Drs. Donatus Hargens, Lelaki Dengan Garpu Tala: In Memoriam
Kanisius Teobald Deki
Mantan Murid 1993-1995
Sejak zaman
sekolah menengah pertama, saya menjumpai sosok ini. Hampir saat ikut
merayakan ekaristi setiap hari Minggu ia tampil memimpin lagu. Palumatnya
sangat khas. Penuh semangat. Ayunan tangannya selaras dengan mimik wajahnya
ketika memimpin lagu. Maklum kala itu, koor belum dibiasakan untuk perayaan
hari Minggu biasa. Kecuali pada saat tiga perayaan besar: Natal, Paskah dan
Pentekosta.
Pagi ini
saya membaca di WAG SMAK Pancasila Borong: Don Hargens telah pergi untuk
selamanya! Ada perasaan sedih. Setelah sekian lama ia bertarung dalam derita
karena sakit panjang yang menghimpitnya, iapun menghembuskan nafas terakhir.
Sebuah pembebasan kodrati yang tak dapat ditolak.
Pembuka
Pintu Sosiologi dan Antropologi
Ada empat
guru yang mengajar kelas sosial yang disebut juga dengan kodefikasi jurusan A3.
Guru Simon Sabur mengajar sejarah. Guru Simon sangat ahli ketika mengajar
sejarah. Ia menciptakan suasana sedemikian apik sehingga kita seolah hadir di
Maluku ketika Spanyol mengunjungi wilayah itu. Guru Alo Ontar mengajar ekonomi.
Guru Alo mengajarkan Hukum Gossen, neraca dan rumusan ekonomi. Guru Alo, dengan
aksen Satar Mesenya, membangun kecintaan terhadap bidang ini.
Di bidang
tata negara, ada Guru Herman Hasu. Guru Herman memudahkan teori tentang negara,
demokrasi dan politik. Guru Herman pribadi yang penuh semangat dan tegas. Tak
jarang, ketegasannya melampaui ambang kelemah-lembutan. Sebagai Wakasek Bagian
Kesiswaan, beliau memang memiliki semangat yang terus membara. Kedisiplinan dan
kerja adalah kata kunci untuk semua hal.
Selain
ketiga guru itu, ada Guru Don Hargens. Ia membuka pintu sosiologi dan
antropologi bagi kami. Perbincangan tentang tema sosiologi: individu, masyarakat, sistem sosial, keluarga,
sosialisasi, stratifikasi sosial, hubungan antar kelompok, perilaku, tatanan
sosial, perubahan sosial, konflik[1]
kami peroleh darinya.
Demikian
ketika masuk diskursus antropologi. Perbincangan tentang manusia, kepribadian,
masyarakat, kebudayaan, dinamika masyarakat dan kebudayaan, etnografi,[2]
gender, hirarki sosial, politik dan kekuasaan, pertukaran, produksi dan
teknologi, agama dan ritual, pola-pola pikir, etnisitas, politik identitas[3]
kami berguru padanya.
Penjalinan
idenya yang genial menghadirkan tokoh-tokoh kaliber di bidang ini secara
sederhana. Setidaknya, kala itu, nama-nama seperti Aguste Comte, Emile
Durkheim, Max Weber, Peter L. Berger, Karl Marx, Herbert Spencer, Simmel mulai
akrab dalam ingatan. Dari Indonesia dua nama yang kerap terdengar antara lain:
Selo Soemardjan dan Soerjono Soekonto masuk ke medan memori kami sebagai siswa
program A3.
Demikian halnya
tokoh kampiun di bidang antropologi seperti Edward Burnet Taylor, James George
Frazer, Margaret Mead, Franz Boas, Claude Levi Strauss, Clifford Geertz. Tak
lupa antropolog dari Indonesia, Koentjaraningrat, Parsudi Suparlan dan Arief
Budiman. Penjelasan-penjelasan Guru Don Hargens tentang tokoh-tokoh ini dan
pemikirannya menggugah saya untuk meminati medan sosiologi dan antropologi pada
masa kemudian.
Saat kuliah,
kemudian, saya secara khusus mengarahkan diri untuk mengkaji bidang sosiologi
dan antropolgi dengan konsisten. Buku pertama saya berjudul: Tradisi Lisan
Orang Manggarai menjadi karya
monumental bidang sosiologi dan antropologi yang dipertautkan dengan konteks
kehidupan sosial dan budaya Manggarai.[4]
Buku ini paling banyak disitasi oleh penstudi
Manggarai, dalam dan luar negeri. Demikian karya publikasi selanjutnya,
minat di dua bidang ini menjadi domain yang memberi daya dan kekhasan tersendiri
pada artikel jurnal, artikel media (koran pun online) serta buku-buku
saya. Minat itu pula yang menempatkan saya sebagai salah satu maestro budaya
Manggarai oleh Kantor Bahasa NTT. Kenyataan yang membanggakan sekaligus
membahagiakan!
Garpu
Tala, Gaya Khas yang Memendam Rindu
Guru Don
Hargens di masanya menjadi pegiat koor. Jika ada perayaan Natal, Paskah pun
Pentekosta menjadi tanggungan wilayah mereka, ia menjadi dirigen. Gaya khas
yang dimilikinya adalah memegang garpu tala. Alat resonator akustik berbentuk
garpu ini akan bergetar pada frekuensi tertentu saat dipukul. Alat ini digunakan
untuk menghasilkan nada murni yang stabil, biasanya sebagai referensi dalam
menyetel alat musik atau dalam pemeriksaan
pendengaran.
Mungkin
karena kecintaannya pada seni, di sekolah oleh Rm. Kanis Ali Pr, kepsek zaman
itu memercayakan pengajaran bidang seni kepada Guru Don Hargens. Terus terang,
saat latihan koor, Guru Hargens bersemangat. Sayangnya, saya sama sekali tak
tertarik untuk menjadi peserta koor. Mujurnya, di bidang seni rupa, saya
memiliki minat tinggi. Gambar-gambar saya diapresiasinya secara positif.
Hari ini
saya berduka karena kepergian Guru Don Hargens. Ingatan akan kebersamaan yang
memiliki ruang kolektif yang cukup panjang tentu tidaklah mudah dilupakan begitu
saja. Garpu tala yang selalu berada di tangannya menciptakan kesan tersendiri. Garpu
tala itu menjadi simbol kesetiaannya melayani jemaat dalam perayaan ekaristi. Melihat
wajah Guru Don yang memiliki senyum simpatik dengan pola gerak memukul garpu
talanya, memulangkan semua yang menjadi saksi kepada rindu mendalam. Rindu untuk
hadir dalam kebersamaan yang senantiasa memberi makna.
Guru Don,
bahagialah di sana bersama Guru Herman Hasu!
[1] Lih. Bernard Raho, Sosiologi
(Maumere: Ledalero, 2019).
[2] Lih. Konetjaraningrat, Pengantar
Ilmu Antropologi (Jakarta: Rineka Cipta, 2009).
[3] Lih. Thomas Hylland Eriksen, Antropologi
Sosial dan Budaya-Sebuah Pengantar (Maumere: Ledalero, 2009).
[4] Kanisius Teobaldus Deki, Tradisi
Lisan Orang Manggarai (Jakarta: Pharresia Institute, 2011).
Saya ada di tenor bersama Celi, dan Michael Maput. Sejauh ini dia ada tiga pelatih koor terbaik yg sy kenal, dan Pak Don adalah yg terbaik dari yg terbaik. Dia kenal betul jika ada satu anak miss satu nada. Latihan dihentikan, dan ia pun mendekati sumber suara fals tersebut. Yg punya suara langsung ketar ketir, sebab selucu-lucu pak Don, saat latihan koor muka dan suaranya bikin nyamuk pun lari menghindar. Tuhan berkati beliau. Bahagia nan abadi.
ReplyDeleteKenangan kita yang indah. Latihan koor sejak SMP, guru musik yang paten dan tak jarang muka bengis dihadiahkan kepada yang tak ikut not. Hahaha...
DeleteBagus sekali, vulgar
ReplyDeleteTerima kasih
Delete