Kanisius
Teobaldus Deki
Dosen Kitab Suci STKIP St. Paulus,
Anggota Lembaga Biblika Indonesia (LBI)
Perayaan Paskah baru saja usai. Kesemarakan
perayaan itu masih terasa. Fluktuasi perasaan yang diakibatkan oleh hari-hari
perayaan itu masih terbayang. Minggu Palem yang semarak, Kamis Putih yang
hening, Jumat Agung yang penuh kesedihan, Sabtu Suci yang panjang dengan
kumandang Alleluya yang meriah dan Minggu Paskah yang ceria. Perayaan-perayaan
semacam itu, karena terus berulang (leit
motive), dijadikan peristiwa tahunan. Perayaan keagamaan yang terus
dilakukan dengan symbol-simbol berbasis pada waktu tertentu kerap dimengerti
sebagai ritual.
Apakah perayaan-perayaan keagamaan yang
khusuk dan penuh dengan makna itu tinggal sebagai moment pengenangan (mimesis) saja? Apa pesan yang lebih jauh
dari perayaan Paskah? Pertanyaan-pertanyaan ini terlahir dari sebuah kerisauan
akan bahaya kejatuhan pada konsep yang melihat perayaan sebatas ritualisme.
Gerakan Murid-murid Yesus
Pasca kenaikan Yesus ke surga, para murid
berada dalam situasi yang mencemaskan. Mereka selalu berkumpul, berdoa dan
saling melayani. Kitab Kisah Para Rasul (Praxeis
Apostolon) berkisah tentang perbuatan-perbuatan heorik sebagai akibat dari
implementasi iman kepada Yesus: saling menolong dan berbagi bahkan dengan menjual apa yang menjadi
miliknya dan hasilnya diberikan kepada orang yang membutuhkannya (Kis 2:44-46).
Selain itu, di bawah pimpinan Petrus para
rasul mulai berani mengajar dan mewartakan Yesus sebagai mesias (penyelamat).
Tidak hanya berhenti pada tataran kata-kata (kotbah) Petrus berjalan di
berbagai tempat sambil berbuat baik: menyembuhkan orang yang sakit dan bahkan membangkitkan
orang mati (Kis 3:6, 9:34, 9:40).
Kesadaran akan pesan keselamatan Yesus
Kristus sebagai penyelamat melahirkan komitmen para rasul untuk mewartakan
Yesus di daerah Palestina dan wilayah-wilayah lain. Kehadiran rasul Paulus
menciptakan perkembangan yang tak tersangkakan: pewartaan tentang Yesus melaju
ke daerah jauh bahkan hingga ke Roma. Rasul-rasul itu bukan hanya bergerak
untuk meyakinkan orang-orang yang belum mengenal Yesus, tetapi lebih dari itu,
menciptakan jaringan kerja sama sehingga tercipta link antar orang yang percaya
itu untuk melakukan sesuatu. Ketika jemaat di Yerusalem dihantam oleh bencana
kelaparan, Paulus dan rasul-rasul serta penatua jemaat mengumpulkan uang dan
makanan untuk membantu mereka.
Gerakan murid-murid itu tanpa kenal lelah dan
tahan terhadap pelbagai rintangan. Mereka diusir, diejek bahkan dipenjara.
Namun mereka tetap setia, berkanjang dalam doa dan pengajaran, membentuk
komunitas-komunitas, dan menjadi pionir untuk bersikap dan bertindak positif.
Gerakan itu akhirnya secara global melahirkan komunitas Kristen di seluruh
dunia yang berkarya di bidang pengajaran agama, pendidikan, kesehatan, aksi
sosial dan solidaritas dengan orang miskin dan pemberdayaan ekonomi.
Pesan Pembebasan
Agama tidak pernah lepas dari kritik.
Fokusnya bergerak dari pertanyaan substantive tentang perlunya agama hingga
bertitik puncak pada praktik beragama. Nama-nama sohor seperti Sigmund Freud (1856-1939)
dan Karl Marx (1818-1883) terlibat aktif memikirkan agama dari sisi tilik
mereka. Pertanyaan-pertanyaan tentang peran agama menjadi sedemikian penting
tatkala ia ditengarai melahirkan fundamentalisme yang menjadi pemicu kekerasan
mematikan dalam wajah terorisme. Menariknya, walau dikritik dan serang
habis-habisan, agama malah tidak pernah kehilangan pesona.
Kembali ke perayaan Paskah yang semarak
dengan nyanyian dan music yang menyentuh hati, pesan sentral Paskah tetaplah
berfokus pada praktik pembebasan. Sebagaimana orang-orang Israel membebaskan
diri dari kolonial Mesir di bawah pimpinan Musa dan Yosua, Paskah Kristus
selalu bermuara pada pembebasan manusia dari dosa-dosa.
Secara kodrati, manusia terlahir dalam kodrat
yang berpeluang untuk melakukan dosa. Kebebasan yang dimiliki manusia
memperluas peluang itu. Kisah tentang makin maraknya korupsi di NTT,
meningkatnya jumlah keluarga miskin, meningginya jumlah pencari tenaga kerja
sementara persediaan lapangan kerja terbatas, persoalan human trafficking dan TKI yang diperas di negeri orang, adalah
kenyataan tentang makin menguatnya dosa dalam kehidupan manusia. Pemberantasan
kenyataan-kenyataan itu harus datang dari kesadaran untuk mencabut akar,
menemukan persoalan di hulu sebagai penyebab awal (causa prima) dan mengikisnya sampai hilir.
Agama tidak hanya menjadi rumah bagi
penghayatan iman melalui ritual-ritualnya yang semarak dan menyentuh kalbu. Ia
harus melampaui ritual-ritualnya. Pada saat yang bersamaan, agama tidak hanya
menjadi tameng politik, melainkan isi politik itu sendiri yakni bagaimana
membangun kebijakan yang membebaskan rakyat dari kemiskinan. Selajur dengan itu,
agama memiliki efek pada perkembangan humanisme dan kehidupan ekonomi. Lihat
misalnya, The Protestant Ethic and the
Spirit of Capitalism, kajian Max Weber (1864-1920) tentang pengaruh konsep
teologis Protestantisme terhadap percepatan ekonomi bagi pemeluk ajaran
Reformasi. Pembebasan masyarakat dari kemiskinan multi aspek adalah pesan
Paskah yang seharusnya menjadi isi kampanye dan pilihan sikap dasar (optio fundamentalis) kita untuk
menegaskan bahwa agama hadir untuk membahagiakan manusia.***
Dipublikasikan pertama oleh HU Pos Kupang, 8 April 2016.
No comments:
Post a Comment