Wednesday 28 December 2011

Wuad Wa'i & Pendidikan Orang Manggarai


Tak dapat disangkal, kebijasanaan lokal kerap kali menjadi rujukan alternatif di saat modernisasi telah menciptakan individualisme ekstrem. Modernitas oleh individualismenya itu meciptakan sekat-sekat pemisah yang terjal sehingga memungkinkan sosialitas menjadi bagian yang terpinggirkan. Tragedinya muncul, ketika acuan kita lebih dominan ke area modernitas itu, ketimpangan menjadi tak terelekan. Pihak yang kuat akan tetap hidup yang lemah menyerah lalu tak berdaya. Menyadari hal itu, berpaling ke nilai budaya tradisional menjadi pilihan alternatif.

Orang Manggarai punya tradisi yang menarik dalam banyak bidang, termasuk bidang pendidikan. Kesadaran akan kelemahan personal menyebabkan mereka mengandalkan komunalisme. Itulah sebabnya banyak sisi kehidupan yang ditanggung bersama. Ada tradisi yang disebut "wuad Wa'i" (kerap juga disebut acara Pesta Sekolah) yakni sebuah ritus perutusan yang dibuat jelang orang pergi ke tempat perantauan demi melanjutkan pendidikannya.

Melalui acara Wuad Wa'i ada beberapa nilai yang muncul. 1) Nilai kebersamaan. Orang datang menghadiri acara itu lalu memberikan sumbangan uang demi melancarkan biaya pendidikan anak yang bersangkutan. 2) Nilai motivasi. Anak yang dibantu diminta untuk sungguh-sungguh bersekolah sehingga kelak bisa menjadi orang baik.

Nilai-nilai inilah yang menghasilkan begitu banyak sarjana di Manggarai. Melalui kebersamaan ini, seorang pribadi kemudian menempatkan diri secara benar dalam kebersamaan dengan yang lain. Ia tidak sendirian (no man is an island). Ini menegaskan esensi manusia sebagai mahkluk sosial (ens sociale). Dengan ini menjadi jelas, pendidikan yang benar bukan pada soal biaya, tetapi lebih pada bagiamana memberi isi. Kembali ke budaya dan nilainya merupakan salah satu orientasi yang mungkin jika nilai modernitas tak sepenuhnya bisa memberi jawaban atas tantangan yang aktual.***

Tuhan dan Agama

Suatu siang saya dikejutkan oleh beberapa pertanyaan:

Apakah Tuhan butuh agama?

Ataukah Manusia saja yang butuh agama?

Apakah Tuhan hanya "disalurkan" lewat agama?

Apakah manusia bisa bertemu dengan Tuhan walau tanpa agama?

Apakah Tuhan bisa dijumpai secara resmi tanpa pihak yang disebut sebagai "wakil, perantara, gembala?"

Kalau Tuhan yang butuh agama, betulkah Ia perlu urusan berbelit-belit?

Kalau Tuhan tidak butuh agama, mengapa Dia membiarkan agama-agama tetap ada?

Ataukah biarTuhan tahu ada agama, namun karena kedirianNya tidak terwakili agama

maka agama bukan soal bagi diriNya?

pertanyaan ini datang dari seorang yang baru pulang sembayang...

saya tidak menyangka pertanyaan-pertanyaan ini diajukan

walau sebenarnya setiap orang beragama berhak untuk mencari pemahaman atas imannya

sebuah pencarian untuk menemukan otentisitas dan originalitas atasnya...

sambil minum kopi robusta yang enak

saya membentangkan penjelasan rasional-sistematis yang menjadi inti hadirnya agama dalam kehidupan manusia

teori-teori dan refleksi iman berhamburan dari zaman Bapa-bapa Gereja hingga teolog mashur sekelas Karl Rahner dan Joseph Ratzinger, tak lupa teolog Amerika Latin kesohor seperti Guttierez dkk

namun leleki tua ini tetap tak menemukan pencerahan malah kembali ia bertanya:

"Siapakah yang butuh ada agama, Tuhan atau Manusia atau Agama itu sendiri sebagai institusi?"

diskusi ini akhirnya dihentikan karena hujan mulai rintik-rintik

dia berpamitan pulang...

di ruang kerja, pertanyaan itu kembali menggema...

aku tak pedulikan isi pertanyaannya, namun mencari latar mengapa orang bertanya.

pasti ada sesuatu dengan agama

benarkah agama kita sekarang ini terlampau formalistis-legalistik?

penuh dengan aturan admisnistrasi dan hukum?

penuh dengan doktrin (ajaran) namun kurang perbuatan baik?

sesak dengan dimensi ajaran keselamatan yang akan datang lupa para dimensi selamat hari ini?

membangun gedung fisik yang mewah-menterang, lupa pada pembangunan spiritual?

kaum elit agama berkawan dengan elit birokrat sehingga tidak ada lagi sikap kritis dan kekuatan kenabian?

sehingga perubahan total di segala bidang tak bisa diharapkan dari dimensi kebijakan yang populis

mimbar agama dijadikan medan kampanye politis sehingga penjahatpun bisa jadi pemimpini?

..................

masih banyak pertanyaan yang datang silih berganti...

namun satu hal yang sementara ini saya temukan,

Yesus pernah bilang, mendengar Dia bicara itu penting, tetapi lebih penting lagi sesudah itu melakukannya...

iman kita perlu bahasa baru, bukan lagi bahasa ajaran (yang kadang angkuh)

melainkan bahasa perbuatan yang mengalahkan semua kedurjanaan

sehingga dunia ini didamaikan oleh aksi-aksi kasih yang nyata,

ditenangkan oleh kasih murni tanpa perhitungan untung-rugi

bukan menjadi pasar slogan yang hiruk pikuk dengan kebohongan...

saya yakin itulah yang membahasakan kehadiran Tuhan di tengah kita.

Tuhan yang Kupercayai

oleh Nick Teobald Decky pada 30 Oktober 2010 pukul 16:16

siapakah Tuhan? siapakah Allah?

begitu banyak gambaran tentang diriNya

sekian defenisi menumpuk dalam kesadaran manusia

terlampau banyak ide mengenai Dia

siapakah Dia?

banyak orang membunuh atas namaNya

tak kurang juga yang menipu demi namaNya

berjuta alasan munafik telah timbul karenaNya

juga hukum-hukum dan peraturan bengis untuk memuliakan Dia

benarkah itu identitas diriNya?

jika ada bencana, Dia disebut sedang beri cobaan

jika ada kehancuran, Dia jadi asal-muasalnya

jika ada kelaparan, wabah, sakit Dia lagi murka

jika ada kematian orang tercinta, di kotbah2 disebut, Tuhan telah memanggilnya

karena lebih mencintai dia

betulkah itu adalah jati diriNya?

Allah yang merampas?

Allah yang tega?

Allah yang jahat?

apakah dalam diri Allah ada dua kodrat yang saling berlawanan

(kadang Dia baik, kadang Dia jahat)?

malam2 permenunganku menyentuh kesadaran

bahwa manusia terlalu gampang menyerahkan segala sesuatu kepada Tuhan

bahkan jika yang diserahkan itu adalah sesuatu yang melawan kodratNya...

manusia mengalami penderitaan, termasuk kematian sebagai akibat dari eksistensinya yang rapuh

ia menerima kerapuhan itu sebagai pewarisan terberi,

dunia ini bisa hancur karena kodratnya yang fana, berproses terus menerus sesuai hukum alam,

pengalaman-pengalaman kekacauan, peperangan, ketidakadilan, penindasan

adalah bagian tak terpisahkan dari penyalahgunaan kebebasan manusia

dan instink dasarnya untuk menguasai...

apakah Tuhan juga merupakan asal kejahatan, bencana, kelaparan, kebinasaan, kemelaratan, sekit, kematian sekaligus sumber sumber kebaikan, cinta dan sayang?

saya tidak meyakini itu

karena esensi dan eksistensi Tuhan adalah kebaikan.

hanya yang baik datang dari Tuhan karena itu adalah kodratNya!

kodrat inilah yang seharusnya mengubah setiap orang yang percaya:

"kebaikan"

sehingga dunia ini kian sembuh dari segala deritanya

termasuk karena iman yang salah kaprah...

(Ruteng, saat Hujan sedang mengguyur deras...keheningan menjadi warna siang ini).