Saturday, 22 September 2018

Membaca Krisis Iman


Kanisius Teobaldus Deki

1.       Pengantar
Dari semua agama yang dianut manusia, agama Kristenlah yang paling luas tersebar di muka bumi ini dan juga yang paling banyak penganutnya. Satu dari tiga orang penduduk dunia adalah orang Kristen. Hal ini berarti jumlah orang Kristen adalah 800 juta manusia.[1] Selain sebagai sebuah bentuk religiositas yang banyak dianut oleh penduduk dunia, agama Kristen juga merupakan bentuk kebudayaan baru yang merambah wajah dunia dengan kehadiran pada multisektor kehidupan.

Itulah sebabnya, dalam sejarahnya yang terbentang sepanjang kurang lebih dua ribu tahun, agama Kristen melahirkan dirinya dalam bentuk yang sangat mengagumkan. Mulai dari misa agung yang semarak di Basilika St. Petrus di Roma sampai pada penghayatan religiositas kerakyatan yang dikemas dalam spiritualitas lokal di Amerika Latin atau Filipina, termasuk devosi kerakyatan di Flores, kristianitas menghadirkan dirinya dalam wajah yang tak lepas dari berbagai kesan mendalam.

Di antara berbagai kehadiran yang terasa mapan, di tengah perubahan situasi historis yang memberikan Gereja ornamen-ornamen makna, muncul suatu kenyataan yang tak dapat ditepis yakni, Gereja berada di persimpangan zaman yang telah dijejali oleh spiritualisme.[2] Artikel ini akan memperlihatkan tantangan Gereja dalam menghayati imannya sepanjang rentang 2000 tahun peziarahannya yang telah lewat serta catatan kritis untuk membangun masa depan yang bernas. Perjalanan historis ini penting untuk dikaji supaya kita bisa belajar sekaligus melihat kenyataan Gereja di masa kini dan masa depan.

2.      Berada pada Persimpangan?
Lebih dari seratus tahun yang lalu tatkala para elit ilmuwan dan intelektual yang merasa terbebaskan dari pasungan kegelapan ilmu pengetahuan mempermaklumkan akhirnya masa kejayaan agama. Mereka yakin bahwa penemuan ilmu pengetahuan merupakan awal dari kehancuran agama yang ditengarai sebagai bagian kental dari kekolotan.[3] Muncullah atheisme praktis dan penafian terhadap agama. Tetapi agama tak pernah raib secara tuntas dari kehidupan manusia. Agama tetap menunjukkan identitasnya bahkan hingga di zaman modern ini. Namun agama, yang di satu pihak mencerahkan kehidupan manusia dan perjuangannya, di pihak lain telah terombang-ambing di terpa badai tantangan.

Menyikapi pelbagai soal yang sedang meliliti agama-agama, Hendrik Kraemer, seorang tokoh Kristen Protestan, berujar bahwa semua agama, entah disadari atau tidak oleh penganutnya, sudah memasuki periode krisis yang berlangsung terus dan mendasar.[4] Analisis tentang krisis agama-agama tidak hanya diselisiki oleh Hendrik Kraemer. Malachi Martin, seorang pemikir dari Gereja Katolik menandaskan bahwa agama-agama sekarang sedang mengalami krisis. Agama-agama sulit mengendalikan pelbagai perubahan dan perkembangan umat manusia dewasa ini.[5] Dalam studinya, Syed Vahiduddin mengemukakan bahwa krisis yang dihadapi agama terungkap dalam multiwajah, baik personal concern maupun communal commitment, termasuk krisis kesadaran beragama dan krisis yang berkaitan dengan relevansi dan identitas.[6]

Berada pada situasi ini, pertanyaan-pertanyaan coba diajukan. Bagaimana sikap gereja dalam menanggapi situasi “persimpangan” yang arahnya membawa kemunduran dalam hidup keberagamaan? Berikut ini ada beberapa faktor yang dapat disebut sebagai penyebab dari krisis yang sekarang dialami oleh Gereja.

2.1. Iman dan Lembaga
Mulanya, Yesus Kristus memiliki 12 orang Rasul untuk menjadi muridNya yang dipilih secara langsung. Para murid ini hidup bersama Yesus kurang lebih 3 tahun. Mereka mengikuti Yesus ke manapun Ia pergi untuk mewartakan Kabar Keselamatan kepada semua orang, baik Israel maupun Samaria. Mereka lalu menjadi bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan Yesus. Mereka diberi kuasa untuk melanjutkan warta Keselamatan kepada manusia. Pengangkatan Petrus sebagai primus interpares [kepala dalam kesederajatan dengan yang lain] merupakan awal atau cikal bakal melembaganya pengajaran iman dalam kehidupan jemaat perdana.

Pasca kenaikan Yesus ke surga, Petrus berperan koordinatif atas para rasul dan dalam kuasa mengajar yang termaktub dalam symbol “Kunci Kerajaan Allah”.[7] Peristiwa Konsili Yerusalem merupakan bukti yang sangat kuat bahwa Petrus memiliki otoritas atas pengajaran iman yang diwartakan para rasul yang lainnya. Sejak saat itu, di manapun para rasul menjalankan tugas pewartaan, selalu dikenal jabatan khusus yang kerap disebut “Penatua Jemaat”. Mereka juga memiliki fungsi koordinatif dan otoritatif dalam memelihara iman jemaat melalui pengajaran yang benar.

Orang Kristen, yakni kumpulan orang yang percaya kepada Yesus Kristus sebagai Penyelamat, selalu hidup dalam kebersamaan komuniter yang ditunjukkan oleh Kisah Para Rasul sebagai kehidupan “sehati-sejiwa”, baik dalam kata-kata maupun perbuatan.[8] Sikap anti pengikut Kristus oleh orang-orang Yahudi menjadi situasi yang umum pada saat itu. Orang-orang Kristen menjalankan kewajiban imannya dalam situasi yang serba terbatas, tertekan dan bergerak di bawah tanah. Kebutuhan akan sebuah wadah yang bias membahasakan legalitas sebuah perkumpulan terasa mendesak. Itulah sebabnya, iman yang merupakan jawaban manusia atas sapaan Tuhan, dikristalisasi dalam berbagai bentuk, termasuk lembaga keagamaan. Praktisnya, orang-orang Yahudi yang percaya kepada Yesus Kristus sebagai Penyelamat, memisahkan diri dari perkumpulan agama Yahudi lalu mengambil jalan baru sebagai orang Kristen.

Peristiwa Pentekosta, Roh Kudus turun atas Para Rasul, di Yerusalem memberikan peneguhan dan sekaligus jawaban atas berbagai keraguan yang timbul dari jalan Kristianitas yang baru. Orang-orang yang percaya ini semakin berani mewartakan Yesus yang telah berinkarnasi demi membebaskan seluruh umat manusia dari penindasan dosa. Dari Yerusalem, Kristianitas menjadi budaya baru bagi dunia yang merambah ke berbagai pelosok dunia.

Berpindah dari Yerusalem ke Roma[9] merupakan moment perubahan bagi sebuah perkembangan Kristianitas yang tak tersangkakan. Telah lama darah para martir membasahi pelataran kota Roma demi mempertahankan imannya, namun pengakuan sebagai lembaga agama yang resmi bagi kekaiseran baru terjadi di zaman Konstantinus. Ini merupakan era baru.[10] Sayap perluasan coba dikepak hingga akhirnya rambahan Kristianitas menjangkaui pelosok dunia. Dengan peristiwa ini juga Gereja sebagai lembaga keagamaan tempat iman coba dikristalisasi menjadi kuat dan kokoh. Manajemen pemerintahan Romawi yang teratur coba diterapkan dalam lembaga Gereja.[11] Iman, pada gilirannya, hampir diidentikkan dengan lembaga. Posisi iman kini bukan lagi sebagai prioritas melainkan sebagai salah satu fragmen, bagian yang dikaitkan dengan kultus [termasuk peribadatan seremonial dan tata aturan yang berlaku atasnya]. Iman pada saat tertentu coba dikalahkan oleh prinsip kelembagaan atau demi lembaga iman dikorbankan.[12]

Dalam kenyataan dunia modern, iman yang sama kian melenyap. Kepercayaan akan Allah yang maha baik dieliminasi oleh keyakinan yang kuat bahwa lembaga lebih penting. Lembaga adalah simbol iman. Tatkala lembaga Gereja turut terlibat dalam serangkaian tindakan yang merugikan banyak pihak seperti korupsi, kolusi dan nepotisme, benarkah simbol iman itu telah runtuh diterpa badai berhala? Garis demarkasi antara lembaga dan iman kian tipis ketika legitimasi lembaga atas iman memperoleh bentuk yang menghadang praksis iman dalam kehidupan bersama. Itulah sebabnya, dunia modern semakin acuh tak acuh terhadap unsur lembaga Gereja yang dinilai telah mengkhianati iman.[13]

2.2. Ilmu Pengetahuan dan Teknologi
Apa yang kita sebut sebagai ilmu pengetahuan dan teknologi pada zaman sekarang ini erat terkait dengan kebudayaan dan masyarakat Barat Modern. Kebudayaan yang sama merupakan satu-satunya kebudayaan dalam sejarah umat manusia yang telah menjadi sasaran kritik habis-habisan dan yang pengandaian-pengandaian, keyakinan-keyakinan, dan prestasi-prestasinya yang telah dicapai terus menerus secara radikal dipertanyakan dan diperiksa.[14]

Dalam lancaran kritik dan pertanyaan yang diajukan, agama, yang ada pada pusat kebudayaan, kerap mengalami pukulan. Hal ini disebabkan oleh pelbagai faktor, terutama karena agama sebagai istilah sulit didefinisikan, melibatkan kita ke dalam cara-cara kita berusaha menghadapi dan memberikan arti pada realitas mutlak dan nilai-nilai dengan mana kita mencoba untuk hidup.[15]

Sejak zaman lampau, dimana para filsuf hidup dan mulai merambah dunia rasional secara gemilang, analisa logis atas kehidupan menemukan jalan baru. Manusia memahami dirinya sebagai penentu bagi kehidupan dan masa depannya. Eksplorasi intelektual karenanya dimungkinkan oleh kesadaran itu. Rasa kagum yang mendalam terhadap alam semesta dicurangi oleh kenyataan bahwa ia dapat dimasuki, diselidiki hingga diubah ke tata baru. Pengalaman berhadapan dengan alam yang sakral [subjektif] kini melahirkan anggapan profanisme [tersebab pengalaman objektif], serentak menghadirkan keinginan untuk mengeksploitasi. Tanah yang dulu dilihat sebagai ibu, kini tak lebih dari sekedar materi biasa. Alam semesta yang menimbulkan kekaguman karena sekian rahasia tak tersibak, kini diobyektifasi sehingga ia tak lebih sebatas “lahan” untuknya ilmu pengetahuan dan teknologi diterapkan.

Pendekatan ilmiah baru yang secara luas telah dipakai membawa empat kesimpulan penting. Pertama, Hak azasi manusia untuk menggunakan akal budi yang dianugerahkan Tuhan, bahkan kalau penggunaan tersebut seringkali membawa orang pada situasi mempertanyakan tradisi yang sudah diwariskan. Kedua, Kepercayaan bahwa alam semesta berperilaku menurut hukum-hukum dan prinsip-prinsip alamiah. Ketiga, Kepercayaan bahwa sebab-sebab yang bersifat alamiah dan manusiawi dapat ditemukan sebagai penjelasan untuk hampir setiap persoalan dalam alam semesta. Keempat, Masa lalu dapat dimengerti berdasarkan masa kini, karena apa yang dahulu mungkin sekarang masih mungkin, dan apa yang sekarang tidak mungkin sudah sejak dahulu memang selalu tak mungkin.[16]

Berdasarkan gagasan baru ini, ilmuwan-ilmuwan coba menampilkan analisis yang tajam atas pandangan yang keliru tentang ilmu pengetahuan terkait dengan apa yang ada dalam Kitab Suci. Galileo [1564-1642] dari Italia dan Kepler [1571-1630] dari Jerman menyadari hal ini. Mereka membantu Gereja untuk membedakan secara tajam apa yang dikatakan Kitab Suci yakni Karya Penyelamatan Allah dengan ilmu pengetahuan tentang alam semesta. Perlahan-lahan, Kitab Suci yang mulanya dipandang sebagai buku ilmu pengetahuan tersingkir. Bahkan ada yang beranggapan bahwa Kitab Suci memberikan data yang salah.[17] Akibatnya, pribadi [Allah] yang diwartakan Kitab Suci juga dipinggirkan. Allah tidak lagi atau jarang dilihat sebagai yang memiliki peran penting dalam tata ciptaan. Lebih-lebih ketika Charles Darwin [1809-1882] menelorkan teori Evolusi yang menggemparkan arah pemikiran saat itu. Allah kemudian dilihat sebagai salah satu faktor saja dalam keseluruhan ciptaan.[18]

Di zaman modern, ketika manusia sudah memiliki kepintaran yang tak terkira sebelumnya, bahkan mencapai angkasa luar, Allah yang diwartakan oleh agama kian tidak menampakkan pengaruh yang luas dalam gagasan ilmu pengetahuan dan teknologi. Allah lalu menjadi sebuah gagasan yang kerap dikaitkan dengan teori kemungkinan. Ketika teknologi dan ilmu pengetahuan tidak sanggup menjawabi persoalan manusia modern, Allah lalu dianggap sebagai “yang memungkinkan” keajaiban terjadi. Tetapi “kemungkinan” selalu berada pada posisi tak sengaja, jika apa yang eksata, rasional sudah tak sanggup memberikan kepastian. Allah, kalaupun dipeduli, dipakai sebagai symbol pemersatu untuk menjalankan misi yang berkaitan dengan kekerasan seperti terorisme dan pelbagai perang yang diberi label “demi Allah”.

2.3. Kesadaran akan Otonomitas Diri[19]
Ilmu pengetahuan modern membawa banyak dampak yang luas untuk agama dan Tuhan yang diperkenalkannya.[20] Kesadaran akan otonomitas diri muncul ke dalam pentas kehidupan manusia setelah sekian lama manusia hanya bergantung pada pemahaman keliru tentang rahmat Allah dan penyelenggaraan Ilahi [providentia Divina]. Psikologi sebagai ilmu yang membahas aspek kejiwaan manusia menemukan jalan baru untuk menunjukkan bahwa manusia memiliki otonomi atas dirinya sendiri. Selain sebagai mahkluk social [ens sociale], ia juga makhluk yang berpribadi [persona].

Adalah Rene Descartes, seorang filsuf Prancis dan Francis Bacon coba meletakkan dasar empirisme. Bagi mereka, ilmu pengetahuan terdiri atas pengalaman terhadap kejadian, dan dari situ ditarik kesimpulan-kesimpulan yang menguasai kejadian-kejadian itu. Muncullah apa yang disebut sebagai diktum terkenalnya, “Dubium Methodicum” [Kesangsian Metodis]. Melalui Dubium Methodicum ini, pengetahuan yang berasal dari tradisi mesti dibimbangkan. Hanya satu kenyataan yang tak bisa dibimbangkan yakni bahwa saya  sedang berpikir. Lahirlah pernyataan terkenal Descartes, “Cogito Ergo Sum” [Saya berpikir, jadi saya ada]. Norma kebenaran ialah pikiranku sendiri. Dengan demikian, apa yang tak bisa dipikirkan maka dia “tak ada”, kecuali kalau kita menerima, daya pikiran manusia itu terbatas.[21] Itu berarti pengamatan manusiawi dicurigai. Sikap dasarnya adalah keraguan metodis dan “berpikir” berarti mengambil jarak dari dunia lain.[22]

Sejak gagasan ini disebarluaskan, efek yang paling kuat ialah bahwa manusia ternyata telah menjadi “pusat” dari kehidupan sendiri. Manusia yang rasional adalah mahkluk yang “ada” dan serentak “meng-ada”.

Pertanyaan tentang eksistensi manusia terus diajukan. Keraguan tentang peran agama dalam kehidupan manusia makin dilancarkan. Situasi zaman yang bobrok oleh keacuhan terhadap nilai-nilai moral-religius membawa malapetaka yang tak tersangkakan. Perpaduan yang tidak seimbang antara orientasi hidup religius dan profan menyebabkan manusia tereliminasi ke dalam situasi yang merendahkan kehidupan duniawi serentak mengagungkan kehidupan “nanti”[rohani]. Lahirlah beberapa pemikir yang melihat bahwa agama dan Allah adalah ciptaan manusia.

Ludwig Feurbach [1804-1872] merumuskan kritik agamanya dalam Das Wesen der Christentums [Hakikat Agama Kristiani] dan Das Wesen der Religion [Hakikat Agama]. Bagi Feurbach, agama berarti kesadaran akan Nan Tak Terbatas. Jika demikian adanya, maka agama berakar dalam diri manusia, yang ciri khasnya adalah kesadaran tak terbatas. Agama adalah hubungan manusia dengan jati dirinya yang tak terbatas. Agama Kristen adalah proyeksi hasrat manusia akan hidup kekal, kesejahteraan dan kebahagiaan. Manusia adalah awal, pusat dan akhir agama. Karena itu, agama memalingkan manusia dari dirinya sendiri dan dari tugas di dunia ini. Agama menjadi rintangan bagi ilmu, kemajuan dan pendidikan, pencerahan, kedewasaan dan kebebasan dan membuat moral menjadi perintah saja. Keadilan, kebaikan dan kasih mempunyai dasar dalam dirinya sendiri. Di dalamnya manusia tergantung dari alam semesta dan mengakui ketergantungan itu.[23]

Mengikuti alur pemikiran Feurbach, Karl Marx [1818-1883], membuat sebuah pertanyaan sebagai berikut:  “Mengapa orang menciptakan Agama?” Menurut Marx, agama adalah khayalan orang yang mencari pegangan hidup, yang tidak ada di dunia ini. Tetapi karena agama dianggap sesuatu yang real [padahal sesungguhnya bukan, dia hanya semu], maka ternyata agama menjadi candu bagi rakyat dan “meninabobokan” rakyat. Kritik terhadap agama pada gilirannya adalah kritik terhadap hukum, dan kritik teologi tidak lain adalah kritik politik. Sebab, agama adalah sesuatu yang superstruktur dalam struktur masyarakat. Kritik Marx diarahkan pada agama Kristen yang menganjurkan matiraga dan karenanya meremehkan perjuangan. Melalui agama, kaum kapitalis [pemodal] melumpuhkan kaum proletar [pekerja].

Friederich Nietzsche [1844-1900] memaklumkan kematian Allah dengan menandaskan bahwa jika manusia ingin menjadi “super”maka gagasan Allah harus ditiadakan. Allah-lah yang menyebabkan manusia menjadi kerdil, tak berdaya dan kehilangan otonomitas dirinya. Menurut Nietzsche, agama berasal dari rasa takut terhadap nenek moyang dan alam. Semangat kristiani karenanya, adalah semangat para budak.

Berbeda dengan Feurbach, Marx dan Nietzsche yang memandang agama sebagai penghalang bagi perkembangan manusia, Sigmund Freud [1856-1933] melihat agama [dan dalamnya ada Allah] sebagai tempat pelarian. Agama adalah ilusi, proyeksi dari keinginan infantile akan dunia yang ideal.  Ayah diproyeksikan sebagai seorang ayah yang bertugas untuk menghibur dan melindungi anaknya yang tak mampu berdikari. Karena itu, kebaktian religius adalah sebuah proses paksaan. Orang tidak tahu mengapa ia harus melakukan itu, tetapi ia harus melakukannya, jangan-jangan ia mengalami kecelakaan sebagai hukuman dari Allah. Ini semua berawal dari Oedipus Kompleks, yakni pengaruh kejiwaan “alam-bawah-sadar” manusia.

Beberapa tokoh pemikir yang memiliki pengaruh yang besar atas agama telah ditampilkan bagian terdahulu. Tokoh-tokoh lain membuat analisis mereka berdasarkan ide-ide yang dilontarkan Feurbach, Marx, Nietzsche dan Freud. Menjadi jelas bagi kita bahwa melalui pemikir-pemikir ini, identitas kemanusiaan kita sebagai mahkluk yang memiliki otonomitas menjadi terang benderang. Manusia ternyata memiliki kekuatan yang terkandung di dalam esensi dan eksistensinya. Bagaimana memanfaatkan daya dan energi yang ada, itulah yang menjadi tugas dan tanggung jawab manusia sebagai mahkluk yang tak hanya rasional tetapi juga religius.

Berada pada zaman high tech seperti sekarang ini, dimana kita tidak hanya bergerak pada jalur komunikasi verbal tapi juga melalui jalan audiovisual dan maya [internet, handphone camera, dsb], membuat manusia menjadi “lupa diri” bahwa sebenarnya kecanggihan teknologi apapun memiliki keterbatasan. Sikap “lupa diri” itulah yang membawa manusia pada “penyembahan terknologi”yang serentak mendewakan hasil ciptaannya sendiri. Bahwa manusia memiliki kemampuan yang hebat, itu tak perlu disangkal. Tetapi, kesadaran bahwa manusia memiliki keterbatasan itu perlu terus didengungkan. Ketika ketidakseimbangan [unbalance] tak dihiraukan,  manusia akan masuk dunia baru yakni “dunia stress” yang menjadikan hasil iptek sebagai sembahan baru.[24]


[1] Bdk. Huston Smith, Agama-Agama Manusia, terjemahan: Saafroedin Bahar, Jakarta: Yayasan Obor, 1985, h. 355.
[2] Spiritualisme yang dimaksudkan di sini ialah pemahaman yang telah menjadikan spiritualitas sebagai referensi tunggal atas kejamakan problem hidup manusia.
[3] Bdk. Frans Magnis Suseno, “Kata Pengantar” dalam: Al Andang, Agama Yang Berpijak dan Berpihak, Yogyakarta: Kanisius, 1998, h. 5.
[4] Hendrik Kraemer, World Cultures and World Religions:  The Coming Dialogue, Philadelphia: Westmister Press, 1960, h. 348.
[5] Malachi Martin, The Encounter, Religion in Crisis, London: Michael Joseph, 1969, h. 481.
[6] Telaahan tentang situasi paradoks agama lebih luas dikaji dalam karyanya. Bdk. S. Vahiduddin, Religon at the Cross Road, Delhi: Idarah-I Adabiyat, 1980.
[7] Bdk. Mat 16:19.
[8] Bdk. Kis 4:3
[9] Bdk. W. L. Hekwig, Sejarah Gereja Kristus, Yogyakarta: Kanisius, 1994, h. 7-20.
[10] Ibid.
[11] Munculnya Caesaro Papisme adalah akibat yang tak dapat dihindarkan dari terlalu dekatnya Gereja dengan pemerintah. Sehingga, kaisar sebagai pejabat politis juga bisa menjadi kepala gereja.
[12] Peristiwa Perang Salib [Crussaid] yang memakan begitu banyak korban merupakan sebuah contoh dimana iman dipakai demi melanggengkan semangat imperialisme yang dikobarkan raja-raja Eropa di bawah dukungan Paus.
[13] Terdapat begitu banyak orang yang beriman kepada Allah Tritunggal. Mereka berupaya menghayati ajaran imannya dengan perbuatan nyata dalam praksis hidup sehari-hari. Tetapi mereka jarang mengakui struktur lembaga gerejani sebagai penjamin yang otoritatif atas ajaran iman.
[14] Bdk. Sean P. Keally, Ilmu Pengetahuan dan Kitab Suci, terjemahan Sudarminta, Yogyakarta: Kanisius, 1994, h. 14.
[15] Sikap permusuhan yang paling kentara ditunjukkan oleh John H. Hayes dan Frederick C. Prussner, Old Testament Theology, S.CM, 1985, h. 45. Bdk. Sean P. Keally, Ibid.
[16] Bdk. John H. Hayes, Old Testament Study, Abingdon: nashville, 1979, h. 105.
[17] Kita mesti sadar bahwa Kitab Suci membuat analisis tertentu terhadap alam semesta dengan tilikan dan perspektif yang khas untuk tujuan yang khusus pula yakin mau menunjukkan kebesaran Tuhan atas alam ciptaan. Kitab Suci bukanlah buku ilmu pengetahuan tentang alam semesta dalam pemahaman modern. Kekeliruan muncul ketika para pewarta keliru menilai Kitab Suci dan mengajarkannya secara salah kepada orang lain. Atau juga sesuai dengan pemahaman keliru saat itu yakni Kitab Suci adalah buku dimana semua persoalan manusia bisa dijawab.
[18] Penjelasan yang spesifik, baca buku Charles Darwin, The Origin of Species, New York: New American Library, 1958. Darwin menyimpulkan bahwa yang dapat dicapai oleh manusia dengan cara berencana, dapat pula dicapai oleh alam sendiri dengan cara seleksi. Ia berpendapat bahwa dalam perjuangan hidup [struggle of life] hanya hewan yang paling ulet dan paling mampu bisa menyesuaikan diri dengan iklim dan keadaan geologislah yang dapat bertahan [survival of the fittest]. Bdk. Frans Dahler dan Ekabudianta, Pijar Peradaban Manusia Denyut Harapan Evolusi, Yogyakarta: Kanisius, 2000, hh. 80-90.
[19] Uraian yang cukup memadai tentang pandangan para filsuf berkaitan dengan Tuhan, baca: Karen Amstrong, Sejarah Tuhan, terjemahan Zainul Am, Yogyakarta: Bandung, 2001, hh. 233-280.
[20] Hal ini menjadi kuat sejak zaman Renaissance dan Humanisme yang dilanjutkan dengan zaman Aufklärung [Terang Budi, Pencerahan] dan memuncak pada Revolusi Prancis [1750-1815].
[21] Bdk. Helwig, Op. Cit., h. 192.
[22] Gerben Heitink, Teologi Praktis, Yogyakarta: Kanisius, 1993, h. 105.
[23] Bdk. Tom Jacobs, Paham Allah Dalam Filsafat, Agama-Agama dan Teologi, Yogyakarta: Kanisius, 2002, h. 27.
[24] Pernah pesawat Televisi digambarkan sebagai “Tabernakel Baru” yang menjadi sembahan baru manusia modern. Hal ini dilontarkan sebagai kritikan terkait dengan kecenderungan manusia modern yang lebih mementingkan acara televisi daripada kebaktian ritual keagamaan: doa, misa, dsb.

2 comments: