Kampung Tenda Tahun 1920 (Foto: Tropenmuseum-Netherland, 1920)
Kanisius
Teobaldus Deki
Star Pengajar STIE
Karya
Menulis Buku
Tradisi Lisan Orang Manggarai (Jakarta: Parrhesia Institute, 2011)
Status Quaestonis: Sumber Sejarah Manggarai
Terdapat dua sumber yang bisa ditelusuri
untuk menemukan sejarah Manggarai yang otentik, yakni sumber lisan dan sumber
tertulis berdasarkan kajian-kajian para peneliti yang coba merekonstruksikan
kembali sejarah Manggarai yang ternyata memiliki pluralitas dalam usul-asal
keturunannya. Sumber lisan tentu memiliki keterbatasan karena sering terkait
dengan mitologi yang sudah bercampur dengan pelbagai unsur sastra, khususnya
dengan maksud didaktis.
Dari sisi mitologi ada banyak kisah yang
tersebar luas. Namun umumnya menurut orang Manggarai diakui secara mitologis,
dunia ini pada mulanya kosong dan tidak memiliki apa-apa sehingga disebut tana
lino. Tana berarti tanah atau bumi sedangkan lino berarti
kosong. Tana lino berarti bumi yang kosong [empty earth].
Kehidupan, menurut Orang Manggarai berasal dari perkawinan Ame / Ema Eta
[Ayah di atas atau langit] dan Ine / Ende Wa [harafiah: Ibu di bawah
atau bumi] sebagaimana nyata dalam pelbagai mitologi.[1]
Selain itu ada sumber-sumber tertulis yang
cukup membantu, khususnya arsip-arsip kerajaan Manggarai, Bima dan Belanda
seperti yang ditelusuri oleh W.PH. Coolhaas[2], Verheijen dan Dami N. Toda. Sumber
tertulis itu juga memiliki keterbatasan karena tidak semua unsur penting dari
sejarah Orang Manggarai telah termuat dalam kajian-kajian itu.[3]
Untuk mengatasi keterbatasan ini, menurut
hemat saya kedua sumber ini perlu disatukan demi saling melengkapi satu sama
lain. Itulah sebabnya mengapa studi banding antara sumber-sumber lisan dan
sumber-sumber tertulis merupakan keharusan. Pembahasan yang akurat tentang
sejarah suatu tempat dan budaya kerap kali terkait erat dengan sumber-sumber
yang bisa dijadikan rujukan, khususnya sumber tertulis. Berhadapan dengan
pembahasan tentang Orang Manggarai, penggunaan sumber-sumber tertulis
dimungkinkan oleh penelitian yang dilakukan beberapa pendahulu yang menaruh
minat terhadap Manggarai.[4]
Terdapat begitu banyak usul-asal nama
Manggarai dari perspektif historis. Berbagai usaha mengkaji etiologi nama
tempat maupun penelusuran historis berdasarkan peristiwa yang terjadi pada saat
itu telah dibuat. Sekurang-kurangnya ada tiga tokoh yang coba membuat penelusuran
nama Manggarai dalam sejarah modern.
Usaha pertama dibuat oleh Van Bekkum
sebagaimana dikutip oleh Jilis Verheijen,[5] seorang misionaris dan pakar budaya yang
banyak membuat penelitian tentang Manggarai dan kebudayaannya, khususnya
tentang Wujud Tertinggi, bahasa, flora dan fauna Manggarai. Menurut Van Bekkum
yang mengutip pernyataan orang Bima, “Manggarai” adalah gabungan dari kata-kata
mangga yang berarti sauh, dan rai yang berarti lari, berpautan
dengan satu peristiwa terdahulu. Selanjutnya, Verheijen mengacu pada Van Bekkum
yang mengadopsi kisah lisan di Cibal tentang kisah tokoh yang bernama Mangga-Maci[cing”.
Konon putra sulung Nunisa itu diutus Bima menaklukkan Manggarai bersama tiga
saudaranya yang bernama Nanga-Lere, Tulus-Kuru dan Jena-ili-Woha. Mereka
memberi nama Manggarai kepada Nuca Lale.[6]
Orang kedua yang coba membuat telaahan
tentang hal yang sama adalah Doroteus Hemo.[7] Menurut Hemo, konon pada waktu perahu Mangga-Maci
bersaudara itu tengah membongkar sauh dan mendarat, tiba-tiba pasukan Cibal
menyerang, memotong sauh hingga perahu-perahu itu hanyut. Pasukan Bimapun
terperanjat dan berteriak, Mangga-rai [sauh berlari]. Sejak peristiwa
itulah tanah Manggarai mendapat namanya hingga sekarang ini.
Orang ketiga, Dami N. Toda juga melakukan
studi yang sama.[8] Menurut Toda asal-usul nama Manggarai
dari Freijss, maupun kisah Wilhelmus van Bekkum yang kemudian diiukuti oleh
Verheijen maupun Hemo tetap saja berisi kisah kekeliruan yang telah berdampak
politis tatkala dihubungkan dengan istilah ata raja dengan semiotik
souverinitas raja Bima atas Manggarai dan diakui oleh pemerintah kolonial
Belanda. Menurut Toda, kata Manggarai sebenarnya berasal dari sebutan Manga
dan Raja. Kata Manggarai manga berarti “ada” tetapi kata “raja”
sama sekali tidak bersinonim dengan kata “raja” dalam bahasa Melayu-Indonesia.
Dalam bahasa Manggarai, kata Raja berarti: sebab musabab, masalah,
biasa, manusiawi, nyata [sebagai lawan kata: yang bersifat seberang sana,
asing].[9]
Lebih lanjut Toda membuat perluasan arti
dari manga raja. Pasangan kata manga raja berarti: “ada
[memiliki] sebab-musabab” hanyalah sebuah frase yang bila dihidupkan akan
menjadi kalimat harus memperoleh proses morfologis, misalnya: manga rajan:
ada sebab musabab alasan, manga rajag:
ada sebab musabab alasanku. Ata raja dalam bahasa Manggarai tidak
dimaksudkan dengan terjemahan “Ada raja” seperti yang dibuat oleh Freijss,
melainkan berarti: ada orang, manusia biasa yang memiliki raga. Kata ini
berlawanan dengan sebutan ata pele sina yang berarti: orang [manusia]
dari dunia seberang, manusia roh, mahkluk halus.[10] Jika istilah ini yang dipakai dalam
pemahaman tentang usul asal kata Manggarai maka pengakuan akan souverinitas
Bima dan Belanda atas Manggarai merupakan sebuah pencaplokan atas suatu bangsa
tertentu. Sebab, Manggarai sebagai suku bangsa tertentu memiliki identitas,
sistem pemerintahan, budaya dan semua unsur yang mencirikan mereka sebagai suku
bangsa yang berdaulat. Kata “Manggarai” lebih merupakan pengakuan
sekaligus pemakluman bahwa “kami ada” dan karena itu memiliki otonomi
atas diri dan kehidupan kami sendiri.
Peristiwa pada abad ke-18 tidak memiliki
kecocokan historis dengan peristiwa kedatangan Manggamaci. Kedatangan
formal ekspedisi Bima baru terjadi sesudah tahun 1761-an, tahun tiba pertama
kali misi 27 perahu Bima menuju pelabuhan Adak Todo [Kerajaan Todo] di pantai
selatan Manggarai, yang bernama Nanga Ramut pada 6 November 1716 melayani
permintaan bantuan Todo ke Bima.[11]
Meskipun ada ketidaksamaan pemahaman dalam
mengartikan kata “Manggarai”, sebenarnya Manggarai sebelum abad ke-18 disebut
dengan nama Nuca Lale. Nuca berarti pulau dan Lale adalah nama
pohon kerbang [artocarpus elastica] yang memiliki warna
kekuning-kuningan. Menurut pengakuan para petani, pohon Lale merupakan
lambang kesuburan.
Dalam karya Piet Petu, lale itu adalah nepa yakni ular besar berwarna merah kekuning-kuningan [python
reticulates], dengan demikian, Nuca Lale berarti: Pulau Ular.[12] Sebutan Nusa Nipa
ini adalah nama umum yang ditemukan Piet Petu dari Orang Wonda di Lio Timur
untuk menyebut pulau Flores.[13] Karena itu hampir tidak ada hubungan
historisnya dengan nama Manggarai, kecuali relasi makna tafsiran.
Ditinjau dari akar budaya Manggarai,
nama [orang, tempat] memang tidak harus mempunyai arti.[14] Hal itu sangat jelas pada usulan
rancangan nama yang berjumlah lima yang diajukan pada saat pemberian nama
seorang anak. Tetapi nama yang diajukan biasanya tidak asing dalam komposisi
rasa bunyi bahasa Manggarai, bahkan sering berasal dari nama turunan ataupun
variasi bunyi yang mirip dengan nama bapa, moyang, tokoh terkenal ataupun nama
gelar dari lingkungan keluarga besar. Di tengah kerancuan ini, Orang Manggarai
tetap yakin bahwa nama Manggarai bukanlah hasil pemberian orang luar, melainkan
memiliki keaslian yang menyatakan bahwa “ada orang” [manga-raja],
penduduk asli yang mendiami wilayah ini. Sejarah membuktikan bahwa terbanyak
penduduk yang hingga kini berada di daerah Manggarai merupakan pendatang yang
bermigrasi dari berbagai wilayah.
Penelitian Dr. Verhoeven memberikan
petunjuk tentang adanya kehidupan zaman purba di daerah Manggarai. Tempat hidup
manusia purba antara lain ditemukan di Labuan Bajo, sedangkan alat-alat batu
yang umumnya berbentuk mikrolit [flake and blade] ditemukan di Golo
Bekkum, Liang Momer dan Liang Panas. Pada tahun 1951 tim yang sama membuat
penggalian di beberapa situs antara lain Liang Momer dan Liang Panas. Pada dua
tempat itu ditemukan tulang belulang manusia purba yang kemudian ditetapkan
sebagai manusia Protonegrito.[16]
Penelitian tentang keberadaan manusia
purba di Manggarai juga masih dilanjutkan hingga tahun 2004. Pada tanggal 7
November 2004 Wahyu Jadmiko dan tim yang dipimpin Dr. Raden Panji Soejono dari Pusat Penelitian Arkeologi Nasional
menemukan fosil berupa kerangka manusia yang diidentifikasi sebagai Homo
floresiensis [manusia dari Flores] di Liang Bua. Sejak tahun 50-an Liang
Bua dijadikan tempat penelitian oleh Dr. Verhoeven, ahli bahasa Yunani dan
Latin yang menjadi misionaris di Manggarai. Penggalian pertama kali dilakukan
bulan Juli 1965. Saat itu ditemukan tujuh kerangka manusia modern [Homo
sapiens]. Juga ditemukan periuk, beliung persegi dan beberapa benda lain.
Setelah sempat vakum, R.P. Soejono mengambil alih penelitian pada tahun
1978-1989 dengan membuka 10 kotak gali dan menemukan kerangka seperti yang
ditemukan tahun 1950.[17]
Pada masa sekarang bekas perkampungan atau
tempat tinggal manusia purba serupa oleh para ahli prehistori disebut abris
sous roches [tempat-tempat perlindungan di bawah karang]. Tempat-tempat ini
merupakan gua-gua atau karang-karang dengan himpunan tanah pada dasarnya, yang
mengandung bekas-bekas alat-alat batu, tulang dan kerang dari zaman lampau.
Tempat semacam ini banyak ditemukan di Irian dan Flores Barat.[18]
Jika ternyata penelitian-penelitian yang
dibuat itu benar, bahwa sejak beribu-ribu tahun silam di Manggarai sudah
terdapat penduduk asli, bagaimana hal itu dikaitkan dengan sejarah keberadaan
setiap suku di Manggarai yang cenderung menyatakan bahwa mereka adalah
pendatang? Apakah manusia purba yang ditemukan di Liang Bua pada waktu tertentu
punah dan kemudian terjadi missing link [mata rantai yang terputus]
seperti nasib Homo erectus di Pulau Jawa? Mengapa mereka bisa punah?
R.P. Soerjono mengatakan bahwa masih banyak rahasia[19] manusia kerdil dari Flores ini yang belum
terjawab.[20] Pertanyaan-pertanyaan ini menyajikan
kenyataan bahwa di Manggarai ada penduduk asli yang sudah mendiami wilayah itu.
Marybeth Erb menjelaskan bahwa orang Manggarai berasal dari Vietnam dan
Thailand berdasarkan penelitiannya di Warloka.[21] Perdagangan yang dilakukan pada masa
lampau membawa serta akibat pertemuan dengan penduduk asli dan adanya keputusan
untuk menetap.
Selain itu, hingga saat ini kajian tentang
historisitas Orang Manggarai masih berlanjut. Meskipun demikian, studi-studi
kritis yang menelusuri sumber-sumber sejarah berusaha meluruskan sejarah yang
disorientasikan. Ada satu kesalahan dalam pelajaran sejarah yang menyatakan
seakan-akan orang-orang Manggarai cuma berasal dari satu suku dan satu nenek
moyang.[22] Penelitian-penelitian ilmiah atas temuan
fosil serta kontak yang tetap dengan pihak luar melalui perdagangan menunjukkan
dengan tegas bahwa orang-orang Manggarai berasal dari suku dan keturunan yang
berbeda. Dami N. Toda dalam hasil studinya menyebutkan keturunan-keturunan itu
yakni asal keturunan Sumba, Mandosawu, Pong Welak, emigran Sulawesi Selatan dan
Bima, keturunan Melayu-Malaka, Melayu-Minangkabau, dan Tanah Dena.[23]
Keturunan-keturunan yang beranekaragam ini
kemudian tersebar di seluruh Manggarai. Keturunan Wangsa Kuleng [Mandusawu]
mengasalkan nenek moyang mereka dari Turki, dan dari kepandaian yang mereka
miliki, jelas bahwa mereka bukan berasal dari kebudayaan batu melainkan
keturunan manusia yang sudah mengenal kepandaian menyepuh logam. Maka amat
mungkin orang-orang Turki ini adalah pedagang-pedagang yang terdampar dan
menetap di Manggarai pada abad ke-16. Wangsa Kuleng inilah yang mengasalkan Adak[24] Cibal dan Adak Lamba Leda dan
keturunannya tersebar di Riwu, Sita, Ruteng, Ngkaer, Desu, Kolang-Torok.
Keturunan Sumba membentuk Adak Bajo
yang berpusat di Tangge dan membawahi sejumlah wilayah selatan barat daya dan
barat gelarang-gelarang adak dan beberapa kedaluan seperti: Dalu Kolang,
Lo’ok, Wontong, Munting Welak, Matawae dan Ramut. Menurut Dami N. Toda,
keturunan Sumba di kedaluan Matawae masih dapat mengingat 20 lapis keturunanya.
Selain keturunan Sumba dan Turki, ada pula
migran asal Sulawesi Selatan dan Bima yang menetap di Manggarai, baik di bagian
Barat maupun di pantai utara dan sedikit di selatan. Di duga kuat, migrasi ini
terjadi pada abad ke-16 tatkala Kerajaan Luwu’ dan Goa berjaya dan memperluas
kerajaannya.[25] Pada masa itu gelombang migrasi terjadi
selain karena keinginan sukarela, juga karena adanya tekanan politik: para
lawan politik raja Goa pertama yang Islam, Sultan Alauddin tak tahan di bawah
paksaan lalu menjadi pelarian politik ke pulau-pulau lain, termasuk ke
Manggarai. Tetapi gelombang-gelombang migrasi besar-besaran berupa pelarian
politik terjadi setelah Perjanjian Bungaya 18 Nopember 1667 antara
Belanda sebagai pemenang dan Kerajaan Goa-Tallo [Sultan Hasanudin] sebagai
pihak yang kalah. Sultan Goa Tallo sempat menempatkan perwakilannya di Reok dan
Pota[26]
Sedangkan keturunan Bima kebanyakan
bermukim di Reo[k] setelah secara politis Bima membawahi sejumlah kedaluan di
pantai utara Manggarai: Pacar, Berit, Rembong, Rego, Nggalak, Cibal, Lambaleda,
Congkar, Biting dan Pasat serta 14 kedaluan lainnya di bagian Barat dengan
pusat perwakilannya di Labuan Bajo.
Pendatang Melayu Minangkabau mendapat
tempat tersendiri dalam sejarah Manggarai, karena selain tersebar luas di
wilayah Manggarai, mereka juga kemudian menduduki posisi-posisi kepemimpinan di
wilayah ini sejak zaman sebelum kolonialisme bangsa Belanda hingga periode
1980-an. Kelompok yang lazim diakui sebagai keturunan langsung dari
Minangkabau, adalah keturunan Todo-Pongkor yang sekarang telah menyebar ke
berbagai tempat di Manggarai.
Dari uraian yang menyelisik usul-asal ini
dapat disimpulkan bahwa orang Manggarai tidak berasal dari satu keturunan saja.
Mereka datang dari Sumba, Melayu-Malaka, Melayu-Minangkabau, Sulawesi Selatan,
Bima dan bahkan dari Turki dengan daerah pemukiman serta persebaran utamanya
yang berbeda-beda pula. Dewasa ini, dengan adanya mobilitas sosial yang tinggi
dan pembauran lewat perkawinan, suku-suku dengan usul-asal yang berbeda ini
mulau tercampur baur membentuk identitas baru yang lebih “manggarai”.[27]
[1] Bernard Raho, “Asal-Usul Kehidupan
Menurut Orang Manggarai” dalam majalah: La’at Natas Edisi 3 Thn. II,
Juni 2003, p. 3. Dalam tulisan ini Bernard Raho menampilkan sebuah mitologi
tentang asal-usul manusia pertama dan interpretasi atasnya.
[2] Bdk. W. PH. Coolhaas, Menjenguk
Masyarakat Manggarai Flores Barat, terjemahan Mikhael Agus [Ruteng, 1979].
[3] Ada
sekian banyak orang yang pernah menulis tentang Manggarai. Verheijen menulis
beberapa nama yang karangannya dipublikasikan sebelum tahun 1950, antara lain:
J.P. Freijs seorang pedagang dan pendeta, J. Meerburg, H.M.M. Mennes kontrolir Belanda yang tinggal di Bima,
Letnan H.B Stapel sebagai pemimpin militer Belanda, Pater Piet Heerkens, Pater
A. Burger adalah misionaris dan Dr. W. Ph. Coolhaas. Saya akan menyinggung
karya mereka sejauh dikutip oleh Verheijen dan Dami N. Toda.
[4] Tanpa
menafihkan penulis yang lain, saya menaruh perhatian yang besar untuk karya
Wilhelmus van Bekkum sebagaimana dikutip Jilis A. Verheijen dan karya Verheijen
sendiri serta Dami N. Toda dalam bagian ini. Karangan-karangan lain akan
dirujuk bila berkaitan dengan pembahasan.
[5] Jilis A.
Verheijen, Manggarai Dan Wujud Tertinggi [Jakarta: LIPI, RUL, 1990], p.
23.
[6] Dami N.
Toda, Manggarai Mencari Pencerahan Historiografi [Ende: Nusa Indah,
1999], pp. 68-69.
[7] Ibid.
[8] Ibid.
[9] Bdk.
Jillis A. Verheijen, Kamus Manggarai-Indonesia I, [Ende: Nusa Indah,
1967], pp. 19-20, 523.
[10] Dami N.
Toda, Loc. Cit.
[11] Ibid.
[12] Piet
Petu, Nusa Nipa [Ende: Nusa Indah, 1969], p. 45.
[13] Piet
Petu, “Pengalaman Penelitian” dalam: Menggali Tradisi Lisan [Maumere:
Pustaka Misionalia Candraditya, Seri II/1, 1983], p. 89.
[14] Dami N.
Toda, Op. Cit., p.71.
[15] Robert
Mirsel dan Eman Embu [eds.], Gugat Darah Petani Kopi Manggarai [Maumere:
Ledalero, 2004], pp. 6-8.
[16] Doroteus
Hemo, et. al., Pola Penguasaan Pemilikan Tanah dan Penggunaan Tanah Secara
Tradisional Daerah Nusa Tenggara Timur [Kupang: Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional Proyek Inventarisasi dan
Pembinaan Nilai-Nilai Budaya Daerah, 19990], p. 25.
[17] Raju
Febrian, “Ebu Gogo dari Liang Bua” dalam: TEMPO, 14 November 2004, pp.
46-49.
[18] Bdk. J.
Roeder, “Felsbildforschung auf West New Guinea” dalam: Paideuma I, pp.
75-88, dan “The Rockpaintings of the Mac-Cluer Bay” dalam: Anthropos IV,
pp. 456-463, sebagaimana dikutip oleh Koentjaraningrat dalam: Manusia dan
Kebudayaan di Indonesia [Jakarta: Djambatan, 2002], p. 5.
[19] Para
ahli dunia paleoantroplogi menanggapi penemuan fosil baru di Liang Bua. Salah
satunya adalah Prof. Dr. Teuku Jacob
menuding klaim peneliti Australia: Marwood dan Peter Brown dari University of
England, Australia,bersama tim dari Indonesia,
yang membenarkan penemuan fosil species manusia baru yang ditafsir
meninggal 18 ribu tahun lalu sebagai “terorisme ilmiah”. Menurut Teuku Jacob,
fosil yang ditemukan hanyalah manusia modern [homo sapiens] yang hidup
1. 300 – 1. 800 tahun lalu namun berbadan kecil [micro-cephali].
Sayangnya Jacob dalam tuduhannya tidak menjelaskan lebih lanjut mengapa
terdapat perbedaan yang ekstrim antara jenis homo florensis dengan homo
sapiens. Itulah sebabnya penelitian ilmiah terus berlangsung dan tak akan
mencapai titik final. Bdk. “Homo Kontroversialinsis” dalam: Majalah TEMPO,
2 Januari 2005, p. 142.
[20] Raju
Febrian, Op. Cit., p. 49. Bdk. Harian Umum Media Rakyat, “Manusia
Flores dalam National Geographic Indonesia Edisi Pertama”, Sabtu, 2 April 2005.
[21] Marybeth
Erb, The Manggaraians A Guide to Traditional Lifestyles [Kualalumpur:
Times Edition, 1997], p. 67. Erb
menunjukkan keterkaitan antara relasi perdagangan penduduk asli Manggarai
dengan kerajaan Majapahit pada saat Hayam Wuruk memerintah. Warloka merupakan
sebutan yang diplesetkan dari “Wuruk Loka” yang berarti tempat Hayam Wuruk [Wuruk’s
place].
[22]
Kenyataan ini dapat dibaca dalam buku sejarah yang ditulis oleh Doroteus Hemo, Sejarah
Daerah Manggarai, Propinsi Nusa Tenggara Timur [Ruteng 1987/1988] yang
dijadikan buku pegangan di tingkat Sekolah Dasar membenarkan klaim bahwa nenek
moyang orang Manggarai berasal dari Minangkabau hal mana dibantah oleh Damian
Toda yang berpendapat bahwa orang-orang Manggarai berasal dari suku dan
ketuturan yang beranekaragam. Bdk. Dami N. Toda, Manggarai Mencari Pencerahan
Historiografi, Op. Cit, pp. 218-294.
[23] Dami N.
Toda, Op. Cit., p. 246.
[24] Adak dapat dipahami sebagai “Kerajaan” yang
membawahi “Kedaluan” yakni pemerintahan provinsial otonom. Robert Mirsel dan
Eman Embu [eds.], Op. Cit, p. 6. Menurut Verheijen dalam kamusnya, Adak
memiliki pengertian yang sangat luas mencakupi hal-hal sebagai berikut: adat
istiadat, budi bahasa, tegur-sapa, upacara, pesta resmi yang penting dan bisa
berarti baik. Jilis Verheijen, Op. Cit., p. 2.
[25]
Jejak-jejak keberadaan orang Sulawesi Selatan masih ada hingga saat ini di
Manggarai. Di kecamatan Borong, misalnya, ada kampung bernama
Kampung Bugis. Sedangkan di pantai utara ada Kampung Selayar di daerah Buntal
kecamatan Sambi Rampas. Baik Bugis maupun Selayar adalah nama-anama tempat di
Sulawesi Selatan.
[26] Dami N.
Toda, Manggarai Mencari Pencerahan Historiografi, Op. Cit., p. 323.
[27] Robert
Mirsel dan Eman Embu [eds.], Op. Cit., p. 8.
Terima kasih ulasannya e Kraeng. Bagus buat tdk lupa akar leluluhur.
ReplyDeleteSama2 e ite, semoga kita bisa merawat jiwa Manggarai sebagai org2 yang memiliki karakter (keutamaan Adak). Salam ke Bogor.
DeleteTerimkasih Pa Dosen��. Dari bacaan ini, kami sebagai generasi sekarang bisa mengetahui nilai luhur budaya Manggarai (Nuca Lale) tercinta ����
ReplyDeleteTerima kasih banyak untuk artikel sejarah tersebut diatas pak, dari ulasan diatas saya dapat mengetahui sejarah dan asal usul kita Manggarai. Sangat bermamfaat bagi kami generasi muda saat ini dan dapat kami teruskan ke generasi selanjutnya ataupun kepada orang-orang yang belum mengetahui sejarah dan asal usul orang manggarai.
ReplyDelete(ESILIA SUSE)
Terimakasi untuk artikel ini pak,dari artikel diatas saya dapat mengetahui berbagai macam sejarah dan asal-usul keturunan orang manggarai.artikel ini sangat bermanfaat bagi kami Generasi Muda.(Listariana Setia)
ReplyDeleteTerimakasi untuk artikel ini pak,dari artikel diatas saya dapat mengetahui berbagai macam sejarah dan asal-usul keturunan orang manggarai.artikel ini sangat bermanfaat bagi kami Generasi Muda.(Listariana Setia)
ReplyDeleteTerimah kasih artikalnya pak,karena mebaca artikel tersebut,saya mengetahui berbagai macam sejarah dan asal-usul tentang keturunan orang manggarai.Dan kami generasi muda saat ini kami dapat diteruskan kegenerasi selanjutnya🖒🖒
ReplyDeleteTerimah kasih artikalnya pak,karena mebaca artikel tersebut,saya mengetahui berbagai macam sejarah dan asal-usul tentang keturunan orang manggarai.Dan kami generasi muda saat ini kami dapat diteruskan kegenerasi selanjutnya🖒🖒
ReplyDelete