Kanisius Teobaldus Deki
Staf Pengajar STIE Karya
1. Seputar Gerakan Feminisme
Gerakan
Feminisme bermula dari kesadaran akan “penindasan” kaum lelaki yang terekspresi
dalam tidak adanya pengakuan akan eksistensi kaum perempuan. Mereka menjadi
sadar bahwa dalam banyak hal mereka dipatok atau diukur dari perspektif
pengalaman dan ke-diri-an kaum pria. Budaya patriarkat dituding sebagai biang
dari ketertindasan kaum perempuan yang menyata dalam pandangan berat sebelah
tentang eksistensi mereka: penyebab dosa bagi kejatuhan Adam, mahkluk yang
cenderung dekat dengan kebatilan dan kejahatan, penggoda, kurang etis, tidak
jernih dalam berpikir, lemah, dsb. Panadangan-pandangan tadi melahirkan
pembelaan-pembelaan. Itulah sebabnya Christin de Pizan mengatakan secara
eksplisit bahwa perempuan juga mahkluk insani. Atau penegasan Simone de Beuavoir,
bahwa perempuan bukan hanya warga kelas dua, second sex. Dalam karyanya,
“The Book the City of Ladies”, de Pizan berkesimpualn bahwa perempuan
sungguh manusia, tidak lebih lemah dari kaum lelaki. Atas dasar itu juga, dalam
aras pemikiran yang sama, Elisabeth Cady Stanton yang menulis “The Woman’s
Bible” bersama Susan B. Anthony (tokoh-tokoh gelombang pertama),
mengkampanyekan kesetaraan hukum dan ekonomi, memperjuangkan supaya mereka juga
memiliki hak pribadi dan hak pilih perempuan agar diakui. Perjuangan yang sama
juga meretas jalan bagi diperhatikan hak-hak lain seperti: mengenyam pendidikan
formal, hak politik, pembebasan dari sikap diskriminatif, dll.
Gerakan
feminisme pada gilirannya bermuara pada satu tujuan yakni supaya mengakhiri
penindasan, diskriminasi dan tindak kekerasan yang ditimpakan kepada kaum
perempuan serta memperoleh kesederajatan dan martabat manusia sepenuhnya bagi
setiap perempuan. Hal ini juga menjadi
tekad kaum perempuan untuk menduduki tempat utama bersama kaum laki-laki dan
menjadikan impian, harapan dan nilai yang dianutnya diperhatikan
sungguh-sungguh.
Untuk
mencapai tujuan itu, beberapa kendala mesti dihalau dari kebalauan perjuangan
gerakan Feminis ini. Hal pertama yang perlu dienyahkan ialah kondisi
sosial tertentu yang memaksa perempuan untuk enggan mengembangkan cita rasa dan
harga dirinya. Kedua, memperjuangkan pembebasan kaum perempuan dari
semua bentuk “sexisme”. Jenis kelamin adalah kenyataan terberi. Karena itu
determinisme biologis dalam penentuan peran harus ditolak. Dengan kata lain,
semua manusia entah perempaun maupun lelaki bisa mendapat peran yang sama,
tanpa suatu sikap diskriminatif atas dasar sex. Ketiga, Gender merupakan
konstruksi sosial yang pada gilirannya melahirkan stereotip gender. Hal ini
terjadi karena kebudayaan mayoritas dikendalikan oleh kaum lelaki demi
keuntungan kaum itu dan sikap itu melahirkan akibat yang paling parah ialah
munculnya “androsentrisme.”[1]
Dengan lain perkataan, pengaruh budaya patriarkat yang ada dalam masyarakat
dengan segala macam dominasinya harus ditiadakan, termasuk sikap “tidak
seimbang” Kitab Suci, teolog atau pemikir-pemikir orang Kristen seperti
Tertulianus, Agustinus dan Thomas Aquinas, terhadap kaum perempuan.
Tanggapan
atas arah perjuangan dan cara yang dipakai untuk pencapain tujuan melahirkan
banyak model dalam aliran Feminisme (gelombang kedua) itu sendiri, antara lain:
Feminisme Liberal, Kultural, Radikal dan Sosialis. Masing-masing model memiliki
penekanan yang berbeda, walaupun arah atau sasaran perjuangannya sama, yakni
demi mencapai kesetaraan yang telah “terbelenggu” akibat keserakahan budaya
patriarkat yang menguat di segala bidang kehidupan, termasuk Teologi. Atau
model lain (gelombang ketiga) terdiri atas: model Revolusioner, Reformis dan
Rekonstruksionis. Tanggapan yang paling keras datang dari kelompok model
Radikal dan Revolusioner. Menurut model Radikal, jalan satu-satunya yang paling
baik menegakkan bendera kesetaraan Feminisme ialah membasmi semua bentuk
dominasi laki-laki dalam semua aspek kehidupan. Hal ini perlu sebab dominasi
lelaki itu merupakan sumber dan akar petaka bagi keterlibatan yang minim kaum
perempuan. Kelompok model Revolusioner menandaskan hal yang kurang lebih sama
dan memberikan catatan khusus buat agama Kristen yang sangat kuat diwarnai oleh
patriarkat. Mereka mengatakan bahwa agama Kristen adalah patriarkat yang sakit
total-akut dan tak bisa sembuh. Maka jalan terbaik ialah tinggalkan agama
Kristen dan kode-kode hukum patriarkat yang dipengaruhi Kitab Suci. Sebagai
gantinya, kiblat diarahkan ke tradisi dewa-dewi purba sebagai sumber teologi
baru; sebagai sebuah “sublimasi teologis” dan pilihan yang juga rentan terhadap
pelbagai “pola” yang justru mereka kritik pada Kitab Suci.
2. Beberapa Tanggapan dan Catatan Kritis
·
Benar bahwa budaya patriarkat menjadi
dominan di dalam kehidupan manusia. Dominasi yang tidak terbatas mengakibatkan
“terpinggirnya” peran kaum perempuan ke tempat di mana “pasivitas” adalah
buahnya. Sehingga tidak mengherankan kalau kaum perempuan merasa bahwa sikap pasif,
kurang terlibat, hanya menunggu, hanya menerima adalah kenyataan biasa yang tak
perlu dipersoalkan. Refleksi kemudian menemukan kesadaran baru bahwa pasivitas
bukanlah kodrat yang dari semula merupakan “kenyataan terberi”. Untuk itu, dari
pihak perempuan sendiri mesti muncul sikap “pro aktif”, menentang
nilai-nilai yang ada, berkembang di dalam diri mereka jika ternyata nilai-nilai
itu tidak mendukung kesetaraan yang mereka perjuangkan. Dari pihak lelaki,
mengembalikan kaum perempuan ke citra yang sama, setara dengan kaum lelaki
dalam pelbagai peran adalah jalan untuk menemukan kembali identitas mereka yang
tenggelam dalam pusaran arus dominasi kaum lelaki.
·
Tentang metode perjuangan. Model-model
perjuangan gerakan Feminisme memiliki ciri khusus sesuai dengan idealisme yang
terkandung dalam kelompok itu. Pertanyaan yang perlu diajukan ialah: manakah
jalan yang lebih baik, kaum perempuan berjuang sendiri untuk memperoleh
kesetaraan dengan kaum lelaki atau berjuang bersama yang
mengikutsertakan kaum lelaki untuk mengubah bersama “sistem-sistem yang
membelenggu”? Menurut refleksi kami, jika perjuangan itu tidak dimuat dalam
bingkai kerja sama dengan kaum lelaki, maka apapun model perjuangan mulai dari
proses penyadaran, perlawanan frontal sampai pembentukan berbagai
sikap.tandingan tidak akan berhasil. Tembok eksklusifisme yang hanya
mengkhususkan keterlibatan kaum perempuan harus dibongkar dari setiap bentuk
perjuangan feminisme.
·
Perjuangan dan Kesepihakan. Perjuangan kaum
Feminis tidak boleh terperangkap dalam “kesepihakan” dalam arti: mereka
mengulangi lagi kelemahan teologi tradisional yang melupakan dan mengabaikan
pihak lain, yakni kaum lelaki, sebagai pembentuk keutuhan dan keseluruhan
teologi itu. Jika mereka melupakan kelelakian dalam teologinya, maka akan
muncul kepincangan dengan pola yang sama yakni: mengangkat kaum sendiri
serentak menegasikan kaum lain. Pembebasan yang diperjuangkan hendaklah
pembebasan untuk semua, baik perempun maupun lelaki. Bagi kaum peremapuan
pembebasan muncul dari kemauan untuk mencapai kesetaraan, sedangkan dari pihak
lelaki, merem laju dominasi yang berlebihan. Dan eksistensi yang dimaksudkan
baru benar dan utuh apabila terbuka ruang yang luas untuk sebuah koeksistensi.
Kelompok-kelompok teologi harus menunjukkan kebenaran dan kekuatannya dalam
kemampuan untuk membentuk persekutuan dan kebersamaan dalam membangun
komunikasi. Mereka bukanlah satu separatisme melainkan kebinekaan teologis.
·
Harus diakui bahwa cara manusia memandang
sesuatu, termasuk nilai dan humanitas selalu berkembang dalam tahapan-tahapan
tertentu. Ada sebuah proses evolusi. Kita tidak bisa mati-matian mendasarkan
hidup kita pada sesuatu yang terjadi pada masa lampau. Bahwa masa lampau dengan
segala perspektifnya memberikan sumbangan untuk manusia di zaman sekarang, itu
satu kenyataan yang tak bisa dipungkiri. Kita belajar banyak dari sejarah masa
lampau untuk membangun hidup yang berkualitas hari ini dan di masa depan.
Tetapi adalah salah jika dari pihak kita tidak ada sikap kritis untuk menilai
dan membuat aplikasi atas sejarah dan tradisi masa lampau. Budaya patriarkat,
yang juga melekat erat dengan Kitab Suci, adalah produk manusia masa lampau,
dengan cara mana ia mengerti wahyu Allah sesuai dengan daya tanggap dan
refleksinya. Kita tidak bisa menilai zaman lampau semata-mata dari tilikan kita
atas zaman sekarang. Jika kita memiliki pikiran yang lebih maju, itu merupakan
satu tahap lain, juga atas cara mana kita menanggapai wahyu Allah untuk kita di
zaman modern. Karena itu, penafsiran atas Kitab Suci mestinya mempertimbangkan
“sitz im leben”-nya di satu pihak dan konteks kita sekarang di lain
pihak. Sehingga dengan demikian, Sabda itu selalu hidup up to date dan
berdaya guna bagi manusia zaman manapun.
Bahan Bacaan:
Anne
M. Clliford, Memperkenalkan Teologi Feminis, terj. Yosep Maria Florisan,
Maumere: Ledalero, 2002.
Cross, F.L., The Oxford Dictionary of The Christian
Church, New York: Oxford University Press, 1957.
Johnson, Elizabeth
A., Kristologi Di Mata Kaum Feminis:
Gelombang Pembaruan dalam Kristologi, Kanisius: Yogyakarta, 2003.
Tull, Patricia K.
(1999). "Chapter 8: Rhetorical Criticism and Intertextuality". In
Haynes, Stephen R.; McKenzie, Steven L. (eds.). To each its own
meaning : an introduction to biblical criticisms and their applications (Rev.
and expanded. ed.). Louisville, Ky.: Westminster John Knox Press.
Vater, Ann M.
(1980). "Review of God and the Rhetoric of Sexuality". Journal
of Biblical Literature. 99 (1):
131–133.
[1]
Secara harfiah berarti “terpusat pada lelaki”. Androsentrisme bermuara dalam
hal mempertalikan ihwal menjadi laki-laki sebagai pusat dari setiap segi
kehidupan; ihwal menjadi laki-laki dianggap normatif, sedangkan ihwal menjadi
perempuan dipandang selaku kekecualian dari norma. Anne M. Clliford, Memperkenalkan
Teologi Feminis, terj. Yosep Maria Florisan, (Maumere: Ledalero, 2002), p.
433.
Mantap e krg Nick.....
ReplyDeleteAlasn sampe muncul tema seperti ini apakah di dunia ini dan di antar kehidupan kaum awam dan hawa kalo di lihat dari segi drajat yang lebih tinggi saya rasa itu pada kaum awam
ReplyDelete,tetapi kalau di lihat dari segi
pekerjaannya itu semua sama tampa memandang entah itu kaum hawa atau kaum awam tampa memandang pekerjaan modela apa pun.
(DIONISIU O. AGUNG)
Menurut saya,seharusnya kita kembali lagi pada pengertian bahwa di dunia ini semua orang pastinya memerlukan satu sama lain. Misalkan saja lelaki sangat memerlukan peran perempuan sebaliknya juga begitu perempuan merlukan lelaki l. Jika ada nya diskrimimasi terhadap jender kembali lagi kepada alasan atau masalah apa yang menyebabkan semuannya terjadi.
ReplyDeletePerlu adanya sikap saling memahami agar hilangnya diskriminasi antara gender
( Antonia Aprilia Ibut )
Menurut saya,Bahwa kehidupan awam dan hawa itu semuanya sama tanpa memandang entah itu kaum awam atau hawa,karena nilai-nilai itu ada didiri sendiri dan berkembang sendiri tanpa membantu dari kaum awam atau pun kaum hawa.Dan kita tidak bisa menilai diZaman lampu dan Zaman sekarang,dan kita perlu adanya sikap saling memahami antara kaum awam dan hawa.😊😊🙏🙏
ReplyDelete(YASINTA RATINA)
Menurut saya,Bahwa kehidupan awam dan hawa itu semuanya sama tanpa memandang entah itu kaum awam atau hawa,karena nilai-nilai itu ada didiri sendiri dan berkembang sendiri tanpa membantu dari kaum awam atau pun kaum hawa.Dan kita tidak bisa menilai diZaman lampu dan Zaman sekarang,dan kita perlu adanya sikap saling memahami antara kaum awam dan hawa.😊😊🙏🙏
ReplyDelete(YASINTA RATINA)
Gerakan feminisme bisa di bilang menjadi hal yang positif dalam pembelaan terhadap kaum perempuan.disini tidak seharusnya ada perbedaan dia antara kaum hawa dan adam karena semuanya sama2 makhluk ciptaan tuhan
ReplyDeletePerempuan dan laki2 seharusnya hidup sepadan dan saling melengkapi dan di era skrang perempuan dan laki2 juga sdah memiliki derajad yang sama.
Trima kasih
(Kristina nona kajo)
Gerakan feminisme pada gilirannya bermula pada suatu tujian yakni supaya mngakihiri penindasan,diskriminasi dan tindakan kekerasan yang ditimpakan kepada kaum perempuan serta memperoleh kesederajatan dan martabat manusia sepenuhnya bagi setiap perempuan.
ReplyDeleteHal ini menjadi tekad kaum perempuan untuk menduduki tempat utama bersama kaum laki-laki dan menjadi impian,harapan dan nilai yang dianutnya diperhatikan sungguh-sungguh.
(Evaldus Natanael)
Artikel ini sangat menarik, di mana pada aftikel ini membahas tentang derajat dan martabat atau kedudukan antara kaum Adam dan Hawa.kalau menurut saya antara kaum adam dan hawa itu hanya sedikit perbedaan derajatnya.
ReplyDeleteTapi hal pekerjaan tidak ada perbedaan. Gerekan Feminisme bisa di katakan sangat baik terhadap kaum perempuan.
Kehidupan di era sekarang ini tertentu berbeda pada zaman dulu
ReplyDeleteDimana zaman dulu menilai derajat laki-laki lebih tinggi daripada derajat perempuan, Yang menyebabkan kasus penindasan, pemerkosaan dll
Namun kehidupan sekarang laki-laki Dan perempuan sama sehingga membuat kaum hawa lebih giat dalam segala hal begitupun dengan laki-laki, zaman sekarang perbedaan bukan hal Yang mendasar untuk memperoleh apapun.
Maria trivoni ingging