Kanisius Teobaldus Deki[2]
1. Membaca Konteks
Manggarai
sebagai sebuah wilayah cultural memiliki jumlah umat Katolik yang sangat besar.
Statistik KWI tahun 2004 memperlihatkan bahwa Manggarai, yang memiliki tiga
wilayah administrative kabupaten, merupakan keuskupan terbesar di Indonesia
bila ditilik dari sisi jumlah dan komposisi jumlah umat (96,57%). Bagaimana
bisa terjadi bahwa hampir semua penduduknya beragama Katolik? Itulah pertanyaan
yang sering diajukan untuk menunjukkan ketakjuban atas besarnya pengaruh
kekristenan di wilayah ini.
Pertanyaan-pertanyaan
yang terlontar spontan itu dengan mudah dijawab bahwa pola hidup dan nilai yang
dimiliki oleh orang Manggarai memiliki kedekatan dengan pola dan nilai yang
ditawarkan kekristenan dalam ungkapan “naturaliter Christiana”. Kedekatan itu
lalu berujung pada penerimaan iman Kristen yang total tetapi sekaligus
penerusan pola hidup berbasis budaya yang diupayakan sejajar dengan praktik
iman.
Mengikuti
alur pembahasan di atas, artikel ini lebih merupakan sebuah usaha untuk melihat
salah satu contoh tentang ritual persembahan korban pada budaya orang Manggarai
lalu bagaimana hal itu ditempatkan dalam iman Kristen.
2. Ritual Persembahan Kurban
Seluruh kehidupan orang Manggarai
berhubungan erat dengan ritus-ritus. Terdapat begitu banyak ritus yang dapat
dikelompokkan menjadi tiga bagian besar dilihat dari jenis dan waktu
pelaksanaannya, yakni: 1) ritual yang berkaitan dengan proses awal kehidupan
manusia, yaitu: kehamilan, masa nifas dan menopausme; 2) ritual yang berkaitan
dengan kelangsungan hidup dan interaksi sosial, yaitu: mata pencaharian,
penyakit, perkawinan, syukuran dan selamatan, sumbangan sosial; dan 3) ritual
yang berhubungan dengan transisi antara kehidupan dunia dan akhirat, yaitu
kematian.[3]
Selain tiga point itu, sebenarnya orang Manggarai punya relasi yang intens
dengan “dunia seberang” melalui ritus-ritus khusus. Munculnya ritus teing hang dalam upacara penti (syukuran tahunan pascapanen) misalnya, merupakan
salah satu bukti keberlanjutan relasi antara manusia, leluhur, pencipta dan
alam semesta.[4]
Persembahan kurban dalam seluruh ritus
orang Manggarai menjadi hal yang tak terpisahkan untuk menjembatani intensi
ritus dan usaha agar maksud ritus diterima. Dengan kata lain, persembahan
kurban adalah medium yang diyakini akan memberikan jawaban atas maksud upacara.
Terdapat enam jenis persembahan kurban
yang digunakan mulai dari yang paling besar hingga yang terkecil. Pertama,
kerbau (kaba). Kerbau merupakan hewan
paling berharga bagi masyarakat Manggarai. Selain karena memiliki fisik yang
sangat besar dan berperan penting dalam sistem agraris, kerbau memiliki posisi
istimewa dalam prosesi peminangan seorang gadis. Kerbau dipersembahkan pada
upacara besar dan mulia seperti kebun: lodok
uma cece cocok, cemol lingko (pembagian kebun komunal), penti mese (upacara syukuran besar), congko lokap (pengresmian rumah adat), kaba toe ngaok pada acara wajo mora (upacara pertobatan massal), kaba keeling jurak (rekonsiliasi), kaba tambung watu (paka di’a wura-ceki),
Kelas (kenduri) untuk orang
terpandang, dan upacara wagal
(pengresmian perkawinan adat) dalam ungkapan “cikat kina, wagak kaba” dalam
acara nempung.
Kedua, babi (êla). Selain kerbau, hewan babi memiliki peran sentral dalam
kehidupan orang Manggarai. Babi dipersembahkan dalam upacara kematian (êla haeng nai, êla kelas), upacara
perkawinan (êla mbukut, êla ute),
upacara rekonsiliasi (êla hambor),
upacara syukuran kampong (penti weki peso
beo). Ketiga, kambing (mbe).
Kambing agak langka digunakan sebagai hewan korban. Ada beberapa peristiwa yang
menggunakan kambing sebagai kurban antara lain kando nipi da’at (membebaskan diri dari mimpi buruk), wajo mora (rekonsiliasi).
Keempat, ayam (manuk). Ayam merupakan hewan yang paling jamak digunakan dalam
kehidupan ritual orang Manggarai. Mulai dari upacara kehamilan (na’ang weki), kelahiran (loas), pembersihan kebun (ciwal), penanaman benih (weri), pemanenan (ako), perutusan seseorang untuk pergi ke tempat belajar atau tanah
rantau (wuat wa’i), hingga
persembahan dalam upacara peringatan
akan leluhur (teing hang).
Kelima, telur (ruha). Telur digunakan dalam upacara tolak bala. Ketika seorang
gadis yang sudah menikah diantar ke keluarga suaminya, gadis itu harus menginjak
telur di mbaru gendang (rumah adat).
Maksud dari upacara ini ialah agar seluruh kebiasaan pantangan dan kutukan (cêki agu ) yang ada pada gadis itu dan
klannya dihapus dan dia mengenakan hidup baru bersama klan keluarga suaminya.
Selain itu, pada upacara penolakan roh jahat telur digunakan sebagai kurban
persembahan. Telur diletakkan di depan rumah dalam sebuah tiang segitiga
(disebut cakat), dibuka bagian
atasnya. Maksud dari pemberian kurban ini ialah agar roh baik (wura agu cêki, naga beo, naga tana, naga
mbaru) datang menyantap telur ini sembari menjaga rumah dan penghuninya
dari serangan roh jahat kiriman (mbêko
janto) yang destruktif.
Keenam, kuda (jarang). Kuda memiliki peran yang sentral sebagai alat
transportasi. Dalam upacara kurban, kuda dipakai sebagai persembahan kurban
untuk mendoakan keturunan agar bertumbuh dan berkembang (bêka weki). Pada saat upacara ini, kuda disebut sebagai “jarang
bola kapu naka” (kuda sebagai persembahan syukur). Selain itu, pada saat kepala
kampong meninggal, kuda tunggangannya (jarang
leti) ikut dipersembahkan sebagai kurban pada hari ketiga yang bersangkutan
meninggal.
3. Sikap Gereja: Inkulturasi
Jauh sebelum Konsili Vatikan II,
kesadaran akan perlunya iman Kristen dibahasakan dalam budaya lokal menjadi
fokus kegiatan misi di Manggarai. Mgr. Wilhelmus van Bekkum SVD menjadi
inisiator dalam mengembangkan usaha ini. Dalam karya-karya tulisnya dia selalu
berusaha mengedepankan penelitian tentang budaya dan bagaimana hal itu
dipertautkan dengan iman Kristen. Munculnya misa kerbau (misa kaba) adalah salah satu usaha paling sohor. Usahanya yang
gencar berbuah melimpah.
Menjelang Kongres Pastoral Liturgi
Internasional pertama di Assisi, Italia, yang berlangsung dari tanggal 18-22
September 1956, diadakan Kongres persiapan untuk 50 misionaris dari seluruh
dunia. Ketua kongres ini adalah Mgr. Wilhelmus van Bekkum SVD dan P. Hofinger
SJ dari Filipina. Topik pembicaraannya berkisar antara pembaharuan dan
penyesuaian liturgy dengan budaya setempat (misi), partisipasi umat dalam
ekaristi dan penggunaan bahasa ibu dalam pewartaan Sabda.[5]
Opus
magnus dari pembangunan fokus pada mencari
hubungan yang intens antara iman dan pengungkapannya dalam ranah budaya
terbukti dari lahirnya terjemahan bacaan suci untuk liturgy dalam bahasa Manggarai
dan buku nyanyian liturgy Dere Serani.[6]
Kelak usaha ini ditangani serius oleh keuskupan dalam kerja sama dengan Lembaga
Alkitab Indonesia untuk menerbitkan Kitab Suci Perjanjian Baru dalam bahasa
Manggarai.[7]
Pada saat Kongres Resmi, dalam
makalahnya yang berjudul “The Liturgical Renewal in the Service of Mission”[8]
penekanan dua aspek ini: pentingnya penggunaan bahasa daerah dalam pewartaan
Sabda dan partisipasi aktif umat dalam pelbagai perayaan ekaristi menjadi
sangat dalam. Gagasan-gagasannya yang cemerlang membawa dirinya terpilih
sebagai anggota Komisi Litrgi pada Konsili Vatikan II session pertama 11
Oktober-8 Desember 1962 dengan makalahnya berjudul “Adaptasi Liturgi ke
Kebudayaan Indonesia”.
Perjuangan Mgr. Wilhelmus van Bekkum
SVD kemudian diperkuat oleh para misionaris yang lain, termasuk yang paling
gencar adalah P. Jillis Verheijen SVD yang menulis buku terkenalnya “Het
Hoogste Wezen bij de Manggaraiers” (Wujud Tertinggi Orang Manggarai)[9]
dan tak kurang dari 18 buku dan 16 jilid manuskrip tentang orang Manggarai dan
kebudayaannya.
Usaha inkulturasi menjadi pilihan
sikap resmi keuskupan Ruteng untuk mengadopsi upacara-upacara orang Manggarai
ke dalam liturgy Katolik. Usaha yang berjalan semakin gencar dalam praktik iman
umat keuskupan Ruteng.
Sinode Pertama Keuskupan Ruteng
1994-1995 dan kedua 2006-2007 menegaskan kembali keyakinan dan pilihan sikap
para uskup pendahulu yang melihat pentingnya perayaan liturgy
inkulturatif-biblik dalam praktik keberimanan keuskupan Ruteng.[10]
Kesadaran yang terus menguat untuk
melihat kebudayaan sebagai hal yang positif dan ritus-ritusnya, menyebabkan
kemudian ada perpaduan yang selaras dalam praktik beriman sehari-hari. Sebuah
peristiwa besar, semisal pentahbisan gereja katedral maupun paroki, didahului
oleh ritus kurban persembahan kerbau (paki
kaba) baru diikuti oleh perayaan ekaristi inkulturatif.
Sidang pastoral Keuskupan Ruteng
bertajuk “Iman dan Budaya” pada bulan April 2012 mengetengahkan dua tema besar
yakni tempat torok (doa asli) orang
Manggarai dan upacara teing hang
(penghormatan terhadap leluhur).[11]
Dalam kesempatan itu disimpulkan bahwa torok
sebagai doa ditempatkan dalam liturgy sebagai doa persembahan. Sedangkan
upacara teing hang dengan kurban
hewan merupakan bentuk penghargaan terhadap ciptaan Tuhan dan pemuliaan leluhur
sebagai pengasal dan pewaris kebaikan. Bahwa ada bagian dari upacara itu yang
merujuk pada pembacaan tanda pada usus dan hati hewan (toto urat) dilihat dalam terang iman yakni Tuhan juga memakai alam
semesta dan seluruh isinya sebagai tanda. Hal mana tidak berimplikasi dan
direduksi kepada kepercayaan sia-sia.
Selain itu, refleksi pastoral
pertemuan itu menyatakan bahwa semua kurban yang diasalkan pada ciptaan
kemudian mendapat pemenuhannya pada kurban Yesus di salib. Kurban-kurban yang
manusia lakukan, dengan menggunakan hasil karya tangan manusia, menjadi lambang
kerelaan manusia dan ungkapan syukur kepada Sang pencipta (Mori agu Ngaran). Kesadaran ini menguat dalam ungkapan torok (doa asli) orang Manggarai yang
menyebut Tuhan sebagai Jari agu Dedek,
Jiri agu Wowo (Tuhan Pencipta dan
Pengasal) segala sesuatu.
4. Penutup
Mendaratkan
iman Kristen dalam sebuah konteks tertentu bukanlah perkara mudah. Para
misionaris yang handal telah melakukannya dengan kecerdikan dibarengi
keseriusan untuk mengetahui, mendalami dan mengalami konteks itu. Demikian
halnya dengan kebudayaan. Stephen B. Bevans bahkan beranggapan bahwa memisahkan
iman dari sebuah kebudayaan merupakan kecelakaan besar karena akan menghasilkan
iman tanpa akar.[12]
Bahkan dalam karya besarnya bersama Roger P. Schroeder, ditandaskan inkulturasi
sebagai dialog profetis.[13]
Gereja
lokal keuskupan Ruteng sudah berupaya untuk dua hal ini. Pertama nian,
penerimaan yang positif atas nilai-nilai budaya. Penerimaan ini berdampak pada
sisi tilik untuk mengambil hal-hal baik lagi benar dari budaya dan menjadi
titik penyanggah bagi iman Kristen. Kenyataan ini kemudian menjadi kuat dalam
pewartaan Sabda. Kedua, ada keberanian untuk memadukan nilai-nilai budaya dan
biblik dalam perayaan liturgy dan teologi.
Ritual
persembahan kurban bagi umat Katolik di Keuskupan Ruteng merujuk pada dua
keyakinan dasar itu. Kurban-kurban yang disampaikan berupa hewan merupakan
kurban pendahuluan bagi kurban utama yakni pengorbanan Yesus di kayu salib.
Ritus atau upacara yang dilakukan ada dalam kesadaran bahwa semuanya mengarah
pada muara akhir yakni Allah sebagai Mori
agu Ngaran, Jari agu Dedek, Jiri agu Wowo (pemilik segala sesuatu, pencipta
dan pengasal).
Keyakinan
ini menjadi tonggak utama dalam menopang iman Kristen akan Yesus di satu pihak
dan kesetiaan menghayati nilai-nilai budaya di lain pihak. Sebuah topangan
untuk dua hal besar yang terikat dalam satu tali kehidupan.***
(Dipublikasikan pertama oleh: Wacana Biblica, edisi Vol. 15, No. 1-Januaru-Maret 2015)
Referensi
Bevans,
Stephen B., Model-model Teologi
Kontekstual. Maumere: Ledalero, 2002, pp. 1-50.
______,
dan Roger P. Schroeder, Terus
Berubah-Tetap Setia-Dasar, Pola, Konteks Misi. Maumere: Ledalero, 2006.
Deki, Kanisius T, “Ritus Orang
Manggarai dan Inkulturasi Iman Kristen dari Sisi Tilik Model terjemahan” dalam:
Merancang Pendidikan Berbasis
Budaya-Prosiding Pendidikan Program Studi Teologi. Ruteng, 2012: STKIP St.
Paulus, 2012, pp. 236-250.
_______,
dan Regus, Max (eds.), Gereja Menyapa
Manggarai. Jakarta: Parrhesia, 2011.
_______,
“Ritus Teing Hang Orang Manggarai”, Makalah Sidang Pastoral Keuskupan Ruteng
16-18 April 2012. Diterbitkan sebagai artikel untuk Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan Missio, Vol. 5, No. 1, Th. 2013,
pp. 55-75.
Garis-garis Besar Pedoman Kerja Keuskupan Ruteng
1996-2005. Ruteng:Sekpas, 1995.
Garis-garis Besar Pedoman Kerja Keuskupan Ruteng
2008-2012. Ruteng:Puspas, 2008.
Jehandut,
Boenafasius, Uskup Wilhelmus van Bekkum
dan Dere Serani. Jakarta: Nera, 2012.
LAI, Surak Nggeluk Reke Weru. Jakarta: LAI,
2014.
Mukese,
John Dami SVD dan Eduard Jebarus Pr (eds.), Indahnya
Kaki Mereka-Telusur Jejak Para Misionaris Belanda. Ende: Nusa Indah, 2013.
Verheijen,
Jillis, Wujud Tertinggi Orang Manggarai.
Jakarta:LIPI, 1989.
[1] Artikel untuk Majalah Wacana Biblica edisi
Januari 2015.
[2] Peneliti dan penulis budaya
Manggarai, dosen Kitab Suci di STKIP St.
Paulus Ruteng.
[3] Max Regus dan Kanisius T Deki (eds.), Gereja Menyapa Manggarai (Jakarta:
Parrhesia, 2011), pp. 49-196.
[4] Kanisius T. Deki, “Ritus Orang
Manggarai dan Inkulturasi Iman Kristen dari Sisi Tilik Model terjemahan” dalam:
Merancang Pendidikan Berbasis
Budaya-Prosiding Pendidikan Program Studi Teologi (Ruteng: STKIP St.
Paulus, 2012), pp. 236-250.
[5] John Dami Mukese SVD dan Eduard Jebarus Pr
(eds.), Indahnya Kaki Mereka-Telusur
Jejak Para Misionaris Belanda (Ende: Nusa Indah, 2013), pp. 187-204.
[6] Boenafasius Jehandut, Uskup Wilhelmus van Bekkum dan Dere Serani (Jakarta: Nera, 2012).
[7] LAI, Surak
Nggeluk Reke Weru (Jakarta: LAI, 2014). Kitab Suci ini sudah secara resmi
dilaunching pada Oktober 2014 di Keuskupan Ruteng.
[8] The Assisi Papers, 1957, pp. 95-112.
[9] Jillis Verheijen, Wujud Tertinggi Orang Manggarai (Jakarta:LIPI, 1989).
[10] Garis-garis
Besar Pedoman Kerja Keuskupan Ruteng 1996-2005
(Ruteng:Sekpas, 1995), pp.19-20. Garis-garis
Besar Pedoman Kerja Keuskupan Ruteng 2008-2012 (Ruteng:Puspas, 2008), p.
27.
[11] Kanisius T. Deki, “Ritus Teing Hang Orang
Manggarai”, Makalah Sidang Pastoral
Keuskupan Ruteng 16-18 April 2012. Diterbitkan sebagai artikel untuk Jurnal
Pendidikan dan Kebudayaan Missio, Vol. 5, No. 1, Th. 2013, pp. 55-75.
[12] Stephen B. Bevans, Model-model Teologi Kontekstual (Maumere: Ledalero, 2002), pp.
1-50.
[13] Stephen B. Bevans dan Roger P. Schroeder, Terus Berubah-Tetap Setia-Dasar, Pola,
Konteks Misi (Maumere: Ledalero, 2006), pp. 659-666.
great job ka'e
ReplyDeletegreat job ka'e
ReplyDeleteArtikel 2
ReplyDeleteRITUAL PERSEMBAHAN KURBAN DI MANGGARAI – KISAH INTIKULTURASI GEREJA KATOLIK KEUSKUPAN RUTENG
Menurut saya, Manggarai adalah sebuah komunitas sosial dengan kekayaan budaya yang tidak ternilai harganya. Kekayaan budaya ini telah membuat karakter masyarakat Manggarai sebagai masyarakat berkebudayaan. Memiliki budaya dengan nilai tertinggi telah diwariskan dari para leluhur kepada generasi sekarang. Gereja katolik Ruteng mengarahkan manusia untuk mengembangkan kebudayaannya secara kritis baik dalam revitalisasi nilai- nilai tradisional maupun dalam menyambut nilai – nilai baru yang senter dijejalkan melalu teknologi informasi.
Gereja katolik adalah sahabat kebudayaan sebagaimana Tuhan hendak menjadi bagian dari kesejarahan manusia. Untuk menjalin hubungan dengan Tuhan, orang Manggarai melakukan sejumlah kegiatan, yakni melakukan doa-doa peribadi, doa bersama dan upacara umum yang berkaitan dengan hidup bersama. Melalui ritus-ritus ini,otang Manggarai berusaha mencipatakan hubungan yang harmonis dengan Tuhan. Salah satu cotoh ritus tersebut adalah Ritual Persembahan Kurban. Dalam ritual ini, orang Manggarai biasa mempersembahkan kurban berupa hewan seperti, keru,babi,ayam,dll. Hewan –hewan ini dipersembahkan sesuai dengan ritus yang dilakukan oleh masyarakat Manggarai. Dalam acara kematian orang Manggrai biasa menggunakan hewan kurban berupa babi “ ela haeng nai ‘ ini adalah salah satu contoh hewan persembahan yang digunakan sebagai kurbaan.
Nama : Mariana Grace De Simnia
Npm : 13.31.3099
Kelas : IIIB