Monday 24 September 2018

Nama ”Manggarai”: Sejarah Perseteruan Berbagai Versi


Kanisius Teobaldus Deki M.Th

Foto busana lengkap pria Orang Manggarai di Tenda-Ruteng.


T
erdapat begitu banyak usul-asal nama Manggarai dari perspektif historis. Berbagai usaha mengkaji etiologi nama tempat maupun penelusuran historis berdasarkan peristiwa yang terjadi pada saat itu telah dibuat. Sekurang-kurangnya ada tiga tokoh yang coba membuat penelusuran nama Manggarai dalam sejarah modern. 

U
saha pertama dibuat oleh Van Bekkum sebagaimana dikutip oleh Jilis Verheijen,[1] seorang misionaris dan pakar budaya yang banyak membuat penelitian tentang Manggarai dan kebudayaannya, khususnya tentang Wujud Tertinggi, bahasa, flora dan fauna Manggarai. Menurut Van Bekkum yang mengutip pernyataan orang Bima, “Manggarai” adalah gabungan dari kata-kata mangga yang berarti sauh, dan rai yang berarti lari, berpautan dengan satu peristiwa terdahulu. Selanjutnya, Verheijen mengacu pada Van Bekkum yang mengadopsi kisah lisan di Cibal tentang kisah tokoh yang bernama Mangga-Maci[cing”. Konon putra sulung Nunisa itu diutus Bima menaklukkan Manggarai bersama tiga saudaranya yang bernama Nanga-Lere, Tulus-Kuru dan Jena-ili-Woha. Mereka memberi nama Manggarai kepada Nuca Lale.[2]
 
O
rang kedua yang coba membuat telaahan tentang hal yang sama adalah Doroteus Hemo.[3] Menurut Hemo, konon pada waktu perahu Mangga-Maci bersaudara itu tengah membongkar sauh dan mendarat, tiba-tiba pasukan Cibal menyerang, memotong sauh hingga perahu-perahu itu hanyut. Pasukan Bimapun terperanjat dan berteriak, Mangga-rai [sauh berlari]. Sejak peristiwa itulah tanah Manggarai mendapat namanya hingga sekarang ini.

O
rang ketiga, Dami N. Toda juga melakukan studi yang sama.[4] Menurut Toda asal-usul nama Manggarai dari Freijss, maupun kisah Wilhelmus van Bekkum yang kemudian diiukuti oleh Verheijen maupun Hemo tetap saja berisi kisah kekeliruan yang telah berdampak politis tatkala dihubungkan dengan istilah ata raja dengan semiotik souverinitas raja Bima atas Manggarai dan diakui oleh pemerintah kolonial Belanda. Menurut Toda, kata Manggarai sebenarnya berasal dari sebutan Manga dan Raja. Kata Manggarai manga berarti “ada” tetapi kata “raja” sama sekali tidak bersinonim dengan kata “raja” dalam bahasa Melayu-Indonesia. Dalam bahasa Manggarai, kata Raja berarti: sebab musabab, masalah, biasa, manusiawi, nyata [sebagai lawan kata: yang bersifat seberang sana, asing].[5]

L
ebih lanjut Toda membuat perluasan arti dari manga raja. Pasangan kata manga raja berarti: “ada [memiliki] sebab-musabab” hanyalah sebuah frase yang bila dihidupkan akan menjadi kalimat harus memperoleh proses morfologis, misalnya: manga rajan: ada sebab musabab alasan, manga rajag:  ada sebab musabab alasanku. Ata raja dalam bahasa Manggarai tidak dimaksudkan dengan terjemahan “Ada raja” seperti yang dibuat oleh Freijss, melainkan berarti: ada orang, manusia biasa yang memiliki raga. Kata ini berlawanan dengan sebutan ata pele sina yang berarti: orang [manusia] dari dunia seberang, manusia roh, mahkluk halus.[6] Jika istilah ini yang dipakai dalam pemahaman tentang usul asal kata Manggarai maka pengakuan akan souverinitas Bima dan Belanda atas Manggarai merupakan sebuah pencaplokan atas suatu bangsa tertentu. Sebab, Manggarai sebagai suku bangsa tertentu memiliki identitas, sistem pemerintahan, budaya dan semua unsur yang mencirikan mereka sebagai suku bangsa yang berdaulat. Kata “Manggarai” lebih merupakan pengakuan sekaligus pemakluman bahwa “kami ada” dan karena itu memiliki otonomi atas diri dan kehidupan kami sendiri.

P
eristiwa pada abad ke-18 tidak memiliki kecocokan historis dengan peristiwa kedatangan Manggamaci. Kedatangan formal ekspedisi Bima baru terjadi sesudah tahun 1761-an, tahun tiba pertama kali misi 27 perahu Bima menuju pelabuhan Adak Todo [Kerajaan Todo] di pantai selatan Manggarai, yang bernama Nanga Ramut pada 6 November 1716 melayani permintaan bantuan Todo ke Bima.[7]



M
eskipun ada ketidaksamaan pemahaman dalam mengartikan kata “Manggarai”, sebenarnya Manggarai sebelum abad ke-18 disebut dengan nama Nuca Lale. Nuca berarti pulau dan Lale adalah nama pohon kerbang [artocarpus elastica] yang memiliki warna kekuning-kuningan. Menurut pengakuan para petani, pohon Lale merupakan lambang kesuburan. 

D
alam karya Piet Petu, lale itu adalah nepa yakni ular besar berwarna merah kekuning-kuningan [python reticulates], dengan demikian, Nuca Lale berarti: Pulau Ular.[8] Tapi sebutan Nusa Nipa ini adalah nama umum yang ditemukan Piet Petu dari Orang Wonda di Lio Timur untuk menyebut pulau Flores.[9] Karena itu hampir tidak ada hubungan historisnya dengan nama Manggarai, kecuali relasi makna tafsiran.

D
itinjau dari akar budaya Manggarai, nama [orang, tempat] memang tidak harus mempunyai arti.[10] Hal itu sangat jelas pada usulan rancangan nama yang berjumlah lima yang diajukan pada saat pemberian nama seorang anak. Tetapi nama yang diajukan biasanya tidak asing dalam komposisi rasa bunyi bahasa Manggarai, bahkan sering berasal dari nama turunan ataupun variasi bunyi yang mirip dengan nama bapa, moyang, tokoh terkenal ataupun nama gelar dari lingkungan keluarga besar. Di tengah kerancuan ini, Orang Manggarai tetap yakin bahwa nama Manggarai bukanlah hasil pemberian orang luar, melainkan memiliki keaslian yang menyatakan bahwa “ada orang” [manga-raja], penduduk asli yang mendiami wilayah ini. Sejarah membuktikan bahwa terbanyak penduduk yang hingga kini berada di daerah Manggarai merupakan pendatang yang bermigrasi dari berbagai wilayah.



[1] Jilis A. Verheijen, Manggarai Dan Wujud Tertinggi [Jakarta: LIPI, RUL, 1990], p. 23.
[2] Dami N. Toda, Manggarai Mencari Pencerahan Historiografi [Ende: Nusa Indah, 1999], pp. 68-69.
[3] Ibid.
[4] Ibid.
[5] Bdk. Jillis A. Verheijen, Kamus Manggarai-Indonesia I, [Ende: Nusa Indah, 1967], pp. 19-20, 523.
[6] Dami N. Toda, Loc. Cit.
[7] Ibid.
[8] Piet Petu, Nusa Nipa [Ende: Nusa Indah, 1969], p. 45.
[9] Piet Petu, “Pengalaman Penelitian” dalam: Menggali Tradisi Lisan [Maumere: Pustaka Misionalia Candraditya, Seri II/1, 1983], p. 89.
[10] Dami N. Toda, Op. Cit., p.71.

No comments:

Post a Comment