Senja Di Kota Reinha-Sebuah Cerita Pendek
Kanisius Teobaldus Deki
Foto: Cover Buku Antologi Cerpen karya Kanisius Teobaldus Deki. Antologi Cerpen ini merupakan cerita pendek yang pernah dimuat di berbagai media, termasuk Harian Umum Pos Kupang (sumber: nik).
Sejak kemarin semuanya terjadi…..ada riak kegembiraan
yang terbias bebas dari kedalaman jiwamu. Itu bukan tanpa alasan! Dengan mudah
kau genggam suara, tak terlalu sulit kau baca maksud, dan tiada sekat pemisah
yang batasi rindu sebab semua tahu: tak ada ruang, tiada waktu, hilangnya
limitasi….tapi di sini ada gelisah karena kalimat-kalimat jadi belenggu, hari ini
mengharapkan kau berkata-kata tentang apa saja….sebab sudah kau duga suara
adalah kerinduan, dan kerinduan adalah penantian! Setiap kali begitu adanya,
entah sampai kapan???
Semburat mentari senja terbias rata, merona jingga di pinggiran mega yang berarak-arak. Warna perak berkilau-kilauan menciptakan nuansa indah pada lukisan jagat. Rasa kagumku muncul ke permukaan. Ah Tuhan, indahnya ciptaanMu.
Itu satu jam yang lalu. Dengan kecepatan sedang aku melarikan sepeda motor TS-125 kesayanganku di jalanan yang berkelok-kelok. Suasana senyap kini hampir terasa. Bolam lampu mulai menyala, membiarkan cahaya berpendar mengusir kegelapan di senja ini.
Larantuka, kota Reinha, tertangkap pandangan mataku di kejauhan, 25 kilo meter dari arah barat. Aku berhenti dekat tikungan, membiarkan penat terusir spontan sekaligus membebaskan syaraf dari tegangan. Tiba-tiba mataku melemparkan pandangan ke Timur. Oi, ada sebuah bayangan berkelebat di angan-angan.
Lalu entah refleks atau sengaja, tombol-tombol hand phone kutekan dengan hati-hati. Ada sedikit rasa gentar. Terdapat sebuah penantian di tengah kegalauan yang meledak-ledak. Di sebelah sini mengharapkan sebuah suara berkata, “Hei, aku sudah menunggumu, cepatlah datang.”
Di sebelah sana tak ada tanggapan. Hanya sebuah hening yang tetap kumiliki utuh. Entah di mana dia? Sebuah helaan nafas yang dalam jadi sebuah solusi. Ah, Reinha sebuah kota yang menjadi kenangan ketika untuk pertama kali tali asmara diikat rapat dalam sebuah nama: FRANSISKA!
Dua puluh lima menit duduk merenungi hidup, dua puluh lima menit coba meraih sebuah perspektif pencerahan. Diantara reruntuhan kata-kata yang sempat terurai, di balik semua kata tanya yang pernah diajukan, pada seluruh keraguan yang menghadang, aku tetap disini, pada sebuah pinggiran jalan. Mengapa tak mau maju? Sebuah senyum berhasil dikulum dalam rapatan bibirku. Kuayunkan langkah baru menuju TS-ku, menstaternya dan serentak melarikan diri ke kota kenangan: Reinha! Di atas sadel kuberteriak seperti pemabuk yang lagi kehabisan anggur cinta: Fransiska……aku datang, I am coming!!!
***
“Hei ,selamat datang, pasti ini yang bernama Nick, kan?” tanyamu penuh antusias. Aku hanya menganggukkan kepala, seraya tak lupa menyodorkan tangan yang menjabat erat disertai sebuah senyuman manis. “Fransiska” katamu. Aku menyebut namaku singkat, “Nick.” Lalu mulailah kita menyusun program, membuat planning, serta mengatur strategi untuk menyukseskan kegiatan “Trihari Pendidikan,” sebuah program yang dicanangkan untuk menelaah ranah pendidikan.
“Nick, sebagai salah seorang pembicara dalam seminar ini, perspektif apa yang kamu konstruksikan menyaksikan persoalan pendidikan yang semakin pelik di negeri ini, khususnya untuk anak-anak?” tanyamu membangunkan nalarku dari tidur panjang selama perjalanan Maumere-Sesabanu, Hokeng.
“Keterlibatan,”
kataku pendek
“Maksudmu?”
tanyamu mengejar
“Semua kita terlibat untuk memikirkan, mencari solusi dan menjalankan solusi itu dengan penuh komitmen,” aku mulai membuat nalisis layaknya seorang praktisi pendidikan. Padahal harus jujur aku akui, barangkali panitia seminar salah memilih ketika harus mengundangku menjadi seorang pembicara.
“Tapi, semudah itu
kah?” Sebuah pertanyaan retoris dengan gaya Dubium Methodicum-nya filsuf
Prancis, Descartes, diajukan. “Ya apalagi kalau kamu mau membantu aku
membereskan barang-barang ini di kamarku,” selorohku. Kamu hanya tertawa,
mencubit punggungku seraya membantu meletakan koper pakaian dan sebuah tas
untuk laptop dan over head-projector.
“Omong-omong, hobby kamu apa?”
tanyamu pro aktif, sebuah ciri modernitas dan barangkali dampak positif
gerakan feminisme yang mulai merambah seluruh dunia. “Nonton film dan baca buku.
Kadang menulis dan menggambar, dan kamu?”
“Sama.
Bagaimana kesan kamu menonton film Notting Hill?” tanyamu. “Oh, film yang
dibintangi oleh Julia Roberts itu kan?” Ya baguslah. Orang miskin juga berhak
memiliki cinta sejati, meskipun kalau itu harus ia dapatkan dari seorang artis
cantik lagi tenar,” jelasku seraya mengingat film itu. Kulihat matamu
berbinar-binar. “itu yang juga kutemukan. Nick…lalu kadang aku bertanya,
mengapa kita memiliki kesamaan perspektif?” Aku tak sempat menjawab ketika bel
berbunyi. Acara makan malam hendak di mulai…
***
Itulah awal pertemuan kita Fransiska. Sebuah perjumpaan yang dilumuri diskusi yang serba logis bernuansa diskursus di tahun 2003. Tapi kita menikmatinya. Hari-hari selanjutnya, pertemuan demi pertemuan berlangsung. Usai presentasi kita selalu berkumpul, berdiskusi. Tak lupa bahan percakapan diramu dengan tema-tema tentang film dan buku-buku terbaru yang tak pernah absen dari ruang ingatan kita.
Hingga tiga
hari berlalu hampir tanpa terasa, seperti roda yang menggelinding dalam bingkai
otomatis. Meski begitu kita memiliki tiga hari yang cukup mengesankan:
saat-saat rindu coba dibenam dalam kata hati, ketika peristiwa adalah adegan
yang tak pernah dirancang penulis scenario dan diarahkan sutradara. Dan di
akhir cerita, ada sebuah hasrat jiwa yang tak tertahan, jika sanggup, biarlah
pertemuan menjadi sebuah harapan di masa depan….
***
Kali ini kesempatan yang sama kuraih. Aku didaulat untuk menjadi pembicara pada seminar budaya se-daratan Flores. Sebuah kesempatan langka yang tak pernah terbayangkan sebelumnya. Jika tahun lalu kita bersanding di atas podium dengan makalah masing-masing, kali ini aku sendirian mengedepankan stand point-ku sendiri tentang budaya Manggarai dari sisi tilik seorang “anak tanah” (in-sider). “Itu sebuah usaha yang bagus. Kita berbicara tentang budaya kita, dari sisi tilik kita sendiri. Selama ini kita hanya “mengamini” hasil penelitian out-sider (orang luar) kan? Terimalah tawaran itu, lagian kamu kan punya interese terhadap budaya,” usulmu suatu kali ketika panitia seminar budaya menawarkan tema ini untuk kugumuli.
“Okey. Aku akan berusaha sekuat tenagaku,” kataku akhirnya.
“O ya, aku menunggu kamu di sini. Sungguh,
kehadiranmu kali ini sangat kuharapkan,” katamu dari seberang sana. Aku
menyetujui. “Tunggu saja Fransiska, aku pasti datang, juga untukmu……," janjiku
pasti.
Dua
hari penuh aku berkutat dengan presentasi, diskusi dan pertanyaan-pertanyaan
yang minta dijawab di Riangkemie, kurang-lebih 10 kilo meter ke arah Timur
Larantuka. Melelahkan sekaligus menyenangkan! Seminar kali ini memberikan
kepadaku keyakinan bahwa kebudayaan primal Manggarai mempunyai nilai yang
sangat kaya. Bahwa pengaruh peradaban modern tidak serta merta membawa
kesempurnaan dalam kehidupan manusia. Masih banyak hal yang perlu dipelajari
dari kebijaksanaan-kebijaksanaan local jika manusia mau mengalami kebahagiaan
hidup.
Seperti biasa, setiap presentasi selalu
menghadirkan decak kagum, tepuk tangan dan akhirnya ucapan proficiat. Sebuah
kelaziman yang barangkali karena terbiasa lalu kehilangan maknanya. Aku menuju
kamar peristirahatan, mengemas barang-barang dan bersiap-siap kembali. Di
pelupuk mata bayangan Fransiska kembali melambai-lambai menghiasi horizon yang
telah penat dibantai diskusi. Ah, hari
ini impian itu menjadi kenyataan. Aku, kau adalah kita yang harapkan sebuah
kebersamaan abadi di pentas dunia yang fana ini.
***
Senja ini, kota Reinha dalam genggamanku. Di depan rumahmu aku mengetuk. Satu kali, dua kali, tiga kali, empat…..tak ada suara yang terdengar. Bahkan sebuah bunyi kecil ketika sandal jepit dilindas di atas ubin tak terpantau pendengaran. Ataupun suara gemericik tetesan air keran yang lupa terkunci rapatpun tiada lagi. Hening. Seolah-olah di sebelah dalam terdapat sebuah kesunyian panjang yang tak terukur waktu.
Tiba-tiba seribu rasa kecewa mulai menggelantung di langit-langit pikiranku. Ke mana kamu pergi? Di depan pintumu aku berdiri, seperti seorang peminta-minta yang harapkan belas kasihan agar pintu sudi dibuka dan sang tuan memberikan sedekah.
Tapi
itu seperti sebuah lamunan yang salah alamat. Tak ada peristiwa ataupun adegan
yang hendak dimulai. Di sebelah sini, kerinduan, keinginan mulai pudar dan
pupus di ujung penantian yang terasa sia-sia. 15 menit berdiri, duduk, merenung
serta mengais tanya diberbagai ruang kemungkinan. 20 menit berlalu tatkala aku
belum jua menemukan sebuah keputusan. Senja di kota Reinha seolah telah pekat,
kelam dan tiada harapan. Senja di kota Reinha....
“Hei, Nick….sudah dari tadi ya? Maafin aku deh, soalnya aku baru saja pulang dari field (lapangan). Yo, masuk…..masuk…..kasihan pasti sudah dari tadi menungguku,” kamu berbicara ceplas-ceplos tanpa memberikan aku kesempatan berkata-kata. Seperti orang yang kehilangan nasib, kamu memapah tubuhku yang entah sadar atau tidak, hidup atau mati, memasuki pintu rumahmu.
Di dalam ruang
tamu, tatapan penuh makna, kerinduan yang terpendam serta seribu perasaan yang
sulit diidentifikasi menyatu, membentuk sebuah babak yang terjalin dari
peristiwa-peristiwa: saling merapatkan tubuh dalam pelukan, membiarkan wajah
bersentuhan, dan tiada kata, ataupun kalimat yang harus terucap.
Kembali seperti semula: hening, seakan tiada kehidupan di dalam kesunyian.
Dalam hitungan detik, sejuta gundah terlampaui, semiliar sesal telah raib ditelan kebahagiaan.
“Beginilah kalau kamu jadi praktisi pendidikan seperti aku, Nick. Kamu harus memiliki keterlibatan, bukan hanya dalam ruang-ruang seminar ketika ide-ide jeniusmu menjadi tema yang menarik untuk dikaji. Kamu mesti terlibat mencari solusi, bahkan jika solusi itu mengharuskan kamu berjalan kaki empat jam mengunjungi anak-anak sekolah yang kamu perhatikan. Bahkan ketika mereka tak sanggup melihat pendidikan sebagai sebuah upaya pencerahan, ketika tuntutan ekonomis memenggal cita-cita mereka di tengah jalan. Ya, sebuah komitmen untuk terlibat dipertaruhkan, juga ketika harus berani terlambat menunggu kedatanganmu….”
Kamu tak berubah. Tetapi
seperti Fransiska yang ku kenal: menyusun argumentasi dalam kelogisan,
membiarkan dirimu dibimbing semangat berjuang
. Kamu….aku terbenam dalam arus pemikiranku.
“Koq, malah diam Nick?” suaramu
agak ketus.
“Ah,
aku bangga padamu, Fransiska. Aku mulai sadar bahwa seminar atau apapun namanya
tak berarti jika tidak diaplikasikan ke dalam hidup nyata,” komentarku.
“Jadi
kamu tidak marah kan? Soalnya aku harus teliti mengurus keperluan mereka,” ada
nada memelas dalam suara itu. “Tidak koq masa aku marah. Aku malah semakin
sayang pada kamu….”
“Ah,
benar kah?”
“He-em,
kenapa, kamu ragu?”
“Nick,
hari-hari perpisahan usai seminar kali lalu terasa berat buatku. Aku tidak tahu
kenapa. Hanya satu kepastian yang kudapatkan bahwa aku ingin memilikimu.”
“Jika
kamu pernah merasakan degup jantungmu berdebar keras saat merindukan diriku,
hal yang sama telah terjadi padaku juga. Bukankah setiap deringan telepon
adalah sebuah kemungkinan bahwa kau datang menyapaku? Bukankah sebuah keinginan
coba ditanam dalam angan, sebuah harapan ada mimpi bertemu di setiap malam
kehidupan kita?” aku larut dalam perasaan.
“Nick,
setiap kali purnama pertama muncul, aku menatapnya dengan penuh kekaguman dan
dengan sengaja ku lekatkan harapanku padanya, agar di seberang sana, kau juga
menatapnya. Lalu kutitipkan salam rinduku untukmu, kuberteriak….aku mencintaimu
Nick, I love You, Nick….”
Senja di kota Reinha…., hampir
usai. Lampu-lampu mulai menyala, memancarkan sinar yang terpendar, membias.
Kegelapan kini mulai menjalari jagat. Kepekatan hampir datang. Tapi terang
tetap meraja di sana. Ada asmara yang enggan berakhir di sanubari. Ada cinta
yang tak mau memiliki batas kedalaman jiwa….
(Pertama kali dipublikasi Majalah Ziarah Edisi 2004).
Kota Reinha jadi saksi
ReplyDeleteJika libur, mainlah ke sana. Kota kecil tepi pantai yang elok.
Delete