Tuesday, 25 September 2018

Caci Orang Manggarai (1)

Kanisius T. Deki, dkk.


Foto: Caci pada zaman lampau. Sumber: Tropenmuseum-Netherland

Penjelasan yang memadai tentang permainan Caci orang Manggarai ada dalam konteks budaya Manggarai. Karena itu, menurut hemat kami perlu dibuat penjelasan mendalam tentang pengertian budaya. Terkait pengertian budaya ada begitu banyak penjelasan.
Istilah “budaya” berasal dari kata bahasa sansekerta “buddhayah” yang berarti akal budi.[1] Dalam istilah Inggris, kata ”budaya” adalah culture, yang berasal dari kata Latin colere yang berarti “mengolah, mengerjakan” terutama mengolah tanah atau bertani. Hal ini berarti bahwa budaya merupakan aktivitas manusia, bukan aktivitas makhluk yang lain dan menjadi ciri manusia.[2]
Manusia dapat dilihat dari kedudukannya sebagai homo humanus, homo socius dan homo educandum. Humanus berasal dari bahasa Latin yang berarti lebih halus, berbudaya dan manusiawi. Manusia akan selalu mencipta, menikmati dan merasakan hal-hal yang bisa membuat dia lebih halus, berbudaya dan manusiawi. Manusia menyukai musik, menari atau berperilaku sopan. Semua itu didorong oleh kodratnya sebagai manusia sebagai homo humanus.
Koentjaraningrat menjelaskan peradaban (civilization) itu sebagai bagian dan merupakan bagian kebudayaan yang halus dan indah seperti kesenian, ilmu pengetahuan, sopan santun dan sistem pergaulan yang kompleks dalam suatu masyarakat dengan struktur yang kompleks. Sering juga peradaban dipakai untuk menyebut suatu kebudayaan yang mempunyai sistem teknologi, seni bangunan, seni rupa, sistem kenegaraan dan ilmu pengetahuan yang maju dan kompleks.[3]
Selain sebagai makhluk yang berbudaya, manusia juga makhluk yang selalu berinteraksi dan tidak terlepas dari orang lain (homo socius). Dalam berinteraksi dengan lingkungannya, manusia menggunakan simbol (homo simbolicum). Manusia akan banyak menggunakan benda-benda sebagai simbol untuk mengekspresikan sesuatu. Dalam berinteraksi dengan orang lain itu ada proses pendidikan yang berlangsung karena manusia adalah makhluk yang mendidik dan terdidik (homo educandum). 

Menurut Margaret Mead (1901-1978) budaya adalah perilaku yang dipelajari dari sebuah masyarakat atau sub kelompok. Ada banyak pengertian mengenai kebudayaan yang dipergunakan. Kluckhohn dan Kroeber mencatat sekitar 175 definisi kebudayaan yang berbeda.[4] Koentjaraningrat mengartikan budaya dalam arti sempit dan luas. Dalam arti sempit budaya itu adalah kesenian. Secara luas, Koentjaraningrat mendefinisikan kebudayaan sebagai keseluruhan gagasan dan karya manusia yang harus dibiasakannya dengan belajar, beserta keseluruhan dari hasil budi dan karyanya. Pengertian ini sangat luas yang mencakup seluruh aktivitas manusia.[5]
Dengan demikian kita dapat menyimpulkan bahwa budaya itu berkaitan dengan kata kunci yang mencakup (1) gagasan, (2) perilaku dan (3) hasil karya manusia.
Dalam tulisan ini, pengertian kebudayaan ini difokuskan pada pendapat Bullivant yang mendefinisikan budaya sebagai program bertahan hidup dan adaptasi suatu kelompok dengan lingkungannya. Program budaya terdiri dari pengetahuan, konsep, dan nilai-nilai yang dimiliki oleh anggota kelompok melalui sistem komunikasi.[6] Kebudayaan juga terdiri dari keyakinan, simbol, dan interpretasi dalam kelompok manusia. Sebagian besar ilmuwan sosial saat ini memandang budaya terdiri dari aspek simbolik, ideasional, dan tidak terlihat (intangible) dari masyarakat manusia. Esensi budaya bukan pada benda, alat, atau elemen budaya yang terlihat lainnya namun bagaimana kelompok menginterpretasikan, menggunakan, dan merasakannya.
Nilai-nilai, simbol, interpretasi, dan perspektiflah yang membedakan seseorang dari orang yang lain dari masyarakat manusia, bukan obyek material dan aspek yang terlihat lainya dari masyarakat manusia. Orang-orang di dalam suatu kebudayaan biasanya menginterpretasikan makna simbol, benda dan perilaku menurut cara yang sama atau yang serupa[7] dan ada kemungkinan orang menginterpretasikan secara lain pada suatu perilaku yang sama. Semua kebudayaan menggunakan bahasa tubuh (body language) untuk berkomunikasi. Ada kebudayaan yang lebih banyak menggunakan bahasa tubuh dibandingkan dengan yang lainnya. Masalah dalam penggunakan bahasa tubuh untuk komunikasi dapat terjadi jika dua makna yang bertentangan menggambarkan satu gerakan tubuh. Misalnya di Bulgaria, menganggukkan berarti “tidak” dan menggelengkan kepala berarti “ya” sedangkan di tempat lain umumnya mengartikan sebaliknya.[8]
E.B. Tylor (1832-1917) memandang budaya sebagai kompleksitas hal yang meliputi pengetahuan, kepercayaan, seni, moral, hukum, adat istiadat, dan kemampuan serta kebiasaan lain yang diperoleh manusia sebagai anggota masyarakat. Sedangkan menurut Raymond Williams (1921-1988) budaya meliputi organisasi produksi, struktur keluarga, struktur lembaga yang mengungkapkan atau mengatur hubungan-hubungan sosial, bentuk komunikasi yang khas dalam anggota masyarakat. Menurut Claude Levi-Strauss, kebudayaan harus dipandang dalam konteks teori komunikasi yaitu sebagai keseluruhan sistem simbol (bahasa, kekerabatan, ekonomi, mitos, seni) yang pada berbagai tingkat memungkinkan dan mengatur komunikasi.[9] Hal ini karena manusia adalah homo simbolicum. Kita lihat bahwa budaya diartikan selalu dalam konteks hubungannya sebagai anggota masyarakat.
Koentjaraningrat lebih sistematis dalam memerinci unsur-unsur kebudayaan. Unsur-unsur kebudayaan menurut Koentjaraningrat  adalah sebagai berikut: Sistem religi dan upacara keagamaan, Sistem dan organisasi kemasyarakatan, Sistem pengetahuan, Bahasa, Kesenian, Sistem mata pencaharian hidup dan Sistem teknologi dan peralatan.[10]
Orang Manggarai memiliki khazanah budaya yang sangat kaya. Kekayaan budaya itu dapat terlihat dalam berbagai wujud. Salah satu wujud riil dalam kebudayaan Orang Manggarai adalah permainan caci.
Permainan caci merupakan salah satu bentuk ekspresi kebudayaan orang Manggarai.[11] Permainan caci mempresentasikan beberapa aspek dari kehidupan manusia yang terlihat dalam unsur seni. Pertama, seni gerak atau tari. Caci menghadirkan gerakan yang indah, eksotis, yang ditunjukkan melalui gerakan kaki, tangan dan bahasa tubuh saat meragakan permainan itu. Kedua, seni suara. Caci diramaikan dengan lagu-lagu yang indah, puitik, penuh jargon yang semarak dan memberikan daya dorong terhadap diri sendiri maupun orang yang terlibat di dalamnya. Ketiga, seni musik. Musik tradisional, gong gendang ditampilkan bersamaan dengan lagu-lagu (sanda, mbata) dan tarian (sae, danding). Keempat, seni ketangkasan. Caci menghadirkan seni di satu pihak, tetapi juga pertunjukkan unjuk ketangkasan dan keberanian di lain pihak. Karena itu, caci dapat dikatakan sebagai pertunjukkan multi-seni yang indah, tetapi serentak kaya akan makna perjuangan kehidupan manusia.
Di tengah kemajuan arus zaman ini, caci sebagai salah satu produk budaya tetap eksis. Caci tetap dilakonkan oleh masyarakat Manggarai sebagai salah satu kekayaan yang dibanggakan. Barhadapan dengan banyaknya anak muda yang kini enggan terlibat dalam permainan ini, muncul pertanyaan: Akankah caci ini akan terus hidup? Apa sebenarnya nilai dasariah dari caci ini sehingga perlu dipertahankan? Bagaimana cara mempertahankannya?
Pertanyaan-pertanyaan ini menanti jawaban. Jawaban itu diharapkan menjadi dasar baru bagi keberlangsungan permainan caci di Manggarai. Mencari jawaban merupakan sebuah usaha untuk menemukan titik tumpu argumentasi rasional bagi permainan caci. Dalam hubungan dengan itu, kajian ilmiah menjadi sebuah hal yang mungkin.


[1] Nyoman K. Ratna, Metodologi Penelitian-Kajian Budaya dan Ilmu Sosial Humaniora Pada Umumnya (Jogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), hal. 157.
[2] Koentjaraningrat, Kebudayaan, Mentalitas dan Pembangunan (Jakarta: PT
Gramedia Pustaka Utama), 2000, hal. 1
[3] Ibid., hal. 2
[4] Banks, James A.; Cherry A. McGee Banks (editors), Handbook of Research on Multicultural Education (Second Edition). (San-Francisco: Jossey-Bass, 2001/2004), hal. 17
[5] Kontjaraningrat, Op. Cit., 3
[6] Banks, J.A., Multicultural Education: Issues and Perspectives (Needham Heights, Massachusetts : Allyn and Bacon, 1993), hal. 17
[7] Ibid., hal. 8
[8] Axtell, R. E., Do's and Taboos around the World  (New York: John Wiley and Sons, Inc., 1995), hal. 15
[9] Cremers & Santo, Mitos, Dukun, dan Sihir (Jogyakarta: Kanisius, 1997), hal. 11
[10] Koentjaraningrat, Op. Cit., hal. 2
[11] Sejauh pengetahuan kami, belum ada publikasi yang lengkap membahas tentang permainan caci, kecuali permainan caci dalam hubungan dengan pariwisata: Erb, Maribeth, Conceptualising Culture in a Global Age: Playing Caci in Manggarai. Department of Sociology National University of Singapore: Presented as a seminar in the Southeast Asian Studies Program, National University of Singapore, April 4, 2001.

No comments:

Post a Comment