Orang Manggarai Tempo Dulu (Foto: Kelokesi Tropenmuseum Belanda)
Kanisius Teobaldus Deki
Dosen STIE Karya, Penulis Buku “Terus Menjadi Cahaya Yang Berpendar:
50 Tahun
SMAK St. Thomas Aquinas” (Jogjakarta: 2020)
Pada
tahun 1908 Belanda melakukan ekspedisi ke Manggarai. Mulanya mereka melakukan
perjalanan untuk mencari timah dan emas. Namun usaha mereka sia-sia. Sejalan
dengan Politik Etis yang dikumandangkan oleh Ratu Belanda Wilhelmina, mereka
mengubah misinya menjadi mission sacre
(misi suci) penyebaran agama Kristen.[1] Setali
tiga uang! Pemerintah Belanda yang sudah mulai kehilangan pengaruh di Jawa dan
Sumatera berusaha mencari daerah baru.
Politik Etis, disebut
juga Politik Balas Budi (Ethische Politiek), adalah suatu
pemikiran yang menyatakan bahwa pemerintah kolonial memegang tanggung jawab
moral bagi kesejahteraan bangsa yang telah dijajah. Latar dari konsep ini
adalah kritik terhadap politik Tanam Paksa yang dilakukan Belanda. Gagasan
Politik Etis dipelopori oleh Pieter Brooshooft, wartawan koran De Locomotief dan politisi Belanda,
C.Th. van Deventer. Perjuangan mereka berhasil sehingga pada 17 September
1901 Ratu Wilhelmina yang baru naik tahta menegaskan dalam pidato pembukaan
Parlemen Belanda, bahwa pemerintah Belanda mempunyai panggilan moral dan hutang
budi (een eerschuld) terhadap penduduk di Hindia Belanda. Ratu
Wilhelmina menuangkan panggilan moral tersebut ke dalam kebijakan politik etis,
yang terangkum dalam program Trias van Deventer yang meliputi:
1) Bidang Pembangunan Irigasi (pengairan) dengan cara membangun dan memperbaiki
pengairan-pengairan dan bendungan untuk keperluan pertanian.2) Bidang Imigrasi
yakni mengajak penduduk untuk bertransmigrasi dan 3) Bidang Edukasi yakni
membangun pendidikan melalui pemerataan jumlah sekolah di seluruh Indonesia.
Pendidikan dan pengajaran untuk semua kelompok, baik priyayi maupun rakyat
jelata.[2]
Di negeri Hindia
Belanda (Indonesia), konsep ini diteruskan oleh Gubernur Jenderal di Batavia.
Gubernur Jenderal Fock misalnya pada tahun 1905 menganjurkan pendidikan teknik
bagi anak pribumi untuk mempercepat pembangunan. Penerusnya, J.B. van Heutz
(1904-1909) sepaham tentang perlunya pendidikan pribumi, dari tiga point
politik etis yang paling penting adalah pendidikan.[3]
Hanya dalam kurun waktu 5 tahun, van Heutz mendirikan sekolah desa dan
memberikan perhatian yang besar bagi sekolah luar Jawa.[4]
Dari catatan Rm. Eduard Jebarus, mengutip Karel Steenbrink, Hendrik Colijn
dapat dipandang sebagai orang yang berperan dalam perubahan pendidikan di
Flores. Hendrik tiba di Larantuka pada 23 Agustus 1906 dalam rangka kunjungan
ke kawasan timur Hindia Belanda. Ia terkesan dengan para misionaris yang sudah
mendirikan sekolah di tempat itu.[5]
Dalam
telusuran Rm. Eduard Jebarus, sekolah pertama di Flores didirikan di Larantuka
pada 3 Desember 1862 oleh P. Franssen. Sekolah ini khusus untuk anak laki-laki,
kecuali seorang murid perempuan, putri raja Larantuka. Tepatnya, Mei 1879, 17
tahun kemudian didirikan sekolah khusus puteri dengan menghadirkan suster
Fransiskanes.[6]
Di Maumere, P. Cornelius Hendricus Antonius Ten Brink membangun sekolah di
Maumere tahun 1874. Pada tahun 1900 sudah ada 5 sekolah asuhan misi, yaitu:
Larantuka (Putra dan Puteri), Lela (Putera dan Putri) dan Koting. [7] pada
tahun 1906 didirikan sekolah agama di Waibalun-Lewolere, Lebao Tengah,
Lewolaga, Konga dan Lamalera. Hingga tahun 1910, terdapat 20 sekolah asuhan
para pastor Yesuit di Flores.
Perkembangan
demi perkembangan terjadi. Pada 20 Februari 1911 di Lela diadakan rapat tentang
masa depan persekolahan Flores. Hadir dalam rapat itu seorang pejabat tinggi
dari Batavia bernama Lulofs, Residen Kupang C.H. van Rietschoen, Kontrolir
Anton Hens dan para pastor yang dipimpin P. Arnold van der Velden. Agenda utama
dalam pertemuan itu dibahas tentang tawaran pemerintah Belanda: jika misi
sanggup dan mau, maka persekolahan untuk seluruh Flores diserahkan dalam
tanggung jawab misi (Als de missie het
aan kan en wil, zat het onderwijs voor heel Flores onder leiding der missie
komen). Tawaran ini diterima oleh misi, meski sebenarnya Pemerintah Belanda
ingin menghemat biaya yang dikeluarkan Negara untuk pendidikan.[8]
Sejak
saat itu, muncullah pada 1 Mei 1911 R.C.
Schoolvereiniging Flores (Organisasi Sekolah Katolik Roma Flores). Mereka
mengajukan permohonan agar diakui sebagai sebuah yayasan publik.[9] Duduk
sebagai ketua yayasan P. Jos Hoeberechts dan sekretaris P. van der Velden.
Keputusan ini berdampak besar. Di banyak tempat didirikan sekolah-sekolah baru:
wilayah Ende-Lio (Ngalupolo, Watuneso, Nggela dan Nangapanda). Wilayah Ngadha
(Boawae: 1912, Bajawa: 1912). Wilayah Manggarai (Reo: 1911, Labuan Bajo: 1911,
Ruteng: 1912).[10]
Cikal Bakal Pendidikan di
Manggarai
Tak dapat disangkal! Era literasi dalam arti yang
sesungguhnya baru datang tatkala orang Eropa menjelajahi Manggarai sejak tahun
1911. Sebelum itu, tak ada dokumen yang memberi indikasi bahwa orang Manggarai
sudah dapat membaca dan menulis. Dengan dibukanya sekolah di Reo dan Labuan
Bajo oleh Belanda maka kegelapan budi disirnakan melalui pendidikan teratur. Sebuah
dokumen menyebutkan orang yang membuka sekolah di Reo adalah Nedju Kainde tahun
1911. Dokumen yang disusun tahun 1956 oleh P. J. Swinkels SVD, kepala Vedapura
Cabang Ruteng, merilis 158 sekolah dari tahun 1911 sampai 4 April 1956.[11]
Sebuah karya mahahebat yang menyibak fajar terang budi kepada masyarakat
Manggarai.
Dokumen yang disusun oleh P. J. Swinkels SVD
menyebutkan nama sekolah, waktu pembukaan, yang membuka dan keterangan.
Sekolah Labuan Bajo dimulai tahun 1911. Orang yang
membuka sekolah ini bernama Manuel Fernandez.[12] Sekolah Pota dibuka 15 Juli 1913. Sekolah
Ruteng dibuka 1913. Setelah itu, beberapa waktu rehat, baru tahun 1919 dibuka
Sekolah Pongkor pada 16 November 1919. Tempatnya di Kembatang Mese di Rabeng
oleh I. Fernandez. Sekolah ini kemudian dibelah menjadi dua, untuk Todo dan
Pongkor.
Tahun 1920 pada bulan Desember 1920 dibuka Sekolah
Rejeng oleh M. Huwa. Tahun 1921, pada bulan Januari dibuka Sekolah Reweng oleh
D. Armendi Fernandez, bulan Oktober dibuka di Mukun oleh Yohanes Selaju dan
bulan November di Rekas oleh Gr. Fernandez.
Tahun 1922 dibuka 7 Sekolah dari bulan Januari
dibuka di Sita oleh P. Perigi Fern, di bulan yang sama juga di Pasa oleh Vin.
Wolo Fern, bulan April ada 3 sekolah: di Pagal oleh Gregorius Gerardus, Tilir
oleh J. Koda Parera, Rangga oleh L. Lait da Silva. Pada bulan Februari dibukan
di Benteng Jawa oleh Josef Lado, semula di Compang. Bulan November dibuka di
Waerana oleh B. Kapitan.
Tahun 1923 dibuka 5 sekolah baru untuk L. Nanga
pada Januari yang sebelumnya di Sesur oleh W. Wisang. Bulan Februari di
Ledaliur oleh A. Mitang Mendez dan Todo oleh Gr. Fernandez. Bulan Agustus ada
dua sekolah yaitu Lengko Elar dan Wangkung. Lengko Elar sebelumnya di Lengko
Welu, dibuka oleh W. Mitang. Sedangkan di Wangkung oleh W. Wolo Fernandez.
Tahun 1924 ada 5 sekolah baru dibuka: Lengko Ajang,
Ranggu, Pacar, Mano dan Tentang. Bulan Januari Sekolah Lengko Elar dibuka oleh
J. Koda Parera, di bulan yang sama dibuka Sekolah Ranggu oleh Leo Nona dan
Pacar oleh B. Wegu. Sedangkan Mano dibuka di bulan Mei oleh L. Paso Parera dan
Tentang di bulan Juli oleh P. Pous.
Untuk tahun 1925, dibuka pada bulan Februari
Sekolah Neko oleh Fr. Noni Riberu dan Sekolah Loce oleh Gregorius Gerardus.
Bulan Agustus dibuka Sekolah Cereng oleh R. Roma Parera, selanjutnya bulan
Oktober dibuka Sekolah Tado oleh Nedju Kainde.
Tahun 1926 hanya satu sekolah yang dibuka yaitu
Lawir yang dibuka oleh Joh. T. Tanoni. Tahun 1927 ada 7 sekolah yang dibuka.
Bulan januari dibuka Sekolah Orong oleh P. Riberi, sekolah Cumbi oleh C.B.
Guras, Sekolah Timung oleh Paul Tenggong. Bulan Februari dibuka Sekola Wae
Codi, yang sebelumnya di Lamba, oleh J. Tana Fernandez. Bulan Juli sekolah
Sesok dibuka oleh Don. Maan P. Pedo. Sekolah ini kemudian dipindahkan ke Wae
Wako dan dibuka kembali tahun 1951. Sekolah Wae Rambung dibuka oleh A.C. Tou da
Silva pada bulan Juli.
Tahun 1928 ada 6 sekolah yang dibuka. Bulan Januari
sekolah Lungar dibuka oleh V. Rahung, bulan Februari sekolah Rii oleh B. Baga,
bulan Juli sekolah Menggol oleh P. Moa dan sekolah Wangkar oleh E. Naif.
Sedangkan bulan Agustus Sekolah Welu, sebelumnya di Barang, oleh M. Huwa dan G.
Nahas. Sekolah ini ditutup tahun 1935 dan dibuka kembali tahun 1951.
Tahun 1929 ada tiga sekolah baru dibuka yaitu
sekolah Wae Peca pada Januari 1929 oleh H. Montot, Mombok pada bulan Agustus
oleh H. Kasa dan Denge bulan November oleh H. Matur. Sampai pada penentuan
Manggarai sebagai sebuah Dekenat sudah terdapat 47 sekolah yang dibuka oleh
para misionaris melalui Vedapura Cabang Ruteng.
Tahun 1930, 5 sekolah baru dibuka. Bulan Januari
sekolah Mbora oleh B. Bato, lalu sekolah ini ditutup tahun 1935. Pada tahun
yang sama di bulan Juli dibuka sekolah R. Semang oleh D. Napa, Waenenda oleh B.
Lidang, Mok oleh Sirilus Djilu dan Wajur oleh Agus Abu.
Perkembangan yang luar biasa dan mengagumkan. Sejak
1911 hingga 1956 terdapat 158 sekolah rakyat yang dibuka di seluruh wilayah
Manggarai. Dalam jangka waktu 45 tahun. Setiap tahun rata-rata ada 3 sekolah
baru yang dibuka. Dokumen lain menyebutkan hingga tahun 1959 terdapat 171
sekolah di seluruh Manggarai.[13]
Terdiri atas Sekolah Rakyat Katolik (SRK) sebanyak 156 dan Sekolah Rakyat
Negeri (SRN) sebanyak 15. Data yang dihimpun oleh Agustinus Bandur,
mempresentasikan hingga tahun 1971, terdapat 350 sekolah dasar di Manggarai.[14]
Pendidikan Menengah
Sejak Indonesia merdeka, ada begitu banyak perubahan dalam system pendidikan
nasional. Pada tanggal 19 Agustus 1945
disusunlah cabinet. Salah satu kemeterian yang dibentuk adalah
Kementerian pendidikan, Pengajaran dan Kabudayaan (Kementerian PP dan K), yang
dipimpin oleh Kihadjar Dewantara, tokoh nasional pendidikan dan pendiri Taman
Siswa. Ada begitu banyak pembenahan dilakukan oleh kementerian ini sebagai
sebuah upaya pengalihan dari masa penjajahan Belanda. Jika sebelumnya, focus
pemerintah dan misi Katolik adalah membangun sekolah dasar, kini tiba saatnya
untuk membangun pendidikan bagi sekolah menengah.
Sejak tahun 1926 di Ndao berdiri Schakeschool. Banyak murid menimba
pengetahuan di panti pendidikan ini. Murid berdatangan dari segala penjuru
Flores. Oleh karena peraturan pemerintah yang mengubah status Schakeschool menjadi sekolah menengah
pertama, maka pada 1 Agustus 1948, SMP Ndao mulai berjalan di bawah pimpinan P.
Cor Vermolen SVD.[15]
Pada tahun 1950, P. Jan van Roosmalen SVD
mendirikan SMPK Tubi di Ruteng, Manggarai. Menurut catatan Rm. Eduard Jebarus,
pada tahun 1951 sekolah ini menerima 30 murid perdana hasil seleksi yang ketat
dari berbagai sekolah dasar di Manggarai. Dalam tempo singkat, minat siswa akan
sekolah ini begitu besar. Tahun 1954 terdapat kelas parallel A dan B dengan
jumlah siswa seluruhnya 80 anak. Selang dua tahun kemudian, dibuka kelas C
khusus untuk anak perempuan. Jika untuk kelas A dan B ruang kelasnya di Lingko
Tubi, Lingko orang Tenda, kelas C dibuka di biara Suster SSpS, lingko Watu. Dalam perjalanan
selanjutnya, SMP Tubi dialihkan menjadi sekolah negeri pada 1 April 1978 dengan
nama baru SMP Negeri 1 Ruteng.[16]
Jika SMPK Tubi didirikan oleh Misi Katolik, pada
tahun 1956 didirikan Sekolah Menengah Ekonomi Pertama (SMEP) oleh bapa FX.
Arnoldus Pius Mutis di Ruteng. Sekolah ini juga banyak diminati oleh para
siswa.[17]
Selain itu, muncul juga SMP Ranggu dan Mukun. Tahun 1958 berdiri SMP Komodo
Ruteng.
Sekolah Menengah Atas (SMA) pertama di NTT dibuka
di Kupang pada tahun 1950. Masa-masa sebelumnya, jika ada siswa yang sudah
menamatkan pendidikan di SMP, mereka melanjutkan pendidikan ke Jawa atau
Sulawesi. Masa-masa itu perhubungan laut apalagi udara antar pulau sangatlah
sulit. Demikian halnya bagi siswa yang berasal dari Flores, masih susah ke
Kupang. Apalagi kebanyakan siswa berasal dari keluarga sederhan. Hal ini memicu
pemikiran untuk mendirikan SMA di Flores. Tiga tahun setelah SMA di Kupang
berdiri, tepatnya 1 September 1953, berdiri SMA Syuradikara di Ende.
Nama “Syuradikara” berasal dari kosa kata bahasa
Jawa yang berarti pencipta pahlawan utama. Sekolah ini langsung diminati oleh
banyak siswa yang datang dari hampir seluruh Flores. Kendati jalan darat waktu
itu begitu susah, namun yang cukup lancar adalah transportasi laut melalui
kapal motor atau bahkan perahu layar. Pada tanggal 2 september 1953 sekolah
dimulai dengan 43 siswa dengan dua jurusan: B (Ilmu Pengetahuan Alam) sebanyak
20 siswa dan jurusan C (Ilmu Pengetahuan Sosial) sebanyak 23 siswa.
Rupanya kehadiran sekolah ini ikut mendorong
wilayah lain untuk membangun SMA di tempat masing-masing. Di Maumere pada tahun
1963 berdiri SMA St. Gabriel. Satu tahun sesudahnya, tahun 1964 di Bajawa
dibuka SMA Ki Hadjar Dewantara. Di Ruteng, berdiri SMA Takari pada tahun 1966.
Selang satu tahun kemudian, nama SMA Takari diganti menjadi SMA Swadaya.
Animo siswa tamatan SMP di Manggarai sangat besar
untuk masuk di sekolah ini, selain ke SMA Syuradikara di Ende. Semakin banyak
murid membuat bapa Yoseph Tatu, BA, kepala sekolah saat itu memutuskan untuk
membuka kelas sore pada tahun 1968. SMA Swadaya meluluskan 11 siswa pada tahun
1968, 27 siswa tahun 1969, 29 siswa pada tahun 1970 dan 20 siswa pada tahun
1971. Dalam perjalanan waktu, pada tahun 1978, nama SMA Swadaya dialihkan
menjadi SMA Negeri I Ruteng.[18]
Dari rentetan perjalanan historis pendidikan di Flores
umumnya dan Manggarai pada khususnya, peran pemerintah Belanda dan kemudian
beralih ke Misi Katolik sangatlah besar. Belanda, meski datang dalam kategori
penjajah, menjadi fajar terang budi bagi orang Manggarai. Tanpa kehadiran
mereka, pendidikan di Manggarai tak akan semaju sekarang ini. Cikal bakal ini
penting. Mereka adalah embrio dalam menciptakan gagasan, menjadi pelaku dan
penanggungjawab bagi pencerdasan masyarakat yang sejak awal memang tidak
mengenal literasi.***
[1] Dami N. Toda, Manggarai Mencari Pencerahan Historiografi (Ende: Nusa Indah 1999),
hal.
[2] Bdk.
Cribb, Robert (1993). "Development Policy
in the Early 20th Century", dalam: Jan-Paul Dirkse, Frans Hüsken and Mario
Rutten, eds, Development and Social Welfare: Indonesia’s Experiences
under the New Order (Leiden: Koninklijk Instituut voor Taal-Land- en
Volkenkunde), hal. 225-245.
[3] H.A.R. Tilaar, 50 Tahun Pembangunan Pendidikan Nasional 1945-1995 (Jakarta:
Grasindo, 1995), hal. 27.
[5] Eduard Jebarus, Sejarah Persekolahan di Flores (Maumere:
penerbit Ledalero, 2008), hal. 43
[6] Ibid.,
hal. 27-33.
[7] Ibid.,
hal. 37.
[8]
Ibid., hal. 45. Bdk. Karel Steebrink,
Orang-orang Katolik di Indonesia-Pertumbuhan
yang Spektakuler dari Minoritas yang Percaya Diri 1903-1942 (Maumere: ledalero,
2006), hal. 162.
[9]
Ibid., hal. 46. Bdk. Karel
Steenbrink, hal. 163-164.
[10] Ibid., hal. 47.
[11] Dokumen Daftar Nama Sekolah Vikariat Ruteng Wilayah Manggarai tertanggal 4
April 1956.
[12]
Karel Steenbrink, Orang-orang Katolik di
Indonesia-Pertumbuhan yang Spekatkuler dari Minoritas yang Percaya Diri:
1903-1942 (Maumere: Ledalero, 2006), hal. 147.
[13] Dokumen Susunan Sekolah Menurut Abjad Daswati II Manggarai tertanggal 6
Oktober 1959.
[14] Agustinus Bandur, “Pembaharuan
Pendidikan SDK Manggarai Raya di Era Globalisasi Pendidikan” dalam: Martin Chen
dan Charles Suwendi, Iman, Budaya dan Pergumulan Sosial-Refleksi Yubileum 100
Tahun Gereja Katolik Manggarai (Jakarta: Obor, 2012), hal. 258-268.
[15]
Eduard Jebarus, Op.cit., hal. 173.
Bdk. Theo Uheng Koban Uer, Kenangan 50
Tahun SMPK Frateran Ndao-Ende-Flores 1948-1998 (Ende: Yayasan Mardiwiyata
Sub Perwakilan Ndao-Ende, 1998).
[16]
Kelak sekolah ini berubah nama menjadi SMP Negeri 1 Langke Rembong. Langke
Rembong adalah nama Kecamatan. Sebelunya nama kecamatan ini adalah Kopeta
Ruteng.
[17]
Wawancara dengan bapa Herybertus Mutis di Ruteng, 30 Januari 2020.
[18]
Sama nasibnya dengan SMP Negeri 1 Ruteng kemudian diubah menjadi SMA Negeri 1
Langke Rembong.
Artikelnya sangat bagus pak 👍salam semangat dan tingkatkan dalam menulis artikelnya pak 😊(ESILIA SUSE)
ReplyDelete