Kanisius Teobaldus Deki
BELAJAR ADAT MANGGARAI (Bagian Kedua)
Kemarin saya memposting
ke pembaca media ini tentang TOROK. Ada banyak tanggapan yang bernas
memukau dari para pembaca, pencinta budaya Manggarai sekaligus pemilik
budaya ini. Hari ini saya membagi temuan tentang Bahan Kurban dalam
ritus adat (yang tentu juga bisa kita diskusikan).
BAHAN KURBAN RITUAL ADAT ORANG MANGGARAI.
1) Ada tiga jenis bahan kurban. Pertama, kurban persiapan. Kurban
persiapan ini disiapkan sebagai pintu masuk upacara inti. Ada beberapa
jenis bahan/materi kurban seperti: Cepa (Kala, raci, tahang, mbako),
Rongko, Tuak. Bahan-bahan ini dipakai untuk "benta", "siro" atau "wanta"
(mengajak, mengundang, memanggil) leluhur, naga beo, naga mbaru, entah
di kuburan (boa), compang (mesbah persembahan) atau di rumah di atas
loce/tange (tikar/bantal besar). Kedua, kurban utama. Kurban utama
berupa telur (ruha, pada acara kecil), ayam (manuk, dengan jenis
buluhnya), ela (babi dengan jenis buluhnya), mbe (dengan jenis
buluhnya), jarang (dengan jenis buluhnya) dan kaba (kerbau dengan jenis
bulunya). Ketiga, kurban akhir (helang) yang terdiri dari nasi, potongan
daging yang paling enak dan air (wae).
2) Membahas tentang ayam
ada jenis buluhnya: putih untuk mengutus seseorang (syukuran penti,
sekolah, jabatan, upacara pemulihan), berwarna tiga (manuk lalong
cepang) untuk kemeriahan, kemenangan (disebut: lalong rombeng), berwarna
hitam (duka, tekang tana waktu penguburan, ancem peti, penutupan peti,
dan putusnya hubungan dengan sesama pun dengan yang telah meninggal
dunia).
3) Kambing juga ada klasifikasinya. Mbe Kondo adalah
hewan kurban khusus untuk upacara pemulihan. Setara dengan itu, ela rae
dan kaba rae. Dalam ritus congko lokap, binatang "rae" (berwarna putih)
jadi kurban khusus.
4) Ada juga di kampung tertentu yang
menjadikan kuda berwarna cokelat sebagai kurban (jarang bolong) untuk
tujuan mencari keturunan (beka agu buar). Dalam "ruku" (adat kebiasaan)
tertentu untuk tujuan yang sama, muncul "bola" (janji) jika nanti
diberikan keturunan sebagai ungkapan syukur dipersembahkan kerbau putih
(bola kaba bakok).
5) Banyak kejadian bahwa setelah ada "bola"
seperti itu, ternyata dilupakan oleh yang sudah menjanjikannya.
Muncullah sakit penyakit dan berbagai situasi abnormal dalam keluarga
besar itu. Setelah sakit diurus dengan pelbagai cara, ternyata tidak
membuahkan hasil. Maka dicarilah "ata pecing" (dukun) yang menyatakana
bahwa itu adalah "nangki" (kutukan) yang disebabkan oleh karena janji
yang yang tak ditepati. "Itang" (penglihatan) itu menjadi alasan orang
membuat "wajo mora" (menemukan kembali) untuk menyembuhkan kembali,
menormalkan kembali seluruh dimensi kehidupan, khususnya dengan Mori agu
Ngara dan para leluhur (wura agu ceki).
6) Hewan kurban, apapun
itu, mesti sesuai dengan "ruku agu ceki" (adat kebiasaan). Misalnya
untuk kerbau ada dua istilah: "kaba adak" (kerbau yang dikurbankan) dan
"kaba toe ngaok" (kerbau yang disembelih sebagai bahan makanan saja
tanpa didoakan khusus). Upacara "congko lokap" dan "cemol lingko" wajib
hukumnya menggunakan kerbau sebagai bahan kurban. Sedangkan "kelas" atau
"paka di'a" disesuaikan dengan "ruku". Pemaksaan hewan kurban hanya
sebagai gagah-gagahan malah akan mendatangkan bala bagi keluarga dan
kampung itu.
7) Setelah dikurbankan, hewan dilihat hati (ati) dan
ususnya (urat). Bentuk hati dan usus itu menjadi pratanda apakah doa
diterima atau ditolak. Jika diterima maka ada "wali/naring urat di'a"
yakni pemberian sejumlah uang oleh anak wina untuk mengekspresikan
kegembiraan bahwa doa diterima. Jika ternyata "urat da'at" (pratanda
jelek) maka penutur torok akan menyampaikan hal itu kepada pemilik acara
untuk dicari apa penyebabnya. Lalu dibuat upcara penyilihan di lain
waktu.
8) Tentang direstu atau tidaknya acara, ini semata-mata
karena kemurahan dan kebaikan Mori agu Ngaran, wura agu ceki, naga
beo/golo/mbaru dan semua ata pa'ang be le yang selaras dengan kemurnian
batin dari pemilik acara dan ketulusan pengungkapan dari penutur torok.
Acara ritus diadakan karena intentio (bdk. tulisan saya bagian pertama)
dan hati yang bersih, bukan untuk seremoni belaka, apalagi sebagai
"meka-ka'eng" (asal buat seolah-olah sebuah drama).
9) Helang
(hang mame) dberikan kepada Mori agu Ngaran, Wura agu Ceki, Empo dan
termasuk "ised lako loreng" (teman seperjalanan leluhur kita yang hadir
dalam ritus itu di rumah itu). Saat upacara berlangsung dan saat
"helang" pintu rumah dibiarkan terbuka sehingga roh-roh leluhur itu bisa
masuk dan berdiam bersama.
10) Acara adat ditutup dengan makan
bersama. Sebagaimana leluhur sudah menyantap hewan kurban, kita yang
masih hidup juga makan bersama, dalam suasana persaudaraan dan
kekeluargaan. Ada kebiasaan sebagian "hang helang" diberi kepada anak
kecil supaya mereka dekat dengan leluhurnya.
No comments:
Post a Comment