Renungan atas Yes 55:10-11-Rm 8:18-23-Mat:13:1-23
Kanisius
Teobaldus Deki
Staf Pengajar
STIE Karya
Hidup manusia selalu dilumuri oleh berita. Setiap
hari kita mendapat informasi berupa berita. Orang-orang zaman modern merasa
sepi tanpa berita. Itulah sebabnya kehadiran koran, majalah, radio dan televisi
menjadi niscaya. Melalui media-media itu, manusia modern menemukan
informasi-informasi yang dibutuhkannya. Orang lalu berpikir, biar uang lain
perlu dikurangi asal bisa membeli TV, radio, pulsa paket HP dan berlangganan koran. Sampai di sini,
media-media itu menjadi bagian dari kebutuhan manusia. Tidak bisa tidak,
kehadirannya mutlak dibutuhkan kalau tak mau disebut ketinggalan informasi.
Orang Kristen juga punya berita penting, yakni
kitab suci. Bahkan kitab suci disebut “kabar gembira” dari kata bahasa Yunani
“Euaggelion” yang diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris “Good News” yang
berarti kabar baik. “Kabar Baik”. Kata ini begitu singkat namun memuat pesan
yang kaya makna. Setiap orang mendambakan kabar baik. Bahkan dalam tradisi
orang Manggarai, bila berpapasan dengan orang baru menikah, kerap ditanyakan:
“Apakah sudah ada kabar baik?” Maksudnya, apakah sang mempelai perempuan sudah
hamil. Lalu, bagaimana kabar baik ini betul menjadi sebuah berita yang
menggembirakan?
Di tengah pengapnya kemiskinan yang menindas NTT,
adakah kabar baik datang dari sebuah kekuasaan yang telah terlegitimasi oleh
pesta demokrasi yang menelan begitu banyak uang rakyat? Bagaimana dengan
kata-kata kampanye yang telah berubah menjadi “sabda”? Akankah kata-kata itu
akan membuahkan hasil dalam kondisi real di mana masyarakat NTT keluar dari
keterpurukannya? Inilah sederetan pertanyaan yang muncul ketika kita didera
oleh berbagai macam soal yang meliliti masyarakat NTT.
Bila sedikit menengok ke dalam bacaan pertama
hari ini, sangat kuat sebuah kepastian yang dinyatakan oleh teks nabi Yesaya.
Ia membuat sebuah perumpamaan yang menarik tentang tak sia-sianya sebuah
kalimat yang mengandung pengertian diungkapkan:
Seperti hujan dan salju turun dari langit
Dan tidak kembali ke situ, melainkan mengairi bumi,
Membuatnya subur dan menumbuhkan tumbuh-tumbuhan,
Memberikan benih kepada penabur
Dan roti kepada orang yang mau makan,
demikianlah
FirmanKu tak akan kembali kepadaKu dengan sia-sia,
tetapi ia akan melaksanakan apa yang Kukehendaki, dan
berhasil dalam apa yang kusuruh kepadaNya.
Teks ini menyajikan kepada kita sebuah kenyataan
bahwa firman Allah memiliki daya guna. Kata-kata Allah tidak sia-sia terlontar.
Ia mempunyai aplikasinya dalam kehidupan. Ia dapat direalisasikan. Pertanyaan
untuk kita: “Dapatkah kata-kata kampanye dituangkan dalam kenyataan? Semisal,
pendidikan gratis, kesehatan gratis, dsb? Apakah akan ada sekolah yang tidak
dibayar, perawatan yang tanpa selip pembayaran? Ataukah ini hanya sekedar omong
kosong, bualan hampa untuk menyenangkan dan membodohi masyarakat?”
Kebohongan adalah belenggu yang masih memasung
kita dalam kegelapan budi. Kebohongan publik adalah kenistaan untuk kita.
Karena ini, meminjam bahasa Santo Paulus untuk jemaat di Roma, kita mesti
“dimerdekakan dari perbudakan kebinasaan dan masuk dalam kemerdekaan kemuliaan
anak-anak Allah.” Kita mesti dimerdekakan dari sebuah kampanye yang
menyesatkan, yang melemahkan daya juang masyarakt untuk berusaha dengan kerja
keras, bukan menciptakan mental ketergantungan. Ketika “kata-kata kampanye”
tidak tampak dalam program pemberdayaan, penguasa hanya membawa masyarakat yang
dipercayakan kepadanya ke muara ketergantungan. Dan, setiap ketergantungan
melahirkan mental budak!
Bila ini adalah kenyataan kita, di mana kita masih hidup dalam kitaran
kata-kata yang sesat, maka saatnya kita membaca ulang arti dan jiwa kata-kata
yang terlontar. Pertanyaan mendasar yang perlu diajukan ialah: “Apakah
kata-kata kita adalah sebuah ujaran yang membawa kabar baik? Kabar Baik macam
manakah yang akan kita bawa? Apakah Kabar Baik itu memberikan efek positif bagi
yang mendengarnya?”
Yesus dalam InjilNya menjelaskan panjang lebar
bagaimana kata-kata Sabda ditabur dalam hati setiap orang. Dalam penegasan itu,
satu hal menarik yang dikatakan oleh Yesus yakni: “Siapa bertelinga, hendaklah
dia mendengar.” Mendengar adalah kata-kata yang mudah diucapkan tapi sulit
untuk dilakukan. Ketika para penguasa tidak mendengar jeritan dan rintihan
rakyat yang menderita, maka kata-kata program kerjanya tidak menyentuh
kebutuhan real masyarakat. Tatkala para penguasa tidak membaca nasib malang
yang dialami warganya melalui berita media-media, maka ia akan sibuk mengurusi kepentingannya sendiri. Di harian umum Pos Kupang
tersedia rubrik curhat. Setiap hari dikeluhkan betapa buruknya kinerja layanan
publik pemerintah. Apakah ada telinga untuk mendengar rintihan itu? Adakah hati
yang terbuka untuk berusaha menanggapi jeritan itu?
Santo Paulus mengatakan untuk membahasakan
situasi kita: “Sebab kita tahu, bahwa sampai sekarang segala mahkluk sama-sama mengeluh dan sama-sama merasa sakit
bersalin.” Kita mengeluhkan situasi kita yang timpang. Kita seperti sedang
sakit bersalin untuk melahirkan kata-kata yang menggembirakan. Tapi lebih
penting dari itu, kita sedang menantikan implementasi konkrit kata-kata
kampanye penguasa untuk melahirkan tindakan dan program konkrit demi kesejahteraan
dan kebahagiaan bersama. Kelahiran kata-kata yang berpihak pada rakyat dan
bukan semata menguntungkan tim sukses dan kroni-kroni, kelahiran perubahan
menuju pada kebaikan. Itulah yang diharapkan Tuhan dan semesta! Amin.
No comments:
Post a Comment