Dalam sejarah pertumbuhan Iman Katolik di Manggarai, ada dua tokoh awam yang sangat berjasa: Damasus Agas dan Gabriel Tjangkoeng. Artikel singkat ini menjadi sebuah catatan kecil untuk diperbaharui oleh parapihak yang mengetahui tentang dua tokoh ini.
Gereja Lengko Ajang
Damasus Agas
Tatkala Perang Dunia II menyerang, Belanda dan
Jerman berseteru. Hal ini berpengaruh juga di tanah jajahan. Mereka menginternir
semua imam Jerman. Peristiwa ini menyebabkan banyak imam ditawan dan kehilangan
aktivitas untuk melayani umat. Damasus Agas, putera kelahiran Mendo, menjadi
kepala seluruh guru agama di Manggarai. Damasus Agas adalah rekan sekelas dari
Mgr. Donatus Djagom SVD, Imam pribumi Manggarai pertama yang ditahbiskan pada
28 Agustus 1949.
Dalam sebuah catatan Markus Makur, Guru Damasus
berkeliling hingga ke Manggarai Barat. Ia tidak hanya menjadi pengajar agama
dan guru di Sekolah Dasar Katolik Ranggu, tetapi juga pencetus persawahan
berbentuk lodok di beberapa daerah di Manggarai Barat. Dia bekerja sama dengan
Pastor Paroki Ranggu, P. Frans Mensen SVD dan P. Niko Bot SVD.[1]
Saat kunjungan ke Achterveld-Belanda, Uskup van
Bekkum membawa serta Damasus Agas ke tanah kelahirannya. Mereka tiba di sana 2
Agustus 1952. Dalam kesempatan yang mulia itu, Guru Damasus Agas berpidato
singkat sbb:
Saya diutus oleh orang Serani dari Flores akan
menunjukkan rupa seorang Flores asli di muka family beliau di kampung
Achterveld khususnya dan di muka penduduk Belanda umumnya, yaitu biarpun orang
Flores itu miskin sekali, tetapi sudah mengumpulkan uang sesen dua untuk ongkos
perjalanan saya sampai saya berdiri di muka Bapa uskup Yang Mulia dan family
dan orang Serani Achterveld sekarang. Inilah saya datang mengucap syukur kepada
Beliau di muka family dan orang Serani atas jasa dan kurban Beliau sendiri yang
dengan rela melepaskan tanah air Beliau dan family Beliau yang tercinta dan
pergi membuang diri di tengah orang hitam yang tanahnya berhutan rimba,
berjurang dan bergunung jauh dari keramaian dunia modern. Begitupun family
tahan banyak sakit dan iba hati karena Ibu dan Bapa Beliau sudah tidak pernah
melihat lagi muka buah hatinya yang tercinta sampai sudah meninggalkan dunia
ini dengan iba dan sedih hatinya itulah kurbannya untuk Misionaris di tanah
kami. Sebab itulah kami datang tanda terima kasih dan akhirnya saya serahkan
kepada Tuhan Allah yang bisa membalas kesemuanya dengan sekedarnya.[2]
Damasus Agas menunjukkan cinta yang sungguh
terhadap Gereja. Ia berpindah dari satu tempat ke tempat yang lain. Ia tidak
hanya mengajarkan pengetahuan kepada murid-murid, tetapi juga bercocok tanam,
khususnya mencetak sawah-sawah untuk membantu ketahanan pangan masyarakat yang
dilayaninya. Uskup van Bekkum mengajak Damasus ke Lourdes dan Fatima di awal
September 1952 dan pada 25 September tahun yang sama dia mengunjungi kediaman
Paus di Roma. Kunjungan ke Eropa bersama Uskup van Bekkum lebih merupakan
hadiah bagi ketekunan, keuletan, kesabaran Damasus dalam kegiatan misi Gereja
di Manggarai.
Perjalanan hidup Damasus Agas pascapelayanan di
Manggarai berubah ketika ia ditahbiskan menjadi imam oleh Mgr. Donatus Djagom
SVD pada tahun 1982. Dia bekerja di Keuskupan Agung Ende hingga 1991. Di masa
pensiunnya, Rm. Damasus Agas Pr kembali ke kampung halamannya hingga
meninggalnya pada tahun 1995. Karena jasa-jasanya, dia dimakamkan di pekuburan
Novisiat Serikat Sabda Allah Kuwu.[3]
Sepanjang
hidupnya, Gabriel bekerja sebagai seorang pendidik entah di sekolah pun di
lembaga yayasan. Dia pernah mengajar di Watu Neso Lio, dekat perbatasan dengan
Sikka. Tahun 1946-1949 menjadi Kepala Standaarschool Katolik di Ruteng. Tahun
1947-1950, menjadi direktur OVO di Ruteng. Tahun 1950-1951 diangkat sebagai
Kepala SGB Katolik di Ruteng. Terhitung mulai tanggal 1 Januari 1951 – 31
Agustus 1960 Guru Gabriel Tjangkoeng diangkat menjadi Penilik Sekolah Rakyat
hingga masuk masa pensiun terhitung mulai tanggal 1 September 1960.
Gabriel
pemuda yang enerjik. Ia memiliki visi ke depan. Ia menyadari bahwa banyak hal
bisa dibangun dari kebiasaan berkumpul, berdikusi dan berorganisasi. Itulah
sebabnya antara tahun 1937-1942, Gabriel menjadi Ketua Studiefunds Manggarai. Ia juga peduli dengan guru-guru yang pensiun
sehingga pada tahun 1948-1942 Gabriel menjadi Ketua Cabang Pensiunan Funds Guru-guru di Manggarai.
Karyanya
yang tak berkesudahan dalam dunia pendidikan membawa dirinya pada tahun
1950-1975, menjadi Wakil Ketua Pengurus Yayasan Pembangunan Pendidikan
Manggarai (YPPM). Bahkan selepas pensiun, pada tahun 1971 – 1975 Gabriel
menjadi anggota Pengurus Harian Yayasan SUKMA milik Keuskupan Ruteng yang
bergerak dalam dunia pendidikan. Dia banyak menolong Gereja Nusa Tenggara dalam
dunia pendidikan tinggi dengan menjadi anggota Pengurus Yayasan St. Paulus
Ruteng yang menyelenggarakan Akademi Pendidikan Katekis (APK – sekarang UKI)
Santo Paulus Ruteng.
Tidak
hanya berkubang dalam dunia pendidikan, Gabriel Tjangkoeng juga berkarya dalam bidang politik dengan
menjadi Ketua Partai Katolik pada tahun 1947-1950 untuk Cabang Manggarai.
Lanjutannya, sejak tahun 1948 hingga tahun 1959, Gabriel menjadi anggota DPR
Daerah Flores.
Dalam bidang sosial kemasyarakatan, Guru Gabriel Tjangkoeng
sejak tahun 1936-1942, menjadi Wakil Ketua Persatuan Sosial Katolik Manggarai
(PSKR). Tahun 1938-1942, menjadi Ketua “Arnoldus
Stiching” Cabang Manggarai.
Selain itu Guru Gabriel Tjangkoeng juga ikut mencerdaskan masyarakat melalui karya di
bidang jurnalis. Tahun 1947-1950 menjadi Pemimpin Umum Studieclub dan menerbitkan Surat Edaran “Warta Studie Club” di Ruteng.[4]
Tahun 1946-1956 menjadi Pemimpin Umum Majalah “Pelita Seia” di Ruteng. Selain
itu menjadi kontributor tulisan dalam majalah Bintang Timur, Bentara dan Suara
Katolik.
Atas
seluruh pengabdiannya, Paus Paulus VI menganugerahkan kepadanya bintang jasa “Pro Eclesia Et Pontivice D.no. Gabrieli
Tjangkoeng Paulus VI Pontivex Maximus” tahun 1974. Pemerintah Kabupaten
Manggarai juga memberi apresiasi yang layak melalui Piagam Penghargaan atas
jasanya di bidang pendidikan tahun 1979. Gabriel akhirnya mangkat pada 26 Maret
1991. Semangat dan cita-citanya terus menyala pada generasi penerus Manggarai.
[1] Selengkapnya dapat dibaca pada artikel
yang ditulis oleh Markus Makur: “Tiga Sawah Jaring
Laba-laba di Lembah Ranggu-Kolang Flores Barat” dalam: www.kompas.com, diakses: 8 Oktober 2019.
[2] Dikutip dari Majalah Pelita Seia Nomor 11-12 edisi Agustus-September 1952 Tahun
VI, hal. 43. Kami hanya mengubah ejaan, tanpa mengubah isi.
[3] Anton A. Mashur, Pius Nasar dan Ediard
Djebarus, Mgr. Donatus Djagom SVD:
Kenangan 50 Tahun Imamat (Jakarta: Minkontri, 2000), hal. 28.
[4] Betrray, Op.Cit., hal. 1263.
Kae terimakasih banyak utk kerelaan dite menulis tentang tokoh-tokoh katolik Manggarai. Rasanya seperti menemukan harta karun membaca tulisan dite ini. Saya tdk bisa membayangkan kalau misionaris2 svd tdk datang ke manggarai.
ReplyDelete