Foto busana lengkap pria Orang Manggarai di Tenda-Ruteng.
T
|
erdapat begitu banyak
usul-asal nama Manggarai dari perspektif historis. Berbagai usaha mengkaji
etiologi nama tempat maupun penelusuran historis berdasarkan peristiwa yang
terjadi pada saat itu telah dibuat. Sekurang-kurangnya ada tiga tokoh yang coba
membuat penelusuran nama Manggarai dalam sejarah modern.
U
|
saha pertama dibuat
oleh Van Bekkum sebagaimana dikutip oleh Jilis Verheijen,[1] seorang misionaris
dan pakar budaya yang banyak membuat penelitian tentang Manggarai dan
kebudayaannya, khususnya tentang Wujud Tertinggi, bahasa, flora dan fauna
Manggarai. Menurut Van Bekkum yang mengutip pernyataan orang Bima, “Manggarai”
adalah gabungan dari kata-kata mangga yang berarti sauh, dan rai
yang berarti lari, berpautan dengan satu peristiwa terdahulu. Selanjutnya,
Verheijen mengacu pada Van Bekkum yang mengadopsi kisah lisan di Cibal tentang
kisah tokoh yang bernama Mangga-Maci[cing”. Konon putra sulung Nunisa
itu diutus Bima menaklukkan Manggarai bersama tiga saudaranya yang bernama
Nanga-Lere, Tulus-Kuru dan Jena-ili-Woha. Mereka memberi nama Manggarai kepada Nuca
Lale.[2]
O
|
rang kedua yang coba
membuat telaahan tentang hal yang sama adalah Doroteus Hemo.[3] Menurut Hemo, konon
pada waktu perahu Mangga-Maci bersaudara itu tengah membongkar sauh dan
mendarat, tiba-tiba pasukan Cibal menyerang, memotong sauh hingga perahu-perahu
itu hanyut. Pasukan Bimapun terperanjat dan berteriak, Mangga-rai [sauh
berlari]. Sejak peristiwa itulah tanah Manggarai mendapat namanya hingga
sekarang ini.
O
|
rang ketiga, Dami N.
Toda juga melakukan studi yang sama.[4] Menurut Toda
asal-usul nama Manggarai dari Freijss, maupun kisah Wilhelmus van Bekkum yang
kemudian diiukuti oleh Verheijen maupun Hemo tetap saja berisi kisah kekeliruan
yang telah berdampak politis tatkala dihubungkan dengan istilah ata raja
dengan semiotik souverinitas raja Bima atas Manggarai dan diakui oleh
pemerintah kolonial Belanda. Menurut Toda, kata Manggarai sebenarnya
berasal dari sebutan Manga dan Raja. Kata Manggarai manga
berarti “ada” tetapi kata “raja” sama sekali tidak bersinonim dengan kata
“raja” dalam bahasa Melayu-Indonesia. Dalam bahasa Manggarai, kata Raja
berarti: sebab musabab, masalah, biasa, manusiawi, nyata [sebagai lawan kata:
yang bersifat seberang sana, asing].[5]
L
|
ebih lanjut Toda
membuat perluasan arti dari manga raja. Pasangan kata manga raja
berarti: “ada [memiliki] sebab-musabab” hanyalah sebuah frase yang bila
dihidupkan akan menjadi kalimat harus memperoleh proses morfologis, misalnya: manga
rajan: ada sebab musabab alasan, manga rajag: ada sebab musabab alasanku. Ata raja
dalam bahasa Manggarai tidak dimaksudkan dengan terjemahan “Ada raja” seperti
yang dibuat oleh Freijss, melainkan berarti: ada orang, manusia biasa yang
memiliki raga. Kata ini berlawanan dengan sebutan ata pele sina yang
berarti: orang [manusia] dari dunia seberang, manusia roh, mahkluk halus.[6] Jika istilah ini
yang dipakai dalam pemahaman tentang usul asal kata Manggarai maka pengakuan
akan souverinitas Bima dan Belanda atas Manggarai merupakan sebuah pencaplokan
atas suatu bangsa tertentu. Sebab, Manggarai sebagai suku bangsa tertentu
memiliki identitas, sistem pemerintahan, budaya dan semua unsur yang mencirikan
mereka sebagai suku bangsa yang berdaulat. Kata “Manggarai” lebih
merupakan pengakuan sekaligus pemakluman bahwa “kami ada” dan karena itu
memiliki otonomi atas diri dan kehidupan kami sendiri.
P
|
eristiwa pada abad
ke-18 tidak memiliki kecocokan historis dengan peristiwa kedatangan Manggamaci.
Kedatangan formal ekspedisi Bima baru terjadi sesudah tahun 1761-an, tahun tiba
pertama kali misi 27 perahu Bima menuju pelabuhan Adak Todo [Kerajaan Todo] di
pantai selatan Manggarai, yang bernama Nanga Ramut pada 6 November 1716
melayani permintaan bantuan Todo ke Bima.[7]
M
|
eskipun ada
ketidaksamaan pemahaman dalam mengartikan kata “Manggarai”, sebenarnya
Manggarai sebelum abad ke-18 disebut dengan nama Nuca Lale. Nuca berarti
pulau dan Lale adalah nama pohon kerbang [artocarpus elastica]
yang memiliki warna kekuning-kuningan. Menurut pengakuan para petani, pohon
Lale merupakan lambang kesuburan.
D
|
alam karya Piet Petu,
lale itu adalah nepa yakni ular besar berwarna merah kekuning-kuningan [python
reticulates], dengan demikian, Nuca Lale berarti: Pulau Ular.[8] Tapi sebutan Nusa
Nipa ini adalah nama umum yang ditemukan Piet Petu dari Orang Wonda di Lio
Timur untuk menyebut pulau Flores.[9] Karena itu hampir
tidak ada hubungan historisnya dengan nama Manggarai, kecuali relasi makna
tafsiran.
D
|
itinjau dari akar
budaya Manggarai, nama [orang, tempat] memang tidak harus mempunyai
arti.[10] Hal itu sangat jelas
pada usulan rancangan nama yang berjumlah lima yang diajukan pada saat
pemberian nama seorang anak. Tetapi nama yang diajukan biasanya tidak asing
dalam komposisi rasa bunyi bahasa Manggarai, bahkan sering berasal dari nama
turunan ataupun variasi bunyi yang mirip dengan nama bapa, moyang, tokoh
terkenal ataupun nama gelar dari lingkungan keluarga besar. Di tengah kerancuan
ini, Orang Manggarai tetap yakin bahwa nama Manggarai bukanlah hasil pemberian
orang luar, melainkan memiliki keaslian yang menyatakan bahwa “ada orang” [manga-raja],
penduduk asli yang mendiami wilayah ini. Sejarah membuktikan bahwa terbanyak
penduduk yang hingga kini berada di daerah Manggarai merupakan pendatang yang
bermigrasi dari berbagai wilayah.
[1] Jilis A. Verheijen, Manggarai Dan Wujud Tertinggi
[Jakarta: LIPI, RUL, 1990], p. 23.
[2] Dami N. Toda, Manggarai Mencari Pencerahan
Historiografi [Ende: Nusa Indah, 1999], pp. 68-69.
[3] Ibid.
[4] Ibid.
[5] Bdk. Jillis A. Verheijen, Kamus Manggarai-Indonesia I,
[Ende: Nusa Indah, 1967], pp. 19-20, 523.
[6] Dami N. Toda, Loc. Cit.
[7] Ibid.
[8] Piet Petu, Nusa Nipa [Ende: Nusa Indah, 1969], p.
45.
[9] Piet Petu, “Pengalaman Penelitian” dalam: Menggali
Tradisi Lisan [Maumere: Pustaka Misionalia Candraditya, Seri II/1, 1983],
p. 89.
[10] Dami N. Toda, Op. Cit., p.71.
No comments:
Post a Comment