Mengapa Ritus Adat Perlu? Catatan Dari Kegiatan Podcast 7 Juni 2025
Kanisius Teobaldus Deki
Direktur Lembaga Nusa Bunga Mandiri
Staf Pengajar STIE Karya Ruteng
Pada tanggal 3 Juni 2025 saya mendapat undangan
dari Lembaga Saeh Go Lino (SGL). Lembaga yang diinisiasi oleh beberapa orang
muda di Kota Ruteng di bawah kepemimpinan Kraeng Armin Bel ini membangun banyak
aktivitas yang memunculkan kreatifitas orang muda. Kegiatan positif terus
tumbuh dari Lembaga SGL.
Pada tahun 2025 mereka (Lembaga SGL) mendapatkan banyak dukungan dari multipihak sehingga membangun kembali kesadaran orang muda Manggarai untuk mengenal, mencintai dan merawat budaya Manggarai. Catatan reflektif ini merupakan serpihan-serpihan konseptual yang menjadi landas pijak diskusi podcast budaya Lembaga SGL di Mbaru Wunut - Ruteng pada 7 Juni 2025.
Pengakuan Akan Jalan Budaya
Kenyataan hidup manusia sebagai individu dan masyarakat memiliki persoalan. Persoalan-persoalan itu tidak semuanya bisa diselesaikan melalui jalur hukum. Untuk mengatasi sebagian masalah yang dihadapi masyarakat yang notabene tidak secara memadai dapat diselesaikan oleh hukum, maka peran kearifan lokal (local wisdom) dalam pluralitas wajahnya seperti ujaran bertuah (go’et), ritus-ritus adat serta tata pemerintahan adat dapat dijadikan pilihan. Selain itu, kenyataannya dalam temuan peneliti, lembaga adat (gendang, tata pemerintahan golo), hukum adat, serta ritus-ritus adat secara historis mendahului tata pemerintahan republic dan hukum serta kebiasaan adat telah mendarah-daging dalam praktik kehidupan masyarakat Manggarai (sebagai kultur).[1]
Penyelesaian konflik antar individu dan komunitas dapat diselesaikan secara baik oleh pemerintahan adat dan hukum yang berlaku atasnya. Hal ini telah menjadi legal dalam kenyataan hidup orang Manggarai dari waktu ke waktu.[2]
Dari sisi Negara, upaya pelestarian, pemberdayaan serta pengembangan adat-istiadat, budaya dan hukum adat, khususnya setelah memasuki era reformasi telah mendapat perhatian, perlindungan dan pengakuan oleh negara dan pemerintah NKRI. Bahkan pengakuan terhadap hukum adat di bidang agraria sesungguhnya telah terdapat sejak tahun 1960 yakni dalam UUPA No. 5 Tahun 1960 tanggal 24 September 1960.
Tak dapat disangkal, menurut A. Schiller, hukum adat sesungguhnya adalah hukum yang hidup (The Living Law atau dalam bahasa Belanda oleh Mr. Van Vollen Hoven, hidup tahun 1874-1933, yang juga dikatakan sebagai Bapak Hukum Adat disebut Het Lieven De Recht). Walaupun tercerap secara lisan dan diwariskan secara spontan namun memiliki kekuatan hukum yang tetap.[3]
Kajian yang dilakukan Deki tentang konflik vertical dan horizontal yang terjadi di Manggarai yang berciri kolosal dan massif juga disebabkan oleh tidak diindahkannya kearifan lokal dalam pelbagai bentuknya.[4] Merujuk pada teori Fungsionalisme Struktural dan Konflik, telah terjadi disfungsi hukum adat yang selama ini menjadi salah satu acuan bagi penyelesaian konflik tanah.[5] Teori mana diaraskan pada pemikiran Emile Durkheim.[6]
Selain menyentuh ranah hukum, ritus-ritus adat orang Manggarai menjadi tonggak penting dalam menjaga keseimbangan kehidupan; baik antara manusia dengan manusia, manusia dengan alam, maupun manusia dengan Sang Khalik. Ritus-ritus, sebagaimana disebut Eliade (1958) menjadi sarana pemurnian kehidupan dan memberi tempat istimewa kepada kehidupan. Sebuah penghargaan yang menunjukkan bahwa kehidupan tidak berdiri sendiri.
Menyadari hal di atas, menelisik dan meneliti ritus-ritus adat, tata aturan yang ada di dalamnya, aplikasi sistem pemerintahan adat pada praktik hidup, kearifan local yang dipunyainya merupakan hal yang wajib hukumnya untuk membangun kehidupan yang beradab dan harmonis, serta membantu pemerintah dalam menjalankan tugas melindungi, memajukan dan mensejahterakan masyarakat Manggarai Raya. Tugas penelitian dan penyusunan buku ini, termasuk di dalamnya membangun kajian bersama serta menciptakan persepsi bersama untuk penentuan kebijakan yang akan diterapkan, adalah hal yang mesti dilakukan segera untuk mengantisipasi munculnya persoalan-persoalan yang belum secara memadai diatasi dalam masyarakat.
Kekayaan Budaya Manggarai Dalam Ritus
Budaya Manggarai mengandung nilai-nilai yang kaya, tumbuh dan berkembang sejalan dengan pertumbuhan dan perkembangan masyarakatnya sehingga memegang peranan penting dalam pembentukan watak sosial masyarakat pendukungnya. Di dalam masyarakat Manggarai tidak dapat disangkal hadirnya tradisi lisan yang mengandung makna dan nilai kehidupan.Tradisi lisan yang sebagian terungkap dalam bentuk narasi lisan ”goet-goet” yang akrab dengan pelbagai ritus adat Manggarai mengajarkan banyak nilai fundamental kehidupan, mengandung moral agar manusia menyadari citra kehidupan yang baik dalam relasi dengan Tuhan, relasi dengan sesama dan relasi dengan lingkungan hidup.
Citra ”imagined personality” dan ”imagined community” orang Manggarai dapat dibaca dalam narasi-narasi tradisi lisan mereka. Harus kita sadar sejak awal bahwa budaya Manggarai memiliki simbol, struktur bahkan strategi untuk menghayati nilai-nilai dan makna yang ada di dalamnya dan karena itu Manggarai tidak pernah dilihat sebagai sebuah ”vacuum” atau ruang kosong tanpa tata kelola kehidupan sosial mereka.
Pada saat Gereja katolik menjejaki tanah ”Congka Sae” ini ternyata Manggarai bukanlah: ”tanah tak bertuan” sehingga Inkulturasi yang dimaknai Gereja sebagai sebuah imperasi pastoral melihat budaya Manggarai sebagai mitra yang menentukan sosok kehidupan beradab. Simbolisme budaya Manggarai bukan hanya berhubungan dengan bentuk atau bingkai kebudayaan melainkan berhubungan langsung dengan cara manusia Manggarai menata kehidupan mereka secara unik, khas dan tak tergantikan. Orang Manggarai memeragakan simbol-simbol budaya mereka selama perayaan ”ritus-ritus adat” mereka dan pada saat yang sama mereka merancangbangun secara sangat kaya kehidupan mereka dengan nilai-nilai kultur terhadap kebudayaan mereka sendiri. Tidak dapat disangkal Manggarai memiliki budaya yang sangat kaya. Rumusan-rumusan budaya lokal belum banyak berubah.Masih terpahat dalam ingatan orang Manggarai dari satu generasi ke generasi lainnya. Tanpa wadah kultural dan kemanusiaan orang Manggarai pastoral gereja katolik bergerak dalam kehampaan.
Kita semua boleh memiliki hasrat intelektual sekaligus kultural untuk menelusuri sebagian kecil dari kekayaan budaya Manggarai. Dari penelitian yang dilaksanakan akhir-akhir ini yang ada kaitannya dengan tradisi lisan hadir materi-materi berharga yang menyuguhkan temuan-temuan yang mengejutkan. Tidak pernah dibayangkan bahwa keseluruhan makna kehidupan terbahasakan dengan indah dalam ”tradisi lisan” orang Manggarai. Di dalam tradisi lisan ini kita menyaksikan bagaimana orang Manggarai memperlakukan kehidupan dan bagaimana mereka menata hidupnya dalam semua aspek seperti aspek sosio-ekonomis, sosio-politis, sosio-religius, sosio-psikologis, sosio-emosional.
Banyak aspek kemanusiaan yang mendapat tempat dalam arus tradisi lisan orang Manggarai. Karena itu ada tanggungjawab orang Manggarai tidak hanya dengan alasan emosi kebudayaan untuk merumuskan kembali tanggungjawab orang Manggarai. Ekologi pikiran yang sulit dibantah adalah bahwa budaya bukan sesuatu yang berada di luar kehidupan melainkan di dalam kehidupan orang Manggarai. Kalau kita melihat bahwa gerakan masuk ke dalam budaya Manggarai adalah ”kritik kebudayaan” maka hal itu selalu berarti ada ”kritik terhadap manusianya”.
Dalam perspektif Inkulturasi yang merupakan imperasi pastoral seperti yang dicanangkan oleh Konsili Vatikan II pilihan kajian dan penyusunan buku atas ”ritus-ritus adat Manggarai” diambil berdasarkan alasan-alasan penting berikut: Pertama, ritus-ritus adalah adalah sebuah perayaan yang memiliki dampak sistemik yang luas karena berciri holistik. Kedua, ritus-ritus adat merupakan sebuah perayaan persekutuan atau komunitas dimana setiap keluarga Manggarai melihat kembali rancang-bangun kehidupannya baik secara pribadi maupun bersama-sama. Ketiga, ritus-ritus adat seperti ”Penti” misalnya adalah perayaan akbar yang masih dirayakan setiap tahun antara tiga sampai lima hari dimana orang Manggarai merenungkan kembali panggilan (Vocatio), persekutuan (communio) serta perutusan (missio) mereka di tengah dunia.
Nilai-nilai sosial, religius serta spiritual yang tampil dalam ”ritus-ritus adat” terutama narasi-narasi kemanusiaan yang diangkat selama perayaan ritus-ritus itu merupakan pernak-pernik atau elemen-elemen berharga dalam proses Inkulturasi kehidupan Gereja. Perayaan ritus-ritus adat yang kaya dengan religiositasnya merupakan bagian dari totalitas budaya Manggarai dan merupakan mitra tak terbantahkan dari proses Inkulturasi kehidupan Gereja. Karena Inkulturasi yang adalah analogi dari Inkarnasi itu tak dapat dibantah di Manggarai maka pemahaman yang memadai tentang elemen kebudayaan suatu suku bangsa merupakan sebuah prasyarat mutlak dari tanggungjawab yang mulia tersebut.
Untuk mencapai kepenuhan hidupnya, usaha menggali ritus-ritus adat yang masih hidup di tengah masyarakat Manggarai melalui riset lalu menyusunnya kembali secara tematis dengan alur mulai awal kehidupan, proses mengisi kehidupan sampai pada kematian, haruslah dilakukan. Penyusunan ini menghasilkan sebuah buku yang dapat dipakai oleh setiap Orang Manggarai dalam menggumuli kehidupannya berbasis ritus-ritus adat-budaya yang dimilikinya.
Riset untuk penyusunan buku Ritus-ritus Adat Orang Manggarai datang dari pertanyaan kunci (key-question): “Apa saja ritus orang Manggarai dan bagaimana mereka menghayati kehidupan berbasis ritus-ritus itu?”
Sejalan dengan pertanyaan kunci di atas, kajian dan penyusunan buku ini bergerak untuk memberikan jawaban atas fokus soal: Menjelaskan apa itu ritus, jenis-jenis ritus adat, persoalan-persoalan yang dapat diselesaikan dengan ritus adat, tujuan ritus adat dilakukan, langkah-langkah atau tahapan pelaksanaan ritus adat, hewan kurban dalam ritus adat, para pihak yang dihadirkan dalam setiap ritus, pihak yang menjadi pemimpin ritus dan berbagai hal yang berkaitan langsung dengan pelaksanaan ritus.
Diskusi yang Sangat Hidup
Pertanyaan itu seputar implementasi ritus dalam kehidupan sehari-hari sampai pada tema-tema budaya yang mengundang diskusi serius seperti mengapa belis Orang Manggarai sangat mahal? Apakah itu bukan bentuk eksploitasi terhadap perempuan?
Perjumpaan 3 jam diskusi malam itu memang luar biasa. Pertanyaan-pertanyaan yang menohok merupakan ekspresi sikap menerima dan mencintai budaya, membangun identitas dan karakter berbasis budaya berhadap-hadapan dengan tuntutan sikap kritis untuk memurnikan motivasi bebrudaya dalam tindakan nyata yang tetap mengusung nilai kemanusiaan sebagai keutamaan.***
[1] Kanisius Teobaldus Deki, “Membaca Peta Konflik di Manggarai: Upaya Telusuran Berposisi Pada Teori Fungsionalisme Struktural dan Teori
Konflik” dalam: Jurnal
Missio, Vol. VI, No. 2, Thn 2007, hal. 12-29.
[2] Kanisius Teobaldus Deki et.al., “Revitalisasi
Lembaga Adat di Manggarai” dalam: Laporan
Hasil Penelitian (LPPM STKIP Santu Paulus, 2014), hal. 1.
[3]A. Schiller, Adat Low in Indonesia (London: Harder Publications, 1962), hal. 17.
[4] Kanisius Teobaldus Deki, Op.cit., hal. 12
[5] Bernard Raho, Pengantar Sosiologi (Maumere:STFK Ledalero, 2003), hal. 111.
[6] Turner,
Jonathan, The Strcture of Sociological
Theory (Homewood Illinois:
The Dorsey Press, 1978), hal. 127.
Comments
Post a Comment