Monday, 9 March 2020

Damasus Agas dan Gabriel Tjangkoeng: Tokoh Penting Gereja Manggarai


Dalam sejarah pertumbuhan Iman Katolik di Manggarai, ada dua tokoh awam yang sangat berjasa: Damasus Agas dan Gabriel Tjangkoeng. Artikel singkat ini menjadi sebuah catatan kecil untuk diperbaharui oleh parapihak yang mengetahui tentang dua tokoh ini.
Gereja Lengko Ajang
Damasus Agas

Sejak awal, peran beberapa tokoh awam dalam pertumbuhan Gereja Katolik Manggarai sangat besar. Guru Gabriel Tjangkoeng dan Damasus Agas adalah orang yang disebut-sebut sebagai misionaris awam ke seluruh tanah Manggarai. Mereka mendampingi para imam untuk mengunjungi umat, melakukan pendalaman dan pemantapan pengajaran iman di kampung-kampung.
Tatkala Perang Dunia II menyerang, Belanda dan Jerman berseteru. Hal ini berpengaruh juga di tanah jajahan. Mereka menginternir semua imam Jerman. Peristiwa ini menyebabkan banyak imam ditawan dan kehilangan aktivitas untuk melayani umat. Damasus Agas, putera kelahiran Mendo, menjadi kepala seluruh guru agama di Manggarai. Damasus Agas adalah rekan sekelas dari Mgr. Donatus Djagom SVD, Imam pribumi Manggarai pertama yang ditahbiskan pada 28 Agustus 1949.
Dalam sebuah catatan Markus Makur, Guru Damasus berkeliling hingga ke Manggarai Barat. Ia tidak hanya menjadi pengajar agama dan guru di Sekolah Dasar Katolik Ranggu, tetapi juga pencetus persawahan berbentuk lodok di beberapa daerah di Manggarai Barat. Dia bekerja sama dengan Pastor Paroki Ranggu, P. Frans Mensen SVD dan P. Niko Bot SVD.[1]
Saat kunjungan ke Achterveld-Belanda, Uskup van Bekkum membawa serta Damasus Agas ke tanah kelahirannya. Mereka tiba di sana 2 Agustus 1952. Dalam kesempatan yang mulia itu, Guru Damasus Agas berpidato singkat sbb:
Saya diutus oleh orang Serani dari Flores akan menunjukkan rupa seorang Flores asli di muka family beliau di kampung Achterveld khususnya dan di muka penduduk Belanda umumnya, yaitu biarpun orang Flores itu miskin sekali, tetapi sudah mengumpulkan uang sesen dua untuk ongkos perjalanan saya sampai saya berdiri di muka Bapa uskup Yang Mulia dan family dan orang Serani Achterveld sekarang. Inilah saya datang mengucap syukur kepada Beliau di muka family dan orang Serani atas jasa dan kurban Beliau sendiri yang dengan rela melepaskan tanah air Beliau dan family Beliau yang tercinta dan pergi membuang diri di tengah orang hitam yang tanahnya berhutan rimba, berjurang dan bergunung jauh dari keramaian dunia modern. Begitupun family tahan banyak sakit dan iba hati karena Ibu dan Bapa Beliau sudah tidak pernah melihat lagi muka buah hatinya yang tercinta sampai sudah meninggalkan dunia ini dengan iba dan sedih hatinya itulah kurbannya untuk Misionaris di tanah kami. Sebab itulah kami datang tanda terima kasih dan akhirnya saya serahkan kepada Tuhan Allah yang bisa membalas kesemuanya dengan sekedarnya.[2]
Damasus Agas menunjukkan cinta yang sungguh terhadap Gereja. Ia berpindah dari satu tempat ke tempat yang lain. Ia tidak hanya mengajarkan pengetahuan kepada murid-murid, tetapi juga bercocok tanam, khususnya mencetak sawah-sawah untuk membantu ketahanan pangan masyarakat yang dilayaninya. Uskup van Bekkum mengajak Damasus ke Lourdes dan Fatima di awal September 1952 dan pada 25 September tahun yang sama dia mengunjungi kediaman Paus di Roma. Kunjungan ke Eropa bersama Uskup van Bekkum lebih merupakan hadiah bagi ketekunan, keuletan, kesabaran Damasus dalam kegiatan misi Gereja di Manggarai.
Perjalanan hidup Damasus Agas pascapelayanan di Manggarai berubah ketika ia ditahbiskan menjadi imam oleh Mgr. Donatus Djagom SVD pada tahun 1982. Dia bekerja di Keuskupan Agung Ende hingga 1991. Di masa pensiunnya, Rm. Damasus Agas Pr kembali ke kampung halamannya hingga meninggalnya pada tahun 1995. Karena jasa-jasanya, dia dimakamkan di pekuburan Novisiat Serikat Sabda Allah Kuwu.[3]
 Gabriel Tjangkoeng

Gabriel adalah putera Timung, Kedaluan Ndehes lahir tahun 1898. Gabriel menempuh pendidikan Sekolah Rakyat di Ruteng tahun 1913 lalu menuju Lela tahun 1917 untuk mengenyam pendidikan di Standaarschool. Dari Lela dia menuju OVO Larantuka dan memeroleh ijazah Kweekling. Rupanya ada tahapan OVO yang masih harus dilanjutkan di OVO Ndona untuk memeroleh ijazah Hulponderwijzer. Tamat OVO dia melanjutkan pendidikan ke Normaalschool di Ndona yang kemudian dilanjutkan di Tomohon Manado Sulawesi Utara sampai tahun 1925.
            Sepanjang hidupnya, Gabriel bekerja sebagai seorang pendidik entah di sekolah pun di lembaga yayasan. Dia pernah mengajar di Watu Neso Lio, dekat perbatasan dengan Sikka. Tahun 1946-1949 menjadi Kepala  Standaarschool Katolik di Ruteng. Tahun 1947-1950, menjadi direktur OVO di Ruteng. Tahun 1950-1951 diangkat sebagai Kepala SGB Katolik di Ruteng. Terhitung mulai tanggal 1 Januari 1951 – 31 Agustus 1960 Guru Gabriel Tjangkoeng diangkat menjadi Penilik Sekolah Rakyat hingga masuk masa pensiun terhitung mulai tanggal 1 September 1960.
            Gabriel pemuda yang enerjik. Ia memiliki visi ke depan. Ia menyadari bahwa banyak hal bisa dibangun dari kebiasaan berkumpul, berdikusi dan berorganisasi. Itulah sebabnya antara tahun 1937-1942, Gabriel menjadi Ketua Studiefunds Manggarai. Ia juga peduli dengan guru-guru yang pensiun sehingga pada tahun 1948-1942 Gabriel menjadi Ketua Cabang Pensiunan Funds Guru-guru di Manggarai. 
            Karyanya yang tak berkesudahan dalam dunia pendidikan membawa dirinya pada tahun 1950-1975, menjadi Wakil Ketua Pengurus Yayasan Pembangunan Pendidikan Manggarai (YPPM). Bahkan selepas pensiun, pada tahun 1971 – 1975 Gabriel menjadi anggota Pengurus Harian Yayasan SUKMA milik Keuskupan Ruteng yang bergerak dalam dunia pendidikan. Dia banyak menolong Gereja Nusa Tenggara dalam dunia pendidikan tinggi dengan menjadi anggota Pengurus Yayasan St. Paulus Ruteng yang menyelenggarakan Akademi Pendidikan Katekis (APK – sekarang UKI) Santo Paulus Ruteng.
            Tidak hanya berkubang dalam dunia pendidikan, Gabriel Tjangkoeng  juga berkarya dalam bidang politik dengan menjadi Ketua Partai Katolik pada tahun 1947-1950 untuk Cabang Manggarai. Lanjutannya, sejak tahun 1948 hingga tahun 1959, Gabriel menjadi anggota DPR Daerah Flores.
          Dalam bidang sosial kemasyarakatan, Guru Gabriel Tjangkoeng sejak tahun 1936-1942, menjadi Wakil Ketua Persatuan Sosial Katolik Manggarai (PSKR). Tahun 1938-1942, menjadi Ketua “Arnoldus Stiching” Cabang Manggarai.
          Selain itu Guru Gabriel Tjangkoeng juga ikut  mencerdaskan masyarakat melalui karya di bidang jurnalis. Tahun 1947-1950 menjadi Pemimpin Umum Studieclub dan menerbitkan Surat Edaran “Warta Studie Club” di Ruteng.[4] Tahun 1946-1956 menjadi Pemimpin Umum Majalah “Pelita Seia” di Ruteng. Selain itu menjadi kontributor tulisan dalam majalah Bintang Timur, Bentara dan Suara Katolik.
            Atas seluruh pengabdiannya, Paus Paulus VI menganugerahkan kepadanya bintang jasa “Pro Eclesia Et Pontivice D.no. Gabrieli Tjangkoeng Paulus VI Pontivex Maximus” tahun 1974. Pemerintah Kabupaten Manggarai juga memberi apresiasi yang layak melalui Piagam Penghargaan atas jasanya di bidang pendidikan tahun 1979. Gabriel akhirnya mangkat pada 26 Maret 1991. Semangat dan cita-citanya terus menyala pada generasi penerus Manggarai.



[1] Selengkapnya dapat dibaca pada artikel yang ditulis oleh Markus Makur: “Tiga Sawah Jaring Laba-laba di Lembah Ranggu-Kolang Flores Barat” dalam: www.kompas.com, diakses: 8 Oktober 2019.
[2] Dikutip dari Majalah Pelita Seia Nomor 11-12 edisi Agustus-September 1952 Tahun VI, hal. 43. Kami hanya mengubah ejaan, tanpa mengubah isi.
[3] Anton A. Mashur, Pius Nasar dan Ediard Djebarus, Mgr. Donatus Djagom SVD: Kenangan 50 Tahun Imamat (Jakarta: Minkontri, 2000), hal. 28.
[4] Betrray, Op.Cit., hal. 1263.

1 comment:

  1. Kae terimakasih banyak utk kerelaan dite menulis tentang tokoh-tokoh katolik Manggarai. Rasanya seperti menemukan harta karun membaca tulisan dite ini. Saya tdk bisa membayangkan kalau misionaris2 svd tdk datang ke manggarai.

    ReplyDelete