Kanisius Teobaldus Deki
Dosen STIE Karya, Penulis buku 100 Tahun Paroki Katedral Ruteng
(Yogyakarta: AsdaMedia, 2020, 462 hal)
Artikel ini masih bisa diperkaya. Bila ada yang memunyai catatan, silahkan dibagikan.
Salah
satu tokoh dalam lintasan sejarah Gereja paroki Katedral adalah bapa Herman
Djegaut. Herman lahir tahun 1935 dan dipermandikan di Nekang pada 20 Januari
1940. Masa kecil sebelum sekolah dilaluinya di Nekang. Ia mulai bersekolah di
Sekolah Rakyat (SR) Cumbi di Wangkung bersama Vitalis Djebarus. Di kemudian
hari, Vitalis menjadi Uskup Ruteng pada 17 Maret 1973 lalu Uskup Denpasar,
hingga mangkatnya pada 22 September 1998.
Usai menamatkan SR
Cumbi, Herman melanjutkan pendidikan ke SR Cancar tahun 1943-1946 karena
perbagai situasi waktu itu. Sesudahnya melanjutkan pendidikan ke VVS Ruteng
tahun 1947. Pada tahun 1950-1956 mengenyam pendidikan di panti pendidikan imam
Seminari Yohanes Berchmans Mataloko. Saat itu, Herman bergabung bersama
teman-teman lain dari Manggarai. Kelak di kemudian hari, para sahabatnya itu,
menjadi imam dan guru terkenal di Manggarai: Stef Jedaut, Ambros Janggat, P.
Pius Repat OFM, Anton Nabut, Blasius Acak dan P. Emanuel Santuan OFM.
Karena tidak berniat
menjadi imam, Herman kemudian menuntut ilmu di SMAK Syuradikara, satu-satunya
sekolah paling beken di zaman itu untuk kawasan Nusa Tenggara. Sekolah itu
sangat bermutu, semua civitas akademianya berdisiplin tinggi, ketat menjunjung
nilai-nilai dan prinsip kristiani melalui pengembangan spiritualitas meski
menciptakan kehidupan yang human. “Kami merasa bahwa memasuki Syuradikara zaman
itu sangatlah mentereng. Itu kerinduan anak-anak muda, selain bersekolah di
Seminari”,[1]
kata bapak Herman suatu kali.
Begitu tamat dari
Suradikara tahun 1957, Herman melamar ke Pemerintah Swapraja Manggarai. Pada
Juli-September 1957, Raja Ngambut memberikan kesempatan untuk magang. Bersamaan
dengan itu, P. Stipout SVD melacak semua tamatan Syuradikara yang tidak
melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi. “Pater Stipout lalu meminta kepada
saya untuk bersedia dikirim ke Madiun melanjutkan pendidikan ke jenjang yang
lebih tinggi. Jadilah saya masuk program PGSLP di Madiun tahun 1957-1958.”[2]
Selepas dari Madiun,
sebagai guru muda, Herman dipercayakan mengajar di SPGK Santo Aloysius tahun
1958-1962. Waktu itu guru Herman mengajar mata pelajaran Bahasa Indonesia.
“Salah satu murid saya saat itu adalah guru Martinus Adur. Martinus kemudian
berkiprah di partai politik, hingga pernah menjadi ketua DPRD kabupaten
Manggarai dari partai Golkar”,[3]
katanya sambil mengingat-ingat masa lalu.
Ada banyak peristiwa
dimana dirinya terlibat aktif. Salah satunya adalah saat bersama P. Kale Bale
SVD mengurus persoalan tanah STKIP Santu Paulus ketika itu awal tahun 1958. Pembangunan
hendak dimulai. Tiba-tiba datanglah Polisi Made Reda untuk melarang pembangunan
itu dilanjutkan. Alasannya, pihak kepolisian akan mendirikan tangsi polisi di
tempat yang sama. Sebagai Vikarius Jenderal, P. Kale Bale SVD langsung
bertindak. Bersama bapak Frans Djanggur yang saat itu menjabat kepala Dinas
Pendidikan kabupaten Manggarai. “Saya diminta P. Kale untuk membuat
konsolidasi, termasuk membuat surat untuk kejaksaan saat itu. Untunglah semua
pihak berusaha mencari jalan terbaik. Pihak kepolisian akhirnya mengalah
setelah mendapat teguran dari pihak kejaksaan”,[4]
kenangnya.
Tahun 1962-1963 Uskup
van Bekkum mengirim guru Herman ke Yogyakarta untuk Pendidikan Khusus Tenaga
Pembangunan Masyarakat, sebuah extension
course di Universitas Sanata Dharma. Setelah menyelesaikan program itu,
Herman bergiat di Ikatan Petani Pancasila (IPP), sebuah organisasi yang
dibentuk Keuskupan untuk membantu para petani dan profesi-profesi lainnya dalam
rangka memajukan Manggarai.
Bersamaan dengan
berbagai aktivitas membantu keuskupan, menyertai beberapa rekan gurunya, Herman
terlibat aktif dalam pelbagai organisasi dan partai Katolik. Ketekunan dan
ketelatenan membawa dirinya ke ruang anggota Dewan Perwakilan Daerah Gotong
Royong tahun 1961. Tahun 1964 bapa Herman masuk lagi dari Organsisai Petani.
Tahun 1971 bapa Herman masuk partai Golongan Karya (Golkar). Anggota DPR
Provinsi NTT dari Sekber Golkar dari tahun 1971-1977.
“Pak Lega memaksa
saya untuk pulang karena ada kesulitan soal Ketua DPR Manggarai, lalu pada Pemilu
1977 saya menerima dan kembali sehingga menjadi ketua DPRD tahun 1977-1987.
“Jabatan ini begitu panjang, namun kesulitan finansial luar biasa hebat, bahkan
gaji sebagai PNSpun sering terlambat. Namun puji Tuhan, semuanya bisa
terlewati. Kami tetap mengabdi dengan senang hati”.[5]
Pemilu tahun 1987, bapa Herman pindah lagi ke Kupang, sebagai ketua Fraksi
Golkar sampai tahun 1992.
Ket. Foto: Bapa Herman dari Ikatan Petani Pancasila (IPP) mendampingi kunjungan kerja Bupati Lega untuk melihat Project IPP di Manggarai Barat.
Membangun SMAK St. Thomas Aquinas
Herman memandang
dunia dalam keseluruhannya. Ada begitu banyak persoalan yang menimpa dunia.
“Kita dipanggil untuk memberikan jawaban. Masalah pendidikan misalnya, tidak
cukup banyak orang yang mengenyam pendidikan menengah. Di Ruteng saat itu,
hanya ada satu Sekolah Menengah Umum yaitu SMA Swadaya. Banyak murid tak
tertampung di situ bagi yang berkeinginan untuk mengambil jurusan non keguruan.
Yah, kami sepakat membangun lembaga pendidikan sendiri melalui Yayasan
Pendidikan Nucalale. Kami mendirikan
SMAK St. Thomas Aquinas Ruteng”,[6]
kisahnya.
Pada bulan Februari
1970, sekolah mulai dibuka. Yayasan ini didirikan oleh 11 orang: Melkior
Anggal, Markus Paus, Walter Wisang, Wensislaus Wisang, Paulus Opot, Paulus Do,
BA, Herman Djegaut, Yosef Tatu, BA, Yohanes Pandang, BA, Yulianus Man dan
Mikhael Ogos, BA.
Mikael Ogos, BA
menjadi kepala sekolah pertama, wakilnya Yosef Tatu, BA. Sebenarnya, di SMA
Swadaya Yosef Tatu BA adalah kepala sekolah dan Mikhael Ogos wakilnya. Karena
mereka adalah pelaksana, mereka tidak lagi menjadi anggota yayasan. Bapa
Yohanes Pandang kemudian mengundurkan diri karena beliau mendirikan Yayasan
tunggal SMA Wiyabakti dan SME Widya Bakti. Setelah itu masuklah anggota yayasan
yang baru: Markus Malar Taku, BA dan Frederikus Narut Taku. Keanggotaan ini
tetap berjalan sampai sekarang.
“Jumlah murid
ternyata membeludak. Kelas penuh. Mulanya para guru sekolah ini adalah guru
yang mengajar di SMA Swadaya. Namun lambat laun oleh karena kemajuan dan
perkembangan yang pesat, kami akhirnya memiliki guru sendiri. Setiap tahun
jumlah guru bertambah seiring dengan penambahan jumlah murid. Demikian juga
jumlah siswa. Mutlak akhirnya kami membangun gedung-gedung baru. Bahkan kami
memiliki gedung lantai dua yang permanen”,[7]
katanya memberikan penjelasan.
Membangun sebuah
sekolah baru di zaman itu bukanlah sebuah pekerjaan mudah. Bapa Mutis memberikan
semacam jalan ketika beliau sudah membuka Sekolah Menengah Ekonomi Pertama
(SMEP). Lebih-lebih lagi pada saat itu, ruang perubahan yang disediakan oleh
Uskup van Bekkum sangatlah luas. Uskup van Bekkum memiliki ide yang luar biasa
agar di segala bidang kehidupan orang Manggarai mengalami ketercukupan. Uskup
sering bepergian ke luar negeri untuk menjalin kerja sama dengan banyak pihak,
meminta perhatian gereja Eropa untuk Manggarai. Kemudian Uskup van Bekkum
mendapat dukungan yang luar biasa dari Misserior.
Foto: Perayaan Pancawindu Perkawinan Bapak Herman.
Kecintaan terhadap Gereja
Bapa Herman menjadi
Ketua DPP Paroki Katedral 1994-2002. Usaha pengelolaan keuangan diserahkan
kepada awam. Namun pastor paroki saat itu belum menyetujuinya. Lama kelamaan
Rm. Max menyetujui. “Romo Max sederhana hidupnya, uang paroki dibagikannya
kepada setiap orang memintanya”, kisah bapa Herman.
Tentang kiprahnya
dalam bidang pemerintahan gerejani, bapa Herman memiliki banyak jabatan dan
pengalaman. Sejak menamatkan sekolah rakyat, Herman kecil memulai studinya di
Seminari Yohanes Berchmans Mataloko. Ia memiliki kedekatan emosianal dengan
para imam. Ia juga bekerja bersama mereka, bahkan sanggat dekat dengan petinggi
gereja, mulai ketika Gereja Manggarai menjadi Vikariat Apostolik hingga
Keuskupan.
Di awal tahun 1970,
tiba-tiba mereka dikejutkan dengan makin derasnya kritikan terhadap Uskup van
Bekkum. Episode serangan yang bertubi-tubi, khususnya dari beberapa imam, itu
akhirnya bertitik puncak pada pengunduran diri Uskup van Bekkum.
“Gejolak yang terjadi
pada saat Uskup van Bekkum berhenti lebih disebabkan oleh ketiadaan pemahaman
yang setara tentang kegiatan Bapa Uskup. Beberapa tokoh Gereja di Manggarai
menganggap kepergiaan Bapa Uskup yang terlalu lama ke luar negeri seolah-olah sebuah
sikap berfoya-foya, melarikan diri dari persoalan Gereja Manggarai. Yang
sebenarnya tidak demikian. Sudah sejak lama Bapa Uskup berkecimpung dalam dunia
akademik, membuat pelbagai penelitian budaya, eksperimentasi liturgi hingga
memberikan kontribusi perubahan liturgi pada perhelatan seminar internasional.
Sepanjang 1962-1965 Bapa Uskup menghadiri berbagai konferensi liturgi, sebagai
narasumber pun peserta, serta menghadiri Konsili Vatikan II”,[8]
ungkap bapa Herman berkaitan dengan pensiunnya Uskup van Bekkum dari tahta
keuskupan Ruteng.
Catatan P. John
Mansfor Prior[9]
dalam ulasannya tentang hal ini memberi perluasan wawasan pada umat Manggarai.
Ada dua hal penting yang memicu terjadinya peristiwa turunnya Uskup van Bekkum
dari tahtanya. Pertama, begitu
derasnya arus perubahan yang dibawanya, baik dalam usaha kemandirian gereja
pada aspek ketenagaan maupun aspek pembaharuan liturgi. Kedua, Misa Kaba (Misa
Kerbau, Misa Syukur) yang dibangunnya dianggap sebagian kalangan merupakan
sebuah pemalingan kepada kekafiran.
Pergantian Uskup van
Bekkum ke Uskup Vitalis Djebarus berjalan normal. Bapa Herman menjadi
sekretaris panitia tahbisan. Sebuah tahbisan yang meriah. Selama masa
kepemimpinan Uskup Vitalis, apalagi dekat secara emosioanl sebagai teman kelas,
bapa Herman ikut aktif sebagai salah satu penasehat Uskup. Ada banyak hal yang
disampaikannya untuk membantu tugas kegembalaannya.
Di zaman Uskup
Vitalis inilah perpindahan istana keuskupan dari komunitas biara SVD, di
samping Gereja Katedral (lama) ke kompleks APK Santu Paulus (sekarang kampus
UKI). “Ada semacam kesadaran Bapa Uskup agar ada pemisahan antara urusan
keuskupan dengan urusan SVD sebagai salah satu kongregasi atau serikat misi.
Kebetulan waktu itu, SVD sedang membangun rumah Regio di kompleks APK. Lalu
Uskup Vitalis putuskan agar istana keuskupan pindah ke sana”.
Rencana kemandirian
dibangun Uskup Vitalis dengan skema yang sistematis. Namun sayangnya karena
berbagai alasan, Uskup Vitalis dipindahkan tahta Suci ke Keuskupan Denpasar
pasca Uskup Paulus Sani meninggal. Spirit kemandirian itu kemudian dilanjutkan
dan diimplementasi oleh Uskup Eduardus Sangsun, sebagai penggantinya di tahun
1985. “Uskup Edu berusaha menjalankan misi kemandirian itu, membuat banyak
kemajuan dan sungguh ada banyak harapan yang terjawab, misalnya, pembangunan
gereja Katedral baru sudah direncanakan sejak lama dan terealisir di tangan
Uskup Edu”, katanya. Uskup Edu lalu meninggal dunia pada 13 Oktober 2008.
“Penggantinya Uskup Hubertus Leteng berusaha melanjutkan visi kemandirian itu.
Sayangnya dia cepat mengundurkan diri
dari jabatannya karena persoalan yang melilitinya”, kenangnya sambil
menerawang.
Bapa Herman adalah
salah satu tokoh Gereja Katolik Manggarai yang ikut menolong gereja ini tatkala
terpuruk oleh persoalan yang dihadapi Uskup Huber. Dia menjadi narasumber dan
motivator yang baik berkaitan dengan tradisi episkopal di keuskupan. “Saya
bersyukur hidup dalam empat periode pelayanan para uskup ini: Mgr. Wihlemus van
Bekkum SVD, Mgr. Vitalis Djebarus SVD, Mgr. Eduardus Sangsun SVD dan Mgr.
Hubertus Leteng Pr. Saya ingin menitipkan pesan bahwa menjadi pelayan Tuhan
adalah menjadi pelaku kebaikan, kebenaran, keadilan dan cinta kasih”, tuturnya.[10]
Kélas untuk Para Misionaris
Para misionaris
sangat berjasa bagi orang Manggarai. Bukan saja pada tataran kehidupan
spiritual, melebihi itu, juga pada segmen kehidupan jasmani: pendidikan,
kesehatan, perekonomian, politik, budaya dan masih banyak hal lainnya.
Jasa-jasa ini tak dapat dibalas. Seberapapun harta yang mau dipakai untuk
membayar itu tetap tidak akan mencukupi.
Dari sisi metode
pastoral para misionaris, pendekatan budaya (culture approach) yang mereka lakukan mempermudah penerimaan
masyarakat Manggarai akan iman Katolik. Mereka dengan mudah beradaptasi
sehingga masyarakat Manggarai yang saat itu belum mengenal iman kristiani
menjadi penganut yang fanatic dan militant. Dalam tempo singkat puluhan ribu
bahkan ratusan ribu orang mau dibaptis.
Pendekatan budaya itu
tidak sekadar sebagai sebuah pintu masuk. Mereka kemudian membangun inkulturasi
iman kristen ke dalam budaya Manggarai. Mereka memandang praktik-praktik ritual
orang Manggarai sebagai hal yang positif. Sebagai ungkapan terima kasih atas
segala kebaikan mereka, baiklah kalau Uskup yang baru terpilih mencanangkan Upacara
Kélas bagi semua misionaris untuk
segala jasa baik yang telah mereka lakukan”, harap bapa Herman.[11]
Itu adalah cara orang Manggarai menyatakan terima kasih mendalam melalui
upacara purna bagi seseorang yang telah meninggal agar ia hidup dalam damai
bersama Sang Khalik seturut tata upacara orang Manggarai.
[1] Dokumen Wawancara, 25 September 2019.
[2] Ibid.
[3] Ibid.
[4] Ibid.
[5] Wawancara,
di kantor Yayasan Nuca Lale, 4 Desember 2019.
[6] Ibid.
[7] Ibid.
[8] Ibid.
[9] Karel Steenbrink, Orang-orang Katolik di Indonesia Era Kemerdekaan 1945-2010
(Maumere: Ledalero, 2018), hal. 355-336; Prior dalam Aritonang dan Steenbrink
(eds.), 2008 hal. 271.
[10] Dokumen Wawancara, 5 Desember 2019.
[11]Dokumen Wawancara, 21 November 2019.
Tulisan yang menarik kaka, tentang tokoh yang sangat berpengaruh di Manggarai. Menjelang tahbisan uskup ini, saya mengutip kalimat ini dari Bapa Herman, bahwa menjadi pelayan Tuhan adalah menjadi pelaku kebaikan, kebenaran, keadilan dan cinta kasih. Tentu saja relevan juga bagi kita yang awam, menjadi misionaris di tengah keluarga dan lingkungan... Salam kaka..
ReplyDeleteWah, terima kasih ite sudah membaca artikel ini. Kutipan yang menarik sekaligus membangun esensi pelayanan kita sebagai anak-anak Tuhan. Tabe.
DeleteTrims atas di muatnya ttg tokoh awam yg berpengaruh terhadap perkembangan gereja khatolik manggarai. Munkin tulisanya bisa dibukukan begitu juga ttg peranan gereja yg membuka segala segi kehidupan orang manggarai agar anak cucu kita tidak melupakan apa yang telah gereja lakukan untuk manggarai raya.
ReplyDeleteTerima kasih ite sudah lejong (bertamu) di natas (halaman) ini. Sebenarnya artikel di atas diambil dari buku: Membangun Kerajaan Allah-Membentuk Komunitas Kasih (Yogyakarta: AsdaMedia, 2020) hal. 122-127. Buku ini kami tulis untuk perayaan 100 tahun Paroki Katedral Ruteng. Ite benar, kita berusaha menyajikan tokoh penting dalam kehidupan gereja Manggarai agar menjadi panduan bagi kita dan anak cucu kita. Tabe.
DeleteOpa Herman orang yang sangat sederhana dan murah hati sehat selalu opa #panutan bagi kami kaum muda
ReplyDeleteTerima kasih untuk atensi dite. Mari kita teruskan nilai2 yang sudah beliau hayati.
DeleteOpa Herman semoga selalu dalam lindungan Tuhan,buat kae kanisius sukses selalu.
ReplyDeleteAmin ase, mari kita mewarisi nilai-nilai yang beliau sudah amalkan dalam hidupnya. Kita adalah pewaris dari kota dan tanah ini. Mari terus bergiat membangun bersama...
DeleteAmang momang semoga selalu sehat, trimakasi sudah menjadi inspirasi bagi kami semua.
ReplyDeleteTerima kasih sudah membaca. Mari kita meneruskan karya beliau.
ReplyDeleteSaya ingin menambah catatan seputar tulisan Pak Kanis yg menarik ini.1.Pak Herman Jegaut adalah seorang orator dalam Bahasa Manggarai yg sangat komunikatif. Tidak ingat tahun berapa, saya pernah ikut menonton/menyajsikan beliau berpidato kampanye di lapangan Motang Rua (dulu dikenal lapangan sepak bola Ruteng) dengan gaya bahasa Manggarai yang indah dan bernas. Julukan sebagai budayawan dari aspek linguistik Bahasa Manggarai sangat pas. 2 Uskup Wilhelmus van Bekkum yg membantu saya melanjutkan studi di Undana Cabang Ende tahun 1971/72 setelah menyelesaikan sebuah Kursus Kehutanan di Ruteng yg diprakarsai oleh Diosis Ruteng dan Dinas Kehutanan Kabupaten Manggarai yg saat itu dikepalai Bpk Lamber Kape. Kursus di bidang "environtmental case" ini dgn single tutor, Doktor Kolmansperger (maaf, bila penulisan nana kurang tepat, mungkin data itu masih ada dan beliau selama di Ruteng nginap di keuskupan), ahli lingkungan hidup asal Jerman dalam kerjasama dengan Diosis Ruteng. Tempat kursus waktu itu di depan Katedral lama, rumah milik Diosis. Salah satu bentuk kegiatan kursus adalah ekskursi yaitu menjelajahi kawasan sebelah atas kota Ruteng yg masih kosong, murni, terbuka, air melimpah. 3. Entah kebetulan atau tidak, begitu saya tamat kuliah di Ende ambil Bahasa Inggris (BA), Pater Pius Repat OFM dari sekretariat Keuskupan Ruteng datang ke Ende mencari guru Bahasa Inggris untuk Seminari Kisol. Saya waktu itu atas rekomendasi dan permintaan Drs. Frans Xavery Fernandes, pejabat Fakultas Keguruan Undana Ende, langsung setujui apalagi sebagai alumnus saya merasa terpanggil untuk mengajar di Kisol (1976-1977). Terima kasih Yang Mulia Uskup Wulhelmus van Bekkum SVD. 4. Terima kasih pak Kanis atas tulisan sejarah peran awam dan gereja Katolik Keuskupan Ruteng yg sangat penting ini.
ReplyDelete