Pemertahanan Bahasa Daerah Manggarai-Melawan Kepunahan
Kanisius Teobaldus Deki
Foto: Ritual Adat seperti Congko Lokap sarat dengan ungkapan bahasa adat yang suci dan indah. Pemertahanan bahasa adat ini penting agar pencerapan arti bagi kehidupan manusia tidak hilang begitu saja (sumber: nik deki).
Bahasa daerah memiliki peran
yang penting dalam kehidupan penuturnya. Selain sebagai alat komunikasi bahasa
daerah juga merupakan simbol jati diri, karakter dan identitas. Namun kenyataannya, terdapat
bahasa daerah yang kian lama tidak digunakan lagi oleh pemiliknya lalu terancam
punah.
Sebagaimana
dilansir oleh media detikedu.com pada 18 Maret 2024, Kementerian Pendidikan,
Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudrisrek) RI mengatakan 11 bahasa
daerah di Indonesia alami kepunahan, 25 terancam punah, 19 ada dalam kategori
rentan, yang alami kemunduran ada 3 bahasa dan ada 5 bahasa yang dalam kondisi
kritis. Sedangkan jumlah bahasa daerah yang masih digunakan secara aktif di
Indonesia sebanyak 24 bahasa (bdk. Detikedu.com).
Mencari
Jawaban
Apa yang menjadi penyebab dari kepunahan bahasa daerah kita? Pertanyaan
itu coba dijawab oleh Lewis et al., (2015) yang berpendapat bahwa ada dua
dimensi dalam pencirian keterancaman bahasa, yaitu jumlah penutur yang
menggunakan bahasanya serta jumlah dan sifat penggunaan atau fungsi penggunaan
bahasa. Suatu bahasa dikatakan terancam apabila semakin sedikit masyarakat yang
mengakui bahasanya dan, oleh karena itu, bahasa itu tidak pernah digunakan
ataupun diajarkan kepada anak-anak mereka. Selain itu, suatu bahasa
dikategorikan terancam punah jika bahasa itu semakin sedikit digunakan dalam
kegiatan sehari-hari sehingga kehilangan fungsi sosial atau komunikatifnya.
Hal itu didukung oleh Fishman (Nugroho, 2016) yang menyatakan bahwa
salah satu faktor penting pemertahanan sebuah bahasa adalah adanya loyalitas
masyarakat pendukungnya. Selain itu, faktor berikutnya adalah jumlah orang yang
mengakui bahasa tersebut sebagai bahasa ibu,
dan penutur dewasa berbicara dengan sesamanya dalam situasi yang beragam
menggunakan bahasa daerah itu.
Adanya fakta kemunahan atau terancam punah itu menimbulkan usaha-usaha
pemertahanan bahasa itu. Usaha pertama adalah menemukan faktor-faktor yang dapat
mempengaruhi pemertahanan sebuah bahasa. Selanjutnya, penemuan faktor-faktor
itu dapat menolong kita untuk menemukan jalan keluar.
Sumarsono (Rahman, 2017) menyatakan bahwa ada 5 faktor yang dapat
memberi pengaruh pada pemertahanan bahasa daerah. Faktor-faktor itu dapat
dijelaskan sbb:
1.
Konsentrasi Penutur. Bahasa hanya dapat bertahan hidup jika
masih ada penutur yang memakainya. Hal ini sudah jelas dan tidak dapat
dihindari. Bagi bahasa minoritas yang berada di lingkungan masyarakat yang
didominasi bahasa mayoritas, yang penting adalah para penutur itu
terkonsentrasi dalam suatu wilayah.
2.
Kesinambungan Pengalihan Bahasa Ibu. Pada umumnya seorang
penutur bukan ekabahasawan, melainkan dwibahasawan karena banyak di antara
mereka menguasai bahasa lain (B2), meskipun kemampuan itu hanya sekadar mampu
berbicara sedikit-sedikit. Penutur asli (B1) memperoleh dan menggunakan B2
karena kebutuhan pragmatis, yaitu demi hubungan pekerjaan atau ekonomi. Dengan
demikian, dapat dikatakan bahwa motivasi yang melandasi pemerolehan dan
penggunaan B2 adalah motivasi instrumental bukan motivasi integratif. Kondisi
seperti itu tentu sangat menguntungkan dalam proses pemertahanan
sebuah bahasa. Anak-anak
mereka tidak harus menjadi
dwibahasawan pada usia muda sehingga pemertahanan bahasa dapat berlanjut.
Proses pengalihan B1 meskipun dilakukan di bawah kesadaran kepada generasi
berikutnya, jelas merupakan wujud nyata dari kesetiaan generasi tua terhadap
BI. Perilaku ini merupakan faktor penting dalam pemertahanan dan pelestarian
bahasa itu, sehingga tidak tergeser oleh bahasa mayoritas. Pemertahanan ini
makin kuat karena ditunjang oleh tidak adanya keperluan mengalihkan bahasa
lain, khususnya B2 kepada anak-anak mereka.
3.
Loyalitas terhadap Bahasa Ibu. Bahasa sebagai lambang identitas
kelompok atau guyup yang
memilikinya. Proses pengalihan
bahasa kepada generasi berikutnya jelas menggambar
kesetiaan generasi tua terhadap bahasanya. Loyalitas atau kesetiaan terhadap B1
makin jelas manakala penuturnya menjelaskan alasan yang melandasi pengalihan
B1. Jika generasi tua mengalihkan B1 kepada generasi muda dengan
cara pengungkapan yang
berbeda-beda. Hal ini sangat mempengaruhi dalam pemertahanan
suatu bahasa. Selain itu, generasi muda juga harus memiliki kesadaran yang tinggi
terhadap penggunaan B1 sesuai dengan proporsinya. Artinya, generasi muda harus
mengetahui kapan harus menggunakan B1 dan kapan menggunakan B2.
4.
Sikap Bahasa Golongan Muda. Demi pemertahanan bahasa,
golongan muda harus memiliki sikap
positif terhadap B1-nya.
Mereka harus memiliki loyalitas terhadap penggunaan bahasa ibunya
dengan menempatkannya pada posisi
yang pas meskipun
tidak menutup kemungkinan memerlukan bahasa lain. Sikap
bahasa seorang penutur sebuah bahasa memang tidak bisa diamati secara empiris.
Sikap yang menyangkut batin dapat diduga dari tindakan dan perilaku Sikap
bahasa golongan muda diharapkan lebih luas dibandingkan dengan golongan tua.
5.
Penggunaan bahasa oleh kelompok (Guyup). Dalam penggunaan
bahasa oleh dwibahasawan, pilihan bahasa mana yang dipakai dalam situasi
tertentu merupakan kajian menarik.
Penggunaan bahasa pada ranah
keluarga (family domain),
ketetanggaan (neighborhood domain), pendidikan (education domain),
agama (religion domain), transaksi (transactional domain), dan
pemerintahan (government domain) disadari memiliki peran sentral.
Upaya Pemertahanan
Bahasa Manggarai dituturkan oleh sekitar 1.021.000 orang pada tahun 2025
(Deki, 2021). Bahasa Manggarai sampai sejauh ini menjadi salah satu bahasa yang
aktif dituturkan oleh tiga wilayah administratif kabupaten: Manggarai,
Manggarai Timur dan Manggarai Barat. Walaupun di tiga wilayah yang berbeda ini
ada beberapa dialek seperti: dialek Kempo, Manus, Kolang namun bahasa asalnya
tetaplah terbanyak bahasa Manggarai. Selain itu di tiga wilayah ini terdapat
bahasa Rongga, Rembong, dan Bima yang jumlah penuturnya tidak terlalu banyak.
Meskipun bahasa Manggarai dipakai sebagai bahasa percakapan setiap hari,
ada begitu banyak perubahan penurunan yang disebabkan oleh berbagai macam hal.
Salah satu yang berubah adalah bahasa adat yang digunakan dalam pelbagai ritual
kehidupan orang Manggarai. Demikian halnya dengan peribahasa-peribahasa serta
syair-syair lagu yang cenderung meninggalkan pola berbahasa Manggarai asli.
Semakin menurunnya kemampuan berbahasa Manggarai yang halus, yang
diungkap misalnya melalui ritus-ritus, menciptakan rasa prihatin dan menimbulkan
keinginan untuk membangun kesadaran bersama yang bermuara pada tindakan konkrit
menyelamatkan bahasa Manggarai dari kepunahan.
Upaya pemertahanan bahasa Manggarai dilakukan melalui berbagai kegiatan komunitas
yang produktif, visible dan berkelanjutan. Kegiatan-kegiatan itu dapat
dilakukan melalui komunitas literasi yang menawarkan kegiatan penguatan
komunitas literasi, penambahan koleksi bacaan yang menunjang dan kegiatan
penguatan literasi masyarakat.
Dalam program pemertahanan ini, upaya menghidupkan dan memperkuat sastra
lisan orang Manggarai (Deki, 2011) yang memusatkan
perhatian pada dua bentuk utama sastra yang sudah menjadi lazim yakni prosa
naratif dan puisi lirik. Prosa naratif Manggarai
terungkap dalam pelbagai kisah rakyat [tombo nunduk, tombo turuk]. Puisi
lirik Manggarai dieskpresikan melalui peribahasa, tamsil-tamsil [go’et],
syair-syair doa [torok] dan syair-syair lagu-lagu rakyat [dere,
nenggo].
Adapun kegiatan yang akan dilakukan berfokus pada menulis dalam bahasa
Manggarai khususnya dalam menggali,
menyusun dalam bentuk tulisan dan mengungkapkan kisah rakyat, peribahasa,
tamsil, syair doa ritual dan syair atau lirik lagu bahasa Manggarai. Selain
menulis, usaha lain yang dapat dilakukan adalah memublikasi dan mementaskan
kegiatan sastra lisan Orang Manggarai.***
Mantap Kaka.... semoga bisa menyusun buku bahasa Manggarai sebagai sarana untuk dikirimkan ke sekolah2 dasar. Dan diterima baik oleh sekolah2 dasar di Manggarai untuk generasi2 selanjutnya.
ReplyDeleteTerima kasih usulan yang produktif, kami akan upayakan.
DeleteThis comment has been removed by the author.
ReplyDeleteInspiratif serta penuh makna kaka.., salam budaya
ReplyDeleteTerima kasih Ite, salam literasi!
DeleteBahasa menunjukkan identitas diri, dialek Manggarai menjadi satu bentuk penegasan eksistensi manusia Manggarai. Bagaimana cara mempertahankan bahasa Manggarai agar tidak punah atau diselamatkan dari ucapan kasar (Inggris= hate speach). Slm
ReplyDeleteSaat ini generasi muda sangat mudah memaki di media sosial. Ini perlu penciptaan kebiasaan yang positif dalam berbahasa. Paus Fransiskus mengatakan kita perlu mengucapkan tiga kata keramat ini setiap hari: syukur/pujian (somba), terima kasih (wali di'a), mohon maaf (tegi ampong).
Delete" Bahasa merupakan simbol jati diri dan identitas" terima kasih sunguh inspirastif bagi saya sebagai generasi muda Manggarai.... Tabe 🙏
ReplyDeleteMari terus bangun kebanggaan dan kecintaan pada bahasa Manggarai dengan menggunakannya secara aktif. Terima kasih sudah mengapresiasi. Wali Di'a latang Ite.
Delete