwa mereka dapat dengan sungguh-sungguh membangun sebuah Gereja lokal
NTT yang otentik kalau terjadi dalam proses dialog terus menerus dengan
kebudayaan-kebudayaan, agama-agama, pengalaman-pengalaman aktual dalam
aktivitas ekonomi, sosial dan politik
orang NTT.
Dalam dialog yang
mengedepankan lonto leok (musyawarah berdasarkan persaudaraan), terdapat
komunikasi timbal balik antara kedua pihak atau bahkan dengan lebih banyak
pihak. Sebagaimana tradisi sastra lisan menghidupkan berbagai bentuk ungkapan
persaudaraan dan mencari keterjalinannya, demikian pula Teologi Pembebasan NTT
berusaha menghubungkan warta keselamatan Yesus Kristus dalam dialog yang aktif
dengan kehidupan aktual. Semangat dialog ini harus menjadi pilihan pertama
dalam menyelesaikan konflik horizontal maupun vertical yang telah
melanda NTT dari waktu ke waktu. Berhadapan dengan situasi seperti ini,
pengembangan relasi yang dialogal merupakan suatu keniscayaan. Pada tahap ini, dialog bukan lagi sarana
evangelisasi, melainkan evangelisasi itu sendiri. Ketika Gereja NTT mengembangkan
relasi yang dialogal ini, terdapat kurang lebih empat hal yang harus jelas dan
menjadi kesadaran bersama, yakni hakikat dari dialog, alasan-alasan untuk
berdialog, kondisi-kondisi yang memungkinkan dialog dan model-model dialog yang
efektif. Dialog rangkap tiga: dengan kebudayaan, agama-agama dan situasi
kemiskinan serta ketertindasan merupakan jawaban yang tepat untuk semakin
memahami Gereja regio NTT dan menawarkan pendekatan pastoral yang sesuai dengan
konteks mereka.
Konsekuensinya
jelas. Gereja tidak lagi dimengerti sebatas mimbar sekaligus pusat yang
merupakan kiblat umat. Gereja adalah kehidupan umat itu sendiri yang harus
disucikan terus menerus oleh perjuangan mencapai keselamatan. Gereja adalah
medan perjuangan di mana mereka berusaha mengaplikasikan nilai-nilai kristiani
dalam hidup konkret. Dengan demikian, Gereja bukan lagi lembaga yang
menghasilkan berbagai dokumen iman, melainkan tempat pengalaman iman
didialogkan, dibagikan sebagai santapan rohani. Pejabat-pejabat Gereja adalah penghubung
yang sanggup membahasakan kebutuhan riil umat. Gereja karenanya tidak berarti
singular. Sebagai sarana keselamatan yang berziarah menuju Allah, Gereja adalah
umat Allah yang mendengarkan Sabda dan mengikuti kehendakNya. Umat Allah yang
berbicara di rumah-rumah Gendang, di tempat lodok uma, di kantor
DPR, di kantor Bupati tentang masa depan bersama yang berorientasi kepada
keselamatan Yesus Kristus adalah juga Gereja yang diilhami oleh Roh Kudus.
Jadi, tempat bukan soal lagi, karena di
manapun umat-rakyat dapat berdialog dengan sesama saudaranya dalam
namaNya, di situ Allah hadir (Mat 18:20).
3.2.2. Gereja yang Membebaskan
Tekanan
kolonialisme masa lampau masih terbaca dalam kecemasan-kecemasan orang NTT
menghadapi tantangan hidup aktual masa kini. Mereka sudah terbiasa menghadapi
pengalaman kekerasan, penindasan dan ketidakadilan struktural yang dipaksakan.
Dalam situasi seperti ini, mereka sangat mengharapkan terciptanya situasi
pembebasan dari keterbelengguan multiwajah. Ketika suara mereka tidak
didengarkan oleh penguasa, tatkala hak-hak mereka tak dihiraukan dan mereka
tidak sanggup untuk melawan, mereka mengharapkan Gereja tidak berdiam diri.
Orang NTT rindu memiliki Gereja yang menjadi wakil mereka untuk bersuara
menentang penindasan yang telah lama mereka alami. Gereja tidak boleh hanya
menjadi penonton yang tidak berpihak pada mereka. Apalagi berkolaborasi dengan
kebijakan-kebijakan yang jelas-jelas merugikan rakyat-umat NTT.
Gereja yang
berdialog adalah Gereja yang aktif, terlibat dalam konteks budaya dan
masalah-masalah orang NTT. Persoalan yang paling aktual ialah, bagaimana
nilai-nilai budaya orang NTT dengan tradisi sastra lisannya menjadi sarana yang
efektif untuk mendialogkan Kabar Gembira Yesus Kristus? Kesediaan Gereja untuk
mendengarkan keluh kesah, harapan dan bersama mereka yang dirugikan berjuang
untuk menemukan jalan pembebasan. Hanya suatu masyarakat yang terbuka,
partisipatif mampu mengatasi keterpecahan kebudayaan kosmik yang disebabkan
oleh pesatnya laju pasar internasional. Ini berarti Gereja NTT menciptakan
suatu kebudayaan dialogal, di mana setiap orang dinilai (didengarkan) dan
setiap orang ambil bagian dalam pengambilan keputusan yang demokratis.[29]
Dialog itu
sendiri merupakan evangelisasi pembebasan dalamnya misi Kristus dihadirkan.
Dialog pada tahap pertama dan utama adalah kesediaan untuk saling membuka diri.
Dalam dialog, kedua belah pihak memiliki kedudukan yang setara, sederajad di
mana anggapan superioritas dan inferioritas ditiadakan. Gereja sebagai
institusi mendialogkan tawaran keselamatan Yesus Kristus kepada orang NTT.
Dalam budaya dialogal, orang NTT akan mengkomunikasikan pengalaman hidup dan
budaya mereka kepada Gereja. Demikianpun sebaliknya.
Kebudayaan
kosmik orang NTT telah menjadi sekular tatkala kaum miskin disamun dari bahasa
yang dalamnya mereka mengungkapkan jati diri, martabat dan nilai-nilai hidup
mereka yang terdalam. Dalam situasi krisis kebudayaan (terlepas dari akar
budaya asli dan menjadi ragu atasnya) mereka ditawarkan untuk membuka diri
terhadap yang transenden. Dalam konteks seperti ini, tempat Gereja ialah ada
bersama-sama dengan kaum miskin dan yang tergusur sebab di situlah Allah akan
ditemukan.
Konkritnya, ada
beberapa langkah pembebasan yang dapat menjadi reksa pastoral. Pertama,
dialog yang dijalankan dengan penuh ketulusan, keterbukaan berusaha meyakinkan
orang NTT bahwa dari kebudayaannya terdapat banyak nilai Kristiani (yang dalam
awal abad ke-20 disebut naturaliter Cristiana-orang Kristen secara
alami) yang dapat menjadi basis iman mereka kepada Kristus. Di sini anggapan
yang terlanjur didengungkan pada zaman lampau tentang superioritas ajaran
Kristen akan runtuh dengan sendirinya. Baik budaya lokal Orang NTT maupun
tradisi Kristen berjalan dalam saling menerima dan memberi. Di sini dialog akan
membebaskan orang NTT dari keterbelengguan historis yang merupakan stigma
ciptaan misionaris masa lampau.
Kedua, dialog pembebasan tidak dibuat sebatas
saling menerima dan memberi nilai-nilai yang membangun partisipasi umat menuju
keselamatan. Lebih dari itu, dialog diarahkan ke praksis kehidupan sehari-hari
orang NTT. Itu berarti Gereja terlibat dalam persoalan kemiskinan,
ketidakadilan, penindasan, kekerasan, pemberdayaan orang NTT secara aktif.
Pengakuan akan eksistensi budaya, lembaga-lembaga adat-istiadat merupakan
bagian dari misi pembebasan itu. Jika Pemerintah Provinsi NTT hanya menjadikan
kebudayaan dan institusi adat sebatas komoditas politik, demi meraup keuntungan
di atas upaya penjualan dan pengangkangan terhadapnya, maka Gereja mesti berada
pada garda depan untuk tampil sebagai pembela. Di sisi lain, Gereja bisa
menjadi suara kritis terhadap praktek-praktek budaya yang diksriminatif,
membelenggu dan keliru tersebab menista martabat kemanusiaan. Tetapi suara
Gereja akan didengarkan jika ia terlebih dahulu mau mendengarkan dan aspiratif
terhadap budaya lokal.
Ketiga, dalam pergolakan politis dan kebijakan-kebijakan
Pemprov NTT, Gereja mesti tetap memiliki suara profetis. Ketika Gereja NTT
kehilangan suara profetisnya, ia menjadi sama seperti garam yang tidak asin (Mat 5:13) atau lampu yang tak berminyak (Mat 25:3). Orang NTT
tidak terlalu membutuhkan bangunan Gereja yang megah, ruang pertemuan pastoral
yang mewah. Gereja NTT harus tetap menjadi Gereja kaum sederhana yang hidup
bersahaja. Seperti rumah Gendang yang tetap sederhana, Gereja hendaknya
menampilkan diri secara ugahari, bersolider dengan umat yang tertindas dan
menjadi pembela mereka. Advokasi hak-hak masyarakat NTT selama ini lebih banyak
dilakukan oleh individu-individu tertentu[30] bersama pers dan LSM yang cepat tanggap
terhadap persoalan publik. Di manakah peran institusi Gereja? Gereja akan tetap
dipahami sebatas institusi, gedung, jika tidak terlibat dalam kehidupan konkrit
umat. Saatnya, praktek pembebasan ini dimulai, melepaskan dominasi teologi
Barat, berupaya menjalin keterkaitan antara aktus-praksis dan refleksi demi
menjawab tantangan aktual umat. Gereja perdana adalah Gereja para martir. Sudah
tiba waktunya Gereja NTT keluar dari kenyamanan, berdiri bersama umatnya di
bawah terik matahari untuk menentang kelaliman. Meskipun bayarannya adalah
tubuh bersimbah darah.
3.2.3. Gereja Milik Umat
Institusi Gereja
dan institusi religius di NTT menjadi bagian yang terpisah dari kehidupan umat.
Pemisahan itu semakin tegas tatkala kaum religius dan para imam memiliki gaya
hidup yang dianggap asing oleh umat. Disebut “asing” karena kerap tidak
mencirikan identitas mereka sebagai gembala yang sederhana, penuh komitmen
dalam melayani umat, termasuk siap membela kepentingan umat. Gereja seolah-olah
hanya sebatas institusi. Kenyataan ini membuat Gereja NTT masih jauh dari harapan
Konsili Vatikan II sebagai umat Allah yang berziarah.
Karena itu, apa
yang menjadi tantangan terbesar Gereja ialah menjadikan dirinya bagian dari
kehidupan umat. Ia akan menjadi milik umat jika para imam, kaum religius
menampilkan diri sebagai gembala yang menjaga kawanan domba, yang membawa diri
sebagai bagian dari umat yang masih sederhana, terikat dalam budaya yang kental
dengan kultur agrarisnya. Usaha mencari keterjalinan budaya dan ajaran iman
Kristen merupakan buah terindah dari pergumulan teologi pembebasan.
Sebenarnya
persoalan semacam ini tidak khas milik umat NTT. Di berbagai tempat Gereja
mengalami hal yang sama, termasuk seluruh kawasan Asia. Tantangan besar bagi
Gereja Asia dewasa ini ialah mendorong kaum awam, biarawan dan imam
meninggalkan tempat berteduh Katoliknya yang aman dan bersama-sama dengan
sesama Kristennya, membawa Injil ke dalam berbagai kekuatan yang kacau dan
kasar serta saling berlawanan, kekuatan mana yang akan membentuk Asia pada abad
ke-21. Di tengah-tengah tabrakan berbagai kepentingan ini, orang-orang Kristen
akan menemukan akar yang sesungguhnya dari berbagai masalah yang sedang
dihadapi Asia modern, pun pula landasan manusiawi dan religius yang mereka
miliki bersama-sama dengan orang Asia yang beriman lain.[31] Penemuan akar jati diri budaya yang
diperhadapkan dengan ajaran tradisi Kristen menghasilkan iman sejati yang
menjadi dasar Gereja milik umat.
Sekaranglah
saatnya Gereja terlibat dalam memupuk benih iman dan memberdayakan orang-orang
NTT dari dalam agar mereka menyadari potensi dan kekuatan mereka sendiri.
Maksudnya supaya mereka bersatu menghadapi kekuatan opresif. Mereka dituntun
untuk mencapai tujuan ini bukan melalu proses kemarahan dan kebencian terhadap
kekuatan dan struktur penindas, melainkan melalui transformasi bertahap ke
dalam kelompok murid Yesus, menimba sinar kekuatan dari Tuhan yang bangkit dan
berkumpul di tengah mereka dari karya Roh Kudus di dalam diri, budaya dan
kehidupan aktualnya.
Tiga rekomendasi
pastoral untuk Gereja regio Nusa Tenggara di atas dapat dipadatkan dalam
beberapa point berikut ini.[32] Pertama, kalau Gereja menyembah mammon yakni: uang dan kuasa, maka
sulitlah baginya untuk melaksanakan peran profetis terhadap orang kaya dan berkuasa yang merupakan penindas rakyat
NTT. Arah praksis pastoral juga akan berubah, Gereja akan merasa aman dengan
diakonia karitatif tetapi bukan diakonia sosial, atau dengan pelayanan sosial
tapi bukan aksi sosial. Kedua, terdapat dua tugas pelayanan Gereja dalam
menghadirkan dirinya di NTT, yakni pelayanan keimanan untuk menciptakan
rekonsiliasi yang membebaskan dan pelayanan profetis untuk menciptakan konflik
yang membebaskan. Ada dialektika antara rekonsiliasi dan konflik dalam
kehidupan rakyat NTT. Gereja terpanggil untuk menjadi pembawa “hambor” (damai)
di tengah rakyat serentak membawa konflik di tengah rasa damai yang palsu.
Ketiga, berhadapan dengan para korban, Gereja
mesti mengidentikan dirinya dengan mereka. Identifikasi diri ini bukan
merupakan penerimaan pasif atas penderitaan melainkan transformasi yang
memampukan, melalui mana kekuatan – kekuatan kematian dan kejahatan dikalahkan
berkat kuasa kebangkitan. Di sini dituntut dari Gereja sebuah peran ganda,
bukan hanya profetis tetapi juga politis. Keempat, untuk merubah situasi
ketidakadilan, kita mesti membuat analisis atas seluruh situasi dengan
menggunakan pendekatan sistemis yang bermaksud mematahkan monopoli para
penguasa dan untuk memberdayakan kaum lemah serta mendorong mereka menemukan
jati diri dan martabat sebagai orang bebas. Untuk sampai pada gerakan
pembebasan kaum lemah, Gereja harus bekerja sama dengan mereka. Memang di sini
butuh kesabaran dari pihak Gereja dan merupakan proses pengosongan diri dari
kecenderungan menggandeng pihak - pihak yang kuat dan berkuasa.
Kelima, pada akhirnya Gereja menciptakan
komunitas ketetanggaan tersebab dari hakekatnya Gereja memiliki tugas
missioner. Kelompok - kelompok ini membentuk satu nucleus baru.
Partisipasi komunitas basis dalam membentuk Gereja lokal yang kuat mulai dari
kelompok inti. Komunitas-komunitas inilah yang memiliki kisah - kisah hidup
yang perlu diceritakan. Dalam pergumulan terus menerus, antara pengalaman hidup
dan refleksi iman atasnya, mereka dapat menemukan iman sejati yang menjadi
milik mereka. Di sinilah dialog itu menjadi mungkin karena keterkaitan dan
keterlibatan setiap elemen secara aktif. Ini jugalah yang menjadi kisah baru
Gereja NTT, mana kala ia sendiri hadir dan turut mengambil bagian di dalamnya
dan membiarkan dirinya dibentuk oleh situasi dan pengalaman mereka. Sebuah
kisah di mana Gereja menjadi “teks” baru yang berbicara dalam “konteks” baru
pula.
- Kesimpulan
Menjadi jelas buat kita bahwa
NTT membutuhkan sebuah teologi yang membebaskan umat-masyarakat dari kenyataan
kemiskinan-kemelaratan dan ketertindasan refleksi teologis lama yang
mengangkangi kemanusiaan kita di hadapan Allah. Kita perlu menemukan sendiri
matriks teologi yang lahir dari pengalaman kemiskinan dan ketertindasan
umat-masyarakat NTT. Usaha ini dimulai dari cara Gereja memahami diri dan
konteks di mana ia berada.
Ada dua sikap yang bisa
menjadi pilihan Gereja untuk menemukan jati diri teologi yang membebaskan. Jika
ia tetap lebih mengutamakan kemapanan lembaga maka Gereja akan tetap menjadi
sebuah institusi yang kuat tetapi tidak memiliki daya pengaruh yang luas. Ia
hanya menjadi milik penguasa yang lalim dan rejim predator. Karena itu ia
menjadi institusi tanpa isi. Tetapi jika ia peduli terhadap ratap tangis
kemiskinan dan ketertindasan yang diakibatkan oleh struktur yang eksploitatif,
ketidakadilan dan pemasungan oleh kekuasaan yang rakus dan loba, serta berani
menjadi martir, maka ia (mungkin) membuat institusi babak belur tetapi dalam
kehancuran lembaga (yang dominan sebatas sarana) ia tetap memiliki jati diri karena
substansinya tetap mengemuka, yakni memuliakan martabat kemanusiaan di hadapan
Allah dan manusia serta semua isi semesta.
Dua ekstrim ini merupakan
pilihan yang diambil jika Gereja memiliki keberanian. Bisa jadi Gereja tetap
menjadi orang Samaria yang baik hatin (Luk 10:25-37). Dia
merawat orang yang dianiaya dengan mendirikan rumah sakit, panti asuhan, posko
bantuan dan lembaga sejenisnya (berada pada tataran kuratif semata). Tiap hari
orang yang dirampok semakin banyak. Padahal, yang paling penting ialah
menghentikan perampokan sehingga tidak terjadi aksi kekerasan terhadap korban
(sekaligus preventif). Di sini Gereja perlu membuat identifikasi terhadap kerja
sama yang tidak sehat dengan lembaga lain. Sikap kritis dan otonom membantu Gereja untuk menyuarakan
suara Allah yang benci terhadap kekerasan, kelaliman dan ketertindasan yang
menimpa kemiskinan rakyat jelata NTT. Sebuah teologi yang membebaskan hanya
muncul dari keberpihakan, refleksi dan aktus yang terbangun di atas situasi dan
kenyataan ini.***
Dipublikasikan pertama oleh: Jurnal Missio, edisi 2006.
REFERENSI
Bevans. Steven, Model-Model Teologi Kontekstual, terj. Yosef Maria
Florisan. Maumere:
Ledalero, 2002.
Chen. Marthen, Teologi Gustavo Gutierrez,. Yogyakarta: Kanisius,
2002.
Conterius. Wilhelm Djulei, “Teologi Misi”, Bahan Kuliah. STFK
Ledalero, 2004.
Decky. Kanisius Teobald, Agama Katolik: Berada Pada Persimpangan?
Ruteng: LPA, 2005.
________, “Persaudaraan Menurut Tradisi Lisan Orang Manggarai: Sebuah Upaya
Membangun Teologi
Kontekstual”, Thesis. Maumere: STFK Ledalero, 2005.
Dian 18 Juni 2006: “Sikka Kelaparan,
Warga Makan Putak”.
Dister. Niko Syukur, Pengantar Teologi. Yogyakarta: Kanisius, 2003.
________, Filsafat Agama Kristiani. Yogyakarta: Kanisius-BPK Gunung
Mulia, 1985.
Dokumen Konsili Vatikan II. terj. Robert Hardawiriana, Jakarta: Obor, 1993.
E. Dussel, A History of the Church in Latin America. Grandrapids,
Michigan:
Eerdmans, 1981.
Flores Pos 19 Juli 2006: “Ratusan Petani Demo Tolak Putusan PN Kupang”,
“Desak SBY Sikapi Serius”, “SPM
Nilai DPRD Khianati Rakyat”.
Flores Pos, 20 Juli 2006: “Fonis Bebas Tak Hapus Hutang Darah”.
Flores Pos, 17 Juli 2006: “Hakim PN Ruteng Dilapor ke Komisi Judisial”.
Gutierresz. Gustavo, The Power of the Poor in History. Maryknoll,
New York: Orbis
Books, 1983.
________, A Theology of Liberation. Maryknoll, N.Y: Orbis Book,
1973.
Hayon. Yoseph Suban, Teologi Asia. Maumere: Ledalero, 1999.
L. Boff dan Clovis Boff, Introducing Liberation Theology. Quezon
City:
Claretian Publications,1987.
O’Collins. Gerald, dan Edward G. Farrugia, Kamus Teologi.
Yogyakarta: Kanisius, 1996.
Prior. John Mansford, “Menuju Suatu Evangelisasi Baru Di Antara Masyarakat
Nus
Tenggara” dalam: Georg
Kirchberger dan John Mansford Prior [eds.], Mengendus
Jejak Allah Dialog Dengan Masyarakat Pinggiran
Jilid II. Ende: Nusa Indah,
1997.
[1] Makalah ini pernah
dipresentasikan dalam LKK PMKRI Cabang Ruteng St. Agustinus, 22 Juli 2006 di
Aula Setda Kabupaten Manggarai.
[2] Saya pernah melihat sebuah tulisan di sebuah
baju yang memuat akronim NTT: “Nasib Tidak Tentu” karena itu “Nanti Tunggu
Tuhan”. Dari akronim itu, bisa diasumsikan bahwa terkesan masyarakat NTT adalah
orang yang memiliki daya juang rendah, pasrah pada nasib dan terkatung-katung
dalam harapan yang tidak realistis. Terdapat sekian propinsi di Indonesia, NTT
adalah salah satu propinsi yang masih memiliki ketergantungan penuh pada
bantuan pusat.
[3] Bdk. Berita Flores Pos 30 Juni 2006 memuat berita tentang
penderita Busung lapar yang meninggal di RSUD Maumere. Dian 18 Juni 2006:
“Sikka Kelaparan, Warga Makan Putak” yang menyebabkan Pempus menyalurkan 11.
000 ton beras.
[4] Akhir-akhir ini masalah ketidakadilan hukum
menjadi semakin hebat di NTT. Baru-baru ini 5 anggota DPR Manggarai yang
kedapatan berjudi hanya divonis PN Ruteng dengan hukum gantung. Sementara
masyarakat sipil yang melakukan hal yang sama dihukum kurungan. Boni Tampoi,
mantan Kapolres Manggarai yang menghilangkan 6 nyawa orang Colol dan puluhan
lainnya luka-luka divonis bebas oleh PN Kupang sementara demonstran Colol
memecahkan kaca jendela Mapolres dihukum kurungan. Bdk. Berita Flores Pos:
“Ratusan Petani Demo Tolak Putusan PN Kupang”, “Desak SBY Sikapi Serius”, “SPM
Nilai DPRD Khianati Rakyat”(FP, 19 Juli 2006), “Fonis Bebas Tak Hapus Hutang
Darah”(FP, 20 Juli 2006), “Hakim PN Ruteng Dilapor ke Komisi Judisial” (FP, 17
Juli 2006).
[5] Secara etimologis istilah “konteks”berasal dari
bahasa Latin- con-texere yaitu menenun atau menganyam. Jadi teologi
kontekstual bukanlah sejumlah kebenaran abstrak yang tidak dipengaruhi oleh
zamannya melainkan suatu keprihatinan iman yang sedang mencari pemahaman di
tengah pengalaman serta realitas politik, sosial dan religius. Dengan kata
lain, ia menggambarkan teologi yang mengindahkan pengalaman manusia, lokasi
sosial, kebudayaan dan perubahan kebudayaan secara sungguh-sungguh, meski juga
berusaha menjaga keseimbangan. Bdk.
Steven Bevans, Model-Model Teologi Kontekstual, terj. Yosef Maria
Florisan, Maumere: Ledalero, 2002, hal. 49.
[6] Gerald O’Collins dan Edward G. Farrugia, Kamus
Teologi, Yogyakarta: Kanisius, 1996, hal. 314.
[7] Bdk. Niko Syukur Dister, Pengantar Teologi,
Yogyakarta: Kanisius, 2003, hal. 17, dan dalam bukunya, Filsafat Agama
Kristiani, Yogyakarta: Kanisius-BPK Gunung Mulia, 1985, hal. 12.
[8] Muncul pembagian teologi ke dalam bidang-bidang
khusus: Apologetik, Eklesiologi, Hermeneutik, Kristologi, Teologi Feminis,
Teologi Fundamental, Teologi Misi, Teologi Politik, Teologi Pastoral, Teologi
Moral, Teologi Kitab Suci, dsb.
[9] Bdk. E. Dussel, A
History of the Church in Latin America, Grandrapids, Michigan: Eerdmans,
1981, hal. 26-31.
[10] Marthen Chen, Teologi Gustavo Gutierrez, Yogyakarta: Kanisius, 2002,
hal. 17.
[11] Terdapat pemahaman yang berkembang pesat saat
itu bahwa Gereja hanya mengurus hal-hal religius yang berkaitan dengan
spiritualitas kekudusan seperti pelayanan sakramen-sakramen sedangkan masalah
kemiskinan adalah masalah negara. Terdapat distingsi yang tegas antara
kehidupan profan yang sekular dan kehidupan religius yang rohani.
[12] Marthen Chen, Op. Cit., hal. 19.
[13] Bdk. Gustavo Gutierresz, The
Power of the Poor in History, Maryknoll, New York: Orbis Books, 1983, hal.
72.
[14] Pada tahun 1971, Gutierrez menerbitkan karya
monumentalnya yang menguraikan secara sistematis dan komprehensif refleksi
teologisnya dalam konfrontasi dengan dunia kaum miskin di Amerika Latin. Buku
ini secara lantang menyuarakan jeritan penderitaan kaum miskin yang tidak
pernah dicatat dalam sejarah. Buku ini menyajikan pula harapan umat Allah yang
membebaskan dalam sejarah. Baca lebih jauh: Gutierrez, A Theology of
Liberation, Maryknoll, N.Y: Orbis Book, 1973.
[15] Bdk. L. Boff dan Clovis
Boff, Introducing Liberation Theology, Quezon City: Claretian
Publications, 1987, hal. 12.
[16] Solicitudo Rei Socialis 45. Mula-mula Teologi Pembebasan ini dilawan oleh Vatikan terkait metode
yang ditawarkannya dianggap sebagai sayap marxisme. Radikalitas pemikiran dan
praksis Teologi Pembebasan cenderung kurang bisa dipahami oleh teologi Barat
yang serba mapan dan jauh dari realitas kemiskinan dan ketertindasan.
[17] Istilah “dunia ketiga” disebut juga dunia
alternatif, dunia bekas jajahan dan yang kemudian merdeka tetapi masih tetap
membawa akibat-akibat dari penjajahan masa lalu seperti kemiskinan,
keterpecahan, penindasan dan ketergantungan. Dunia ketiga merupakan dunia yang
sedang membangun. Dia ingin membangun dengan caranya sendiri, tetapi “ruang”
untuk itu sangat terbatas di tengah dunia yang cenderung “monolitik”. Teologi
yang dibangunnya tidak serta merta mudah mengikuti teologi dunia Barat, tetapi
berupaya menemukan jalan sendiri menuju teologi yang autentik.
[18] Bdk. Yoseph Suban Hayon, Teologi Asia,
Maumere: Ledalero, 1999, hal. 3-4.
[19] Indigensisasi memusatkan perhatian semata-mata
pada matra budaya dari pengalaman manusia, sedangkan kontekstualisasi
memperluas pemahaman tentang kebudayaan sehingga mencakup persoalan-persoalan
sosial, politik dan ekonomi.
[20] Logos,
istilah Yunani yang artinya: sabda, pesan, wacana. Dalam filsafat Yunani, logos
adalah sebab yang merasuki dan menguasai kosmos. Tulisan-tulisan kebijaksanaan
Perjanjian Lama berbicara mengenai Logos sebagai kebijaksanaan Allah yang
menciptakan dunia, yang dipribadikan (Ams 8:1-36, Keb 7:22-30, 9:1-2).
[21] Soal-soal khusus dan dominan cukup memberikan pengaruh yang kuat dalam
berteologi. Secara umum, Afrika mempunyai soal dalam menemukan identitas
kebudayaan, Amerika Latin memerangi ketidakadilan sosial dan Asia bagaimana
bekerja sama dengan agama-agama lain.
[22] Bdk. Kanisius Teobald Decky, Agama Katolik: Berada Pada Persimpangan?,
Ruteng: LPA, 2005, hal. 23.
[23] Hilangnya penghargaan terhadap nilai-nilai
religius asli menyebabkan orang-orang NTT rentan terhadap penjiplakan
nilai-nilai budaya yang datang dari luar termasuk trend-trendnya. Orang
NTT gampang sekali meniru nilai-nilai baru dari luar tetapi sulit menunjukkan
jati dirinya seturut konteks budaya sendiri. Misalnya, aliran-aliran sekte yang
dibawa dari Malaysia oleh para pekerja terkait dengan peristiwa tipuan mukjizat
telah banyak membawa dampak buruk bagi masyarakat.
[24] Bdk. Kanisius Teobald Decky, “Persaudaraan
Menurut Tradisi Lisan Orang Manggarai: Sebuah Upaya Membangun Teologi
Kontekstual”, Thesis, Maumere: STFK Ledalero, 2005, hal. 198-208.
[25] Individu yang tidak mau terlibat dalam gerakkan
baru kekristenan dianggap sebagai orang kafir. Dalam konteks ini kafir selalu
diartikan sebagai yang memiliki masa depan suram [tidak selamat] pada zaman
eskatologis.
[26] Bdk. John Mansford Prior, “Menuju Suatu
Evangelisasi Baru Di Antara Masyarakat Nusa Tenggara” dalam: Georg Kirchberger
dan John Mansford Prior [eds.], Mengendus Jejak Allah Dialog Dengan
Masyarakat Pinggiran Jilid II, Ende: Nusa Indah, 1997, hal. 327.
[27] Bdk. GS 57-58 dalam: Dokumen Konsili Vatikan
II, terj. Robert Hardawiriana, Jakarta: Obor, 1993, hal. 583-587.
[28] Bdk. Wilhelm Djulei Conterius, “Teologi Misi”, Bahan
Kuliah, STFK Ledalero, 2004, hal. 31.
[29] Bdk. John Mansford Prior, Op. Cit., hal. 332.
[30] Terdapat begitu banyak
orang yang peduli dan menaruh perhatian terhadap masalah advokasi di NTT.
Mereka coba menuangkan pikiran mereka melalui media massa atau melakukan orasi
untuk kasus-kasus tertentu. Selain itu organisasi mahasiswa turut terlibat
dalam gerakan bersama advokasi.
[31] Bdk. P. Felix Wilfred, “Dialog yang
Mengap-ngap? Menuju Medan Baru Dalam Dialog Antaragama”, terjemahan Zakharias
Kadju dan Georg Kirchberger, dalam: Georg Kirchberger dan John Mansford Prior
[eds.], Ibid, hal. 139-163.
[32] Bdk. Yoseph Suban Hayon, Op. Cit., hal. 48-50.
Berdasarkan artikel ini saya memperoleh pengetahuan tentang masalah krusial yang menimpa masyarakat Nusa Tenggara Timur (NTT). Yaitu Masalah kemiskinan yang memprihatinkan, sumber daya alam yang melimpah tetapi tidak dieksplorasi secara maksimal. Dan saya sependapat dengan artikel ini karena apa yang disampaikan di artikel ini sesuai dengan apa yang terjadi di NTT khususnya Manggarai
ReplyDeleteArtikel ini sangat bagus, saya bisa mengetahui apa yang bisa mempengaruhi kemiskinan yang terjadi di NTT. Saya sependapat bahwa kemiskinan yang terjadi di NTT sebenarnya tidak ada jika warga NTT bisa mengelola sumber daya yang ada.
ReplyDelete