Kanisius Teobaldus Deki
Foto: Lingko (Kebun Komunal) Orang Manggarai
Abstract: In this writing, I shall coagulate some big problems faced by the
Manggaraians as the model to understand the context of the problem, namely;
first, the agrarian problem, that is the
problems connected with the people’s
working land acres. Second, other social problems emerged by both direct and
indirect impact of the agrarian problem.
Those problems become clear in concrete cases, for example, the case on
the land boarder of the traditional tribe peoples, forest’s conservations that
effects on the cuttings of the people’s
coffee trees, the economy which tends to be
dominated by the stakeholders, social juncture and various issues on the
primordial society which touch with ethnic, religion and races (
SARA ).
Key-words: Konflik, Fungsionalisme
Struktural, perang tanding, budaya Manggarai
Ada dua hal penting yang
perlu dijadikan titik mulai pembicaraan tentang konflik di Manggarai. Pertama,
dari asalnya, ajaran (doktriner) dan berbagai bentuk kebijaksanaan dan kearifan
lokal dalam rupa-rupa sastra lisannya, orang Manggarai sangat mengutamakan
persaudaraan sebagai model esensial dari kehidupan bersama. Persaudaraan adalah
syarat mutlak (sine qua non) dari kesejahteraan bersama (bonum
commune). Hubungan yang harmonis, relasi yang selaras dan usaha untuk
mempertahankan kebersamaan yang adil merupakan bentuk-bentuk kualitas yang
mengekspresikan persaudaraan mereka. Tanpa semangat yang dilandasi persaudaraan
yang akrab, erat, intim dan mendalam, maka hidup bersama sosial kolektif yang
dibangun memiliki dasar yang cenderung rapuh.
Basis hidup yang rapuh
mengandung berbagai benih persoalan dan melahirkan banyak pertentangan. Di sini
terjadi kontradiksi antara apa yang diajarkan dengan apa yang terjadi dalam kenyataan aktual kehidupan orang
Manggarai. Bagaimana mencari titik temu antara ajaran, kebijaksanaan dan
kearifan lokal orang Manggarai dengan persoalan aktualnya, itulah yang menjadi
lahan untuk menghidupkan uraian dan bahasan artikel ini.
Kedua, kearifan lokal yang kaya
dan mendalam itu diwariskan secara turun temurun dengan maksud supaya ada
parameter yang menjadi kanon atau norma bagi kehidupan bersama. Pewarisan
khazanah budaya dan filosofi lokal orang Manggarai mendapat bentuknya yang khas
pada setiap segi kehidupan, khususnya dalam upacara-upacara ritual yang
dilangsungkan dalam kehidupan komunal dan privat. Penerusan secara lisan ini
membawa banyak dampak, antara lain munculnya kecenderungan untuk melupakan apa
yang telah diwariskan kepada setiap generasi. Hal ini disebabkan oleh pelbagai
faktor eksternal dalam wajah perubahan dan kemajuan dunia modern dan faktor
internal dalam rupa kesulitan mengaplikasi secara tepat dan benar tuntutan
adat-istiadat dalam kehidupan bersama.
Dua kenyataan ini merupakan
ladang baru untuk menanam benih perspektif pencerahan yang relevan sekaligus
kontekstual bagi kehidupan orang Manggarai. Pergumulan antara
persoalan-persoalan aktual di satu pihak dan kenyataan bahwa orang Manggarai
memiliki refleksi yang mendalam tentang kehidupan persaudaraan di lain pihak,
membawa saya untuk mengajukan sebuah rekomendasi yang dapat dihidupkan di atas
ladang budaya kehidupan orang Manggarai.[1]
1. Relasi Persaudaraan dan
Persoalan-persoalan di Manggarai
Dalam tulisan ini, saya
akan mengedepankan beberapa masalah besar yang dihadapi oleh orang Manggarai
sebagai model untuk memahami konteks persoalan yakni, pertama, masalah
agraria,[2] yaitu persoalan-persoaan
yang berkaitan dengan tanah lahan garapan para petani. Kedua,
masalah-masalah sosial lainnya yang ditimbulkan oleh dampak langsung maupun
tidak langsung dari persoalan agraria. Soal-soal itu menjadi jelas dalam
kasus-kasus konkrit, misalnya soal batas tanah ulayat masyarakat adat,
konservasi hutan yang mengakibatkan pembabatan kopi rakyat, perekonomian yang
cenderung dikuasai oleh pemilik modal, kesenjangan sosial dan berbagai isu
primordialisme yang bersinggungan dengan suku, agama dan ras (SARA).
Meskipun setiap masalah
memiliki keterkaitan dengan berbagai faktor, dua kelompok masalah di atas tetap
unik dan khas. Dengan demikian, dapat dipakai sebagai batu loncatan dalam
menjejaki relasi persaudaraan orang Manggarai, khususnya ketika ditelusuri dari
sudut pandang mereka tentang tradisi sastra lisan.
Terbanyak persoalan yang
melibatkan semua pihak di dalamnya adalah kasus agraria, baik antara rakyat
dengan rakyat (horizontal) maupun rakyat dengan pemerintah [vertical].
Sebagian besar orang Manggarai adalah petani yang menggantungkan hidupnya pada
lahan pertanian. Dalam pandangan masyarakat agraris, tanah dan masyarakat yang
mendiami wilayah di atasnya merupakan satu kesatuan yang tak terpisahkan. Itulah
yang dikatakan dalam ungkapan: “Gendangn one, lingkon pe’ang” (Rumah
Gendang di dalam, kebun komunal di luar). Tanah dilihat bukan sebatas sebagai
lahan yang produktif dan karena itu menghasilkan sesuatu yang mereka butuhkan.
Tetapi lebih dari itu, tanah turut menentukan eksistensi mereka, khususnya
dalam usaha mempertahankan hidup dan membangun basis ekonomi. Tanah adalah
identitas dan jati diri.
Berpijak pada konteks ini,
mustahil bila ada masyarakat yang tidak memiliki tanah sebab terdapat kecenderungan
untuk berpikir bahwa segala sesuatu yang mereka peroleh berasal dari tanah atau
apa yang tumbuh di atas tanah. Tanah bagi mereka adalah kehidupan. Begitu besar
ketergantungan mereka atas tanah sehingga sumpah setia pada tanah leluhur
mereka lantunkan sebagai mantra dalam upacara adat.[4] Kata-kata sumpah biasanya
sebagai berikut: “Eme tu’ung tanah nomber daram, dempul wukum, wela wuk,
téla tonim; toe ulum watu rutuk, toa daram wae wa’a” [5] (Secara
harfiah berarti: Jikalau benar tanah ini merupakan hasil keringat darahmu, juga
buah kerja keras sehingga kuku jarimu tumpul dan rambut di kepalamu beruban dan
punggungmu terluka; kepalamu bukan batu rutuk, darahmu bukan banjir).
Konsekuensi dari sumpah seperti ini ialah pengambilan atau pencaplokan tanah
secara sewenang-wenang dianggap sebagai kesewenangan terhadap kehidupan
seseorang atau sekelompok orang, juga berarti mengancam eksistensi. Itulah
sebabnya, demi mempertahankan sejengkal tanah seseorang atau sekelompok orang
berani mempertaruhkan nyawanya.
Kasus sengketa tanah
bukanlah cerita baru di zaman kemerdekaan ataupun era reformasi. Sengketa tanah
yang menelan korban begitu banyak orang adalah kasus yang menyejarah dari tahun
ke tahun di Manggarai sejak kehadiran para penjajah hingga saat ini. Tabel 1
adalah beberapa data perang tanding yang terjadi antara tahun 1935-2001.[6]
Tabel 1: Data
Perang Tanding 1935-2001
TAHUN
|
NAMA KAMPUNG
|
1936, 1939, 1966, 1987, 1991, 1993
|
Coal – Sama
|
1935, 1958, 1967, 1979, 1982
|
Taga – Mena
|
1939, 1963, 1971, 1984, 1988, 1999
|
Dimpong
Rembong – Nggawut
|
1935, 1956, 1983, 1990, 1993, 1999
|
Dalo – La’o
|
1939, …., 1998, 1999, 2000
|
Congkar –
Lawi
|
1951, 1985, 1987, 1990
|
Tenda –
Kumba
|
1976, 1990, 1993
|
Wangkung –
Popo
|
1968 / 1969, 1978, 1989, 2000, 2001
|
Watu Buti –
Tebor Cenak
|
1982, 1988, 2001
|
Tontong –
Kedel
|
Dari data-data di atas, ada
dua hal yang dapat dikaji lebih mendalam. Pertama, kasus perang tanding
merupakan produk sejarah sejak periode sebelum Indonesia merdeka, di zaman
merdeka dan era reformasi. Pertanyaan yang perlu diajukan, mengapa kasus ini
berlanjut? Kedua, apa sebabnya kasus-kasus ini tidak memperoleh
penyelesaian yang final dan bahkan ada indikasi akan munculnya gugatan baru
terhadap keputusan pengadilan atau penyelesaian masalah yang sudah dibuat.
Untuk menjawab dua pertanyaan ini, saya coba memberikan jawaban dengan
mendasarkan diri pada dua teori dalam sosiologi, yakni Teori Fungsionalisme
Struktural dan Teori Konflik.
1.2. Persoalan Sosial-Politik
Beberapa kerusuhan massal
berkaitan dengan isu sosial politik mencuat ke permukaan sejak tahun 2000
hingga 2005. Dalam kurun waktu lima tahun terjadi banyak kerusuhan. Terdapat
dua kasus yang memiliki pengaruh dan cakupan yang luas akan dibahas secara
khusus. Kasus-kasus itu antara lain: Pertama, kerusuhan yang disebabkan oleh
isu penyebaran rabies pada 8 Juli 2000. Kedua, kasus pembunuhan para
petani Colol di Mapolres tanggal 10 Maret 2003.
1.2.1. Kasus Virus Anjing Gila (Rabies)[7]
Isu rabies merebak di
seluruh wilayah Flores sejak akhir era 1990-an, bermula di Flores Timur
November 1997.[8] Banyaknya korban yang meninggal akibat
wabah ini[9] menimbulkan resistensi
spontan sebagai reaksi atas peristiwa demi peristiwa sebagaimana dilangsir oleh
mass media lokal. Selama 32 bulan, sejak November 1997 hingga pekan keempat
bulan Juni 2000, jumlah korban gigitan anjing gila (rabies) di pulau Flores
telah mencapai 1. 695 orang. Sebanyak 54 korban di antaranya meninggal. Bila
dirata-ratakan, dalam sehari sekurangnya terdapat dua korban gigitan anjing
penular virus mematikan itu. Bandingkan
Tabel 2 berikut ini.
No
|
Kabupaten
|
Desa
|
Gigitan
|
Positif Rabies
|
Korban Mati
|
Vaksinasi
|
Eliminasi
|
1
|
Flotim
|
133
|
678
|
44
|
21
|
-
|
62. 301
|
2
|
Lembata
|
11
|
44
|
1
|
-
|
-
|
29. 872
|
3
|
Sikka
|
72
|
499
|
44
|
14
|
-
|
93. 898
|
4
|
Ende
|
1
|
5
|
1
|
-
|
46. 696
|
-
|
5
|
Ngada
|
8
|
-
|
-
|
19
|
-
|
4. 000
|
|
Jumlah
|
225
|
1. 695
|
90
|
54
|
46. 696
|
190. 069
|
Ada berbagai macam tanggapan yang muncul dari
peristiwa itu. Pertama, rasa marah yang muncul sebagai bentuk
ketidakpercayaan terhadap slogan pemerintah yang menegaskan bahwa wilayah
Flores telah bebas rabies sejak era 1980-an. Rasa marah ini kemudian
mendorong masyarakat untuk mendesak pemerintah mengambil langkah-langkah tertentu.
Pemerintah berjuang keras untuk menanggulangi bencana ini dengan membentuk tim
terpadu penanggulangan bencana. Semula ada anggapan bahwa Manggarai akan bebas
dari virus itu karena beberapa bulan sebelumnya hanya terjadi di Ngada. Namun
ternyata anggapan itu tidak beralasan karena virus rabies juga menyebar ke
Manggarai dan bahkan hingga tahun 2002 belum dinyatakan sebagai wilayah yang
bebas. Lihat tabel
3.
No
|
Kecamatan
|
Populasi HPR
|
Vaksinasi
|
Eliminasi
|
Sisa
|
Kasus
|
Mati
|
1
|
Langke Rembong
|
2. 478
|
1. 479
|
952
|
56
|
254
|
3
|
2
|
Elar
|
1. 178
|
805
|
216
|
157
|
2
|
-
|
3
|
Kota Komba
|
3. 651
|
1. 402
|
1. 796
|
453
|
17
|
-
|
4
|
Borong
|
925
|
483
|
383
|
59
|
28
|
-
|
5
|
Macang Pacar
|
394
|
113
|
239
|
42
|
2
|
-
|
6
|
Ruteng
|
3. 429
|
10
|
3. 200
|
219
|
134
|
1
|
7
|
Satar Mese
|
1. 533
|
992
|
93
|
448
|
41
|
1
|
8
|
Reok
|
1. 412
|
477
|
557
|
378
|
63
|
-
|
9
|
Sambi Rampas
|
1. 741
|
282
|
867
|
592
|
15
|
-
|
10
|
Poco Ranaka
|
1. 425
|
640
|
230
|
555
|
50
|
-
|
11
|
Kuwus
|
793
|
438
|
265
|
90
|
47
|
-
|
12
|
Wae Ri’I
|
933
|
178
|
673
|
82
|
29
|
-
|
13
|
Lamba Leda
|
873
|
542
|
186
|
145
|
19
|
-
|
14
|
Lembor
|
2. 088
|
593
|
1. 336
|
159
|
32
|
-
|
15
|
Cibal
|
588
|
326
|
237
|
25
|
39
|
2
|
16
|
Komodo
|
1. 675
|
371
|
593
|
711
|
17
|
-
|
17
|
Sano Nggoang
|
2. 154
|
732
|
1. 077
|
345
|
13
|
-
|
|
Jumlah
|
27. 279
|
9. 863
|
12. 863
|
4. 516
|
802
|
7
|
Keterangan:
HPR: Hewan Penular Rabies.
Kedua, timbul berbagai bentuk penafsiran terhadap permainan pihak ketiga
yang bermaksud merusak tatanan kehidupan orang Flores. Pihak ketiga selalu
diindikasi sebagai yang memiliki karakter destruktif. Di sini muncul usaha
untuk membuat identifikasi atas pihak ketiga. Mereka-reka tanpa membuat
sebuah penelitian yang serius merupakan gejala umum yang terdapat dalam
komunikasi sehari-hari. Akibatnya, dari sebatas mereka-reka dengan identifikasi
yang tak cukup memiliki dasar, masyarakat berubah menjadi yakin atas perasaan
sosialnya. Keyakinan inilah yang melegitimasi pemikiran mereka tatkala hendak
melakukan aksi kekerasan.
Dalam perkembangan
selanjutnya, tanggung jawab pemerintah dilupakan. Emosi massa lebih tertuju
kepada pihak ketiga yang diidentifikasi sebagai “orang luar”. Kata “luar” dalam
perspektif kasus selalu memiliki konotasi negatif. “Luar” bisa berarti bukan
anak tanah (penduduk asli), bukan agama mayoritas, bukan orang baik, dsb.[12] Kasus penyerangan terhadap
Mapolres Manggarai pada 9 Juli 2000 bisa dibaca dalam kerangka ini. Ketika
masyarakat dikwatirkan oleh masalah rabies, penjual spring bed, orang
yang berasal dari luar Manggarai, membuang roti. Potongan-potongan roti
berceceran di jalanan. Roti itu dimakan oleh anjing. Anjing yang menyantap roti
itu kemudian mengalami nasib naas karena keracunan. Orang-orang yang
menyaksikan peristiwa itu lalu mengambil sikap untuk mengejar pelakunya. Massa
kemudian terlibat dalam gerakan yang sama. Merasa dikejar, penjual spring
bed melarikan diri ke Mapolres. Tetapi massa berusaha masuk, mengejar
hingga akhirnya salah satu dari mereka meninggal di Mapolres karena dianiaya
oleh para demonstran yang marah dan lainnya selamat meskipun cedera berat.[13] Emosi massa tak bisa
dibendung. Pihak keamanan yang dituding melindungi pelaku dianggap bersekongkol
dengan penjahat. Merasa dihalangi pihak keamanan, massa melakukan aksi
destruktif lainnya seperti berusaha membakar Mapolres, menghancurkan alat-alat
kantor seperti komputer, meja, kursi dan arsip-arsip dan dokumen-dokumen kasus
perkara.
Peristiwa dengan kasus
kecurigaan yang sama juga terjadi di kecamatan Borong 12 Juli 2000.[14] Beberapa orang yang
dicurigai memasuki wilayah mata air yang mensuplai kebutuhan air untuk daerah
itu.[15] Orang-orang yang sempat
menyaksikan peristiwa itu langsung membuat kesimpulan bahwa mereka yang datang (berasal
dari luar, asing, tak dikenal) memiliki maksud buruk. Massa kemudian mengejar
mereka, menangkap dan menganiaya walaupun tidak sampai mati. Ketika mereka
mencari perlindungan di Polsek Borong, para pelaku yang diidentifikasi sebagai
penyebar virus rabies, tetap dikejar. Karena merasa dihalangi oleh pihak
keamanan, mereka membakar kantor Polsek Borong. Lalu massa bergerak menuju
rumah-rumah tertentu yang disinyalir sebagai orang atau pihak yang menjadi
pemasok orang-orang dari luar. Mereka membakar beberapa rumah dan memukul
pemiliknya. Situasi menjadi kacau. Dalam kebalauan itu, rasa damai menjadi raib
dan tak dapat dinikmati oleh masyarakat. Persaudaraan yang dicita-citakan
menjadi runtuh. Saling mencurigai merupakan fenomena yang muncul dalam
kebersamaan. Penduduk yang mendiami Kampung Ende melarikan diri dan mengungsi
ke Pulau Ende, wilayah kabupaten Ende.[16]
Kecurigaan tetap menyebar
ke berbagai wilayah lain, seperti kecamatan Wae Lengga. Ada seorang yang tak
dikenal dituduh warga melakukan penyuntikan obat beracun ke dalam batang
pisang. Dia ditangkap warga lalu diamankan di kantor desa setempat. Di
kecamatan Sambi Rampas juga terjadi hal yang mirip. Lima orang yang tak dikenal penduduk setempat
ditangkap dan ditahan di kantor desa.[17]
1.2.2. Kasus Pembunuhan Petani Colol
Berdasarkan berbagai
peraturan hukum dan alasan yang dijadikan tujuan operasi itu maka kegiatan
penertiban dilakukan oleh berbagai unsur Pemkab, termasuk petugas keamanan. Secara kronologis peristiwa
yang berakhir dengan meninggalnya berbagai korban sebagai berikut.[19]
Pada hari Kamis, 4 Maret
2004 sekitar jam 12. 00, sebanyak 10 orang petugas mendatangi lokasi Lingko
Melo dan Lingko Ngara di Kelurahan Nggalak Leleng, kecamatan Poco Rana untuk
mengusir warga yang bekerja di sana. Para petugas itu dilengkapi dengan
senjata. Warga yang merasa diusir balik mengusir para petugas itu karena
dinilai berlaku sewenang-wenang terhadap masyarakat. Pemkab Manggarai sudah
diadukan masyarakat Nggalak Leleng berkaitan dengan kasus pembabatan kopi pada
bulan Oktober 2003. Petugas yang terusir merekomendasikan supaya Bupati sendiri
datang ke lokasi dan memimpin penangkapan terhadap warga yang mempertahankan lingko
mereka.
Pada tanggal 8 Maret mereka
bersidang untuk melakukan aksi penangkapan yang akan dilakukan tanggal 9 Maret.
Pada hari Selasa sejumlah besar rombongan Pemkab mendatangi kelurahan Nggalak
Leleng dengan menggunakan 9 mobil, di bawah pimpinan Anton Bagul Dagur, bupati
Manggarai kala itu. Karena sudah mendengar informasi tentang penangkapan warga,
dari kelurahan itu tidak ada yang datang ke kebun. Sekitar jam 11. 00 rombongan
bupati bergerak menuju desa Rendenao dan Tango Molas. Pada saat memasuki Lingko
Wae Kolong mereka menangkap Regina Rensi dan Oviana Asli warga Tangkul (desa
Rendenao) yang sedang mengambil ubi dari kebun mereka. Selanjutnya penangkapan
diteruskan terhadap Sisilia Benu, Nikolaus Tutung dan Wilhelmina Teci. Selain
itu rombongan bupati juga menangkap
Laurensius Son dan Stanis Kabut di Rewung, desa Tango Molas. Pada
tanggal 9 Maret, mereka menangkap 7 warga, 5 dari Tangkul, desa Rendenao dan 2
dari Rewung, desa Tango Molas. Kabar penangkapan 7 warga ini dengan cepat
menyebar ke berbagai kampung sekitarnya. Lalu pertemuan dibuat yang
menghasilkan kesepakatan untuk datang ke Ruteng untuk menjemput warga yang
ditangkap team bupati Bagul dengan maksud baik dan dalam kebersamaan dengan
Colol, Biting, Welu dan Tangkul.
Sebagai tindak lanjut dan
reaksi atas penangkapan itu, tanggal 10 Maret warga dari keempat gendang itu
menuju Ruteng dengan menggunakan tiga truk dan berjumlah sekitar 120 orang.
Sebelum tiba di Ruteng, Pos Polisi Mano mengabarkan ke Ruteng bahwa akan datang
massa demonstran ke Polres Ruteng dengan menggunakan 4 truk. Berdasarkan
informasi ini, Kapolres AKBP Drs. Boni Tampoi mempersiapkan sebuah dialog
dengan merapatkan barisan. Polisi asal Manggarai ditempatkan di barisan
terdepan.
Tiba di Ruteng, warga yang
ingin menjemput keluarganya bergerak menuju Polres. Polisi sudah siaga dengan
senjata, termasuk Kapolres yang menenteng AK 47. Ketika dialog sedang terjadi,
warga tidak puas dengan sikap polisi yang mendorong mereka. Warga yang dihadang
bermaksud untuk ikut terlibat secara langsung dalam dialog. Pada saat itu
tembakan peringatan sebanyak tiga kali terdengar. Tembakan yang keempat
mengenai kaki salah seorang warga Tangkul yang baru melompat dari truk.
Bersamaan dengan itu, tiba-tiba ada lemparan batu dari arah belakang kantor
Polisi dan mengenai warga yang sedang berdiri. Lalu masyarakat merangsek maju
untuk membebaskan warga mereka yang ditahan. Menghadapi situasi itu, tiba-tiba
senjata menyalak, memuntahkan peluru yang menerjang warga. Tersentak dengan
peristiwa itu, spontan masyarakat melarikan diri untuk mencari perlindungan.
Sebagian besar warga melarikan diri ke pertokoan yang bersebelahan dengan
Mapolres. Namun tak disangka polisi dan pasukan Brimob mengejar dan menghajar
warga tanpa ampunan bahkan dengan tembakan. Sebagian warga yang ditangkap
digiring ke Mapolres. Di dalam Mapolres beberapa warga langsung menghembuskan
nafas terakhirnya: Vitalis Jarut. Sedangkan Frans Atur, ayah Vitalis yang
sedang memeluk anaknya ditembak di tempat lalu menghembuskan nafasnya yang
terakhir di RSUD Ruteng, Rabu 17 Maret 2004. Pada hari itu, sekian banyak nyawa
yang melayang hingga keesokannya: Vitalis Jarut (17 tahun), Domi Amput (40
tahun), Stefanus Magur (60 tahun), Joseph Tatuk (29 tahun) dan Maximus Tio (33
tahun). Selain warga yang langsung meninggal, ada 29 warga yang mengalami
cidera berat dan 11 orang yang mengalami
cidera ringan.
Sejak tanggal 10 Maret,
warga yang mengalami cidera berat dirawat di RSUD Ruteng. Tanggal 12 Maret,
AKBP Boni Tampoi dipindahkan ke Kupang. Tanggal 13 Maret 9 warga yang masih
berstatus sebagai pasien RSUD dipindahkan ke tahanan Mapolres dan dijadikan tersangka.
Tanggal 15 Maret, polisi menunjuk Erlan Yusran SH untuk menjadi pengacara bagi
para tahanan tanpa konfirmasi dengan keluarga mereka. Tanggal 17 Maret,
Fransiskus Atu meninggal dunia. Dengan demikian, yang meninggal dalam peristiwa
itu berjumlah 6 orang.
2. Membedah Soal: Sebuah
Upaya Pembacaan menurut Teori Fungsionalisme Struktural dan Teori Konflik
2.1. Sekilas Pandang Tentang Teori
Fungsionalisme Struktural dan Teori Konflik[20]
Aliran Fungsionalisme
adalah salah satu perspektif di dalam ilmu sosial, khususnya Sosiologi yang
memandang masyarakat sebagai satu sistem yang terdiri dari elemen-elemen atau
bagian yang saling berhubungan satu sama lain. Dari pandangan ini dapatlah
dikatakan bahwa bagian yang satu tak dapat berfungsi tanpa ada hubungan dengan
bagian yang lain. Akibat lebih lanjut, perubahan pada salah satu bagian akan
menyebabkan ketidakseimbangan pada bagian yang lain sehingga untuk
mempertahankan keseimbangan yang sudah pernah ada maka diciptakan perubahan
pada bagian lain. Kerangka keseimbangan yang dibangun pandangan ini sangat
dipengaruhi oleh biologi di mana para sosiolog yang menganut aliran ini
menyamakan masyarakat dengan organisme. Misalnya, organ tubuh manusia bisa
berfungsi dengan baik kalau semua anggota tubuh menjalankan fungsinya dengan
baik.
Kelahiran aliran
Fungsionalisme Struktural di dalam Soiologi sangat dipengaruhi oleh karya-karya
klasik Emile Durkheim.[21] Sebagaimana halnya Herbert
Spencer yang melihat masyarakat sebagai organisme yang hidup, demikian juga
Durkheim melihat masyarakat modern sebagai keseluruhan organisme yang memiliki
realitas tersendiri. Keseluruhan tersebut memiliki seperangkat kebutuhan dan
fungsi yang harus dipenuhi oleh bagian-bagian yang menjadi anggota dari
keseluruhan realitas itu agar keseluruhan itu bisa tetap berada dalam keadaan
normal, stabil, seimbang atau berfungsi secara baik.
Secara ekstrim, pendukung
teori ini berpendapat bahwa segala sesuatu di dalam msyarakat pasti ada
manfaatnya, termasuk kemiskinan, peperangan atau ketidakadilan sosial.[22] Salah satu pendukung teori
ini, Robert K. Merton, melengkapi fungsionalisme struktural dengan
konsep-konsep baru seperti ”disfungsi” dan ”fungsi laten”. Menurut
Merton, tidak semua kenyataan sosial bersifat fungsional. Ada kenyataan yang
fungsional untuk kelompok tertentu, tetapi serentak disfungsional bagi kelompok
lain. Misalnya, pembabatan kopi bersifat fungsional untuk Pemkab Manggarai
karena memenuhi program konservasi hutan, tetapi disfungsional bagi petani yang
menggantungkan hidup pada hasil kopi. Lalu sebagian fungsi tidak berjalan
sesuai dengan yang direncanakan sebab ada fungsi-fungsi yang tidak bisa
diperhitungkan. Merton menyebut fungsi-fungsi itu sebagai fungsi-fungsi laten.
Misalnya, aparat kepolisian yang dibuat untuk menjaga keamanan rakyat
dilengkapi dengan senjata. Senjata yang sama telah membunuh rakyat Colol pada
tragedi 10 Maret 2003.
Teori Konflik tercetus
sebagai reaksi atas teori Fungsionalisme Strukturalisme. Keduanya memiliki
asumsi yang sama tentang masyarakat yang melihatnya sebagai konstruksi
elemen-elemen atau komponen-komponen tertentu. Meskipun demikian, ada perbedaan
tajam dalam memandang setiap elemen pembentuk masyarakat. Aliran Fungsionalisme
struktural melihat setiap elemen pembentuk masyarakat menyumbangkan sesuatu kepada
masyarakat sebagai keseluruhan. Dengan demikian masyarakat bisa berfungsi
secara baik atau dapat menciptakan equilibrium. Sedangkan menurut teori
konflik, elemen-elemen pembentuk masyarakat itu memiliki kepentingan yang
berbeda-beda sehingga mau tak mau mereka harus terlibat dalam konflik.
Walaupun teori ini lahir
sebagai reaksi atas aliran Fungsionalisme Struktural, namun teori ini memiliki
akar dalam karya Karl Marx yang mengembangkan beberapa asumsi tentang
masyarakat yang di kemudian hari menjadi batu pijakan bagi teori konflik,
seperti digambarkan Jonathan Turner.[23] Beberapa pokok pikiran
Marx itu antara lain: masyarakat tersusun dari jaringan relasi yang bersifat
sistematis, namun relasi-relasi itu diwarnai oleh kepentingan-kepentingan yang
saling bertentangan. Kenyataan ini menunjukkan bahwa sistem sosial di dalam
dirinya menimbulkan konflik. Karena itu konflik merupakan sesuatu yang tak
terelakkan dan merupakan satu ciri dari sistem sosial. Konflik yang demikian
cenderung tampak dalam kepentingan yang berbeda-beda. Konflik sering kali
terjadi karena pembagian sumber-sumber daya dan kekuasaan yang tidak merata.
Muara akhir dari konflik diyakini akan memungkinkan terjadinya perubahan dalam
masyarakat.
2.2. Membaca Persoalan di Manggarai
Menurut Teori Fungsionalisme
Struktural
2.2.1. Disfungsi Lembaga Adat Dalam Sistem Penguasaan dan
Pengelolahan
Tanah
Di dalam masyarakat agraris
Manggarai terdapat Tu’a Golo yang berperan sebagai kepala wilayah yang
mencakupi kampung (golo), tanah, hutan dan air. Selain Tu’a Golo,
terdapat Tu’a Teno yang diberi wewenang untuk secara khusus mengurus
pembukaan lahan kebun yang baru dan pembagiannya yang merata untuk semua
masyarakat komunal.[24] Dalam penelitian yang
dibuat oleh Maria Ruwiastuti dan team tentang persoalan tanah, kenyataan ini
melahirkan gagasan yang dikenal luas dalam filosofi kehidupan orang Manggarai
yang membahasakan kesatuan antara tanah dan kehidupan mereka yakni,
“gendangn one, lingkon pe’ang” (yang secara harfiah diartikan sebagai rumah
di dalam, tanah di luar). Dalam proses pembukaan lahan pertanian yang baru (lingko)
dan pembagiannya, Tu’a Teno terlebih dahulu mengundang (siro)
semua suku (panga) yang ada dalam wilayah kampung (golo) untuk
mengadakan “lonto leok” (bermusyawarah) supaya mengatur pembagian tanah
secara adil dan bijaksana kepada semua warga.[25]
Lingko biasanya dibedakan atas
beberapa jenis. Menurut penelitian Ruwiastuti pembagian lingko bisa dilihat
dari jenis hewan yang korbankan. Pertama, Lingko Randang atau Lingko
Rame yaitu sebidang tanah garapan yang dibuka dengan melakukan upacara adat
dengan hewan korban yang besar berupa seekor kerbau atau babi merah (éla rae).
Bidang tanah yang dibuka dengan babi merah disebu lingko wina (lingko
perempuan) dan yang dibuka dengan kerbau disebut lingko rona (lingko
lelaki). Lingko rame biasanya dikunjungi setiap tahun untuk mengadakan
upacara penti. Kedua, Lingko Saungcué yaitu ladang garapan yang
dibuka dengan membunuh seekor babi tanpa memandang warna bulunya. Mereka yang
menggarapnya mempunyai kewajiban untuk mempersembahkan seekor ayam di lahan
garapan itu setiap tahunnya.[26] Selain pembagian dengan
menelisik hewan yang dikorbankan, Lingko Randang (atau disebut juga Lingko
Rame) memiliki ukuran yang sangat luas sehingga semua warga masyarakat golo
mendapat bagiannya dalam tanah persekutuan komunal itu. Sedangkan Lingko
Saungcuè (disebut juga Lingko Kina)[27] memiliki ukuran yang lebih
kecil dan warga yang tidak mendapat bagian dalam lingko itu dialihkan ke
lingko yang baru dengan tetap memperhatikan asas keadilan.[28] Robert Lawang mengakui
adanya pembagian jenis lingko. Selain lingko rame, ada juga lingko
yang disebut sebagai Lingko bon yakni kebun biasa yang dibagikan kepada
mereka yang tidak mendapat bagian dalam lingko rame.[29] Lingko rame selalu memiliki
keterkaitan yang sangat erat dengan rumah gendang, kampung dan warga kampung
seluruhnya. Dalam arti inilah ungkapan “gendangn one, lingkon pe’ang”
mengungkapkan analogi suami-istri (rona-wina). Rumah gendang adalah
suami untuk lingko yang adalah istri. Karena itu mengambil sebuah lingko
identik dengan merebut istri. Konsekuensinya, pemilik lingko akan
berusaha melalui pelbagai cara mempertahankannya.
Biasanya lingko
dikelola dengan mekanisme yang tetap dan jelas. Beberapa mekanisme itu antara
lain: Pertama, Lodok. Lodok adalah pembagian tanah garapan dengan
satu titik pusat dan daripadanya ditarik jari-jari yang membatasi bidang
garapan dari setiap warga yang mengerjakan kebun. Pada titik pusat lodok
ditanami pohon waru (haju Teno) yang dibentuk menyerupai gasing sehingga
disebut mangka (gasing). Setiap garis jari-jari berakhir pada batas yang
disebut cicing. Lihat gambar 4. Mekanisme kedua adalah membuka
lahan pertanian baru dengan cara yang sama seperti lodok namun ukuran
lahannya lebih kecil. Lahan jenis ini disebut neol. Akhirnya, mekanisme
yang ketiga disebut tobok, yaitu membuka kebun baru di luar batas
lingko. Tobok diperuntukkan bagi mereka yang tidak mendapat bagian pada lingko.
Dari struktur dan mekanisme
tradisional yang ada sebenarnya tidak ada
indikasi pencaplokan tanah antar kampung atau komunitas. Tu’a-tua
Golo dan Tu’a-tu’a Teno setiap kampung saling menghormati dan
mengakui perbatasan lingko masing-masing dengan batas-batas alamiah seperti
sungai, gunung atau kawasan hutan keduanya. Setiap Tu’a Teno mengetahui
dengan persis batas-batas lingkonya sehingga jikalau terjadi soal dengan
batas-batas lingko akan dengan mudah diselesaikan dalam rumah Gendang.[30]
Keterangan:
Lodok: Pusat kebun komunal [Lingko].
Teno: Kayu yang ditanam pada pusat Lodok.
Watu: Batu tempat persembahan untuk
upacara-upacara adat [penti, dsb].
Moso: Lahan yang menjadi bagian atau hak setiap
warga kampung [golo] bersangkutan.
Cicing: Batas antar moso yang
satu dengan moso yang lain.
Ketika muncul kesadaran
akan pentingnya intervensi hukum adat dalam penyelesaian konflik, institusi
adat justru mengalami kesulitan dalam mengakomodasi persoalan yang ada.
Kerusakan yang ditimbulkan oleh pengaruh pemerintahan kolonial terhadap
institusi adat sudah sangat parah sehingga keterjalinan pengetahuan masyarakat
pemiliknya juga terputus. Hal ini berakibat pada putusnya jalinan relasi
pengetahuan lisan dan pewarisannya kepada setiap generasi baru. Soal muncul
ketika setiap generasi tidak memiliki pengetahuan yang memadai tentang
kepemilikan tanah lingko yang diwariskan secara lisan turun temurun.
Akibatnya ada banyak pengetahuan tentang batas yang berbeda. Menurut Pius
Hamid, terdapat kenyataan, bahkan dalam satu wilayah persekutuan adat,
pengetahuan tentang batas-batas tanah lingko tidak sama.[32] Maka amat mungkin muncul
berbagai klaim fiktif oleh generasi kemudian yang pada akhirnya memunculkan
konflik horizontal.
2.2.2. Disfungsi Institusi Politis
Pemerintah dalam
kampanye-kampanye politik berhasil merubah pandangan rakyat tentang posisinya.
Pemerintah kerap disebut sebagai “Èma” (bapak) dalam kehidupan
sehari-hari.[33] Sebagai bapak, pemerintah
memiliki fungsi melindungi, menjaga, mengayomi dan membuat kehidupan bersama
menjadi sejahtera yang dilandasi sikap adil dan damai. Persoalan muncul tatkala
janji-janji pemerintah sering tidak ditepati. Dalam berbagai kampanye politik,
rakyat hanya dijadikan obyek dan komoditas politik pemerintah, demi melanggengkan
jabatan dan status mereka. Ketika mereka menang dalam Pemilu, janji-janji itu
tidak pernah diwujudkan.
Berhadapan dengan
kebohongan publik yang telah dibuat pemerintah itu, rakyat menjadi berang
karena merasa diperdaya dan diperlakukan secara tidak adil. Perasaan ini
menjadi besar tatkala dipicu oleh berbagai politik ketidakadilan dalam berbagai
segi kehidupan bermasyarakat. Misalnya, kasus-kasus yang dibawa ke Pengadilan
Negeri sering berbau Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) sehingga ada slogan
yang terkenal di Manggarai yakni MAO (Manga Ata One-Ada orang dalam).
Fenomen MAO ini menyebar ke berbagai segmen kehidupan: dalam test masuk CPNSD (Calon
Pegawai Negeri Sipil Daerah), penyelesaian berbagai urusan di Kantor – kantor
Dinas Daerah, di lembaga peradilan dan merebak ke berbagai sektor kehidupan.
Dalam kebijakan-kebijakan
yang telah dibuat Pemkab, misalnya pembabatan tanaman rakyat yang diklaim
sepihak berada di wilayah kawasan hutan negara, rakyat menjadi marah karena
terjadi pencaplokan hak atas tanah dan tanaman yang ada di atasnya. Kemarahan
itu tidak terakomadasi tatkala Pemkab juga menangkap warga masyarakat di
berbagai lingko yang mereka kelolah. Institusi pemerintah dengan
kebijakan-kebijak politisnya yang tidak populis menyebabkan rakyat merasa
dikianati. Pengkianatan itu lebih diperparah lagi oleh tertutupnya saluran
dialog dengan strategi bungkam dan pemaksaan Pemkab. DPR yang diharapkan
menjadi pembawa suara rakyat tidak bisa secara kritis mengenyahkan
kebijakan-kebijakan yang tidak berpihak pada kesejahteraan rakyat. Terdapat
kesan bahwa DRP dengan mudah dilumpuhkan dengan uang (money politic)
yang gaungnya terdengar keras setiap pergantian tampuk kekuasaan di daerah.
Akumulasi dari berbagai rasa tidak puas inilah yang menyebabkan rakyat berani
melawan institusi politis yang telah didisfungsikan oleh kepentingan-kepentingan pejabat publik
tertentu.
Selain itu,
kebijakan-kebijakan dalam perdaganganpun dibuat demi memenuhi
kepentingan-kepentingan sekelompok orang. Bukan rahasia lagi kalau setiap
kandidat bupati di Manggarai didukung secara penuh oleh pengusaha-pengusaha.
Ketika mereka naik menjadi pajabat publik, kekayaan rakyat (hasil-hasil
pertanian, perikanan, tambang, hutan) dijadikan “upeti” kepada pengusaha yang
telah mendanai mereka. Peraturan-peraturan yang berkaitan dengan perdagangan
tidak disosialisasikan kepada masyarakat sehingga mereka miskin informasi.
Pusat-pusat perdagangan kerap dikuasai oleh orang-orang luar dan orang
Manggarai sendiri hanya berada di emperan, di pinggir dan kerap tak berdaya.
Gema politik MAO kian bergelora dalam pembagian tempat dalam pusat-pusat
perdagangan dan pelelangan proyek. Keberadaan orang-orang yang bukan asli,
dengan kemajuan ekonomis yang mereka miliki rentan terhadap berbagai isu sosial
yang kerap sulit dideteksi dalam masyarakat.
Bergulirnya isu rabies pada
akhir era 1990-an yang menghantam Flores justru menjadi titik kulminasi
kecurigaan masyarakat terhadap para pendatang dari luar Manggarai. Pendatang,
yang sejahtera secara ekonomis, merupakan wabah pembawa bencana bagi masyarakat
lokal yang ditindas oleh kebijakan politis sendiri. Pada mereka informasi
sistem dan struktur kekuasaan menjadi jelas. Terdapat sikap diskriminatif
pemerintah terhadap rakyat yang dianggap belum mampu melaksanakan pola
pembangunan yang dicanangkan. Karena itu, reaksi spontan untuk menjawabi
ketidakmampuan mengatasi rasa frustrasi dikonstruksikan dalam aksi kekerasan
terhadap pihak-pihak yang teridentifikasi sebagai pelaku kejahatan. Padahal,
masalah yang paling mendasar ialah bagaimana membangun institusi politis yang
berorientasi kesejahteraan rakyat banyak. Disfungsi institusi politis ini
menyebabkan terjadinya banyak konflik yang tak terselesaikan. Masalah-masalah
yang ada begitu pelik seperti menjalin kembali benang yang terlanjur kusut, tak
tahu di mana mulai dan akhirnya.
Polling pendapat yang dibuat
Harian Umum Pos Kupang tanggal 16-21 Juli 2000, menyajikan data konkrit bahwa
pemerintah tidak secara cepat menanggapi isu rabies. Demikian lembaga-lembaga
agama meminta pemerintah proaktif dalam menanggapi isu itu.[34] Dari sekian banyak
suara, sebanyak 75, 33 % menyatakan
bahwa pemerintah tidak serius, hanya 15, 83 % yang menyatakan serius dan 8, 83
% menyatakan tidak tahu.[35] Dengan demikian, terjadi
disfungsi dalam lembaga pemerintah baik terhadap kasus konkrit di lapangan,
maupun pembenahan institusi politis dengan mengedepankan strategi pembangunan
yang mensejahterakan rakyat banyak.
2.2.3. Membaca Persoalan di Manggarai Menurut
Teori Konflik
Sejak penjajahan terjadi di
bumi Manggarai, pertarungan kepentingan menjadi sebuah sejarah yang tak bertepi
dalam kehidupan rakyat. Klaim Goa-Tallo dan Bima atas Manggarai merahimi bayi
perhambaan yang melahirkan istilah baru dalam kehidupan rakyat: “ata leke”
atau “ata lahe” (rakyat jelata) yang kemudian akrab disebut “mendi”
(budak). Rakyat Manggarai diwajibkan membayar upeti bagi kedua kerajaan itu.
Tatkala Belanda datang berdagang, ekspansi militer juga dijalankan sebagai
bagian yang tak terpisahkan dari politik dan strategi mereka. Pola lama yang
mengklaim Manggarai sebagai wilayah yang dijajah diulang kembali. Rakyat
dipaksa untuk membayar sejumlah upeti kepada Belanda melalui para raja yang
diangkat oleh Belanda. Selain itu, setiap penjajah datang dengan membawa sistem
pemerintahannya sendiri. Mereka tidak mengakui eksistensi penguasa lokal-adat.
Raja-raja yang diangkat
juga berpartisipasi dalam kolonialisme total wilayah Manggarai. Mereka bekerja
untuk kepentingan Goa-Tallo, Bima dan Belanda. Ada dua hal yang ditimbulkan
oleh kehadiran para penjajah. Pertama, terjadi pergeseran bentuk
pemerintahan. Rakyat tak lagi menganggap institusi adat sebagai lembaga yang
mengikat. Pengaruh lembaga adat dan pemerintahan lokal semakin longgar.
Terjadilah konflik kepentingan. Di satu pihak, penguasa lokal-adat kehilangan
pengaruh dan peran dalam melindungi warganya. Sedangkan raja bentukan penjajah
berkuasa atas seluruh wilayah adak Manggarai meskipun tidak dilegitimasi
oleh tua-tua adat (Tu’a Golo dan Tu’a Teno) yang merupakan representan
rakyat adak.
Kedua, pengaruh-pengaruh luar
yang positif seperti pendidikan formal mulai dirasakan sebagai sesuatu yang
penting. Sekolah-sekolah dibuka sebagai sarana pencerahan dari kegelapan budi.
Bersamaan dengan itu, lembaga agama juga masuk, khususnya Gereja Katolik
permulaan abad ke-20. Kehadiran Gereja Katolik di satu pihak membawa misi
keselamatan, namun di lain pihak secara sepihak mengklaim kepercayaan lokal
sebagai bentuk penyembahan berhala yang harus dimusnahkan. Di sini muncul
konflik. Di satu pihak, misi penyelamatan harus ditebarkan di atas jiwa-jiwa
orang Manggarai, tetapi di lain pihak, metode dan wawasan teologis yang dipakai
sebagai landasan misi cenderung bersikap destruktif terhadap budaya dan
kehidupan orang Manggarai. Orang Manggarai melihat keyakinannya sebagai yang
berstatus inferior terhadap iman Kristiani. Tak pelak lagi hal ini berakibat
pada pudarnya penghargaan terhadap kebudayaan lokal dan merasa sesuatu yang
datang dari luar sebagai produk yang superior dan harus diterima.
Lambat laun, keyakinan lokal dan kebudayaan yang menjadi induk
semangnya dilihat sebagai bentuk kekeliruan yang harus diperbaiki. Keselamatan
dipandang sebagai buah dari penghindaran terhadap apa yang diwariskan leluhur
dalam kebudayaan primal orang Manggarai, dan serentak mengambil keyakinan baru
kristianitas sebagai yang paling benar. Konflik kembali diraih tatkala penghancuran
keyakinan lokal oleh institusi agama tidak total. Masyarakat masih berpegang
teguh pada keyakinan-keyakinan budayanya. Di satu pihak, orang Manggarai telah
dibaptis menjadi anggota Gereja yang sah, tetapi di lain pihak mereka masih
percaya kepada kearifan-kearifan lokal milik mereka. Muncullah iman
inter-kultural, yakni iman yang dipadukan antara budaya lokal dengan budaya
Kristen. Tapi iman semacam ini cenderung diragukan oleh Gereja sehingga
muncullah usaha inkulturasi yang terkesan dipaksakan sehingga belum menyentuh
basis iman yang sesungguhnya. Inkulturasi hanya menyentuh kulit luar dari
budaya. Bahaya yang muncul ialah budaya dipakai sebagai sarana untuk
melegitimasi ajaran agama. Di sini terjadi semacam perpaduan yang dibuat dengan
maksud agama dan imannya dilihat sebagai milik sendiri, produk budaya lokal.
4. Kesimpulan
Uraian deskriptif-analitis
dalam artikel ini menampilkan beberapa simpulan yang dapat ditarik. Pertama,
kehadiran pihak penjajah menoreh pengalaman pahit dalam catatan harian orang
Manggarai. Pengalaman buram ditindas menyebabkan munculnya resistensi yang
dibangun dalam konstruksi kesadaran akan munculnya pembebasan. Kemerdekaan
Indonesia tidak serta merta membawa perubahan yang begitu berarti dalam tata
pemerintahan yang baru. Bahkan sejarah penindasan kembali ditoreh sepanjang
Orde Baru berkuasa dan diulang kembali dalam zaman Reformasi. Disfungsi lembaga
adat dan institusi pemerintahan lokal Manggarai oleh politik sistem
pemerintahan baru membawa dampak lahirnya konflik-konflik horizontal dan
vertical dalam masyarakat dalam wajah masalah agraria. Perang tanding
sulit dihindari karena intervensi hukum positif yang tidak bereferensi kepada
hukum adat di satu pihak berhadapan dengan musnahnya pengetahuan adat di pihak
lain. Pemusnahan sistematik oleh sistem dan lembaga pemerintahan modern dan
lembaga agama membuat lembaga adat dan institusi pemerintahan lokal asli
Manggarai perlahan-lahan tidak berpengaruh.
Kedua, orang Manggarai yang terjajah sejak zaman lampau kembali mengalami
hal yang sama dalam persaingan sosial-ekonomis. Mereka berada dalam
kemiskinan informasi yang disebabkan oleh sistematisasi pelaksanaan pembangunan
yang tidak tersosialisasi secara baik kepada publik. Pihak ”luar” (para
pendatang) justru unggul dalam penguasaan informasi itu. Mereka mengetahui
aturan-aturan untuk membuka usaha, melobi dan memiliki akses yang luas terhadap
para penguasa yang terjangkit virus KKN. Kebencian terhadap pihak luar (yang nota
bene sama-sama warga Indonesia) justru karena mereka merasa dianak-tirikan
oleh sistem pembangunan yang tidak secara aktif-partisipatif mengikutsertakan mereka. Di sini konflik
kepentingan muncul. Setiap elemen (pemerintah-masyarakat) memiliki kepentingan
atas sistem yang ada. Pemerintah demi mempertahankan keuntungan enggan untuk
memberikan proyek-proyek kepada masyarakat pribumi. Masyarakat dijadikan proyek
oleh pemerintah untuk mendapat keuntungan finansial. Sebaliknya, masyarakat
menuntut kesejahteraan dan keadilan.
Ketiga, kesadaran akan harga
diri, masa depan serta keadilan yang tak kunjung diraih, menyebabkan masyarakat
menghalalkan segala cara untuk mengekspresikan rasa tidak puas mereka. Konflik,
kekerasan yang terjadi merupakan akibat langsung dari pelbagai perubahan dan
perkembangan zaman yang dominan datang dari luar. Persaudaraan yang dibangun
dalam kerangka adat-istiadat “hiang cama tau” (saling menghormati) raib.
4. Rekomendasi
Sebagai penutup, berikut
ini beberapa rekomendasi yang urgen untuk membedah konflik di Manggarai:
© Perlunya kajian yang
mendalam atas budaya Manggarai, khususnya nilai-nilai kemanusiaan yang
konstruktif untuk kehidupan sosial. Pembangunan ditonggakkan di atas nilai-nilai itu sehingga ia memiliki
titik pijak dan titik sampai yang otentik (bukan sekedar mereka-reka sesuai
selera pejabat yang memimpin).
© Mengfungsikan kembali peran
institusi adat secara proporsional. Orang Manggarai memiliki pola hidup yang
terikat kuat pada tradisi budaya.
© Mengembangkan budaya adil
dan dialog yang demokratis. Bukan pemaksaan yang berbuntut pada pembuntungan
hak masyarakat sipil. Di bidang pemerintahan, mutlak diupayakan sebuah
kebijakan yang terbangun demi kepentingan masyarakat, bukan demi kepentingan
penguasa dan kroni-kroninya melalui pendudukan jabatan oleh pejabat yang tidak
profesional dan pengerjaan proyek pembangunan oleh perusahaan-perusahaan yang
tidak qualified.
© Peningkatan ekonomi
kerakyatan berbasis pada kekuatan lokal.***
BIBLIOGRAFI
BUKU
Bernard Raho, Sosiologi Sebuah Pengantar, Maumere:
Ledalero, 2004.
Eman J. Embu dan Robert Mirsel (eds.), Gugat! Darah Petani Kopi
Manggarai,
Maumere:
Ledalero, 2004.
Emanuel J. Embu dan Amatus Woi (eds.), Berpastoral di
Tapal Batas Pertemuan
Pastoral
VI Konferensi Waligereja Nusa Tenggara, Maumere: Puslit
Candraditya-Ledalero,
2004.
Guido Tisera (ed.), Mengolah Konflik Mengupayakan
Perdamaian, Maumere: LPBAJ,
2002.
John Mansfor Prior dan Georg Kirchberger (eds.), Mengendus
Jejak Allah Dialog
Dengan
Masyarakat Pinggiran Jilid II, Ende: Nusa Indah, 1997.
Jonathan
Turner, the Structure of Sociological Theory, Homewood Illinois: The
Dorsey Press, 1978.
Marybeth Erb,
The Manggaraians A Guide to Traditionals Life Styles, Singapore:
The Times Editions, 1995.
Robert Lawang, Konflik Tanah di Manggarai Flores
Barat, Jakarta: UI Press, 1999.
HASIL
PENELITIAN
Hubert Muda dan Adam Satu, “Interelasi Antara Sistem
Kekerabatan Dan
Masalah
Kepemilikan Tanah di Manggarai”, Laporan Penelitian, Pemda
Kabupaten Manggarai dan
Lembaga Studi Van Bekkum-Verheijen, 2001.
Maria Ruwiastuti, “Sistem Penguasaan Asli dan Politik
Hukum Tanah di
ManggaraiTengah”,
Laporan Penelitian, Ruteng: Proyek Penelitian Konflik
Tanah di
Manggarai Pemerintah Daerah Tingkat II Kabupaten Manggarai,
1994.
MAJALAH DAN MAKALAH
Kanisius
Teobald Decky, “Orang Asing” dalam: ZIARAH, No. 1, Thn. VI, 2002.
Kristian Emanuel Anggur, “Perang Tanding dan Dekadensi
Budaya di
Manggarai”,
Makalah, Ruteng: Lembaga Studi Mangunwijaya Flores, 2004.
Majalah Tempo, “Dendam Panjang dari Arena Lingko”, TEMPO,
27 November
1993.
Maria Ruwiastuti, “Sengketa Tanah di Manggarai: Temuan,
Pendapat, Analisis
dan
Rekomendasi Berdasarkan Penelitian Lapangan yang Dilakukan di
Manggarai
Tengah pada bulan Oktober-November 1994”, Makalah,
Jakarta:
Wahana Citra Pesona Jakarta, 1999.
Pius Hamid, “Sistem Pemerintahan Lokal (Pemerintahan
Golo) Pada Masyarakat
Manggarai-NTT”,
Makalah, Ruteng: Bank Data Sankari, 2004.
HARIAN UMUM
Ado, “Kota Ruteng Rusuh, Warga Diminta Tenang”, Harian
Umum Pos Kupang,
Minggu,
9 Juli 2000, No. 203, Thn. VIII.
______, “Uskup Minta Pemerintah Proaktif Tanggapi Isu”,
Harian Umum Pos
Kupang, Kamis 13 Juli 2000, No 211, Th VIII.
______, “Air
Minum Beracun pemicu Insiden Borong”, Pos Kupang, Senin 17 Juli
2000, No. 215, Th. VIII.
______, et. al, “Kota Ruteng Terkendali, Kerugian Ratusan
juta”, Harian Umum
Pos
Kupang, Senin 10 Juli 2000, No. 208 Th. VIII.
______, “Pastor Selamatkan lima warga”, Ibid, Kamis
20 Juli 2000, No 218, Th
VIII.
Dia dan Lia “Manggarai belum Bebas Rabies”, Tabloit Pena
Manggarai, No 04,
Minggu III-IV Februari
2003.
Evi-Kas, “1. 695 Orang digigit anjing gila, 54 tewas”, Pos
Kupang, Rabu, 18 Juli
2000, No
216, Th VIII.
Harian Umum Pos Kupang, Selasa, 18 Juli 2000.
HU Surya Flores, Sabtu 3 April 2004 (No. 459) –
Kamis 22 April 2004 (No. 464).
Rik, “200 Penduduk Borong ke Pulau Ende”, Ibid,
Sabtu 15 Juli 2000, No. 213 Th
VIII.
Rik dan Ado, “110 Anak Borong Ikut KBM di Pulau Ende”, Pos
Kupang, Jumat 21
Juli
2000, No 219 Th VIII.
Sony Djawamau, “Perlu Pendekatan Atasi Rabies”, Pos
Kupang, Minggu 30 Juli
2000, No
228, Th VIII.
Team PK, “Jajak Pendapat Pos Kupang”, Pos Kupang, Sabtu
22 Juli 2000, No. 220,
Th VIII.
WAWANCARA
Agustinus Palu Barut, Tu’a
Golo Gendang Tenda, 25 April 2005 di kelurahan
Tenda, kecamatan Langke Rembong.
Hubertus Ngabur, 57 tahun, dari Gendang Herokoe, Satar
Mese, 27 Mei 2005.
Petrus Ndarut, penutur Adat dari Gendang Tongke, 27 Maret
2005 di Hacar,
desa
Kakor, kecamatan Ruteng.
Pius Hamid, Direktur Sankari, LSM yang bergerak pada
advokasi persoalan
agraria
di Manggarai, tanggal 24 April 2005.
(Dipublikasikan pertama oleh Jurnal Missio, edisi 2008).
[1]
Bdk. John Mansford Prior, “Menuju Suatu Evangelisasi Baru Di Antara Masyarakat
Nusa Tenggara”, terjemahan Zakharias Kaju, John Mansford Prior dan Yoseph Maria
Florisan, dalam: John Mansfor Prior dan Georg Kirchberger (eds.), Mengendus
Jejak Allah: Dialog Dengan Masyarakat
Pinggiran Jilid II, Ende: Nusa Indah, 1997, hal. 341.
[2]
Bdk. Emanuel J. Embu, “Konflik, Kekerasan Sosial dan Tapal Batas Pastoral”
dalam: Emanuel J. Embu dan Amatus Woi (eds.), Berpastoral di Tapal Batas
Pertemuan Pastoral VI Konferensi Waligereja Nusa Tenggara, Maumere: Puslit
Candraditya-Ledalero, 2004, hal. 28-30.
[3]
Bdk. Robert Mirsel, “Masyarakat Manggarai Sejarah, Alam Pemikiran, Tanah dan
Hutan”, dalam: Eman J. Embu dan Robert Mirsel (eds.), Gugat! Darah Petani
Kopi Manggarai, Maumere: Ledalero, 2004, hal. 34-42.
[4]
Team Selingan Majalah Tempo, “Dendam Panjang dari Arena Lingko”, TEMPO,
27 November 1993.
[5]
Kristian Emanuel Anggur, “Perang Tanding dan Dekadensi Budaya di Manggarai”, Bahan
Ceramah, Ruteng: Lembaga Studi Mangunwijaya Flores, 2004, hal. 6.
[6]
Hubert Muda dan Adam Satu, “Interelasi Antara Sistem Kekerabatan Dan Masalah
Kepemilikan Tanah di Manggarai”, Laporan Penelitian, Pemda Kabupaten
Manggarai dan Lembaga Studi Van Bekkum-Verheijen, 2001, hal. 9.
[7]
Ado, “Kota Ruteng Rusuh, Warga Diminta Tenang”, Harian Umum Pos Kupang,
Minggu, 9 Juli 2000, No. 203, Thn. VIII, hal. 1, 11.
[8] Sony Djawamau, “Perlu Pendekatan Atasi
Rabies”, Ibid, Minggu 30 Juli 2000, No 228, Th VIII, hal. 4.
[9] Bdk. Evi-Kas, “1. 695 Orang digigit anjing gila, 54 tewas”, Ibid,
Rabu, 18 Juli 2000, No 216, Th VIII, hal. 1, 11.
[10] Sumber: Kantor Dinas Peternakan Propinsi
NTT sebagaimana dikutip Harian Umum Pos Kupang, Selasa, 18 Juli 2000,
hal. 11.
[11] Data diambil dari Kantor Dinas Peternakan
Kabupaten Manggarai. Dia dan Lia
“Manggarai belum Bebas Rabies”, Tabloit Pena Manggarai, No 04, Minggu
III-IV Februari 2003, hal. 6.
[12] Teobald Kanisius Decky, “Orang Asing”
dalam: ZIARAH, No. 1, Thn. VI, 2002, hal. 101.
[13] Ado, et. al, “Kota Ruteng Terkendali,
Kerugian Ratusan juta”, Harian Umum Pos Kupang, Senin 10 Juli 2000, No.
208 Th. VIII, hal. 11. Para
pelaku yang dicurigai itu berasal dari Tegal Jawa Tengah: Suharno (32 th),
Sumarto (31 th). Suharno tewas di Mapolres sedangkan Suharno tewas di RSUD
pukul 23. 00 WITA. Sohari (31
th), teman seperjalanan mereka selamat meski mengalami cidera berat.
[14]
Rik, “200 Penduduk Borong ke Pulau Ende”, Ibid, Sabtu 15 Juli 2000, No.
213 Th VIII, hal. 1, 11.
[15]
Ado, “Air Minum Beracun pemicu Insiden Borong”, Ibid, Senin 17 Juli
2000, No. 215, Th. VIII, hal. 7.
[16]
Rik dan Ado, “110 Anak Borong Ikut KBM di Pulau Ende”, Ibid, Jumat 21
Juli 2000, No 219 Th VIII, hal. 1, 11.
[17] Ado, “Pastor Selamatkan lima warga”, Ibid,
Kamis 20 Juli 2000, No 218, Th VIII, hal. 6.
[18] Alexander Aur, “Dari Babat Kopi ke Babat
Nyawa” dalam: Emanuel J. Embu dan Robert Mirsel (eds.), Op. Cit., hal.104-105.
[19] Bdk. Surya Flores, Sabtu 3 April
2004 (No. 459) – Kamis 22 April 2004 (No. 464), Emanuel J. Embu dan Robert
Mirsel, Op. Cit., hal. 57-80. Bdk. Bank Data Sankari dan SPM Ruteng.
[20] Telahaan ini didasarkan pada tulisan
Bernard Raho, “Konflik di Indonesia Problem dan Pemecahannya Ditinjau dari
Perpspektif Sosiologis”, dalam: Guido Tisera (ed.), Mengolah Konflik
Mengupayakan Perdamaian, Maumere: LPBAJ, 2002, hal. 121-164. Bdk. Bernard
Raho, Sosiologi Sebuah Pengantar, Maumere: Ledalero, 2004, hal. 21-23.
[21] Emile Durkheim [1855-1917] adalah
sosiolog keturunan Yahudi berkebangsaan Perancis. Karyanya
dalam bidang sosiologi antara lain: Division of Labor [1893], The Rules of
Sociological Methods [1895], Suicide [1896], The Elementary Forms of Religious
[1912].
[22] Hal ini misalnya diajukan oleh Herbet Gans yang melihat bahwa
kemiskinan memiliki fungsi positif
seperti menyediakan tenaga kerja untuk pekerjaan-pekerjaan kotor, menimbulkan
dana sosial, pemanfaatan barang-barang bekas, menimbulkan pekerjaan-pekerjaan
baru,dsb. Herbet Gans, “The Positive Functions of Poverty” dalam American
Journal of Sociology 78 [1972], hal. 275-289, sebagaimana dikutip Raho, Ibid.
[23]
Jonathan Turner, The Structure of Sociological Theory, Homewood Illinois:
The Dorsey Press, 1978, hal. 127
[24] Bdk. Pius Hamid, “Sistem Pemerintahan
Lokal (Pemerintahan Golo) Pada Masyarakat Manggarai-NTT”, Makalah, Ruteng:
Bank Data Sankari, 2004, hal. 1-3.
[25] Maria Ruwiastuti, “Sistem Penguasaan Asli
dan Politik Hukum Tanah di Manggarai Tengah”, Laporan Penelitian,
Ruteng: Proyek Penelitian Konflik Tanah di Manggarai Pemerintah Daerah Tingkat
II Kabupaten Manggarai, 1994, hal. 4.
[26] Maria Ruwiastuti, “Sengketa Tanah di
Manggarai: Temuan, Pendapat, Analisis dan Rekomendasi Berdasarkan Penelitian
Lapangan yang Dilakukan di Manggarai Tengah pada bulan Oktober-November 1994”, Makalah,
Jakarta: Wahana Citra Pesona Jakarta, 1999, hal. 4. Bdk. Ibid, hal. 5.
[27] Wawancara dengan Hubertus Ngabur, 57
tahun, dari Gendang Herokoe, Satar Mese, 27 Mei 2005.
[28] Wawancara dengan Agustinus Palu Barut,
Tu’a Golo Gendang Tenda, 25 April 2005 di kelurahan Tenda, kecamatan Langke
Rembong.
[29] Robert Lawang, Konflik Tanah di
Manggarai Flores Barat, Jakarta: UI Press, 1999, hal. 42.
[30] Wawancara dengan Petrus Ndarut, penutur
Adat dari Gendang Tongke, 27 Maret 2005 di Hacar, desa Kakor, kecamatan Ruteng.
[31]
Bdk. Maribeth Erb, The Manggaraians A Guide to Traditionals Life Styles,
Singapore: The Times Editions, 1995, hal. 55.
[32]
Wawancara dengan Pius Hamid, Direktur Sankari, LSM yang bergerak pada advokasi
persoalan agraria di Manggarai, tanggal 24 April 2005.
[33]
Pada era 1980-an, Felix Edon seorang pencipta lagu daerah Manggarai, merilis
album pop daerah yang salah satu lagunya berjudul: Suharto Ema Pembangunan. Kata “Ema” yang sama juga kerap
digunakan bila ada pejabat daerah yang datang ke kampung-kampung. Dalam kepok (sapaan adat)
pemerintah biasa disapa, “Yo, Ema dami…” (Ya, Bapa kami…).
[34] Ado, “Uskup Minta Pemerintah Proaktif
Tanggapi Isu”, Harian Umum Pos Kupang, Kamis 13 Juli 2000, No 211, Th
VIII, hal. 1, 11.
[35]
Team PK, “Jajak Pendapat Pos Kupang”, Ibid, Sabtu 22 Juli 2000, No. 220,
Th VIII, hal. 1.