Thursday 28 September 2017

BAHAN KURBAN RITUAL ADAT ORANG MANGGARAI (BELAJAR ADAT MANGGARAI-Bagian Kedua)



Kanisius Teobaldus Deki


BELAJAR ADAT MANGGARAI (Bagian Kedua)
Kemarin saya memposting ke pembaca media ini tentang TOROK. Ada banyak tanggapan yang bernas memukau dari para pembaca, pencinta budaya Manggarai sekaligus pemilik budaya ini. Hari ini saya membagi temuan tentang Bahan Kurban dalam ritus adat (yang tentu juga bisa kita diskusikan).

BAHAN KURBAN RITUAL ADAT ORANG MANGGARAI.

1) Ada tiga jenis bahan kurban. Pertama, kurban persiapan. Kurban persiapan ini disiapkan sebagai pintu masuk upacara inti. Ada beberapa jenis bahan/materi kurban seperti: Cepa (Kala, raci, tahang, mbako), Rongko, Tuak. Bahan-bahan ini dipakai untuk "benta", "siro" atau "wanta" (mengajak, mengundang, memanggil) leluhur, naga beo, naga mbaru, entah di kuburan (boa), compang (mesbah persembahan) atau di rumah di atas loce/tange (tikar/bantal besar). Kedua, kurban utama. Kurban utama berupa telur (ruha, pada acara kecil), ayam (manuk, dengan jenis buluhnya), ela (babi dengan jenis buluhnya), mbe (dengan jenis buluhnya), jarang (dengan jenis buluhnya) dan kaba (kerbau dengan jenis bulunya). Ketiga, kurban akhir (helang) yang terdiri dari nasi, potongan daging yang paling enak dan air (wae).

2) Membahas tentang ayam ada jenis buluhnya: putih untuk mengutus seseorang (syukuran penti, sekolah, jabatan, upacara pemulihan), berwarna tiga (manuk lalong cepang) untuk kemeriahan, kemenangan (disebut: lalong rombeng), berwarna hitam (duka, tekang tana waktu penguburan, ancem peti, penutupan peti, dan putusnya hubungan dengan sesama pun dengan yang telah meninggal dunia).

3) Kambing juga ada klasifikasinya. Mbe Kondo adalah hewan kurban khusus untuk upacara pemulihan. Setara dengan itu, ela rae dan kaba rae. Dalam ritus congko lokap, binatang "rae" (berwarna putih) jadi kurban khusus.

4) Ada juga di kampung tertentu yang menjadikan kuda berwarna cokelat sebagai kurban (jarang bolong) untuk tujuan mencari keturunan (beka agu buar). Dalam "ruku" (adat kebiasaan) tertentu untuk tujuan yang sama, muncul "bola" (janji) jika nanti diberikan keturunan sebagai ungkapan syukur dipersembahkan kerbau putih (bola kaba bakok).

5) Banyak kejadian bahwa setelah ada "bola" seperti itu, ternyata dilupakan oleh yang sudah menjanjikannya. Muncullah sakit penyakit dan berbagai situasi abnormal dalam keluarga besar itu. Setelah sakit diurus dengan pelbagai cara, ternyata tidak membuahkan hasil. Maka dicarilah "ata pecing" (dukun) yang menyatakana bahwa itu adalah "nangki" (kutukan) yang disebabkan oleh karena janji yang yang tak ditepati. "Itang" (penglihatan) itu menjadi alasan orang membuat "wajo mora" (menemukan kembali) untuk menyembuhkan kembali, menormalkan kembali seluruh dimensi kehidupan, khususnya dengan Mori agu Ngara dan para leluhur (wura agu ceki).

6) Hewan kurban, apapun itu, mesti sesuai dengan "ruku agu ceki" (adat kebiasaan). Misalnya untuk kerbau ada dua istilah: "kaba adak" (kerbau yang dikurbankan) dan "kaba toe ngaok" (kerbau yang disembelih sebagai bahan makanan saja tanpa didoakan khusus). Upacara "congko lokap" dan "cemol lingko" wajib hukumnya menggunakan kerbau sebagai bahan kurban. Sedangkan "kelas" atau "paka di'a" disesuaikan dengan "ruku". Pemaksaan hewan kurban hanya sebagai gagah-gagahan malah akan mendatangkan bala bagi keluarga dan kampung itu.

7) Setelah dikurbankan, hewan dilihat hati (ati) dan ususnya (urat). Bentuk hati dan usus itu menjadi pratanda apakah doa diterima atau ditolak. Jika diterima maka ada "wali/naring urat di'a" yakni pemberian sejumlah uang oleh anak wina untuk mengekspresikan kegembiraan bahwa doa diterima. Jika ternyata "urat da'at" (pratanda jelek) maka penutur torok akan menyampaikan hal itu kepada pemilik acara untuk dicari apa penyebabnya. Lalu dibuat upcara penyilihan di lain waktu.

8) Tentang direstu atau tidaknya acara, ini semata-mata karena kemurahan dan kebaikan Mori agu Ngaran, wura agu ceki, naga beo/golo/mbaru dan semua ata pa'ang be le yang selaras dengan kemurnian batin dari pemilik acara dan ketulusan pengungkapan dari penutur torok. Acara ritus diadakan karena intentio (bdk. tulisan saya bagian pertama) dan hati yang bersih, bukan untuk seremoni belaka, apalagi sebagai "meka-ka'eng" (asal buat seolah-olah sebuah drama).

9) Helang (hang mame) dberikan kepada Mori agu Ngaran, Wura agu Ceki, Empo dan termasuk "ised lako loreng" (teman seperjalanan leluhur kita yang hadir dalam ritus itu di rumah itu). Saat upacara berlangsung dan saat "helang" pintu rumah dibiarkan terbuka sehingga roh-roh leluhur itu bisa masuk dan berdiam bersama.

10) Acara adat ditutup dengan makan bersama. Sebagaimana leluhur sudah menyantap hewan kurban, kita yang masih hidup juga makan bersama, dalam suasana persaudaraan dan kekeluargaan. Ada kebiasaan sebagian "hang helang" diberi kepada anak kecil supaya mereka dekat dengan leluhurnya.

No comments:

Post a Comment