Sunday, 7 June 2020

Sejarah Orang Manggarai





Kampung Tenda Tahun 1920 (Foto: Tropenmuseum-Netherland, 1920)

Kanisius Teobaldus Deki
Star Pengajar STIE Karya
Menulis Buku Tradisi Lisan Orang Manggarai (Jakarta: Parrhesia Institute, 2011)

Status Quaestonis: Sumber Sejarah Manggarai
Terdapat dua sumber yang bisa ditelusuri untuk menemukan sejarah Manggarai yang otentik, yakni sumber lisan dan sumber tertulis berdasarkan kajian-kajian para peneliti yang coba merekonstruksikan kembali sejarah Manggarai yang ternyata memiliki pluralitas dalam usul-asal keturunannya. Sumber lisan tentu memiliki keterbatasan karena sering terkait dengan mitologi yang sudah bercampur dengan pelbagai unsur sastra, khususnya dengan maksud didaktis.

Dari sisi mitologi ada banyak kisah yang tersebar luas. Namun umumnya menurut orang Manggarai diakui secara mitologis, dunia ini pada mulanya kosong dan tidak memiliki apa-apa sehingga disebut tana lino. Tana berarti tanah atau bumi sedangkan lino berarti kosong. Tana lino berarti bumi yang kosong [empty earth]. Kehidupan, menurut Orang Manggarai berasal dari perkawinan Ame / Ema Eta [Ayah di atas atau langit] dan Ine / Ende Wa [harafiah: Ibu di bawah atau bumi] sebagaimana nyata dalam pelbagai mitologi.[1]

Selain itu ada sumber-sumber tertulis yang cukup membantu, khususnya arsip-arsip kerajaan Manggarai, Bima dan Belanda seperti yang ditelusuri oleh W.PH. Coolhaas[2], Verheijen dan Dami N. Toda. Sumber tertulis itu juga memiliki keterbatasan karena tidak semua unsur penting dari sejarah Orang Manggarai telah termuat dalam kajian-kajian itu.[3]

Untuk mengatasi keterbatasan ini, menurut hemat saya kedua sumber ini perlu disatukan demi saling melengkapi satu sama lain. Itulah sebabnya mengapa studi banding antara sumber-sumber lisan dan sumber-sumber tertulis merupakan keharusan. Pembahasan yang akurat tentang sejarah suatu tempat dan budaya kerap kali terkait erat dengan sumber-sumber yang bisa dijadikan rujukan, khususnya sumber tertulis. Berhadapan dengan pembahasan tentang Orang Manggarai, penggunaan sumber-sumber tertulis dimungkinkan oleh penelitian yang dilakukan beberapa pendahulu yang menaruh minat terhadap Manggarai.[4]

Nama ”Manggarai”: Sejarah Perseteruan Berbagai Versi
Terdapat begitu banyak usul-asal nama Manggarai dari perspektif historis. Berbagai usaha mengkaji etiologi nama tempat maupun penelusuran historis berdasarkan peristiwa yang terjadi pada saat itu telah dibuat. Sekurang-kurangnya ada tiga tokoh yang coba membuat penelusuran nama Manggarai dalam sejarah modern.

Usaha pertama dibuat oleh Van Bekkum sebagaimana dikutip oleh Jilis Verheijen,[5] seorang misionaris dan pakar budaya yang banyak membuat penelitian tentang Manggarai dan kebudayaannya, khususnya tentang Wujud Tertinggi, bahasa, flora dan fauna Manggarai. Menurut Van Bekkum yang mengutip pernyataan orang Bima, “Manggarai” adalah gabungan dari kata-kata mangga yang berarti sauh, dan rai yang berarti lari, berpautan dengan satu peristiwa terdahulu. Selanjutnya, Verheijen mengacu pada Van Bekkum yang mengadopsi kisah lisan di Cibal tentang kisah tokoh yang bernama Mangga-Maci[cing”. Konon putra sulung Nunisa itu diutus Bima menaklukkan Manggarai bersama tiga saudaranya yang bernama Nanga-Lere, Tulus-Kuru dan Jena-ili-Woha. Mereka memberi nama Manggarai kepada Nuca Lale.[6]

Orang kedua yang coba membuat telaahan tentang hal yang sama adalah Doroteus Hemo.[7] Menurut Hemo, konon pada waktu perahu Mangga-Maci bersaudara itu tengah membongkar sauh dan mendarat, tiba-tiba pasukan Cibal menyerang, memotong sauh hingga perahu-perahu itu hanyut. Pasukan Bimapun terperanjat dan berteriak, Mangga-rai [sauh berlari]. Sejak peristiwa itulah tanah Manggarai mendapat namanya hingga sekarang ini.

Orang ketiga, Dami N. Toda juga melakukan studi yang sama.[8] Menurut Toda asal-usul nama Manggarai dari Freijss, maupun kisah Wilhelmus van Bekkum yang kemudian diiukuti oleh Verheijen maupun Hemo tetap saja berisi kisah kekeliruan yang telah berdampak politis tatkala dihubungkan dengan istilah ata raja dengan semiotik souverinitas raja Bima atas Manggarai dan diakui oleh pemerintah kolonial Belanda. Menurut Toda, kata Manggarai sebenarnya berasal dari sebutan Manga dan Raja. Kata Manggarai manga berarti “ada” tetapi kata “raja” sama sekali tidak bersinonim dengan kata “raja” dalam bahasa Melayu-Indonesia. Dalam bahasa Manggarai, kata Raja berarti: sebab musabab, masalah, biasa, manusiawi, nyata [sebagai lawan kata: yang bersifat seberang sana, asing].[9]

Lebih lanjut Toda membuat perluasan arti dari manga raja. Pasangan kata manga raja berarti: “ada [memiliki] sebab-musabab” hanyalah sebuah frase yang bila dihidupkan akan menjadi kalimat harus memperoleh proses morfologis, misalnya: manga rajan: ada sebab musabab alasan, manga rajag:  ada sebab musabab alasanku. Ata raja dalam bahasa Manggarai tidak dimaksudkan dengan terjemahan “Ada raja” seperti yang dibuat oleh Freijss, melainkan berarti: ada orang, manusia biasa yang memiliki raga. Kata ini berlawanan dengan sebutan ata pele sina yang berarti: orang [manusia] dari dunia seberang, manusia roh, mahkluk halus.[10] Jika istilah ini yang dipakai dalam pemahaman tentang usul asal kata Manggarai maka pengakuan akan souverinitas Bima dan Belanda atas Manggarai merupakan sebuah pencaplokan atas suatu bangsa tertentu. Sebab, Manggarai sebagai suku bangsa tertentu memiliki identitas, sistem pemerintahan, budaya dan semua unsur yang mencirikan mereka sebagai suku bangsa yang berdaulat. Kata “Manggarai” lebih merupakan pengakuan sekaligus pemakluman bahwa “kami ada” dan karena itu memiliki otonomi atas diri dan kehidupan kami sendiri.

Peristiwa pada abad ke-18 tidak memiliki kecocokan historis dengan peristiwa kedatangan Manggamaci. Kedatangan formal ekspedisi Bima baru terjadi sesudah tahun 1761-an, tahun tiba pertama kali misi 27 perahu Bima menuju pelabuhan Adak Todo [Kerajaan Todo] di pantai selatan Manggarai, yang bernama Nanga Ramut pada 6 November 1716 melayani permintaan bantuan Todo ke Bima.[11]

Meskipun ada ketidaksamaan pemahaman dalam mengartikan kata “Manggarai”, sebenarnya Manggarai sebelum abad ke-18 disebut dengan nama Nuca Lale. Nuca berarti pulau dan Lale adalah nama pohon kerbang [artocarpus elastica] yang memiliki warna kekuning-kuningan. Menurut pengakuan para petani, pohon Lale merupakan lambang kesuburan.

Dalam karya Piet Petu, lale itu adalah nepa yakni ular besar berwarna merah kekuning-kuningan [python reticulates], dengan demikian, Nuca Lale berarti: Pulau Ular.[12] Sebutan Nusa Nipa ini adalah nama umum yang ditemukan Piet Petu dari Orang Wonda di Lio Timur untuk menyebut pulau Flores.[13] Karena itu hampir tidak ada hubungan historisnya dengan nama Manggarai, kecuali relasi makna tafsiran.

Ditinjau dari akar budaya Manggarai, nama [orang, tempat] memang tidak harus mempunyai arti.[14] Hal itu sangat jelas pada usulan rancangan nama yang berjumlah lima yang diajukan pada saat pemberian nama seorang anak. Tetapi nama yang diajukan biasanya tidak asing dalam komposisi rasa bunyi bahasa Manggarai, bahkan sering berasal dari nama turunan ataupun variasi bunyi yang mirip dengan nama bapa, moyang, tokoh terkenal ataupun nama gelar dari lingkungan keluarga besar. Di tengah kerancuan ini, Orang Manggarai tetap yakin bahwa nama Manggarai bukanlah hasil pemberian orang luar, melainkan memiliki keaslian yang menyatakan bahwa “ada orang” [manga-raja], penduduk asli yang mendiami wilayah ini. Sejarah membuktikan bahwa terbanyak penduduk yang hingga kini berada di daerah Manggarai merupakan pendatang yang bermigrasi dari berbagai wilayah.

Sejarah Orang Manggarai: Usul-Asal yang Beragam[15]
Penelitian Dr. Verhoeven memberikan petunjuk tentang adanya kehidupan zaman purba di daerah Manggarai. Tempat hidup manusia purba antara lain ditemukan di Labuan Bajo, sedangkan alat-alat batu yang umumnya berbentuk mikrolit [flake and blade] ditemukan di Golo Bekkum, Liang Momer dan Liang Panas. Pada tahun 1951 tim yang sama membuat penggalian di beberapa situs antara lain Liang Momer dan Liang Panas. Pada dua tempat itu ditemukan tulang belulang manusia purba yang kemudian ditetapkan sebagai manusia Protonegrito.[16]

Penelitian tentang keberadaan manusia purba di Manggarai juga masih dilanjutkan hingga tahun 2004. Pada tanggal 7 November 2004 Wahyu Jadmiko dan tim yang dipimpin Dr. Raden Panji Soejono  dari Pusat Penelitian Arkeologi Nasional menemukan fosil berupa kerangka manusia yang diidentifikasi sebagai Homo floresiensis [manusia dari Flores] di Liang Bua. Sejak tahun 50-an Liang Bua dijadikan tempat penelitian oleh Dr. Verhoeven, ahli bahasa Yunani dan Latin yang menjadi misionaris di Manggarai. Penggalian pertama kali dilakukan bulan Juli 1965. Saat itu ditemukan tujuh kerangka manusia modern [Homo sapiens]. Juga ditemukan periuk, beliung persegi dan beberapa benda lain. Setelah sempat vakum, R.P. Soejono mengambil alih penelitian pada tahun 1978-1989 dengan membuka 10 kotak gali dan menemukan kerangka seperti yang ditemukan tahun 1950.[17]

Pada masa sekarang bekas perkampungan atau tempat tinggal manusia purba serupa oleh para ahli prehistori disebut abris sous roches [tempat-tempat perlindungan di bawah karang]. Tempat-tempat ini merupakan gua-gua atau karang-karang dengan himpunan tanah pada dasarnya, yang mengandung bekas-bekas alat-alat batu, tulang dan kerang dari zaman lampau. Tempat semacam ini banyak ditemukan di Irian dan Flores Barat.[18]

Jika ternyata penelitian-penelitian yang dibuat itu benar, bahwa sejak beribu-ribu tahun silam di Manggarai sudah terdapat penduduk asli, bagaimana hal itu dikaitkan dengan sejarah keberadaan setiap suku di Manggarai yang cenderung menyatakan bahwa mereka adalah pendatang? Apakah manusia purba yang ditemukan di Liang Bua pada waktu tertentu punah dan kemudian terjadi missing link [mata rantai yang terputus] seperti nasib Homo erectus di Pulau Jawa? Mengapa mereka bisa punah? R.P. Soerjono mengatakan bahwa masih banyak rahasia[19] manusia kerdil dari Flores ini yang belum terjawab.[20] Pertanyaan-pertanyaan ini menyajikan kenyataan bahwa di Manggarai ada penduduk asli yang sudah mendiami wilayah itu. Marybeth Erb menjelaskan bahwa orang Manggarai berasal dari Vietnam dan Thailand berdasarkan penelitiannya di Warloka.[21] Perdagangan yang dilakukan pada masa lampau membawa serta akibat pertemuan dengan penduduk asli dan adanya keputusan untuk menetap.

Selain itu, hingga saat ini kajian tentang historisitas Orang Manggarai masih berlanjut. Meskipun demikian, studi-studi kritis yang menelusuri sumber-sumber sejarah berusaha meluruskan sejarah yang disorientasikan. Ada satu kesalahan dalam pelajaran sejarah yang menyatakan seakan-akan orang-orang Manggarai cuma berasal dari satu suku dan satu nenek moyang.[22] Penelitian-penelitian ilmiah atas temuan fosil serta kontak yang tetap dengan pihak luar melalui perdagangan menunjukkan dengan tegas bahwa orang-orang Manggarai berasal dari suku dan keturunan yang berbeda. Dami N. Toda dalam hasil studinya menyebutkan keturunan-keturunan itu yakni asal keturunan Sumba, Mandosawu, Pong Welak, emigran Sulawesi Selatan dan Bima, keturunan Melayu-Malaka, Melayu-Minangkabau, dan Tanah Dena.[23]

Keturunan-keturunan yang beranekaragam ini kemudian tersebar di seluruh Manggarai. Keturunan Wangsa Kuleng [Mandusawu] mengasalkan nenek moyang mereka dari Turki, dan dari kepandaian yang mereka miliki, jelas bahwa mereka bukan berasal dari kebudayaan batu melainkan keturunan manusia yang sudah mengenal kepandaian menyepuh logam. Maka amat mungkin orang-orang Turki ini adalah pedagang-pedagang yang terdampar dan menetap di Manggarai pada abad ke-16. Wangsa Kuleng inilah yang mengasalkan Adak[24] Cibal dan Adak Lamba Leda dan keturunannya tersebar di Riwu, Sita, Ruteng, Ngkaer, Desu, Kolang-Torok.

Keturunan Sumba membentuk Adak Bajo yang berpusat di Tangge dan membawahi sejumlah wilayah selatan barat daya dan barat gelarang-gelarang adak dan beberapa kedaluan seperti: Dalu Kolang, Lo’ok, Wontong, Munting Welak, Matawae dan Ramut. Menurut Dami N. Toda, keturunan Sumba di kedaluan Matawae masih dapat mengingat 20 lapis keturunanya.

Selain keturunan Sumba dan Turki, ada pula migran asal Sulawesi Selatan dan Bima yang menetap di Manggarai, baik di bagian Barat maupun di pantai utara dan sedikit di selatan. Di duga kuat, migrasi ini terjadi pada abad ke-16 tatkala Kerajaan Luwu’ dan Goa berjaya dan memperluas kerajaannya.[25] Pada masa itu gelombang migrasi terjadi selain karena keinginan sukarela, juga karena adanya tekanan politik: para lawan politik raja Goa pertama yang Islam, Sultan Alauddin tak tahan di bawah paksaan lalu menjadi pelarian politik ke pulau-pulau lain, termasuk ke Manggarai. Tetapi gelombang-gelombang migrasi besar-besaran berupa pelarian politik terjadi setelah Perjanjian Bungaya 18 Nopember 1667 antara Belanda sebagai pemenang dan Kerajaan Goa-Tallo [Sultan Hasanudin] sebagai pihak yang kalah. Sultan Goa Tallo sempat menempatkan perwakilannya di Reok dan Pota[26]

Sedangkan keturunan Bima kebanyakan bermukim di Reo[k] setelah secara politis Bima membawahi sejumlah kedaluan di pantai utara Manggarai: Pacar, Berit, Rembong, Rego, Nggalak, Cibal, Lambaleda, Congkar, Biting dan Pasat serta 14 kedaluan lainnya di bagian Barat dengan pusat perwakilannya di Labuan Bajo.

Pendatang Melayu Minangkabau mendapat tempat tersendiri dalam sejarah Manggarai, karena selain tersebar luas di wilayah Manggarai, mereka juga kemudian menduduki posisi-posisi kepemimpinan di wilayah ini sejak zaman sebelum kolonialisme bangsa Belanda hingga periode 1980-an. Kelompok yang lazim diakui sebagai keturunan langsung dari Minangkabau, adalah keturunan Todo-Pongkor yang sekarang telah menyebar ke berbagai tempat di Manggarai.

Dari uraian yang menyelisik usul-asal ini dapat disimpulkan bahwa orang Manggarai tidak berasal dari satu keturunan saja. Mereka datang dari Sumba, Melayu-Malaka, Melayu-Minangkabau, Sulawesi Selatan, Bima dan bahkan dari Turki dengan daerah pemukiman serta persebaran utamanya yang berbeda-beda pula. Dewasa ini, dengan adanya mobilitas sosial yang tinggi dan pembauran lewat perkawinan, suku-suku dengan usul-asal yang berbeda ini mulau tercampur baur membentuk identitas baru yang lebih “manggarai”.[27]



[1] Bernard Raho, “Asal-Usul Kehidupan Menurut Orang Manggarai” dalam majalah: La’at Natas Edisi 3 Thn. II, Juni 2003, p. 3. Dalam tulisan ini Bernard Raho menampilkan sebuah mitologi tentang asal-usul manusia pertama dan interpretasi atasnya.
[2] Bdk. W. PH. Coolhaas, Menjenguk Masyarakat Manggarai Flores Barat, terjemahan Mikhael Agus [Ruteng, 1979].
[3] Ada sekian banyak orang yang pernah menulis tentang Manggarai. Verheijen menulis beberapa nama yang karangannya dipublikasikan sebelum tahun 1950, antara lain: J.P. Freijs seorang pedagang dan pendeta, J. Meerburg, H.M.M. Mennes  kontrolir Belanda yang tinggal di Bima, Letnan H.B Stapel sebagai pemimpin militer Belanda, Pater Piet Heerkens, Pater A. Burger adalah misionaris dan Dr. W. Ph. Coolhaas. Saya akan menyinggung karya mereka sejauh dikutip oleh Verheijen dan Dami N. Toda.
[4] Tanpa menafihkan penulis yang lain, saya menaruh perhatian yang besar untuk karya Wilhelmus van Bekkum sebagaimana dikutip Jilis A. Verheijen dan karya Verheijen sendiri serta Dami N. Toda dalam bagian ini. Karangan-karangan lain akan dirujuk bila berkaitan dengan pembahasan.
[5] Jilis A. Verheijen, Manggarai Dan Wujud Tertinggi [Jakarta: LIPI, RUL, 1990], p. 23.
[6] Dami N. Toda, Manggarai Mencari Pencerahan Historiografi [Ende: Nusa Indah, 1999], pp. 68-69.
[7] Ibid.
[8] Ibid.
[9] Bdk. Jillis A. Verheijen, Kamus Manggarai-Indonesia I, [Ende: Nusa Indah, 1967], pp. 19-20, 523.
[10] Dami N. Toda, Loc. Cit.
[11] Ibid.
[12] Piet Petu, Nusa Nipa [Ende: Nusa Indah, 1969], p. 45.
[13] Piet Petu, “Pengalaman Penelitian” dalam: Menggali Tradisi Lisan [Maumere: Pustaka Misionalia Candraditya, Seri II/1, 1983], p. 89.
[14] Dami N. Toda, Op. Cit., p.71.
[15] Robert Mirsel dan Eman Embu [eds.], Gugat Darah Petani Kopi Manggarai [Maumere: Ledalero, 2004], pp. 6-8.
[16] Doroteus Hemo, et. al., Pola Penguasaan Pemilikan Tanah dan Penggunaan Tanah Secara Tradisional Daerah Nusa Tenggara Timur [Kupang: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional Proyek Inventarisasi dan Pembinaan Nilai-Nilai Budaya Daerah, 19990], p. 25.
[17] Raju Febrian, “Ebu Gogo dari Liang Bua” dalam: TEMPO, 14 November 2004, pp. 46-49.
[18] Bdk. J. Roeder, “Felsbildforschung auf West New Guinea” dalam: Paideuma I, pp. 75-88, dan “The Rockpaintings of the Mac-Cluer Bay” dalam: Anthropos IV, pp. 456-463, sebagaimana dikutip oleh Koentjaraningrat dalam: Manusia dan Kebudayaan di Indonesia [Jakarta: Djambatan, 2002], p. 5.
[19] Para ahli dunia paleoantroplogi menanggapi penemuan fosil baru di Liang Bua. Salah satunya adalah  Prof. Dr. Teuku Jacob menuding klaim peneliti Australia: Marwood dan Peter Brown dari University of England, Australia,bersama tim dari Indonesia,  yang membenarkan penemuan fosil species manusia baru yang ditafsir meninggal 18 ribu tahun lalu sebagai “terorisme ilmiah”. Menurut Teuku Jacob, fosil yang ditemukan hanyalah manusia modern [homo sapiens] yang hidup 1. 300 – 1. 800 tahun lalu namun berbadan kecil [micro-cephali]. Sayangnya Jacob dalam tuduhannya tidak menjelaskan lebih lanjut mengapa terdapat perbedaan yang ekstrim antara jenis homo florensis dengan homo sapiens. Itulah sebabnya penelitian ilmiah terus berlangsung dan tak akan mencapai titik final. Bdk. “Homo Kontroversialinsis” dalam: Majalah TEMPO, 2 Januari 2005, p. 142.
[20] Raju Febrian, Op. Cit., p. 49. Bdk. Harian Umum Media Rakyat, “Manusia Flores dalam National Geographic Indonesia Edisi Pertama”, Sabtu, 2 April 2005.
[21] Marybeth Erb, The Manggaraians A Guide to Traditional Lifestyles [Kualalumpur: Times Edition,  1997], p. 67. Erb menunjukkan keterkaitan antara relasi perdagangan penduduk asli Manggarai dengan kerajaan Majapahit pada saat Hayam Wuruk memerintah. Warloka merupakan sebutan yang diplesetkan dari “Wuruk Loka” yang berarti tempat Hayam Wuruk [Wuruk’s place].
[22] Kenyataan ini dapat dibaca dalam buku sejarah yang ditulis oleh Doroteus Hemo, Sejarah Daerah Manggarai, Propinsi Nusa Tenggara Timur [Ruteng 1987/1988] yang dijadikan buku pegangan di tingkat Sekolah Dasar membenarkan klaim bahwa nenek moyang orang Manggarai berasal dari Minangkabau hal mana dibantah oleh Damian Toda yang berpendapat bahwa orang-orang Manggarai berasal dari suku dan ketuturan yang beranekaragam. Bdk. Dami N. Toda, Manggarai Mencari Pencerahan Historiografi, Op. Cit, pp. 218-294.
[23] Dami N. Toda, Op. Cit., p. 246.
[24] Adak dapat dipahami sebagai “Kerajaan” yang membawahi “Kedaluan” yakni pemerintahan provinsial otonom. Robert Mirsel dan Eman Embu [eds.], Op. Cit, p. 6. Menurut Verheijen dalam kamusnya, Adak memiliki pengertian yang sangat luas mencakupi hal-hal sebagai berikut: adat istiadat, budi bahasa, tegur-sapa, upacara, pesta resmi yang penting dan bisa berarti baik. Jilis Verheijen, Op. Cit., p. 2.
[25] Jejak-jejak keberadaan orang Sulawesi Selatan masih ada hingga saat ini di Manggarai. Di kecamatan Borong, misalnya, ada kampung bernama Kampung Bugis. Sedangkan di pantai utara ada Kampung Selayar di daerah Buntal kecamatan Sambi Rampas. Baik Bugis maupun Selayar adalah nama-anama tempat di Sulawesi Selatan.
[26] Dami N. Toda, Manggarai Mencari Pencerahan Historiografi, Op. Cit., p. 323.
[27] Robert Mirsel dan Eman Embu [eds.], Op. Cit., p. 8.

8 comments:

  1. Terima kasih ulasannya e Kraeng. Bagus buat tdk lupa akar leluluhur.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Sama2 e ite, semoga kita bisa merawat jiwa Manggarai sebagai org2 yang memiliki karakter (keutamaan Adak). Salam ke Bogor.

      Delete
  2. Terimkasih Pa Dosen��. Dari bacaan ini, kami sebagai generasi sekarang bisa mengetahui nilai luhur budaya Manggarai (Nuca Lale) tercinta ����

    ReplyDelete
  3. Terima kasih banyak untuk artikel sejarah tersebut diatas pak, dari ulasan diatas saya dapat mengetahui sejarah dan asal usul kita Manggarai. Sangat bermamfaat bagi kami generasi muda saat ini dan dapat kami teruskan ke generasi selanjutnya ataupun kepada orang-orang yang belum mengetahui sejarah dan asal usul orang manggarai.
    (ESILIA SUSE)

    ReplyDelete
  4. Terimakasi untuk artikel ini pak,dari artikel diatas saya dapat mengetahui berbagai macam sejarah dan asal-usul keturunan orang manggarai.artikel ini sangat bermanfaat bagi kami Generasi Muda.(Listariana Setia)

    ReplyDelete
  5. Terimakasi untuk artikel ini pak,dari artikel diatas saya dapat mengetahui berbagai macam sejarah dan asal-usul keturunan orang manggarai.artikel ini sangat bermanfaat bagi kami Generasi Muda.(Listariana Setia)

    ReplyDelete
  6. Terimah kasih artikalnya pak,karena mebaca artikel tersebut,saya mengetahui berbagai macam sejarah dan asal-usul tentang keturunan orang manggarai.Dan kami generasi muda saat ini kami dapat diteruskan kegenerasi selanjutnya🖒🖒

    ReplyDelete
  7. Terimah kasih artikalnya pak,karena mebaca artikel tersebut,saya mengetahui berbagai macam sejarah dan asal-usul tentang keturunan orang manggarai.Dan kami generasi muda saat ini kami dapat diteruskan kegenerasi selanjutnya🖒🖒

    ReplyDelete