Kanisius Teobaldus Deki
Penulis buku 100 Tahun Paroki
Katedral, Dosen STIE Karya
Persawahan Lembor (foto:Media Sky-Grapher)
Setelah orang Manggarai telah memilih menjadi umat Katolik (Ata Serani), pertanyaan Mgr. van Bekkum
saat itu ialah bagaimana membangun ketercukupan di segala aspek kehidupan orang
Manggarai termasuk ekonomi? Pertanyaan ini menuntunnya untuk melakukan sesuatu
untuk tanah pertanian Manggarai yang subur. Masih sangat banyak lahan yang tak
tertanami. Padang ilalang, semak belukar, terhampar di mana-mana di seluruh
penjuru Manggarai. Niat Mgr. van Bekkum ialah agar seluruh tanah ini menjadi
lumbung pangan bagi dirinya sendiri dan jika berkelimpahan juga bagi orang lain
(bdk. Kej 41:1-57). Untuk itu dibutuhkan satu wadah yang memungkinkan hal itu
menjadi kenyataan.
Pada tahun 1955 Uskup van Bekkum memulai organisasi Ikatan Petani
Pancasila (IPP), organisasi yang bersandar pada nilai-nilai Pancasila.[1]
Pada 12 September 1960 organisasi ini dibaharui sesuai standar manajemen
organisasi modern. Duduk sebagai ketua adalah bapa Aloysius Hagul dan dibantu
oleh bapa Simon Ndahur. Dalam sebuah dokumen disebutkan, mereka melangsungkan
sidang perdana organisasi pada 4 Januari 1961 yang dihadiri oleh Penasihat
Susila IPP Nasional P. J. Dykstra, SJ. Manggarai dalam dokumen itu disebut
sebagai Wilayah 24 Vikariat Ruteng.[2]
Pada tahun 1963 IPP dipimpin oleh P. Yan Swinkels.[3]
IPP membangun dam untuk
pengairan sawah di Manggarai (foto: Herman Djegaut)
IPP berhasil membuat Mukadimah untuk organisasi ini yang secara singkat
berisi tentang azas, nama, tempat kedudukan, sifat, usaha, keanggotaan, hak-hak
anggota, kewajiban anggota, disiplin organisasi, berhenti jadi anggota,
penasehat, susunan organisasi, dewan pimpinan, kekuasaan dan kewajiban,
kongres, rapat anggota, persidangan, hak suara, keuangan, perubahan, pembubaran
dan hal-hal lain.
Khusus untuk penasehat IPP secara langsung ditangani oleh wali gereja di
mana IPP itu berada. Perluasan dari IPP adalah Ikatan Tenaga Paramedis
Pancasila (ITPP), Ikatan Buruh Pancasila, Ikatan Nelayan Pancasila. Sampai 7
Juli 1964 anggota ITPP berjumlah 26 orang untuk wilayah Ruteng yakni: J.
Sakera, M. Magung, H. Djedoma, C. Djarut, H. Haman, J. No, R. Luluk, M. Djami,
M. Ribis, Fr. Lehot, St. Mbaling, M. Kaunang, P. Pasang, B. Burung, B. Djehadu,
D. Amput, J. Hancu, E. Tjangkung, E. Tiwung, V. Nimur, R. Setia, N. Nobas, B.
Saiman, J. Ileng dan J. Madur.[4]
ITPP diketuai oleh H. Djedoma, Wakil Ketua Mathias Magung, Panitera Johanes No,
Bendahara Carolus Djarut.
Catatan-catatan tentang aktivitas IPP sangatlah besar dan mengagumkan.
Bahkan di tahun-tahun itu, mereka sudah membicarakan tentang keadilan bagi para
buruh yang dipekerjakan. Salah satu kasus yang menjadi perhatian bersama adalah
pemecatan 28 buruh pertukangan dan perkebunan Mataloko tahun 1962. Masalah itu
bukan saja masalah lokal di Mataloko tetapi menjadi masalah bersama.[5]
IPP merupakan perpanjangan tangan dari Ikatan Buruh Pancasila yang
berkedudukan di Semarang dan terdaftar dalam Kementerian Perburuhan di Jakarta
No.151 pada 6 Oktober 1956. Dokumen-dokumen yang terkumpul pada file dokumen
IPP Paroki Katedral menunjukkan Ketua Umum IBP adalah P. Gitomartodjo dan
Sekretaris A. Iskandar.[6]
Sebagai anggota IPP, bapa Herman Djegaut adalah petugas keuskupan yang
membidangi organisasi IPP. Sedangkan ketuanya adalah bapa Aloysius Hagul. IPP
Manggarai menjalankan tugas untuk membantu para petani dengan mendatangkan
peralatan-peralatan pertanian, bibit tanaman yang baru seperti cengkeh dan
fanili. IPP juga membangun Sekolah Usaha Tani (SUT) Mano sehingga sekolah itu
menjadi pusat pengembangan cengkeh. Selain itu, ikut secara aktif menggerakkan
masyarakat dalam membangun inovasi bidang pertanian.
Uskup van Bekkum melalui IPP mengirim beberapa tokoh masyarakat untuk
mengadakan studi banding di Jawa Tengah dengan maksud mengetahui aktivitas
pertanian dari IPP di Keuskupan Agung Semarang. “Bapa C. Ngambut, Raja
Manggarai, dalu Watu Nggong, Yoseph Pandong, guru agama Mbata, guru Thomas,
dalu Rego, guru agama dari Cibal, dalu Kempo, Adol Pesala. Pada saat kami
kembali, terjadilah peristiwa G.30.S.PKI”, kisah bapa Herman.[7]
Pemerintah Manggarai sangat berterima
kasih atas bantuan Gereja dalam pembangunan fisik. Tampak kunjungan Bupati
Frans Sales Lega ke lokasi proyek IPP (foto: Herman Djegaut).
IPP melalui dana yang bersumber pada Misserior di Jerman ikut membangun
infrastruktur pertanian seperti bendungan Wae Ces ke Resem, Watu Alo juga ke
Golo Bilas, membangun bendungan di Wae Sapo-Kakor Lembor, membangun talang air
di persawahan Pija-Manus Mukun. “Kami dibantu oleh dua pemuda Jerman. Pembuatan
peta irigasi persawahan Lembor dan Buntal dibantu oleh Ir. Morel dari Belgia”,
jelas bapa Herman Djegaut.
IPP di Manggarai kemudian hidup hingga tahun 1973. Selanjutnya tidak
kedengaran lagi tentang IPP di Manggarai. “Salah satu sebabnya adalah karena
Uskup van Bekkum, sebagai penggerak utama IPP, sudah mengundurkan diri dari
jabatannya. Otomatis IPP lumpuh total. Sementara saya sendiri sudah menjadi
anggota DPRD Provinsi dan tinggal di Kupang sampai tahun 1977. Kemudian IPP ini
diambil alih oleh Delsos Keuskupan”, kisah bapa Herman Djegaut.
Dalam dokumen tentang perlunya organisasi besar dalam Gereja Nusa
Tenggara, dilihat secara serius bahwa tugas ini haruslah dalam wadah yang lebih
besar dan terintegrasi demi pembangunan sosial ekonomi masyarakat seluruhnya.
Untuk itulah, dalam semua diosis dibentuk Delsos (Delegatus Socialis) yang kemudian bernaung di bawah LPPS Nita.[8]
Demikianlah, IPP dan segala aktivitasnya melebur ke Delsos, yang kemudian
berubah nama menjadi Komisi PSE (Pengembangan Sosial Ekonomi).
Persawahan Lembor (foto:padarnews.com)
Jika sekarang kita menuju Labuan Bajo, sampai di Rangga kita didekatkan
dengan hamparan nan luas petak-petak sawah. Tanah yang dulu tak
berpenghuni, kini penduduk dari wilayah pegunungan memenuhi dataran Lembor. Lembor
menjadi lumbung padi bukan saja untuk Manggarai tetapi juga untuk daerah-daerah
lain. Terima kasih Mgr. van Bekkum!***
[1] Bettray, op.cit., hal. 1263-1264.
[2] Dokumen Surat 22 September 1960.
[3] Rm. Simon Nama Pr, “Kerasulan Sosial
Ekonomi: bagian Integral Pewartaan Injil” dalam: Martin Chen dan Charles
Suwendi Pr, Iman, Budaya dan Pergumulan
Sosial (Jakarta: Obor, 2012), hal. 272.
[4] Dokumen Surat 7 Juli 1964.
[5] Dokumen Surat 17 Januari 1962, 14 Desember 1962, 23 Januari 1962.
[6] Dokumen Surat Keputusan 13 April 1958.
[7] Dokumen Wawancara, Rabu, 4 Desember 2019, di rumah kediaman bapa Herman,
Jl. Ulumbu-Ruteng.
[8] Bdk. Seri Buku Pastoralia, Karya Sosial Gereja Katolik di NTT
(Maumere: LPPS Nita, 1982), hal. 1-9.