Cerpen Kanisius T. Deki
Kota beringin
di musim hujan. Dingin terasa menusuk. Kendaraan hilir mudik tiada henti seakan
memperlihatkan kehidupan yang tidak pernah mati. Pejalan kaki berjalan
mengenakan jaket kulit. Penjaja kompiang dan rokok menawarkan dagangannya tanpa
malu. Semuanya tetap seperti tiga tahun lalu. Toko-toko masih terbuka, para
pelayan yang cantik-cantik dengan mudah mengumbar senyum. Pemuda-pemuda asyik
berparkir ria di depan toko sambil menghisap sebatang rokok hasil minta-minta.
Atau malah diisap berdua dengan sistem STM (setengah main). Ada kesan mendalam:
hidup ini memang harus dinikmati.
Seorang
laki-laki berlari kecil di antara pejalan kaki yang berjubel di emperan toko.
Dengan gesit ia mencari jalan yang kosong. Ekspresinya menampakkan bahwa ia
sedang sibuk dan tak bisa ditunda lagi. Ia masuk ke sebuah kios kecil yang
sempit, tempat mangkalnya para pemimpi. Mereka datang untuk mengadu nasib. Tak
lama ia masuk dan disambut dengan sapaan khas pemilik kios. “Selamat sore Kraeng, ada mimpi baik?” “Ada, saya mau
beli kupon 10 lembar,” kata lelaki itu. “Berapa angkanya Kraeng?” “2215.” Dengan sigap si empunya kios menulis angka itu
pada 10 eksemplar kupon. Lelaki itu gembira dengan senyum kemenangan, seakan
tebakannya sudah tepat. Ia pulang ke rumah dengan langkah yang tergesa-gesa,
penuh semangat. Dalam benaknya ia membayangkan bahwa nanti ia akan mendapatkan
uang jutaan rupiah. Kalau kali lalu ia
hanya menebak ekornya saja, maka kali ini tidak tanggung-tanggung menebak empat
angka sekaligus. Sebenarnya ia tak senekad itu. Tetapi kali ini ada mimpi yang
lain dari biasanya. Kakeknya yang telah meninggal 10 tahun lalu hadir dalam
mimpi dan memberikan mobil dengan nomor polisi 2215. “Ini angka telak untuk
kupon putih,” pikirnya. Karena itu, setelah direstui oleh pikirannya sendiri
dan tanpa memberitahukan kepada Tiny istrinya ia pergi ke pertokoan. “Tiny
memang tak perlu di beritahu, soalnya bisa-bisa terjadi perang dunia ketiga,”
begitu alasannya. Senja kian mendekat, malam hampir tiba.
***
Tiba di kantor,
percakapan yang paling aktual ialah: tebakan angka kupon. Tak ada yang lebih
penting dari itu. Mereka tak peduli bahwa sekarang ada demonstrasi ini dan itu,
menuntut ini dan itu. Mereka juga cuek saja dengan kerusuhan yang melanda
negeri ini. “Itu urusan presiden dan wapres,” kata mereka. Juga laporan-laporan
dari kecamatan kurang dihiraukan.
Jam kantor
sudah dimulai. Mereka masih tetap berdiri di teras dan diskusi angka. Ketika
kepala kantor berdehem entah karena flu atau sengaja, barulah staf masuk dan duduk di kursi masing-masing.
Pekerjaan menumpuk namun sialnya tak ada sedikitpun gairah untuk bekerja. Detak
jam dinding terasa lambat. Pikiran menerawang ke angka-angka yang akan keluar
sebentar malam. Jam 14.00 tiba. Semua pegawai bergegas pulang. Tak ada yang
luar biasa. Hanya suatu harapan sekaligus impian bahwa angka yang dipasang
keluar sebagai pemenang.
***
Senja kian
mendekat, pengumuman angka kupon putih tinggal sesaat lagi. Lelaki itu
termenung sebentar. “Lebih baik aku langsung ke agen daripada mendengarnya
lewat radio,” begitu pikirnya ketika hendak memutuskan apa yang akan
dilakukannya. Dengan langkah yang pasti ia berjalan di trotoar melewati jalan
Ahmad Yani. Di kepalanya sudah terbayang apa yang harus dilakukannya jika
tebakannya jitu. Pertama-tama dia akan membangun sebuah rumah yang mewah dengan
perabot yang lengkap. Kemudian ia akan
membeli sepeda motor terbaru Mega-Pro. Sisanya akan dibuatkan pesta
kecil-kecilan sebagai syukur atas keberuntungan itu. Namun tiba-tiba ia ingat,
“Oh, hampir aku lupa, sisanya aku tabung,” sejenak ia ragu, “tidak sisanya akan
aku belikan sepuluh kupon lagi, dan kalau masih ada sisanya, disimpan di bank,”
katanya kepada dirinya sendiri.
Tiba di
kompleks rumah-rumah dinas, kendaraan semakin banyak. Lelaki itu tetap
menghayal. Ia melanjutkan rencananya, “ Kalau seandainya uang itu saya simpan
dirumah, saya takut jangan sampai di curi orang. Kalau saya simpan di bank saya
takut Tiny mengambilnya diam-diam…lalu sebaliknya…” Kendaraan bertambah banyak.
“Eh, bagaimana ya…?? Karena tidak melihat ke jalan raya ia menyebrang begitu
saja di perempatan. Sebuah kendaraan dengan kecepatan tinggi tidak bisa
mengendalikan kemudi. Sreettt…..praaaakkkkkk. Mobil H-line menabrak lelaki itu.
Dalam sekejap ia tewas. Darah mengucur deras, tulang-tulangnya remuk. Si
pengeudi tak tahu mau berbuat apa. Ia berdiri seakan tak percaya apa yang
terjadi. Jalan menjadi macet. Kendaraan-kendaraan berhenti. Suara ribut gaduh
mewarnai suasana sore itu. Polisi yang berkantor dekat tempat itu datang.
“Berapa nomor polisinya?” Tanya inspektur. “2215 pak,” jawab
seorang polisi. “Catat itu,” perintah sang komandan. Ketika mereka memeriksa
kartu identitas sang korban, mereka menemukan juga 10 kupon putih dengan angka:
2215. Angka yang fantastis! “Rupanya ia tergilas angka mimpinya sendiri,” komentar
seorang perwira. Setelah mengadakan pemeriksaan mereka menghantar korban
kerumah sakit umum untuk diawetkan agar tidak lekas bau. Keluarga lelaki itu
diberitahu tentang kecelakaan yang menimpa dirinya.
***
Usai
penguburan ibu-ibu dan anak-anak yang menjadi korban kupon putih berarak ke
kantor bupati. Mereka menuntut agar bupati segera menutup semua tempat
perjudian Kupon Putih dan sejenisnya. Namun mereka ragu bercampur rasa pesimis:
Adakah sang bupati yang baru di lantik tergerak hatinya untuk membela mereka
yang lemah, tak berdaya dan selalu menjadi korban? Adakah nuraninya terlibat
dalam penderitaan mereka? Hanya Pak Bupati sendiri yang bisa menjawab…..***
Dimuat pertama
oleh Harian Umum (HU) Pos Kupang, Maret 2000.
No comments:
Post a Comment