Tuesday, 26 April 2016

Ritual Persembahan Kurban di Manggarai- Kisah Inkulturasi Gereja Katolik Keuskupan Ruteng[1]




Kanisius Teobaldus Deki[2]



1.   Membaca Konteks
Manggarai sebagai sebuah wilayah cultural memiliki jumlah umat Katolik yang sangat besar. Statistik KWI tahun 2004 memperlihatkan bahwa Manggarai, yang memiliki tiga wilayah administrative kabupaten, merupakan keuskupan terbesar di Indonesia bila ditilik dari sisi jumlah dan komposisi jumlah umat (96,57%). Bagaimana bisa terjadi bahwa hampir semua penduduknya beragama Katolik? Itulah pertanyaan yang sering diajukan untuk menunjukkan ketakjuban atas besarnya pengaruh kekristenan di wilayah ini.
Pertanyaan-pertanyaan yang terlontar spontan itu dengan mudah dijawab bahwa pola hidup dan nilai yang dimiliki oleh orang Manggarai memiliki kedekatan dengan pola dan nilai yang ditawarkan kekristenan dalam ungkapan “naturaliter Christiana”. Kedekatan itu lalu berujung pada penerimaan iman Kristen yang total tetapi sekaligus penerusan pola hidup berbasis budaya yang diupayakan sejajar dengan praktik iman.
Mengikuti alur pembahasan di atas, artikel ini lebih merupakan sebuah usaha untuk melihat salah satu contoh tentang ritual persembahan korban pada budaya orang Manggarai lalu bagaimana hal itu ditempatkan dalam iman Kristen.

2.   Ritual Persembahan Kurban
Seluruh kehidupan orang Manggarai berhubungan erat dengan ritus-ritus. Terdapat begitu banyak ritus yang dapat dikelompokkan menjadi tiga bagian besar dilihat dari jenis dan waktu pelaksanaannya, yakni: 1) ritual yang berkaitan dengan proses awal kehidupan manusia, yaitu: kehamilan, masa nifas dan menopausme; 2) ritual yang berkaitan dengan kelangsungan hidup dan interaksi sosial, yaitu: mata pencaharian, penyakit, perkawinan, syukuran dan selamatan, sumbangan sosial; dan 3) ritual yang berhubungan dengan transisi antara kehidupan dunia dan akhirat, yaitu kematian.[3] Selain tiga point itu, sebenarnya orang Manggarai punya relasi yang intens dengan “dunia seberang” melalui ritus-ritus khusus. Munculnya ritus teing hang dalam upacara penti (syukuran tahunan pascapanen) misalnya, merupakan salah satu bukti keberlanjutan relasi antara manusia, leluhur, pencipta dan alam semesta.[4]
Persembahan kurban dalam seluruh ritus orang Manggarai menjadi hal yang tak terpisahkan untuk menjembatani intensi ritus dan usaha agar maksud ritus diterima. Dengan kata lain, persembahan kurban adalah medium yang diyakini akan memberikan jawaban atas maksud upacara.
Terdapat enam jenis persembahan kurban yang digunakan mulai dari yang paling besar hingga yang terkecil. Pertama, kerbau (kaba). Kerbau merupakan hewan paling berharga bagi masyarakat Manggarai. Selain karena memiliki fisik yang sangat besar dan berperan penting dalam sistem agraris, kerbau memiliki posisi istimewa dalam prosesi peminangan seorang gadis. Kerbau dipersembahkan pada upacara besar dan mulia seperti kebun: lodok uma cece cocok, cemol lingko (pembagian kebun komunal), penti mese (upacara syukuran besar), congko lokap (pengresmian rumah adat), kaba toe ngaok pada acara wajo mora (upacara pertobatan massal), kaba keeling jurak (rekonsiliasi), kaba tambung watu (paka di’a wura-ceki), Kelas (kenduri) untuk orang terpandang, dan upacara wagal (pengresmian perkawinan adat) dalam ungkapan “cikat kina, wagak kaba” dalam acara nempung.
Kedua, babi (êla). Selain kerbau, hewan babi memiliki peran sentral dalam kehidupan orang Manggarai. Babi dipersembahkan dalam upacara kematian (êla haeng nai, êla kelas), upacara perkawinan (êla mbukut, êla ute), upacara rekonsiliasi (êla hambor), upacara syukuran kampong (penti weki peso beo). Ketiga, kambing (mbe). Kambing agak langka digunakan sebagai hewan korban. Ada beberapa peristiwa yang menggunakan kambing sebagai kurban antara lain kando nipi da’at (membebaskan diri dari mimpi buruk), wajo mora (rekonsiliasi).
Keempat, ayam (manuk). Ayam merupakan hewan yang paling jamak digunakan dalam kehidupan ritual orang Manggarai. Mulai dari upacara kehamilan (na’ang weki), kelahiran (loas), pembersihan kebun (ciwal), penanaman benih (weri), pemanenan (ako), perutusan seseorang untuk pergi ke tempat belajar atau tanah rantau (wuat wa’i), hingga persembahan dalam upacara  peringatan akan leluhur (teing hang).
Kelima, telur (ruha). Telur digunakan dalam upacara tolak bala. Ketika seorang gadis yang sudah menikah diantar ke keluarga suaminya, gadis itu harus menginjak telur di mbaru gendang (rumah adat). Maksud dari upacara ini ialah agar seluruh kebiasaan pantangan dan kutukan (cêki agu ) yang ada pada gadis itu dan klannya dihapus dan dia mengenakan hidup baru bersama klan keluarga suaminya. Selain itu, pada upacara penolakan roh jahat telur digunakan sebagai kurban persembahan. Telur diletakkan di depan rumah dalam sebuah tiang segitiga (disebut cakat), dibuka bagian atasnya. Maksud dari pemberian kurban ini ialah agar roh baik (wura agu cêki, naga beo, naga tana, naga mbaru) datang menyantap telur ini sembari menjaga rumah dan penghuninya dari serangan roh jahat kiriman (mbêko janto) yang destruktif.
Keenam, kuda (jarang). Kuda memiliki peran yang sentral sebagai alat transportasi. Dalam upacara kurban, kuda dipakai sebagai persembahan kurban untuk mendoakan keturunan agar bertumbuh dan berkembang (bêka weki). Pada saat upacara ini, kuda disebut sebagai “jarang bola kapu naka” (kuda sebagai persembahan syukur). Selain itu, pada saat kepala kampong meninggal, kuda tunggangannya (jarang leti) ikut dipersembahkan sebagai kurban pada hari ketiga yang bersangkutan meninggal.

3.   Sikap Gereja: Inkulturasi
Jauh sebelum Konsili Vatikan II, kesadaran akan perlunya iman Kristen dibahasakan dalam budaya lokal menjadi fokus kegiatan misi di Manggarai. Mgr. Wilhelmus van Bekkum SVD menjadi inisiator dalam mengembangkan usaha ini. Dalam karya-karya tulisnya dia selalu berusaha mengedepankan penelitian tentang budaya dan bagaimana hal itu dipertautkan dengan iman Kristen. Munculnya misa kerbau (misa kaba) adalah salah satu usaha paling sohor. Usahanya yang gencar berbuah melimpah.
Menjelang Kongres Pastoral Liturgi Internasional pertama di Assisi, Italia, yang berlangsung dari tanggal 18-22 September 1956, diadakan Kongres persiapan untuk 50 misionaris dari seluruh dunia. Ketua kongres ini adalah Mgr. Wilhelmus van Bekkum SVD dan P. Hofinger SJ dari Filipina. Topik pembicaraannya berkisar antara pembaharuan dan penyesuaian liturgy dengan budaya setempat (misi), partisipasi umat dalam ekaristi dan penggunaan bahasa ibu dalam pewartaan Sabda.[5]
Opus magnus dari pembangunan fokus pada mencari hubungan yang intens antara iman dan pengungkapannya dalam ranah budaya terbukti dari lahirnya terjemahan bacaan suci untuk liturgy dalam bahasa Manggarai dan buku nyanyian liturgy Dere Serani.[6] Kelak usaha ini ditangani serius oleh keuskupan dalam kerja sama dengan Lembaga Alkitab Indonesia untuk menerbitkan Kitab Suci Perjanjian Baru dalam bahasa Manggarai.[7]
Pada saat Kongres Resmi, dalam makalahnya yang berjudul “The Liturgical Renewal in the Service of Mission”[8] penekanan dua aspek ini: pentingnya penggunaan bahasa daerah dalam pewartaan Sabda dan partisipasi aktif umat dalam pelbagai perayaan ekaristi menjadi sangat dalam. Gagasan-gagasannya yang cemerlang membawa dirinya terpilih sebagai anggota Komisi Litrgi pada Konsili Vatikan II session pertama 11 Oktober-8 Desember 1962 dengan makalahnya berjudul “Adaptasi Liturgi ke Kebudayaan Indonesia”.
Perjuangan Mgr. Wilhelmus van Bekkum SVD kemudian diperkuat oleh para misionaris yang lain, termasuk yang paling gencar adalah P. Jillis Verheijen SVD yang menulis buku terkenalnya “Het Hoogste Wezen bij de Manggaraiers” (Wujud Tertinggi Orang Manggarai)[9] dan tak kurang dari 18 buku dan 16 jilid manuskrip tentang orang Manggarai dan kebudayaannya.
Usaha inkulturasi menjadi pilihan sikap resmi keuskupan Ruteng untuk mengadopsi upacara-upacara orang Manggarai ke dalam liturgy Katolik. Usaha yang berjalan semakin gencar dalam praktik iman umat keuskupan Ruteng.
Sinode Pertama Keuskupan Ruteng 1994-1995 dan kedua 2006-2007 menegaskan kembali keyakinan dan pilihan sikap para uskup pendahulu yang melihat pentingnya perayaan liturgy inkulturatif-biblik dalam praktik keberimanan keuskupan Ruteng.[10]
Kesadaran yang terus menguat untuk melihat kebudayaan sebagai hal yang positif dan ritus-ritusnya, menyebabkan kemudian ada perpaduan yang selaras dalam praktik beriman sehari-hari. Sebuah peristiwa besar, semisal pentahbisan gereja katedral maupun paroki, didahului oleh ritus kurban persembahan kerbau (paki kaba) baru diikuti oleh perayaan ekaristi inkulturatif.
Sidang pastoral Keuskupan Ruteng bertajuk “Iman dan Budaya” pada bulan April 2012 mengetengahkan dua tema besar yakni tempat torok (doa asli) orang Manggarai dan upacara teing hang (penghormatan terhadap leluhur).[11] Dalam kesempatan itu disimpulkan bahwa torok sebagai doa ditempatkan dalam liturgy sebagai doa persembahan. Sedangkan upacara teing hang dengan kurban hewan merupakan bentuk penghargaan terhadap ciptaan Tuhan dan pemuliaan leluhur sebagai pengasal dan pewaris kebaikan. Bahwa ada bagian dari upacara itu yang merujuk pada pembacaan tanda pada usus dan hati hewan (toto urat) dilihat dalam terang iman yakni Tuhan juga memakai alam semesta dan seluruh isinya sebagai tanda. Hal mana tidak berimplikasi dan direduksi kepada kepercayaan sia-sia.
Selain itu, refleksi pastoral pertemuan itu menyatakan bahwa semua kurban yang diasalkan pada ciptaan kemudian mendapat pemenuhannya pada kurban Yesus di salib. Kurban-kurban yang manusia lakukan, dengan menggunakan hasil karya tangan manusia, menjadi lambang kerelaan manusia dan ungkapan syukur kepada Sang pencipta (Mori agu Ngaran). Kesadaran ini menguat dalam ungkapan torok (doa asli) orang Manggarai yang menyebut Tuhan sebagai Jari agu Dedek, Jiri agu Wowo (Tuhan Pencipta dan Pengasal) segala sesuatu.

4.   Penutup
Mendaratkan iman Kristen dalam sebuah konteks tertentu bukanlah perkara mudah. Para misionaris yang handal telah melakukannya dengan kecerdikan dibarengi keseriusan untuk mengetahui, mendalami dan mengalami konteks itu. Demikian halnya dengan kebudayaan. Stephen B. Bevans bahkan beranggapan bahwa memisahkan iman dari sebuah kebudayaan merupakan kecelakaan besar karena akan menghasilkan iman tanpa akar.[12] Bahkan dalam karya besarnya bersama Roger P. Schroeder, ditandaskan inkulturasi sebagai dialog profetis.[13]
Gereja lokal keuskupan Ruteng sudah berupaya untuk dua hal ini. Pertama nian, penerimaan yang positif atas nilai-nilai budaya. Penerimaan ini berdampak pada sisi tilik untuk mengambil hal-hal baik lagi benar dari budaya dan menjadi titik penyanggah bagi iman Kristen. Kenyataan ini kemudian menjadi kuat dalam pewartaan Sabda. Kedua, ada keberanian untuk memadukan nilai-nilai budaya dan biblik dalam perayaan liturgy dan teologi.
Ritual persembahan kurban bagi umat Katolik di Keuskupan Ruteng merujuk pada dua keyakinan dasar itu. Kurban-kurban yang disampaikan berupa hewan merupakan kurban pendahuluan bagi kurban utama yakni pengorbanan Yesus di kayu salib. Ritus atau upacara yang dilakukan ada dalam kesadaran bahwa semuanya mengarah pada muara akhir yakni Allah sebagai Mori agu Ngaran, Jari agu Dedek, Jiri agu Wowo (pemilik segala sesuatu, pencipta dan pengasal).
Keyakinan ini menjadi tonggak utama dalam menopang iman Kristen akan Yesus di satu pihak dan kesetiaan menghayati nilai-nilai budaya di lain pihak. Sebuah topangan untuk dua hal besar yang terikat dalam satu tali kehidupan.***

 (Dipublikasikan pertama oleh: Wacana Biblica, edisi Vol. 15, No. 1-Januaru-Maret 2015)
Referensi

Bevans, Stephen B., Model-model Teologi Kontekstual. Maumere: Ledalero, 2002, pp. 1-50.

______, dan Roger P. Schroeder, Terus Berubah-Tetap Setia-Dasar, Pola, Konteks Misi. Maumere: Ledalero, 2006.

Deki, Kanisius T, “Ritus Orang Manggarai dan Inkulturasi Iman Kristen dari Sisi Tilik Model terjemahan” dalam: Merancang Pendidikan Berbasis Budaya-Prosiding Pendidikan Program Studi Teologi. Ruteng, 2012: STKIP St. Paulus, 2012, pp. 236-250.

_______, dan Regus, Max (eds.), Gereja Menyapa Manggarai. Jakarta: Parrhesia, 2011.

_______, “Ritus Teing Hang Orang Manggarai”, Makalah Sidang Pastoral Keuskupan Ruteng 16-18 April 2012. Diterbitkan sebagai artikel untuk Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan Missio, Vol. 5, No. 1, Th. 2013, pp. 55-75.

Garis-garis Besar Pedoman Kerja Keuskupan Ruteng 1996-2005. Ruteng:Sekpas, 1995.

Garis-garis Besar Pedoman Kerja Keuskupan Ruteng 2008-2012. Ruteng:Puspas, 2008.

Jehandut, Boenafasius, Uskup Wilhelmus van Bekkum dan Dere Serani. Jakarta: Nera, 2012.

LAI, Surak Nggeluk Reke Weru. Jakarta: LAI, 2014.

Mukese, John Dami SVD dan Eduard Jebarus Pr (eds.), Indahnya Kaki Mereka-Telusur Jejak Para Misionaris Belanda. Ende: Nusa Indah, 2013.

Verheijen, Jillis, Wujud Tertinggi Orang Manggarai. Jakarta:LIPI, 1989.


[1] Artikel untuk Majalah Wacana Biblica edisi Januari 2015.
[2] Peneliti dan penulis budaya Manggarai,  dosen Kitab Suci di STKIP St. Paulus Ruteng.
[3] Max Regus dan Kanisius T Deki (eds.), Gereja Menyapa Manggarai (Jakarta: Parrhesia, 2011), pp. 49-196.
[4] Kanisius T. Deki, “Ritus Orang Manggarai dan Inkulturasi Iman Kristen dari Sisi Tilik Model terjemahan” dalam: Merancang Pendidikan Berbasis Budaya-Prosiding Pendidikan Program Studi Teologi (Ruteng: STKIP St. Paulus, 2012), pp. 236-250.

[5] John Dami Mukese SVD dan Eduard Jebarus Pr (eds.), Indahnya Kaki Mereka-Telusur Jejak Para Misionaris Belanda (Ende: Nusa Indah, 2013), pp. 187-204.
[6] Boenafasius Jehandut, Uskup Wilhelmus van Bekkum dan Dere Serani (Jakarta: Nera, 2012).
[7] LAI, Surak Nggeluk Reke Weru (Jakarta: LAI, 2014). Kitab Suci ini sudah secara resmi dilaunching pada Oktober 2014 di Keuskupan Ruteng.
[8] The Assisi Papers, 1957, pp. 95-112.
[9] Jillis Verheijen, Wujud Tertinggi Orang Manggarai (Jakarta:LIPI, 1989).
[10] Garis-garis Besar Pedoman Kerja Keuskupan Ruteng 1996-2005 (Ruteng:Sekpas, 1995), pp.19-20. Garis-garis Besar Pedoman Kerja Keuskupan Ruteng 2008-2012 (Ruteng:Puspas, 2008), p. 27.
[11] Kanisius T. Deki, “Ritus Teing Hang Orang Manggarai”, Makalah Sidang Pastoral Keuskupan Ruteng 16-18 April 2012. Diterbitkan sebagai artikel untuk Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan Missio, Vol. 5, No. 1, Th. 2013, pp. 55-75.
[12] Stephen B. Bevans, Model-model Teologi Kontekstual (Maumere: Ledalero, 2002), pp. 1-50.
[13] Stephen B. Bevans dan Roger P. Schroeder, Terus Berubah-Tetap Setia-Dasar, Pola, Konteks Misi (Maumere: Ledalero, 2006), pp. 659-666.

3 comments:

  1. Artikel 2

    RITUAL PERSEMBAHAN KURBAN DI MANGGARAI – KISAH INTIKULTURASI GEREJA KATOLIK KEUSKUPAN RUTENG
    Menurut saya, Manggarai adalah sebuah komunitas sosial dengan kekayaan budaya yang tidak ternilai harganya. Kekayaan budaya ini telah membuat karakter masyarakat Manggarai sebagai masyarakat berkebudayaan. Memiliki budaya dengan nilai tertinggi telah diwariskan dari para leluhur kepada generasi sekarang. Gereja katolik Ruteng mengarahkan manusia untuk mengembangkan kebudayaannya secara kritis baik dalam revitalisasi nilai- nilai tradisional maupun dalam menyambut nilai – nilai baru yang senter dijejalkan melalu teknologi informasi.
    Gereja katolik adalah sahabat kebudayaan sebagaimana Tuhan hendak menjadi bagian dari kesejarahan manusia. Untuk menjalin hubungan dengan Tuhan, orang Manggarai melakukan sejumlah kegiatan, yakni melakukan doa-doa peribadi, doa bersama dan upacara umum yang berkaitan dengan hidup bersama. Melalui ritus-ritus ini,otang Manggarai berusaha mencipatakan hubungan yang harmonis dengan Tuhan. Salah satu cotoh ritus tersebut adalah Ritual Persembahan Kurban. Dalam ritual ini, orang Manggarai biasa mempersembahkan kurban berupa hewan seperti, keru,babi,ayam,dll. Hewan –hewan ini dipersembahkan sesuai dengan ritus yang dilakukan oleh masyarakat Manggarai. Dalam acara kematian orang Manggrai biasa menggunakan hewan kurban berupa babi “ ela haeng nai ‘ ini adalah salah satu contoh hewan persembahan yang digunakan sebagai kurbaan.

    Nama : Mariana Grace De Simnia
    Npm : 13.31.3099
    Kelas : IIIB

    ReplyDelete