Tuesday, 10 March 2020

Tokoh Sepanjang Masa: Herman Djegaut


Kanisius Teobaldus Deki
Dosen STIE Karya, Penulis buku 100 Tahun Paroki Katedral Ruteng
(Yogyakarta: AsdaMedia, 2020, 462 hal)

Artikel ini masih bisa diperkaya. Bila ada yang memunyai catatan, silahkan dibagikan.



Salah satu tokoh dalam lintasan sejarah Gereja paroki Katedral adalah bapa Herman Djegaut. Herman lahir tahun 1935 dan dipermandikan di Nekang pada 20 Januari 1940. Masa kecil sebelum sekolah dilaluinya di Nekang. Ia mulai bersekolah di Sekolah Rakyat (SR) Cumbi di Wangkung bersama Vitalis Djebarus. Di kemudian hari, Vitalis menjadi Uskup Ruteng pada 17 Maret 1973 lalu Uskup Denpasar, hingga mangkatnya pada 22 September 1998.
Usai menamatkan SR Cumbi, Herman melanjutkan pendidikan ke SR Cancar tahun 1943-1946 karena perbagai situasi waktu itu. Sesudahnya melanjutkan pendidikan ke VVS Ruteng tahun 1947. Pada tahun 1950-1956 mengenyam pendidikan di panti pendidikan imam Seminari Yohanes Berchmans Mataloko. Saat itu, Herman bergabung bersama teman-teman lain dari Manggarai. Kelak di kemudian hari, para sahabatnya itu, menjadi imam dan guru terkenal di Manggarai: Stef Jedaut, Ambros Janggat, P. Pius Repat OFM, Anton Nabut, Blasius Acak dan P. Emanuel Santuan OFM.
Karena tidak berniat menjadi imam, Herman kemudian menuntut ilmu di SMAK Syuradikara, satu-satunya sekolah paling beken di zaman itu untuk kawasan Nusa Tenggara. Sekolah itu sangat bermutu, semua civitas akademianya berdisiplin tinggi, ketat menjunjung nilai-nilai dan prinsip kristiani melalui pengembangan spiritualitas meski menciptakan kehidupan yang human. “Kami merasa bahwa memasuki Syuradikara zaman itu sangatlah mentereng. Itu kerinduan anak-anak muda, selain bersekolah di Seminari”,[1] kata bapak Herman suatu kali.
Begitu tamat dari Suradikara tahun 1957, Herman melamar ke Pemerintah Swapraja Manggarai. Pada Juli-September 1957, Raja Ngambut memberikan kesempatan untuk magang. Bersamaan dengan itu, P. Stipout SVD melacak semua tamatan Syuradikara yang tidak melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi. “Pater Stipout lalu meminta kepada saya untuk bersedia dikirim ke Madiun melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Jadilah saya masuk program PGSLP di Madiun tahun 1957-1958.”[2]
Selepas dari Madiun, sebagai guru muda, Herman dipercayakan mengajar di SPGK Santo Aloysius tahun 1958-1962. Waktu itu guru Herman mengajar mata pelajaran Bahasa Indonesia. “Salah satu murid saya saat itu adalah guru Martinus Adur. Martinus kemudian berkiprah di partai politik, hingga pernah menjadi ketua DPRD kabupaten Manggarai dari partai Golkar”,[3] katanya sambil mengingat-ingat masa lalu.
Ada banyak peristiwa dimana dirinya terlibat aktif. Salah satunya adalah saat bersama P. Kale Bale SVD mengurus persoalan tanah STKIP Santu Paulus ketika itu awal tahun 1958. Pembangunan hendak dimulai. Tiba-tiba datanglah Polisi Made Reda untuk melarang pembangunan itu dilanjutkan. Alasannya, pihak kepolisian akan mendirikan tangsi polisi di tempat yang sama. Sebagai Vikarius Jenderal, P. Kale Bale SVD langsung bertindak. Bersama bapak Frans Djanggur yang saat itu menjabat kepala Dinas Pendidikan kabupaten Manggarai. “Saya diminta P. Kale untuk membuat konsolidasi, termasuk membuat surat untuk kejaksaan saat itu. Untunglah semua pihak berusaha mencari jalan terbaik. Pihak kepolisian akhirnya mengalah setelah mendapat teguran dari pihak kejaksaan”,[4] kenangnya.
Tahun 1962-1963 Uskup van Bekkum mengirim guru Herman ke Yogyakarta untuk Pendidikan Khusus Tenaga Pembangunan Masyarakat, sebuah extension course di Universitas Sanata Dharma. Setelah menyelesaikan program itu, Herman bergiat di Ikatan Petani Pancasila (IPP), sebuah organisasi yang dibentuk Keuskupan untuk membantu para petani dan profesi-profesi lainnya dalam rangka memajukan Manggarai.
Bersamaan dengan berbagai aktivitas membantu keuskupan, menyertai beberapa rekan gurunya, Herman terlibat aktif dalam pelbagai organisasi dan partai Katolik. Ketekunan dan ketelatenan membawa dirinya ke ruang anggota Dewan Perwakilan Daerah Gotong Royong tahun 1961. Tahun 1964 bapa Herman masuk lagi dari Organsisai Petani. Tahun 1971 bapa Herman masuk partai Golongan Karya (Golkar). Anggota DPR Provinsi NTT dari Sekber Golkar dari tahun 1971-1977.
“Pak Lega memaksa saya untuk pulang karena ada kesulitan soal Ketua DPR Manggarai, lalu pada Pemilu 1977 saya menerima dan kembali sehingga menjadi ketua DPRD tahun 1977-1987. “Jabatan ini begitu panjang, namun kesulitan finansial luar biasa hebat, bahkan gaji sebagai PNSpun sering terlambat. Namun puji Tuhan, semuanya bisa terlewati. Kami tetap mengabdi dengan senang hati”.[5] Pemilu tahun 1987, bapa Herman pindah lagi ke Kupang, sebagai ketua Fraksi Golkar sampai tahun 1992.


Ket. Foto: Bapa Herman dari Ikatan Petani Pancasila (IPP) mendampingi kunjungan kerja Bupati Lega untuk melihat Project IPP di Manggarai Barat.

Membangun SMAK St. Thomas Aquinas
Herman memandang dunia dalam keseluruhannya. Ada begitu banyak persoalan yang menimpa dunia. “Kita dipanggil untuk memberikan jawaban. Masalah pendidikan misalnya, tidak cukup banyak orang yang mengenyam pendidikan menengah. Di Ruteng saat itu, hanya ada satu Sekolah Menengah Umum yaitu SMA Swadaya. Banyak murid tak tertampung di situ bagi yang berkeinginan untuk mengambil jurusan non keguruan. Yah, kami sepakat membangun lembaga pendidikan sendiri melalui Yayasan Pendidikan Nucalale. Kami mendirikan SMAK St. Thomas Aquinas Ruteng”,[6] kisahnya.
Pada bulan Februari 1970, sekolah mulai dibuka. Yayasan ini didirikan oleh 11 orang: Melkior Anggal, Markus Paus, Walter Wisang, Wensislaus Wisang, Paulus Opot, Paulus Do, BA, Herman Djegaut, Yosef Tatu, BA, Yohanes Pandang, BA, Yulianus Man dan Mikhael Ogos, BA.
Mikael Ogos, BA menjadi kepala sekolah pertama, wakilnya Yosef Tatu, BA. Sebenarnya, di SMA Swadaya Yosef Tatu BA adalah kepala sekolah dan Mikhael Ogos wakilnya. Karena mereka adalah pelaksana, mereka tidak lagi menjadi anggota yayasan. Bapa Yohanes Pandang kemudian mengundurkan diri karena beliau mendirikan Yayasan tunggal SMA Wiyabakti dan SME Widya Bakti. Setelah itu masuklah anggota yayasan yang baru: Markus Malar Taku, BA dan Frederikus Narut Taku. Keanggotaan ini tetap berjalan sampai sekarang.
“Jumlah murid ternyata membeludak. Kelas penuh. Mulanya para guru sekolah ini adalah guru yang mengajar di SMA Swadaya. Namun lambat laun oleh karena kemajuan dan perkembangan yang pesat, kami akhirnya memiliki guru sendiri. Setiap tahun jumlah guru bertambah seiring dengan penambahan jumlah murid. Demikian juga jumlah siswa. Mutlak akhirnya kami membangun gedung-gedung baru. Bahkan kami memiliki gedung lantai dua yang permanen”,[7] katanya memberikan penjelasan.
Membangun sebuah sekolah baru di zaman itu bukanlah sebuah pekerjaan mudah. Bapa Mutis memberikan semacam jalan ketika beliau sudah membuka Sekolah Menengah Ekonomi Pertama (SMEP). Lebih-lebih lagi pada saat itu, ruang perubahan yang disediakan oleh Uskup van Bekkum sangatlah luas. Uskup van Bekkum memiliki ide yang luar biasa agar di segala bidang kehidupan orang Manggarai mengalami ketercukupan. Uskup sering bepergian ke luar negeri untuk menjalin kerja sama dengan banyak pihak, meminta perhatian gereja Eropa untuk Manggarai. Kemudian Uskup van Bekkum mendapat dukungan yang luar biasa dari Misserior.

Foto: Perayaan Pancawindu Perkawinan Bapak Herman.

Kecintaan terhadap Gereja
Bapa Herman menjadi Ketua DPP Paroki Katedral 1994-2002. Usaha pengelolaan keuangan diserahkan kepada awam. Namun pastor paroki saat itu belum menyetujuinya. Lama kelamaan Rm. Max menyetujui. “Romo Max sederhana hidupnya, uang paroki dibagikannya kepada setiap orang memintanya”, kisah bapa Herman.
Tentang kiprahnya dalam bidang pemerintahan gerejani, bapa Herman memiliki banyak jabatan dan pengalaman. Sejak menamatkan sekolah rakyat, Herman kecil memulai studinya di Seminari Yohanes Berchmans Mataloko. Ia memiliki kedekatan emosianal dengan para imam. Ia juga bekerja bersama mereka, bahkan sanggat dekat dengan petinggi gereja, mulai ketika Gereja Manggarai menjadi Vikariat Apostolik hingga Keuskupan.
Di awal tahun 1970, tiba-tiba mereka dikejutkan dengan makin derasnya kritikan terhadap Uskup van Bekkum. Episode serangan yang bertubi-tubi, khususnya dari beberapa imam, itu akhirnya bertitik puncak pada pengunduran diri Uskup van Bekkum.
“Gejolak yang terjadi pada saat Uskup van Bekkum berhenti lebih disebabkan oleh ketiadaan pemahaman yang setara tentang kegiatan Bapa Uskup. Beberapa tokoh Gereja di Manggarai menganggap kepergiaan Bapa Uskup yang terlalu lama ke luar negeri seolah-olah sebuah sikap berfoya-foya, melarikan diri dari persoalan Gereja Manggarai. Yang sebenarnya tidak demikian. Sudah sejak lama Bapa Uskup berkecimpung dalam dunia akademik, membuat pelbagai penelitian budaya, eksperimentasi liturgi hingga memberikan kontribusi perubahan liturgi pada perhelatan seminar internasional. Sepanjang 1962-1965 Bapa Uskup menghadiri berbagai konferensi liturgi, sebagai narasumber pun peserta, serta menghadiri Konsili Vatikan II”,[8] ungkap bapa Herman berkaitan dengan pensiunnya Uskup van Bekkum dari tahta keuskupan Ruteng.
Catatan P. John Mansfor Prior[9] dalam ulasannya tentang hal ini memberi perluasan wawasan pada umat Manggarai. Ada dua hal penting yang memicu terjadinya peristiwa turunnya Uskup van Bekkum dari tahtanya. Pertama, begitu derasnya arus perubahan yang dibawanya, baik dalam usaha kemandirian gereja pada aspek ketenagaan maupun aspek pembaharuan liturgi. Kedua, Misa Kaba (Misa Kerbau, Misa Syukur) yang dibangunnya dianggap sebagian kalangan merupakan sebuah pemalingan kepada kekafiran.
Pergantian Uskup van Bekkum ke Uskup Vitalis Djebarus berjalan normal. Bapa Herman menjadi sekretaris panitia tahbisan. Sebuah tahbisan yang meriah. Selama masa kepemimpinan Uskup Vitalis, apalagi dekat secara emosioanl sebagai teman kelas, bapa Herman ikut aktif sebagai salah satu penasehat Uskup. Ada banyak hal yang disampaikannya untuk membantu tugas kegembalaannya.
Di zaman Uskup Vitalis inilah perpindahan istana keuskupan dari komunitas biara SVD, di samping Gereja Katedral (lama) ke kompleks APK Santu Paulus (sekarang kampus UKI). “Ada semacam kesadaran Bapa Uskup agar ada pemisahan antara urusan keuskupan dengan urusan SVD sebagai salah satu kongregasi atau serikat misi. Kebetulan waktu itu, SVD sedang membangun rumah Regio di kompleks APK. Lalu Uskup Vitalis putuskan agar istana keuskupan pindah ke sana”.
Rencana kemandirian dibangun Uskup Vitalis dengan skema yang sistematis. Namun sayangnya karena berbagai alasan, Uskup Vitalis dipindahkan tahta Suci ke Keuskupan Denpasar pasca Uskup Paulus Sani meninggal. Spirit kemandirian itu kemudian dilanjutkan dan diimplementasi oleh Uskup Eduardus Sangsun, sebagai penggantinya di tahun 1985. “Uskup Edu berusaha menjalankan misi kemandirian itu, membuat banyak kemajuan dan sungguh ada banyak harapan yang terjawab, misalnya, pembangunan gereja Katedral baru sudah direncanakan sejak lama dan terealisir di tangan Uskup Edu”, katanya. Uskup Edu lalu meninggal dunia pada 13 Oktober 2008. “Penggantinya Uskup Hubertus Leteng berusaha melanjutkan visi kemandirian itu. Sayangnya dia  cepat mengundurkan diri dari jabatannya karena persoalan yang melilitinya”, kenangnya sambil menerawang.
Bapa Herman adalah salah satu tokoh Gereja Katolik Manggarai yang ikut menolong gereja ini tatkala terpuruk oleh persoalan yang dihadapi Uskup Huber. Dia menjadi narasumber dan motivator yang baik berkaitan dengan tradisi episkopal di keuskupan. “Saya bersyukur hidup dalam empat periode pelayanan para uskup ini: Mgr. Wihlemus van Bekkum SVD, Mgr. Vitalis Djebarus SVD, Mgr. Eduardus Sangsun SVD dan Mgr. Hubertus Leteng Pr. Saya ingin menitipkan pesan bahwa menjadi pelayan Tuhan adalah menjadi pelaku kebaikan, kebenaran, keadilan dan cinta kasih”, tuturnya.[10]

Kélas untuk Para Misionaris
Para misionaris sangat berjasa bagi orang Manggarai. Bukan saja pada tataran kehidupan spiritual, melebihi itu, juga pada segmen kehidupan jasmani: pendidikan, kesehatan, perekonomian, politik, budaya dan masih banyak hal lainnya. Jasa-jasa ini tak dapat dibalas. Seberapapun harta yang mau dipakai untuk membayar itu tetap tidak akan mencukupi.
Dari sisi metode pastoral para misionaris, pendekatan budaya (culture approach) yang mereka lakukan mempermudah penerimaan masyarakat Manggarai akan iman Katolik. Mereka dengan mudah beradaptasi sehingga masyarakat Manggarai yang saat itu belum mengenal iman kristiani menjadi penganut yang fanatic dan militant. Dalam tempo singkat puluhan ribu bahkan ratusan ribu orang mau dibaptis.
Pendekatan budaya itu tidak sekadar sebagai sebuah pintu masuk. Mereka kemudian membangun inkulturasi iman kristen ke dalam budaya Manggarai. Mereka memandang praktik-praktik ritual orang Manggarai sebagai hal yang positif. Sebagai ungkapan terima kasih atas segala kebaikan mereka, baiklah kalau Uskup yang baru terpilih mencanangkan Upacara Kélas bagi semua misionaris untuk segala jasa baik yang telah mereka lakukan”, harap bapa Herman.[11] Itu adalah cara orang Manggarai menyatakan terima kasih mendalam melalui upacara purna bagi seseorang yang telah meninggal agar ia hidup dalam damai bersama Sang Khalik seturut tata upacara orang Manggarai.



[1] Dokumen Wawancara, 25 September 2019.
[2] Ibid.
[3] Ibid.
[4] Ibid.
[5] Wawancara, di kantor Yayasan Nuca Lale, 4 Desember 2019.
[6] Ibid.
[7] Ibid.
[8] Ibid.
[9] Karel Steenbrink, Orang-orang Katolik di Indonesia Era Kemerdekaan 1945-2010 (Maumere: Ledalero, 2018), hal. 355-336; Prior dalam Aritonang dan Steenbrink (eds.), 2008 hal. 271.
[10] Dokumen Wawancara, 5 Desember 2019.
[11]Dokumen  Wawancara, 21 November 2019.

11 comments:

  1. Tulisan yang menarik kaka, tentang tokoh yang sangat berpengaruh di Manggarai. Menjelang tahbisan uskup ini, saya mengutip kalimat ini dari Bapa Herman, bahwa menjadi pelayan Tuhan adalah menjadi pelaku kebaikan, kebenaran, keadilan dan cinta kasih. Tentu saja relevan juga bagi kita yang awam, menjadi misionaris di tengah keluarga dan lingkungan... Salam kaka..

    ReplyDelete
    Replies
    1. Wah, terima kasih ite sudah membaca artikel ini. Kutipan yang menarik sekaligus membangun esensi pelayanan kita sebagai anak-anak Tuhan. Tabe.

      Delete
  2. Trims atas di muatnya ttg tokoh awam yg berpengaruh terhadap perkembangan gereja khatolik manggarai. Munkin tulisanya bisa dibukukan begitu juga ttg peranan gereja yg membuka segala segi kehidupan orang manggarai agar anak cucu kita tidak melupakan apa yang telah gereja lakukan untuk manggarai raya.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Terima kasih ite sudah lejong (bertamu) di natas (halaman) ini. Sebenarnya artikel di atas diambil dari buku: Membangun Kerajaan Allah-Membentuk Komunitas Kasih (Yogyakarta: AsdaMedia, 2020) hal. 122-127. Buku ini kami tulis untuk perayaan 100 tahun Paroki Katedral Ruteng. Ite benar, kita berusaha menyajikan tokoh penting dalam kehidupan gereja Manggarai agar menjadi panduan bagi kita dan anak cucu kita. Tabe.

      Delete
  3. Opa Herman orang yang sangat sederhana dan murah hati sehat selalu opa #panutan bagi kami kaum muda

    ReplyDelete
    Replies
    1. Terima kasih untuk atensi dite. Mari kita teruskan nilai2 yang sudah beliau hayati.

      Delete
  4. Opa Herman semoga selalu dalam lindungan Tuhan,buat kae kanisius sukses selalu.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Amin ase, mari kita mewarisi nilai-nilai yang beliau sudah amalkan dalam hidupnya. Kita adalah pewaris dari kota dan tanah ini. Mari terus bergiat membangun bersama...

      Delete
  5. Amang momang semoga selalu sehat, trimakasi sudah menjadi inspirasi bagi kami semua.

    ReplyDelete
  6. Terima kasih sudah membaca. Mari kita meneruskan karya beliau.

    ReplyDelete
  7. Saya ingin menambah catatan seputar tulisan Pak Kanis yg menarik ini.1.Pak Herman Jegaut adalah seorang orator dalam Bahasa Manggarai yg sangat komunikatif. Tidak ingat tahun berapa, saya pernah ikut menonton/menyajsikan beliau berpidato kampanye di lapangan Motang Rua (dulu dikenal lapangan sepak bola Ruteng) dengan gaya bahasa Manggarai yang indah dan bernas. Julukan sebagai budayawan dari aspek linguistik Bahasa Manggarai sangat pas. 2 Uskup Wilhelmus van Bekkum yg membantu saya melanjutkan studi di Undana Cabang Ende tahun 1971/72 setelah menyelesaikan sebuah Kursus Kehutanan di Ruteng yg diprakarsai oleh Diosis Ruteng dan Dinas Kehutanan Kabupaten Manggarai yg saat itu dikepalai Bpk Lamber Kape. Kursus di bidang "environtmental case" ini dgn single tutor, Doktor Kolmansperger (maaf, bila penulisan nana kurang tepat, mungkin data itu masih ada dan beliau selama di Ruteng nginap di keuskupan), ahli lingkungan hidup asal Jerman dalam kerjasama dengan Diosis Ruteng. Tempat kursus waktu itu di depan Katedral lama, rumah milik Diosis. Salah satu bentuk kegiatan kursus adalah ekskursi yaitu menjelajahi kawasan sebelah atas kota Ruteng yg masih kosong, murni, terbuka, air melimpah. 3. Entah kebetulan atau tidak, begitu saya tamat kuliah di Ende ambil Bahasa Inggris (BA), Pater Pius Repat OFM dari sekretariat Keuskupan Ruteng datang ke Ende mencari guru Bahasa Inggris untuk Seminari Kisol. Saya waktu itu atas rekomendasi dan permintaan Drs. Frans Xavery Fernandes, pejabat Fakultas Keguruan Undana Ende, langsung setujui apalagi sebagai alumnus saya merasa terpanggil untuk mengajar di Kisol (1976-1977). Terima kasih Yang Mulia Uskup Wulhelmus van Bekkum SVD. 4. Terima kasih pak Kanis atas tulisan sejarah peran awam dan gereja Katolik Keuskupan Ruteng yg sangat penting ini.

    ReplyDelete