Suatu siang saya dikejutkan oleh beberapa pertanyaan:
Apakah Tuhan butuh agama?
Ataukah Manusia saja yang butuh agama?
Apakah Tuhan hanya "disalurkan" lewat agama?
Apakah manusia bisa bertemu dengan Tuhan walau tanpa agama?
Apakah Tuhan bisa dijumpai secara resmi tanpa pihak yang disebut sebagai "wakil, perantara, gembala?"
Kalau Tuhan yang butuh agama, betulkah Ia perlu urusan berbelit-belit?
Kalau Tuhan tidak butuh agama, mengapa Dia membiarkan agama-agama tetap ada?
Ataukah biarTuhan tahu ada agama, namun karena kedirianNya tidak terwakili agama
maka agama bukan soal bagi diriNya?
pertanyaan ini datang dari seorang yang baru pulang sembayang...
saya tidak menyangka pertanyaan-pertanyaan ini diajukan
walau sebenarnya setiap orang beragama berhak untuk mencari pemahaman atas imannya
sebuah pencarian untuk menemukan otentisitas dan originalitas atasnya...
sambil minum kopi robusta yang enak
saya membentangkan penjelasan rasional-sistematis yang menjadi inti hadirnya agama dalam kehidupan manusia
teori-teori dan refleksi iman berhamburan dari zaman Bapa-bapa Gereja hingga teolog mashur sekelas Karl Rahner dan Joseph Ratzinger, tak lupa teolog Amerika Latin kesohor seperti Guttierez dkk
namun leleki tua ini tetap tak menemukan pencerahan malah kembali ia bertanya:
"Siapakah yang butuh ada agama, Tuhan atau Manusia atau Agama itu sendiri sebagai institusi?"
diskusi ini akhirnya dihentikan karena hujan mulai rintik-rintik
dia berpamitan pulang...
di ruang kerja, pertanyaan itu kembali menggema...
aku tak pedulikan isi pertanyaannya, namun mencari latar mengapa orang bertanya.
pasti ada sesuatu dengan agama
benarkah agama kita sekarang ini terlampau formalistis-legalistik?
penuh dengan aturan admisnistrasi dan hukum?
penuh dengan doktrin (ajaran) namun kurang perbuatan baik?
sesak dengan dimensi ajaran keselamatan yang akan datang lupa para dimensi selamat hari ini?
membangun gedung fisik yang mewah-menterang, lupa pada pembangunan spiritual?
kaum elit agama berkawan dengan elit birokrat sehingga tidak ada lagi sikap kritis dan kekuatan kenabian?
sehingga perubahan total di segala bidang tak bisa diharapkan dari dimensi kebijakan yang populis
mimbar agama dijadikan medan kampanye politis sehingga penjahatpun bisa jadi pemimpini?
..................
masih banyak pertanyaan yang datang silih berganti...
namun satu hal yang sementara ini saya temukan,
Yesus pernah bilang, mendengar Dia bicara itu penting, tetapi lebih penting lagi sesudah itu melakukannya...
iman kita perlu bahasa baru, bukan lagi bahasa ajaran (yang kadang angkuh)
melainkan bahasa perbuatan yang mengalahkan semua kedurjanaan
sehingga dunia ini didamaikan oleh aksi-aksi kasih yang nyata,
ditenangkan oleh kasih murni tanpa perhitungan untung-rugi
bukan menjadi pasar slogan yang hiruk pikuk dengan kebohongan...
saya yakin itulah yang membahasakan kehadiran Tuhan di tengah kita.
Budaya wuat wa’i orang Manggarai memang memiliki makna yang mendalam dan patut untuk dipresiasi untuk nilai kebersamaan dan saling mendukung.Tetapi,apakah budaya wuat wa’i untuk konteks waktu sekarang masih relevan?.Pasalnya,saat ini ada orang tua yang memang membuat acara wuat wa’i untuk meminta dukungan dari orang lain demi kelancaran sekolah anaknya.Tetapi,sampai pada sang anak,ada yang menyalahgunakan bentuk dukungan tersebut untuk hal lain.Bahkan ada juga orang tua yang sudah berkali-kali membuat acara wuat wa’i bagi seorang anak,tetapi sang anak belum ada tanda-tandaa untuk sukses dalam pendidikannya.
ReplyDelete