Kanisius
T. Deki, dkk.
Foto: Caci pada zaman lampau. Sumber: Tropenmuseum-Netherland
Penjelasan
yang memadai tentang permainan Caci
orang Manggarai ada dalam konteks budaya Manggarai. Karena itu, menurut hemat
kami perlu dibuat penjelasan mendalam tentang pengertian budaya. Terkait
pengertian budaya ada begitu banyak penjelasan.
Istilah
“budaya” berasal dari kata bahasa sansekerta “buddhayah” yang berarti akal
budi.[1]
Dalam istilah Inggris, kata ”budaya” adalah culture, yang berasal dari
kata Latin colere yang berarti “mengolah, mengerjakan” terutama mengolah
tanah atau bertani. Hal ini berarti bahwa budaya merupakan aktivitas manusia,
bukan aktivitas makhluk yang lain dan menjadi ciri manusia.[2]
Manusia
dapat dilihat dari kedudukannya sebagai homo humanus, homo socius dan homo educandum. Humanus
berasal dari bahasa Latin yang berarti lebih halus, berbudaya dan
manusiawi. Manusia akan selalu mencipta, menikmati dan merasakan hal-hal
yang bisa membuat dia lebih halus, berbudaya dan manusiawi. Manusia menyukai
musik, menari atau berperilaku sopan. Semua itu didorong oleh kodratnya sebagai
manusia sebagai homo humanus.
Koentjaraningrat
menjelaskan peradaban (civilization) itu sebagai bagian dan
merupakan bagian kebudayaan yang halus dan indah seperti kesenian, ilmu
pengetahuan, sopan santun dan sistem pergaulan yang kompleks dalam suatu
masyarakat dengan struktur yang kompleks. Sering juga peradaban dipakai untuk
menyebut suatu kebudayaan yang mempunyai sistem teknologi, seni bangunan, seni
rupa, sistem kenegaraan dan ilmu pengetahuan yang maju dan kompleks.[3]
Selain
sebagai makhluk yang berbudaya, manusia juga makhluk yang selalu berinteraksi
dan tidak terlepas dari orang lain (homo socius). Dalam berinteraksi
dengan lingkungannya, manusia menggunakan simbol (homo simbolicum). Manusia
akan banyak menggunakan benda-benda sebagai simbol untuk mengekspresikan
sesuatu. Dalam berinteraksi dengan orang lain itu ada proses pendidikan yang
berlangsung karena manusia adalah makhluk yang mendidik dan terdidik (homo
educandum).
Menurut
Margaret Mead (1901-1978) budaya adalah perilaku yang dipelajari dari sebuah
masyarakat atau sub kelompok. Ada banyak pengertian mengenai kebudayaan yang
dipergunakan. Kluckhohn dan Kroeber mencatat sekitar 175 definisi kebudayaan yang
berbeda.[4]
Koentjaraningrat mengartikan budaya dalam arti sempit dan luas. Dalam arti sempit
budaya itu adalah kesenian. Secara luas, Koentjaraningrat
mendefinisikan kebudayaan sebagai keseluruhan gagasan dan karya manusia yang
harus dibiasakannya dengan belajar, beserta keseluruhan dari hasil budi dan
karyanya. Pengertian ini sangat luas yang mencakup seluruh aktivitas manusia.[5]
Dengan
demikian kita dapat menyimpulkan bahwa budaya itu berkaitan dengan kata kunci
yang mencakup (1) gagasan, (2) perilaku dan (3) hasil karya manusia.
Dalam
tulisan ini, pengertian kebudayaan ini difokuskan pada pendapat Bullivant yang
mendefinisikan budaya sebagai program bertahan hidup dan adaptasi suatu
kelompok dengan lingkungannya. Program budaya terdiri dari pengetahuan, konsep,
dan nilai-nilai yang dimiliki oleh anggota kelompok melalui sistem komunikasi.[6]
Kebudayaan juga terdiri dari keyakinan, simbol, dan interpretasi dalam kelompok
manusia. Sebagian besar ilmuwan sosial saat ini memandang budaya terdiri dari
aspek simbolik, ideasional, dan tidak terlihat (intangible) dari masyarakat manusia. Esensi budaya bukan pada
benda, alat, atau elemen budaya yang terlihat lainnya namun bagaimana kelompok
menginterpretasikan, menggunakan, dan merasakannya.
Nilai-nilai,
simbol, interpretasi, dan perspektiflah yang membedakan seseorang dari orang
yang lain dari masyarakat manusia, bukan obyek material dan aspek yang terlihat
lainya dari masyarakat manusia. Orang-orang di dalam suatu kebudayaan biasanya
menginterpretasikan makna simbol, benda dan perilaku menurut cara yang sama
atau yang serupa[7]
dan ada kemungkinan orang menginterpretasikan secara lain pada suatu perilaku
yang sama. Semua kebudayaan menggunakan bahasa tubuh (body language) untuk berkomunikasi. Ada kebudayaan yang lebih
banyak menggunakan bahasa tubuh dibandingkan dengan yang lainnya. Masalah dalam
penggunakan bahasa tubuh untuk komunikasi dapat terjadi jika dua makna yang
bertentangan menggambarkan satu gerakan tubuh. Misalnya di Bulgaria,
menganggukkan berarti “tidak” dan menggelengkan kepala berarti “ya” sedangkan
di tempat lain umumnya mengartikan sebaliknya.[8]
E.B.
Tylor (1832-1917) memandang budaya sebagai kompleksitas hal yang meliputi
pengetahuan, kepercayaan, seni, moral, hukum, adat istiadat, dan kemampuan serta
kebiasaan lain yang diperoleh manusia sebagai anggota masyarakat. Sedangkan
menurut Raymond Williams (1921-1988) budaya meliputi organisasi produksi,
struktur keluarga, struktur lembaga yang mengungkapkan atau mengatur
hubungan-hubungan sosial, bentuk komunikasi yang khas dalam anggota masyarakat.
Menurut Claude Levi-Strauss, kebudayaan harus dipandang dalam konteks teori
komunikasi yaitu sebagai keseluruhan sistem simbol (bahasa, kekerabatan,
ekonomi, mitos, seni) yang pada berbagai tingkat memungkinkan dan mengatur
komunikasi.[9]
Hal ini karena manusia adalah homo simbolicum. Kita lihat bahwa budaya
diartikan selalu dalam konteks hubungannya sebagai anggota masyarakat.
Koentjaraningrat
lebih sistematis dalam memerinci unsur-unsur kebudayaan. Unsur-unsur kebudayaan
menurut Koentjaraningrat adalah sebagai
berikut: Sistem religi dan upacara keagamaan, Sistem dan organisasi
kemasyarakatan, Sistem pengetahuan, Bahasa, Kesenian, Sistem mata pencaharian
hidup dan Sistem teknologi dan peralatan.[10]
Orang Manggarai memiliki khazanah budaya yang sangat
kaya. Kekayaan budaya itu dapat terlihat dalam berbagai wujud. Salah satu wujud
riil dalam kebudayaan Orang Manggarai adalah permainan caci.
Permainan caci merupakan
salah satu bentuk ekspresi kebudayaan orang Manggarai.[11]
Permainan caci mempresentasikan beberapa aspek dari kehidupan manusia yang
terlihat dalam unsur seni. Pertama,
seni gerak atau tari. Caci menghadirkan gerakan yang indah, eksotis, yang
ditunjukkan melalui gerakan kaki, tangan dan bahasa tubuh saat meragakan
permainan itu. Kedua, seni suara.
Caci diramaikan dengan lagu-lagu yang indah, puitik, penuh jargon yang semarak
dan memberikan daya dorong terhadap diri sendiri maupun orang yang terlibat di
dalamnya. Ketiga, seni musik. Musik
tradisional, gong gendang ditampilkan bersamaan dengan lagu-lagu (sanda, mbata) dan tarian (sae, danding). Keempat, seni ketangkasan. Caci menghadirkan seni di satu pihak,
tetapi juga pertunjukkan unjuk ketangkasan dan keberanian di lain pihak. Karena
itu, caci dapat dikatakan sebagai pertunjukkan multi-seni yang indah, tetapi
serentak kaya akan makna perjuangan kehidupan manusia.
Di tengah kemajuan arus zaman ini, caci sebagai salah
satu produk budaya tetap eksis. Caci tetap dilakonkan oleh masyarakat Manggarai
sebagai salah satu kekayaan yang dibanggakan. Barhadapan dengan banyaknya anak
muda yang kini enggan terlibat dalam permainan ini, muncul pertanyaan: Akankah
caci ini akan terus hidup? Apa sebenarnya nilai dasariah dari caci ini sehingga
perlu dipertahankan? Bagaimana cara mempertahankannya?
Pertanyaan-pertanyaan ini menanti jawaban. Jawaban itu diharapkan
menjadi dasar baru bagi keberlangsungan permainan caci di Manggarai. Mencari
jawaban merupakan sebuah usaha untuk menemukan titik tumpu argumentasi rasional
bagi permainan caci. Dalam hubungan dengan itu, kajian ilmiah menjadi sebuah
hal yang mungkin.
[1] Nyoman K. Ratna, Metodologi Penelitian-Kajian Budaya dan Ilmu
Sosial Humaniora Pada Umumnya (Jogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), hal.
157.
[2]
Koentjaraningrat, Kebudayaan, Mentalitas dan Pembangunan (Jakarta: PT
Gramedia
Pustaka Utama), 2000, hal. 1
[3] Ibid., hal. 2
[4] Banks, James A.; Cherry A.
McGee Banks (editors), Handbook of Research on Multicultural Education (Second
Edition). (San-Francisco: Jossey-Bass, 2001/2004), hal. 17
[5] Kontjaraningrat, Op. Cit., 3
[6] Banks, J.A., Multicultural
Education: Issues and Perspectives (Needham Heights, Massachusetts : Allyn
and Bacon, 1993), hal. 17
[7] Ibid., hal. 8
[8] Axtell, R.
E., Do's and Taboos around the World
(New York: John Wiley and Sons,
Inc., 1995), hal. 15
[9] Cremers & Santo, Mitos,
Dukun, dan Sihir (Jogyakarta:
Kanisius, 1997), hal. 11
[10]
Koentjaraningrat, Op. Cit., hal. 2
[11]
Sejauh pengetahuan kami, belum ada publikasi yang lengkap membahas tentang
permainan caci, kecuali permainan caci dalam hubungan dengan pariwisata: Erb, Maribeth, Conceptualising Culture in a
Global Age: Playing Caci in Manggarai. Department of Sociology
National University of Singapore: Presented as a seminar in the Southeast Asian
Studies Program, National University of Singapore, April 4, 2001.
No comments:
Post a Comment