Sunday, 29 March 2020

IPP Memulai Persawahan Lembor



Kanisius Teobaldus Deki
Penulis buku 100 Tahun Paroki Katedral, Dosen STIE Karya


Persawahan Lembor (foto:Media Sky-Grapher)
Setelah orang Manggarai telah memilih menjadi umat Katolik (Ata Serani), pertanyaan Mgr. van Bekkum saat itu ialah bagaimana membangun ketercukupan di segala aspek kehidupan orang Manggarai termasuk ekonomi? Pertanyaan ini menuntunnya untuk melakukan sesuatu untuk tanah pertanian Manggarai yang subur. Masih sangat banyak lahan yang tak tertanami. Padang ilalang, semak belukar, terhampar di mana-mana di seluruh penjuru Manggarai. Niat Mgr. van Bekkum ialah agar seluruh tanah ini menjadi lumbung pangan bagi dirinya sendiri dan jika berkelimpahan juga bagi orang lain (bdk. Kej 41:1-57). Untuk itu dibutuhkan satu wadah yang memungkinkan hal itu menjadi kenyataan.
Pada tahun 1955 Uskup van Bekkum memulai organisasi Ikatan Petani Pancasila (IPP), organisasi yang bersandar pada nilai-nilai Pancasila.[1] Pada 12 September 1960 organisasi ini dibaharui sesuai standar manajemen organisasi modern. Duduk sebagai ketua adalah bapa Aloysius Hagul dan dibantu oleh bapa Simon Ndahur. Dalam sebuah dokumen disebutkan, mereka melangsungkan sidang perdana organisasi pada 4 Januari 1961 yang dihadiri oleh Penasihat Susila IPP Nasional P. J. Dykstra, SJ. Manggarai dalam dokumen itu disebut sebagai Wilayah 24 Vikariat Ruteng.[2] Pada tahun 1963 IPP dipimpin oleh P. Yan Swinkels.[3]


IPP membangun dam untuk pengairan sawah di Manggarai (foto: Herman Djegaut)
IPP berhasil membuat Mukadimah untuk organisasi ini yang secara singkat berisi tentang azas, nama, tempat kedudukan, sifat, usaha, keanggotaan, hak-hak anggota, kewajiban anggota, disiplin organisasi, berhenti jadi anggota, penasehat, susunan organisasi, dewan pimpinan, kekuasaan dan kewajiban, kongres, rapat anggota, persidangan, hak suara, keuangan, perubahan, pembubaran dan hal-hal lain.
Khusus untuk penasehat IPP secara langsung ditangani oleh wali gereja di mana IPP itu berada. Perluasan dari IPP adalah Ikatan Tenaga Paramedis Pancasila (ITPP), Ikatan Buruh Pancasila, Ikatan Nelayan Pancasila. Sampai 7 Juli 1964 anggota ITPP berjumlah 26 orang untuk wilayah Ruteng yakni: J. Sakera, M. Magung, H. Djedoma, C. Djarut, H. Haman, J. No, R. Luluk, M. Djami, M. Ribis, Fr. Lehot, St. Mbaling, M. Kaunang, P. Pasang, B. Burung, B. Djehadu, D. Amput, J. Hancu, E. Tjangkung, E. Tiwung, V. Nimur, R. Setia, N. Nobas, B. Saiman, J. Ileng dan J. Madur.[4] ITPP diketuai oleh H. Djedoma, Wakil Ketua Mathias Magung, Panitera Johanes No, Bendahara Carolus Djarut.
Catatan-catatan tentang aktivitas IPP sangatlah besar dan mengagumkan. Bahkan di tahun-tahun itu, mereka sudah membicarakan tentang keadilan bagi para buruh yang dipekerjakan. Salah satu kasus yang menjadi perhatian bersama adalah pemecatan 28 buruh pertukangan dan perkebunan Mataloko tahun 1962. Masalah itu bukan saja masalah lokal di Mataloko tetapi menjadi masalah bersama.[5]
IPP merupakan perpanjangan tangan dari Ikatan Buruh Pancasila yang berkedudukan di Semarang dan terdaftar dalam Kementerian Perburuhan di Jakarta No.151 pada 6 Oktober 1956. Dokumen-dokumen yang terkumpul pada file dokumen IPP Paroki Katedral menunjukkan Ketua Umum IBP adalah P. Gitomartodjo dan Sekretaris A. Iskandar.[6]
Sebagai anggota IPP, bapa Herman Djegaut adalah petugas keuskupan yang membidangi organisasi IPP. Sedangkan ketuanya adalah bapa Aloysius Hagul. IPP Manggarai menjalankan tugas untuk membantu para petani dengan mendatangkan peralatan-peralatan pertanian, bibit tanaman yang baru seperti cengkeh dan fanili. IPP juga membangun Sekolah Usaha Tani (SUT) Mano sehingga sekolah itu menjadi pusat pengembangan cengkeh. Selain itu, ikut secara aktif menggerakkan masyarakat dalam membangun inovasi bidang pertanian.
Uskup van Bekkum melalui IPP mengirim beberapa tokoh masyarakat untuk mengadakan studi banding di Jawa Tengah dengan maksud mengetahui aktivitas pertanian dari IPP di Keuskupan Agung Semarang. “Bapa C. Ngambut, Raja Manggarai, dalu Watu Nggong, Yoseph Pandong, guru agama Mbata, guru Thomas, dalu Rego, guru agama dari Cibal, dalu Kempo, Adol Pesala. Pada saat kami kembali, terjadilah peristiwa G.30.S.PKI”, kisah bapa Herman.[7]


Pemerintah Manggarai sangat berterima kasih atas bantuan Gereja dalam pembangunan fisik. Tampak kunjungan Bupati Frans Sales Lega ke lokasi proyek IPP (foto: Herman Djegaut).
IPP melalui dana yang bersumber pada Misserior di Jerman ikut membangun infrastruktur pertanian seperti bendungan Wae Ces ke Resem, Watu Alo juga ke Golo Bilas, membangun bendungan di Wae Sapo-Kakor Lembor, membangun talang air di persawahan Pija-Manus Mukun. “Kami dibantu oleh dua pemuda Jerman. Pembuatan peta irigasi persawahan Lembor dan Buntal dibantu oleh Ir. Morel dari Belgia”, jelas bapa Herman Djegaut.
IPP di Manggarai kemudian hidup hingga tahun 1973. Selanjutnya tidak kedengaran lagi tentang IPP di Manggarai. “Salah satu sebabnya adalah karena Uskup van Bekkum, sebagai penggerak utama IPP, sudah mengundurkan diri dari jabatannya. Otomatis IPP lumpuh total. Sementara saya sendiri sudah menjadi anggota DPRD Provinsi dan tinggal di Kupang sampai tahun 1977. Kemudian IPP ini diambil alih oleh Delsos Keuskupan”, kisah bapa Herman Djegaut.
Dalam dokumen tentang perlunya organisasi besar dalam Gereja Nusa Tenggara, dilihat secara serius bahwa tugas ini haruslah dalam wadah yang lebih besar dan terintegrasi demi pembangunan sosial ekonomi masyarakat seluruhnya. Untuk itulah, dalam semua diosis dibentuk Delsos (Delegatus Socialis) yang kemudian bernaung di bawah LPPS Nita.[8] Demikianlah, IPP dan segala aktivitasnya melebur ke Delsos, yang kemudian berubah nama menjadi Komisi PSE (Pengembangan Sosial Ekonomi).
Persawahan Lembor (foto:padarnews.com)
Jika sekarang kita menuju Labuan Bajo, sampai di Rangga kita didekatkan dengan hamparan nan luas  petak-petak sawah. Tanah yang dulu tak berpenghuni, kini penduduk dari wilayah pegunungan memenuhi dataran Lembor. Lembor menjadi lumbung padi bukan saja untuk Manggarai tetapi juga untuk daerah-daerah lain. Terima kasih Mgr. van Bekkum!***




[1] Bettray, op.cit., hal. 1263-1264.
[2] Dokumen Surat 22 September 1960.
[3] Rm. Simon Nama Pr, “Kerasulan Sosial Ekonomi: bagian Integral Pewartaan Injil” dalam: Martin Chen dan Charles Suwendi Pr, Iman, Budaya dan Pergumulan Sosial (Jakarta: Obor, 2012), hal. 272.
[4] Dokumen Surat 7 Juli 1964.
[5] Dokumen Surat 17 Januari 1962, 14 Desember 1962, 23 Januari 1962.
[6] Dokumen Surat Keputusan 13 April 1958.
[7] Dokumen Wawancara, Rabu, 4 Desember 2019, di rumah kediaman bapa Herman, Jl. Ulumbu-Ruteng.
[8] Bdk. Seri Buku Pastoralia, Karya Sosial Gereja Katolik di NTT (Maumere: LPPS Nita, 1982), hal. 1-9.

Wednesday, 25 March 2020

Pemuda Katolik Paroki Katedral



Kanisius Teobaldus Deki
Penulis Buku 100 Tahun Paroki Katedral, Dosen STIE Karya
Organisasi Pemuda Katolik didirikan di Yogyakarta 15 November 1945. Organisasi ini memiliki Santo Pelindung Santo Yohanes Berchmans. Semboyan Pemuda Katolik “Pro Ecclesia et Patria” dan ikrarnya terangkum dalam Tri Prasetia Pemuda Katolik.[1] Organisasi ini menyelenggarakan pembinaan iman, ceramah dan diskusi, latihan hidup berorganisasi dan kepemimpinan, latihan ketrampilan, penghayat Pancasila dan UUD 1945, melakukan aksi sosial dan meningkatkan keterlibatan kaum muda Katolik Indonesia dalam doalog karya dan kerja sama positif dengan kelompok pemuda lainnya dan dengan pemerintah.[2]
Pemuda Katolik Komisariat Manggarai menjadi salah satu wadah untuk mengembangkan diri. Tidak banyak dokumen yang membicarakan Pemuda Katolik sedetail WKRI. Namun di sana sini disebutkan tentang kegiatan organisasi ini. Salah satunya membahas persiapan Pertemuan Nasional Pemuda Katolik Indonesia di Ende pada bulan Juli 1963. Sebagai ketua Pemuda Katolik, A. Djanggat mengedarkan surat ke semua paroki untuk meminta sumbangan dalam rangka pertemuan nasional itu. Surat ditandatangani oleh A. Djanggat dan M. Paus.
Moderator untuk Pemuda Katolik ditunjuk P. Kale Bale oleh Uskup van Bekkum. Sedangkan dari sisi nama, ada organisasi serupa yang diberi nama Muda Katolik Indonesia (MKI) yang ketua umumnya C. Gandut dan Ketua Seksi Kesejahteraan P.A. Mose pada tahun 1957.[3]
Selain Pemuda Katolik, ada juga organisasi lain di Ruteng di zaman itu, misalnya Kesatuan Awam Flotim. Organisasi awam ini diketuai oleh W. Fernandes Sinagula, wakilnya A. Riberu dan sekretarisnya F.C. Riberu. Ketua Seksi urusan teknik J. Sakera, ketua seksi awam Fr. Jo Tak Sui. Ketua seksi urusan soasial P.J. Fernandes. Ada 5 orang yang menjadi pembantu: A.F.D. Sinagula, Ign. Fernandes, P.C. Fernandes, L.B. Fernandes dan Cr. Fernandes. Mereka ini juga meminta P. Hila untuk menjadi pembimbing rohani.[4]
Sampai tahun 1992, organisasi Pemuda Katolik masih memiliki aktivitas. Bahkan mereka membuat Muscab 6-9 September 1992. Laporan itu menyebutkan pimpinan duduk sebagai ketua Ir. Ferdinandus Pantas dan sekretaris Drs. Hironimius Syamlan.[5] Dalam Muscab dibahas juga soal laporan pertanggungjawaban DPC Periode 1988-1992, ceramah-ceramah, pleno-pleno, pemilihan pengurus baru dan diakhiri dengan pelantikan pengurus baru yang terpilih.[6]
Pada 11 September 1994 diadakan pelantikan pengurus baru Pemuda Katolik. Hadir saat itu Drs. David Wani dan moderator P. Anton Riberu, SVD, MA, masing-masing merupakan Ketua Komisariat Daerah NTT dan Pastor Moderator NTT. Sedangkan untuk Pemuda Katolik Paroki Katedral, moderator adalah Rm. Max Nambu Pr.
Di Manggarai organisasi ini bertumbuh dan berkembang dengan baik hingga tahun 1997. Pada Muscab IV 26 Desember 1997, panitia menyampaikan laporan untuk kepengurusan periode 1997-2000. Muscab berjalan dengan aman dan lancar dengan seluruh kegiatannya dihadiri 150 orang.[7] Di antaranya: Drs. Anton Kanja, Frans Atom, SH, Drs. Kristo Mahal, Lasarus Santur, BA, Drs. Laurensius Loni, Ir. Vinsensius Marung, Ir. Danatur Datur, Ir. Frans Ati Paty, Anton Pandong, Drs. Sipri Nejang, Donatus Djematu, BA, Drs. Hironimus Nawang, Galus Ganggus BA, Yoseph Magus BA, Theodorus Hagur, Marsel Gambang, SE, Frans Teja, Silvanus Hadir, Matheus Ngabut, SH, Anton Terisno, Simon Hambur BE, Ir. Ignas Tora, Marsel Bala Parera, Edi Jarut, Thomas Ngalong, BE, Drs. Paulus Tamur, Kanis Jani, Raymundus Nuruk, Ardi Rodriques, Markus Turut, Sipri Hamu, Kanis Men, BA, Drs. Herman Kahar, Ir. John Sentis, Drs. Kornelis Damon, Wihelmina Ganar, Lusia Delima, Flaviana Solides, Dra. Cory Aben, Maria Iman, Carolina Wato, Adel Liko, Vero Mawar, Miseri Cordia Magus, Kon G. Mitang, Drs. Fancy Jahang.
Dalam perjalanan waktu, rupanya organisasi ini kemudian tidak berjalan lagi. “Kebanyakan anggotanya sudah berusia tua, masa masih disebut sebagai pemuda. Regenerasi mungkin tidak berjalan baik hingga awal millennium baru tahun 2000”, jelas mantan Sekretaris Pemuda Katolik, Frans Atom SH.[8] Demikian juga ketika Drs. Hyro Nawang, salah satu tokoh Pemuda Katolik, dikonfirmasi, memiliki jawaban yang serupa. Namun ada banyak hal positif dalam organisasi itu. Untuk penumbuhan pribadi dalam organisasi, Pemuda Katolik merupakan rumah yang menantang sekaligus memberi tempat bagi yang memiliki tujuan mulia melayani masyarakat dalam pelbagai profesi.[9]
Sejak ada organisasi Muda-Mudi Katolik (Mudika), kehadiran Pemuda Katolik seakan tenggelam begitu saja ke dalam dunia sunyi. Tak pernah kedengaran lagi. Entah apa yang terjadi, tiba-tiba tahun 2019 muncullah Surat Pendaftaran Calon Anggota Pemuda Katolik. Surat ini mengajak agar kaum muda kembali menjadikan Pemuda Katolik sebagai medium perjuangan dalam berbagai bidang kehidupan termasuk politik.[10] Gerakan baru Pemuda Katolik dimotori oleh Alex Apri Kulas, Saverianus Almon Gaut dan Yuvensius Tukung dari Komisariat NTT.
Di paruh terakhir tahun 2019, muncul juga organisasi sejenis yang bernama VOX Point.  Vox Point menyedot perhatian tatkala disosialisasikan di level keuskupan Ruteng. Banyak orang menjadi anggotanya. Apalagi sejak kepulangan Romo Dr. Max Regus Pr, sosiolog tamatan dari Universitas Tilburg Belanda. Ketua Umum Dewan Pimpinan Nasional (DPN) Vox Point Indonesia Yohanes Handojo Budhisedjati mengatakan bahwa Vox Point Indonesia hanya fokus pada tiga hal yakni sebagai lembaga kajian, lembaga kader dan lembaga edukasi.[11]
Sebagai Lembaga Kader, Vox Point Indonesia wajib menyelenggarakan pendidikan politik untuk menjadikan orang muda Katolik yang tertarik di dunia politik. Sebagai Lembaga Edukasi, Vox Point Indonesia bertugas untuk memberikan pemahaman kepada Umat Katolik tentang keharusan kita untuk terlibat langsung dalam dunia politik. Politik bukan sesuatu yang kotor tetapi seuatu yang luhur dan bahkan lewat dunia politik dapat memperjuangkan kesejahteraan bersama. Kemudian, sebagai Lembaga Kajian, Vox Point Indonesia dapat memberikan ulasan, hasil kajian tentang peristiwa politik yang terjadi.[12]
Pelantikan Kepengurusan Vox Point Indonesia Manggarai, Manggarai Timur dan Manggarai Barat dilangsungkan di ruang rapat Keuskupan Ruteng, Sabtu 23 Februari 2019. Acara pelantikan pengurus Vox Point Manggarai Raya ini dikemas dalam rekoleksi kebangsaan bertajuk “Arah Pergerakan Awam Katolik Dalam Konstelasi Politik Nasional”. Lebih dari 200 awam mengikuti rekoleksi politik ini.[13]
Hadir dalam acara ini, Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Katolik Kementerian Agama RI, Eusabeus Binsasi, Administrator Apostolik Keuskupan Ruteng Mgr Silvester San, Wakil Bupati Manggarai Viktor Madur, Sekjen Partai Nasdem sekaligus Dewan Pakar Vox Poin Indonesia Johny G Plate, Direktur Indopolling sekaligus Direktur Direktorat Survey dan Analisis Data DPN Vox Point Indonesia Wempy Hadir dan Wasekjen Vox Point Indonesia Ervanus Ridwan Tou.[14]
Ketua Pengurus Harian Vox Point Wilayah Manggarai dijabat Erlan Yusran, SH, MH dan Seketertaris Jenderal Dr. Mantovanny Tapung dan Moderator Rm. Dr. Max Regus Pr.[15] Sejak dilantik Vox Point Manggarai membuat kegiatan diskusi “Menggagas Masa Depan Indonesia yang Lebih Maju” pada 5 Agustus 2019 di Aula Assumpta Katedral.



[1] Anggaran Dasar Pemuda Katolik-Kongres Pemuda Katolik X, 1 Desember 1990.
[2] Ibid., pasal. 5.
[3] Dokumen Surat 9 Januari 1957.
[4] Dokumen Surat 11 April 1964.
[5] Dokumen Muscab Pemuda Katolik 1992.
[6] Dokumen Muscab ditandatangani oleh Ketua: Ir. Ferdinandus Pantas dan Sekretaris: Drs. Hironimus Syamlan.
[7] Dokumen Laporan Ketua Panitia Muscab IV 24-26 September 1997.
[8] Wawancara, Selasa, 19 November 2019.
[9] Wawancara, Selasa, 19 November 2019.
[10] Dokumen Surat 4 Agustus 2019.
[11] Hal tersebut dikemukakan dalam sambutannya saat melantik jajaran Dewan Pimpinan Daerah (DPD) Vox Point Indonesia Nusa Tenggara Timur (NTT) di aula Biara Susteran RVM, Kupang, NTT, Minggu (28/1/2018): https://www.beritasatu.com/nasional/476131/vox-point-indonesia-fokus-pada-kajian-kader-dan-edukasi. Diunduh: 9 Desember 2019.
[12]Sambutan Ketua Umum DPN Vox Point Indonesia Yohanes Handojo Budhisedjati yang dibacakan Wasekjen BPN Vox Point Indonesia Ervanus Ridwan Tou menerangkan tiga fungsi Vox Point Indonesia: http://www.floressmart.com/2019/02/24/pengurus-wilayah-manggarai-raya-dilantik-ini-tiga-fungsi-vox-point-indonesia/. Diunduh: 9 Desember 2019.
[13] Ibid.
[14] Ibid.
[15] Ibid.

Tuesday, 17 March 2020

Perempuan Membangun Gereja


Catatan 100 Tahun Paroki Katedral Ruteng
Kanisius Teobaldus Deki

Dosen STIE Karya, Penulis Buku 100 Tahun Paroki Katedral

Perempuan Flores-Foto Kurt Piscatty
Catatan: 
Artikel ini butuh pengembangan. Silahkan memberikan masukkan.
Sudah sejak lama para perempuan ikut secara langsung dalam membangun gereja di Manggarai. Mereka adalah para ibu dari guru-guru yang mendampingi suami ke mana saja suami mereka ditugaskan. Perkembangan terus berlanjut. Terbukalah mata mereka untuk ikut serta secara langsung. Pada 16 Desember 1968 di Ruteng terbentuklah organisasi Wanita Katolik. Mereka membangun kursus menjahit, memasak dan menanam sayur-sayuran.[1] Dari organisasi ini diketahui bahwa pada tahun 1967 ada 20 orang mengikuti kursus-kursus yang diselenggarakan dalam dua gelombang. Tahun 1968 ada 10 orang untuk satu gelombang.
Untuk melaksanakan program ini ada ibu G. Maun sebagai ketua dan anggota-anggotanya Ibu R. Mecco, ibu M. Agus, ibu J. Pandang. Mereka juga membuka kegiatan yang sama untuk wilayah Timung, Karot, Lawir dan Pagal. Mereka bahkan menyebut dirinya sebagai Sekolah Rumah Tangga (SRT).[2]
Dukungan Gereja Katolik melalui Uskup Ruteng, Mgr. van Bekkum sangatlah besar. Juga melalui pendampingan P. Niko Bot dan P. Hila Gudi. Mereka secara mandiri mengumpulkan uang dan mencari sponsor agar kursus ini berjalan dengan baik.[3] Sebagai misal, untuk rencana anggaran biaya tahun 1969 sebanyak Rp. 64.000 dimintai bantuan pada Mgr. van Bekkum.[4]
Para wanita tidak hanya bergabung pada SRT. Ada juga Wanita Katolik Republik Indonesia (WKRI) Cabang Ruteng yang dimulai tahun 1949 sebagai “Organisasi Wanita Fatima”[5] dan diperkokoh tahun 1956. Sebagai WKRI[6] Dalam sebuah laporan tentang Anggota Aktif WKRI tahun 1965 diketahui kepengurusan sebagai berikut:
Ketua : Ny. Ald. Kumaat Wowor; Wakil Ketua: Theresia Djemali; Panitera I: Ny. M. Agus; Panitera II: Ny. N. Pandang; Bendahara I: Ny. Theresia Mece; Bendahara II: Ny. Fien Papu; Pembantu: Ny. Paulina Berahi; Anggota: Ny. Agatha Djegaut, Thr. Diul, M. Hagul, Martha Ambre, Marthina Soe, El. Anggal, Agatha Dare, Sus. Djedoma, M. Kumpul, Lucia Kaunang, Monica Apul, Barbara Heng dan Joh Kabut.
Dalam surat ini tugas WKRI adalah menolong pemerintah dan ABRI dalam operasi pemulihan keamanan dengan moral dan material. WKRI Cabang Ruteng “Fatima” berdikari, menjunjung tinggi kedisiplinan dan memeroleh penasihat rohani yang ditunjuk oleh Wali Gereja.[7] Pada sebuah pertemuan yang dilangsungkan di Ruangan SKKP 17 Juli 1965, Uskup Ruteng Mgr. van Bekkum menyambut baik segala bentuk niat dan upaya kaum perempuan untuk memberdayakan dirinya. Bapak Uskup meminta kepada WKRI untuk membangun jaringan dengan para suster atau biara yang memiliki perhatian terhadap perjuangan perempuan, memajukan pendidikan lanjutan untuk kaum perempuan, dan menghubungi organisasi perempuan Katolik di Jerman melalui bantuan P. Markus Malar yang baru pulang dari cutinya.[8]
Dalam kaitan dengan peristiwa Gerakan 30 September (G.30.S) WKRI menyampaikan surat pernyataan terbuka yang isinya 1) Berbelasungkawa dengan gugurnya para jenderal di Lubang Buaya. 2) Mengutuk habis-habisan PKI dan ormas-ormasnya yang tak bertuhan dan berperikemanusiaan. 3) Mengutuk habis-habisan Gerwani yang kejam ngeri dan bengis, yang telah menganiaya para jenderal di Lubang Buaya. 4) Membantu pemerintah secara moril dan material untuk menumpas segala bentuk gerakan PKI dan Gerwani.[9]
WKRI memiliki beberapa Cabang, antara lain: Ruteng, Reok, Lamba/Todo, Denge, Borong, Kuwus Ranggu. Jumlah anggotanya: Ruteng berjumlah 52 orang, Reok 40 orang, Lamba/Todo 170 orang, Denge 30 orang, Borong 65 orang dan Ranggu Kuwus 60 orang. Anggota WKRI bahkan mengumpulkan uang sebanyak Rp. 40.000 untuk disumbangkan kepada Pemerintah dan ABRI guna menumpas G.30.S.[10]
Melalui surat No. 6/WKRI/I/1967 disampaikan kepada seluruh gereja di Manggarai tentang kehadiran organisasi Wanita Katolik Republik Indonesia (WKRI). Surat ini merupakan kelanjutan dari Pengurus Komda NTT untuk membentuk Badan Pengurus Sub Komda sebagai bagian tak terpisahkan dari Partai Katolik. Adapun susunan kepengurusan WKRI Sub Komda Manggarai diketuai oleh Theresia Sedia, Wakil Ketua Nyonya M. Agus dan Panitera I D. Nabit.[11]
Pendampingan rohani terhadap organisasi ini diberikan oleh seorang pastor Moderator, P. Hila Gudi.[12] Mereka selalu menyampaikan laporan kegiatan dan permohonan pendampingan. Hal ini sungguh disadari sebagai bagian tak terpisahkan dari perutusan mereka sebagai rasul.[13]
Lama tak terdengar tentang WKRI di paroki Katedral. Melalui Surat Keputusan 11/DPD NTT/XII/2017 diperoleh susunan organisasi WKRI periode 2017-2021. Itu berarti WKRI sudah hidup kembali sebagai sebuah organisasi perempuan yang pernah memberikan sumbangan berharga bagi Gereja. Terdapat 88 orang sebagai anggota. Duduk sebagai penasehat rohani Rm. Benediktus Bensi Pr, penasehat organisasi perempuan, Ibu Filomena Jemimit Madur. Pengurus intinya, ketua, Yosephine Christianie, wakil ketua, Petronela Nori Woda, Sekretaris I, Yacinta A. Jelina, Sekretaris II, Kristina Nindi Watang, Bendahara I, Jeane Gampu, Bendahara II, Lusi Hildegardis Sukacita.[14]
Ada 5 bidang dalam WKRI, bidang Organisasi (Ketua: Dorothea Bohas, 13 anggota), bidang Pendidikan (Ketua: Fransiska Bangkur, 12 anggota), bidang Kesejahteraan (Ketua: Inocensia Hesty Ngajang, 19 anggota), bidang Hubungan Masyarakat (Ketua: Christina B. Tarigan, 17 anggota), bidang Usaha Dana (Ketua; Tuty Djarut, 21 anggota).
Melalui Surat, Ketua Presidium WKRI NTT menyampaikan ucapan terima kasih kepada pemegang mandate Ibu Tuty Djarut dan ibu Yustin Romas yang telah menjalankan tugas dengan baik. Terima kasih juga diarahkan kepada pastor paroki Rm. Benediktus Bensi Pr, Ketua DPP bapa Erlan Yusran, SH, MH, CPL yang telah memfasilitasi pembentukkan WKRI Paroki Katedral Cabang Santa Maria Assumpta-Santo Yoseph Katedral Ruteng.[15]
Ada begitu banyak kegiatan yang dilakukan oleh WKRI paroki Katedral. Secara internal, kegiatan pembekalan untuk peningkatan mutu pelayanan dilakukan. WKRI terlibat dalam kegiatan Vox Populi Institue (Vox Point) dengan tema: Menggagas Masa Depan Indonesia yang lebih maju”[16], Dialog Temu Caleg[17], mengikuti Kogres XX tahun 2018[18] serta pertemuan rutin.
Selain itu, pelayanan eksternal organisasi ini dilakukan untuk membangun pendampingan terhadap kaum muda, misalnya melakukan sosialisasi pentingnya toleransi dalam kehidupan beragama bagi siswa lintas agama di kecamatan Langke Rembong.[19] Kegiatan ini terlaksana karena secara nasional ada fakta ancaman terhadap intoleransi yang luar biasa. Selain itu kegiatan ini adalah pilot project setelah ketua Bidang Humas WKRI Katedral, Christina Br Tarigan, mendapat kesempatan untuk mengikuti Short Term Awards Leadership for Senior Multi-faith Woman Leaders 2019 di Melborne Australia.[20]
Kegiatan di bidang kesehatan dilakukan melalui pendampingan anak yang mengalami stunting (gagal tumbuh). Di paroki Katedral terdapat 21 anak yang mengalami stunting pada tahun 2019. Terdata juga jumlah ibu yang sedang hamil dengan nama kepala keluarganya.[21] Untuk membantu anak-anak, ibu hamil dan keluarga yang mengalami stunting, WKRI mengadakan kegiatan anjangsana ke Wilayah VI dan VII dan memberikan berbagai bantuan.[22]
Dalam bidang pelayanan rohani, WKRI paroki Katedral juga ikut menanggung koor dalam perayaan ekaristi sesuai penjadwalan dari paroki.



[1] Dokumen Hasil Sidang Wanita Katolik Pusat di Ruteng 16 Desember 1968.
[2] Dokumen 12 Juni 1967, Mei 1967, 1 September 1967, 1 November 1967, 1 September 1968.
[3] Dokumen Pertanggungjawaban Keuangan SRT Wanita Katolik tahun 1967.
[4] Dokumen Rapat Wanita Katolik Pusat Ruteng, 20 Desember 1968.
[5] Dokumen Surat Pernyataan 21 Juni 1964. Bdk. Surat 14 April 1954 dari Organisasi Wanita “Fatima”.
[6] Dokumen Surat 18 Desember 1965.
[7] Dokumen Surat 1965.
[8] Dokumen Keputusan WKRI 17 Juli 1965.
[9] Dokumen Surat tertanggal 15 Desember 1965.
[10] Dokumen Surat 28 Desember 1965.
[11] Dokumen Surat 18 April 1967.
[12] Dokumen Surat 26 Juni 1964 dan 27 Juni 1964.
[13] Dokumen Surat 27 Desember 1965.
[14] Dokumen Surat Keputusan, 10 Desember 2017.
[15] Dokumen Surat, 14 Februari 2018.
[16] Dokumen Surat Undangan, 5 Agustus 2019.
[17] Dokumen Surat Undangan, 14 Februari 2019.
[18] Dokumen Surat, 20 Oktober 2018.
[19] Dokumen Surat, 15 Juni 2019.
[20] Dokumen Surat dari Australia Awards, 18 April 2019.
[21] Dokumen Data WKRI bersumber pada Puskesmas Kota tahun 2019.
[22] Dokumen Surat, 18 Februari 2019.