Tradisi Lisan Orang Manggarai: Sebuah Ikhtiar Kembali ke Jati Diri
Kanisius Teobald Deki
Komunitas Menulis-Sastra St. Paulus
Penggunaan tradisi lisan sebagai seni dalam ilmu-ilmu sosial menjadi hal biasa setelah terbitnya buku Jan Vansina: De la Tradition Orale: esai de methode historique [dalam bahasa Perancis 1961, dalam bahasa Inggris 1973]. Di sini Vansina menampilkan sarana-sarana sistematik untuk mengidentifikasi, mengumpulkan dan menafsirkan tradisi-tradisi lisan dalam rangka menemukan aspek-aspek masa lampau, terutama di tempat yang tidak memiliki dokumentasinya secara tertulis. Vansina mendefinisikan tradisi lisan sebagai “kesaksian verbal yang ditransmisikan dari satu generasi ke generasi lainnya atau ke generasi masa depan”.[1] Sebelum Vansina membuat uraian sistematis dengan menampilkan contoh-contoh dari hasil penelitiannya di Ruanda-Urundi dan Kuba di Kongo, Afrika, tradisi lisan sudah berkembang secara universal pada berbagai kebudayaan di seluruh dunia. Tradisi lisan merupakan cikal-bakal tradisi tulisan yang berkembang sangat kuat pada zaman modern [dan kontemporer] hingga saat ini.
Dalam banyak literatur, istilah tradisi lisan sering disepadankan dengan “folklor” [oral and customary tradition], seperti yang digunakan di Amerika Serikat oleh Jan Harold Brunvand. Tentang Folklor, Arche Taylor mendefinisikannya sebagai bahan-bahan yang diwariskan oleh tradisi, baik melalui kata-kata dari mulut atau oleh adat istiadat dari praktek. Pada tahun 1948, dengan tegas Taylor mengatakan: “Folklor adalah bahan [material] yang diwariskan oleh tradisi, baik melalui kata-kata yang keluar dari mulut, atau melalui adat kebiasaan maupun praktek”.[2]
Istilah tradisi berasal dari kata Latin traditio [dari tradere] yang berarti tradisi atau penyerahan [handing down]. Dan Francis Bacon, seorang Filsuf Ilmu Pengetahuan, menggunakan kata yang sama untuk mendefinisikan pernyataan atau pengiriman pengetahuan. Sedangkan menurut Lorens Bagus, kata “tradisi” [Inggris: tradition] memiliki perluasan makna dalam berbagai bidang. Dalam bidang sejarah, tradisi berarti adat istiadat, ritus-ritus, ajaran-ajaran sosial, pandangan-pandangan, nilai-nilai, aturan-aturan, perilaku-perilaku yang diwariskan dari generasi ke generasi. Ia merupakan unsur warisan sosio-kultural yang dilestarikan dalam masyarakat atau dalam kelompok sosial masyarakat dalam kurun waktu yang panjang. Tradisi bersifat progresif kalau dihubungkan dengan perkembangan kreatif kebudayaan tetapi tradisi bersifat reaksioner kalau ia berkaitan dengan sisa-sisa yang sudah usang dari unsur-unsur budaya masa lampau. Dalam ranah ilmu, tradisi berarti kontinuitas pengetahuan dan metode-metode penelitian. Sedangkan dalam dunia seni, tradisi berarti kesinambungan gaya dan keterampilan.[3]
Istilah “lisan” [oral] dapat diartikan sebagai kata-kata yang dituturkan, diucapkan.[4] Dengan demikian, kata “lisan” dalam kaitan dengan Tradisi Lisan [Oral Tradition] berarti tradisi yang ditransmisikan secara lisan[5] dalam berbagai bentuknya seperti ujaran rakyat [folk speech] yang diperinci lagi ke dalam bentuk dialek, julukan [naming], ungkapan-ungkapan dan kalimat tradisional [traditional pharases and sentences] yang dapat digolongkan dalam kelompok peribahasa [proverb and proverbial saying], sedangkan pertanyaan tradisional termasuk ke dalam teka-teki rakyat [folk riddles]. Selain itu ada sanjak rakyat [folk rhymes], syair rakyat [folk poetry], dan bermacam-macam cerita rakyat [folk narratives] seperti mite, legenda dan dongeng. Bentuk terakhir adalah nyanyian rakyat [folk song] dan balada rakyat [folk ballads] dengan musiknya.[6]
Di antara banyak bahasa dan dialek di Indonesia, hanya delapan yang memiliki tradisi tertulis. Pada zaman sekarang di beberapa wilayah tertentu di Indonesia keberaksaraan masih merupakan hal yang baru. Pemeliharaan dan penyampaian adat kebiasaan, sejarah, pandangan hidup, agama, kedudukan sosial dan bahasa sangat mengandalkan kata lisan. Teks kisahan dapat berbentuk macam-macam: nyanyian, syair, prosa, lirik atau syair bebas. Cerita-cerita tersebut mengajarkan para pendengarnya memecahkan masalah atau teki-teki, menyampaikan tradisi, menyokong jati diri kebudayaan, dongeng khayalan, dan tak kalah pentingnya, menghibur.[7]
Bagi penduduk di
Nusa Tenggara, keadaan keberanekaragaman memberikan sumbangan terhadap
kesusastraan pribumi yang hidup dan didasarkan pada susunan lisan. Pendongeng,
ahli silsilah, pencerita suku, dan penggumam upacara keagamaan sangat penting
bagi kelestarian tradisi setempat.[8] Tradisi setempat mulanya terbentuk oleh keprihatinan
kebudayaan dan upacara, kemudian berlangkah lebih jauh memasuki seluruh aspek
kehidupan.
Tradisi Lisan Orang Manggarai
Pada uraian dan analisa-analisa yang akan berkembang dalam tulisan ini, tanpa menampik hasil penelitian dari perspektif lain, tilikan saya lebih berorientasi pada tradisi lisan Orang Manggarai yang dieksplisitasi dalam berbagai bentuk sastranya.[9] Dalam pembagian yang umum, menurut isinya kesusastraan dibagi menjadi empat bagian yakni epik, lirik, didaktik dan dramatik. Sementara menurut bentuknya ada prosa, puisi dan prosa liris.[10] Epik adalah karangan yang bersifat obyektif. Artinya, pengarang melukiskan apa yang terjadi sesungguhnya seperti dalam kenyataan tanpa memasukan unsur emosi dan imajinasi penulisnya. Sebaliknya lirik adalah semua jenis karangan yang bersifat subyektif. Dalam karangan jenis ini pengarang secara intens melukiskan imajinasi dan ilham pribadinya.[11] Bahasa sastra selalu terkait dengan emosi [perasaan] dan pikiran, fantasi dan lukisan angan-angan, penghayatan batin dan lahir, peristiwa dan khayalan dengan bentuk bahasa yang istimewa.[12]
Secara khusus
dalam tulisan ini, saya akan memusatkan perhatian pada dua bentuk utama sastra
yang sudah menjadi lazim yakni Prosa naratif[13] yang terungkap dalam pelbagai kisah rakyat [tombo
nunduk, tombo turuk] dan Puisi lirik[14] yang dieskpresikan melalui peribahasa, tamsil-tamsil [go’et],
syair-syair doa [torok] dan syair-syair lagu-lagu rakyat [dere,
nenggo]. Sejarah lisan [Oral History] maupun tradisi lisan dalam
tradisi budaya Orang Manggarai memang merupakan bagian “keutamaan adak”
[disebut pecing adak: tahu adat, kenal hukum], sebuah perilaku budaya
yang harus dilakoni setiap warga generasi sebagai jati diri sejarah tanah air
dan keturunannya.[15]
Tombo Nunduk dapat dipahami sebagai aktivitas dalam meneruskan
sejarah keberadaan sebuah keturunan suku [klan yang disebut wa’u] yang
dikisahkan terus menerus secara lisan kepada setiap generasi keturunan itu.
Sedangkan Tombo Turuk dimengerti sebagai cerita-cerita yang memiliki
berbagai makna kehidupan: sosial, spiritual, ekonomis, humor, pendidikan nilai,
dll.[16] Kedua jenis prosa ini dikisahkan dalam bentuk lisan oleh
generasi tua kepada anak-anaknya umumnya demi alasan pedagogis dan penerusan
sejarah keberadaan diri dan masyarakat. Go’et-go’et adalah kata-kata
bijak yang diramu sebagai syair-syair bertuah. Bentuknya tidak selalu sama
tetapi bervariasi namun memiliki tujuan yang sama yakni untuk mendidik,
mengeritik dan juga menghibur. Torok adalah doa-doa yang biasa
didaraskan di berbagai tempat, misalnya di lodok [titik pusat dari
perkebunan komunal yang disebut lingko], di compang [batu-batu
yang disusun menyerupai altar persembahan], di Mbaru Gendang [disebut
juga Mbaru Tembong, rumah adat], dan tempat-tempat lain pada saat
upacara-upacara adat dilangsungkan. Syair-syair dere adalah barisan
kata-kata bermakna yang membentuk sebuah lagu. Syair-syair dere ini
memiliki fungsi yang sama seperti prosa-prosa: menyampaikan usul-asal,
mengisahkan kembali sebuah peristiwa, mengajukan sebuah pertanyaan, mengeritik
sistem sosial yang ada, menghibur, dsb.
Kembali Ke Jati Diri
Di tengah usaha
mencari jawaban atas persoalan pribadi maupun komunal masyarakat Manggarai,
sempat timbul sebuah kesangsian metodis [dubium methodicum] di dalam
diri saya yang berakhir pada pada pertanyaan: “Masih relevankah membuat analisa
atas tradisi lisan pada zaman di mana tradisi itu sudah banyak tertinggal bila
dibandingkan dengan tradisi tulisan dan audio-visual yang sulit diimbangi?”
Pertanyaan ini sungguh menggelitik untuk melihat kembali urgensitas sebuah
analisa yang bertitik pangkal pada tradisi lisan, khususnya bentuk sastra yang
dimiliki oleh Orang Manggarai.
Di Indonesia
pada masa sekarang, tradisi lisan harus bersaing dengan cetakan, radio,
televisi dan film. Sementara itu menjadi kenyataan yang umum, pendidikan massal
yang dilakukan dalam bahasa Indonesia, bahasa resmi negara, cenderung
menekankan yang dominan, kebudayaan “sastra” dengan mengorbankan yang “non
sastra”. Meneruskan pengetahuan yang terwujud dalam teks lisan merupakan
tantangan bagi kebudayaan Indonesia yang sedang berubah sekarang.
Untuk memberikan
jawaban sementara, saya berasumsi bahwa meskipun tradisi tertulis dan budaya
audio-visual kian menjamur, namun perkembangan itu belum merata. Masih banyak
wilayah yang belum dirambah oleh teknologi canggih seperti itu. Dan yang lebih
penting, tradisi lisan adalah bagian dari kehidupan manusia. Ia bahkan
merupakan bentuk primer dari komunikasi manusia. Kemajuan, bagaimanapun
pesatnya, tak akan menghapus tradisi lisan sebagai bagian dari kebudayaan. Jika
kenyataan ini diterima, maka penjelasan yang adekuat tentang relasi antara
sastra dan budaya mesti dibuat sehingga analisa apapun yang akan berkembang
dalam tulisan ini tidak keluar dari bingkai itu.
Sastra merupakan
bagian dari kebudayaan.[17] Sastra mengungkapkan budaya manusia, manusia
mengekspresikan dirinya dalam pelbagai bentuk unsur dan komponen budaya. Jadi,
ada relasi timbal balik antara sastra, budaya dan manusia. Mengikuti alur
pemikiran ini, manusia akan bisa dipahami apabila dapat dimengerti budayanya.
Tentang budaya E.B. Taylor, seorang antropolog, berpendapat bahwa kebudayaan
adalah keseluruhan pengetahuan, kepercayaan, kesenian, kesusilaan dan hukum,
adat-istiadat dan setiap kecakapan serta kebiasaan yang diperoleh manusia
sebagai anggota masyarakat.[18]
Lowie, seorang
ahli lain menambahkan unsur pewarisan yang berlangsung dari zaman lampau,
melalui pelbagai bentuk pendidikan, entah formal maupun informal.[19] Pernyataan Lowie didukung oleh Keesing yang mengatakan
bahwa kebudayaan merupakan tingkah laku yang diperoleh melalui pelajaran
bermasyarakat [The behavior acquired through social learning]. Sedangkan
Kluckhohn memandang kebudayaan sebagai keseluruhan cara hidup suatu bangsa,
warisan masyarakat yang diperoleh individu melalui kelompoknya [The total
life way of a people, the social legacy the individual acquires from his group].
Lebih lanjut Kluckhohn menjelaskan bahwa kebudayaan adalah cara berpikir, cara
merasa, cara meyakini dan menanggap. Kebudayaan adalah pengetahuan yang
dimiliki warga kelompok yang diakumulasi [dalam ingatan manusia, buku-buku dan
obyek-obyek] untuk digunakan di masa depan.[20] Beberapa pendapat lain mengatakan bahwa kebudayaan
adalah seluruh warisan masyarakat [total social heredity], atau lebih
sempit lagi tradisi [tradition] ataupun adat-istiadat.
Berbagai
pendapat antropolog di atas masing-masing memiliki pendasaran tersendiri yang
tentu juga menunjukkan kekhasan horison dan perspektif. Meskipun demikian,
terdapat banyak unsur yang sama, khususnya bentuk dan isi kebudayaan serta cara
bagaimana kebudayaan itu diwariskan, dilestarikan dan diteruskan. Terdapat beberapa
ciri kebudayaan yang dapat dirangkum dari pengertian-pengertian itu sebagai
berikut: Pertama, kebudayaan berciri stabil. Kebudayaan adalah tradisi,
sistem, cara. Istilah-istilah ini mengandung pengertian ketetapan, kesetabilan.
Sebenarnya kebudayaan selalu merupakan sistem yang tetap, stabil. Ia adalah
penyesuaian diri yang lama dengan situasi konkrit alam sekitarnya. Alam yang
konkrit ini juga berarti hubungan dengan kelompok-kelompok lain dalam arti
lingkungan sosial. Jadi, kebudayaan disebabkan dan dibentuk oleh dua faktor
utama yakni: manusia yang berakal budi dan lingkungan sosial di mana ia hidup. Kedua,
kebudayaan bersifat dinamis, bisa berubah. Kebiasaan manusia akan hidup
biasanya tetap, tetapi kenyataan sosial cenderung berubah. Misalnya sistem
pemerintahan, ilmu pengetahuan dan teknologi, pengaruh yang datang dari luar
dan sebagainya. Hal ini berpengaruh pada perubahan kebudayaan juga. Tentang
perubahan ini dapat dikatakan bahwa semakin besar isolasi terhadap pengaruh
luar maka perubahan juga semakin lamban, demikan juga sebaliknya. Kebudayaan
bersifat dinamis. Ia adalah warisan masyarakat, tetapi itu sesuatu yang belum
final, melainkan tetap in statu fieri [dalam proses berubah], yang
berada dalam “proses menjadi” terus menerus [in continuing process]. Itu
artinya, menurut Herkovits, kebudayaan bukan saja suatu rencana, melainkan juga
perencanaan [not only a plan, but also a planning].
Ketiga, kebudayaan merupakan milik masyarakat. Kebudayaan tidak
pernah menjadi milik individu semata. Kebudayaan selalu memiliki karakter
sosial sebagai milik bersama masyarakat. Masyarakat dapat dipahami sebagai
“kelompok individu yang berorganisasi secara tetap dan yang mengikuti cara
hidup bersama serta mempunyai kesadaran akan hubungannya dengan golongannya [group
consciousness]”. Dengan kata lain, unsur-unsur yang mempersatukan setiap
anggota masyarakat adalah cara hidup bersama dan kesadaran akan hubungannya
dengan golongannya.
Berpijak pada
pandangan yang tak terpisahkan antara sastra dan kebudayaan, pertanyaan yang
muncul ialah: Benarkah sastra lisan kita telah punah sehingga kebudayaan
Manggarai kian pudar diterpa badai kemajuan modern? Benarkah karena ketiadaan
konsistensi antara nilai budaya dan pola kehidupan yang konkrit menyebabkan
orang Manggarai teralienasi dari dirinya sendiri? Pertanyaan-pertanyaan ini
menggugat eksistensi kita untuk kembali menoleh ke dalam diri seraya berikhtiar
menemukan kembali “khazanah kebijaksanaan dan kebajikan” yang telah kita
keluarkan secara paksa dari rahim jati diri kita hanya untuk sebuah penyesuaian
semu dengan kultur modern. Itu artinya, tombo turuk, tombo bundu, go’et
dan syair-syair dere, mendapat kemestian untuk mengurai benang kusut
masalah sosial yang kerap menimpa Manggarai. Deretan bentuk-bentuk tradisi
lisan itu akan menjadi sebuah pilihan jika ia mengambil model baru demi sebuah
metamorfosis kehidupan dengan life style [gaya hidup] kawula muda
Manggarai di zaman ini.***
[1] Jan Vansina sebagaimana dikutip Elizabeth Tonkin, “Oral
Tradition” dalam: Adam Kupler & Jessica Kuper, Ensiklopedi Ilmu-Ilmu
Sosial, terj. Harismunandar, et. al. [Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2000],
p. 719.
[2] Brundvand Jan Harold, American Folklore: An
Encyclopedia [New York & London: Garland Publishing, Inc, 1998], pp.
5-6.
[3] Lorens Bagus, Kamus Filsafat [Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama, 1996], pp. 1115-1116.
[4] Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan
Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia [Jakarta: Balai Pustaka, 1990], p.
528.
[5] Soerjono Soekanto, Kamus Sosiologi
[Jakarta: RajaGrafido, 1993], p. 520.
[6] Jan Harold Brundvand, Op. Cit., p. 11.
[7] Dalam ulasan tentang “Oral Tradition”
John H. McGlynn menjelaskan juga tempat tradisi lisan di Indonesia. Menurut
dia, masih banyak penduduk Indonesia yang mengandalkan tradisi lisan bila
dibandingkan tradisi tulisan. John
H. McGlynn (ed.), “Language and Literature” dalam: Indonesian Heritage
[Singapore: Archipelago Press, 1998], p. 49.
[8] Ulasan tentang tradisi lisan mencakup pelbagai wilayah,
termasuk Nusa Tenggara. Bdk. John H. McGlynn (ed.), Ibid, pp. 64-65.
[9] Sastra adalah salah satu rumpun kesenian yang menggunakan
bahasa sebagai alat komunikasi. Sastra merupakan ungkapan batin seseorang melalui bahasa
dengan cara penggambaran. Penggambaran atau imaji ini dapat merupakan titian
terhadap kenyataan hidup, dapat merupakan wawasan individu terhadap kenyataan
kehidupan, dapat merupakan imaji murni [rekaan] yang sama sekali tidak
berkaitan dengan kenyataan hidup atau gambaran intuisi individu dan bisa juga
campuran dari semua hal itu. Bdk. Jacob Sumarjo, “Kesusastraan” dalam: Ensiklopedi
Nasional Indonesia [Jakarta: Cipta Adi Pustaka, 1990], p. 441. Bdk. A.
Teew, Membaca dan Menilai Sastra [Jakarta: Gramedia, 1983], p. 1.
[10] Prisco Firgo, “Definisi Kesusastraan”
dalam: DIAN, Minggu, 27 Februari 2005, p. 4.
[11] Prisco Firgo, Ibid.
[12] W.J.S. Poerwadarminta, Bahasa
Indonesia untuk Karang-Mengarang [Yogyakarta: U.P. Indonesia, 1979], p. 20.
[13] Secara etimologis, kata “puisi”
berasal dari bahasa Yunani poeima yang berarti membuat, poesis
[perbuatan] atau poeties [pembuat, pembangun dan pembentuk]. Di Inggris puisi disebut poetry yang
artinya tidak beda dengan to make atau to create. Sehingga lama
sekali di Inggris puisi disebut maker. Dikatakan pembuat atau pembangun
karena pada dasarnya menulis puisi adalah membangun, membentuk dan membuat
suatu dunia baru secara lahir batin. Dibandingkan dengan prosa, puisi lebih
lengkap dan padat karena memiliki bunyi, irama, diksi, kombinasi kata-kata,
bahasa kiasan dan gaya bahasa. Bertho Gagu, “Mengungkap Rintihan Rendra dan
Sutardji”dalam: Buletin Suaka, No. 2, 2003. Bentuk puisi terdiri atas
puisi epik [balada, epos], puisi lirik [lirik kognitif, lirik ekspresif dan
lirik afektif] dan puisi dramatik. Sedangkan bentuk prosa terdiri atas prosa
naratif [cerita pendek, roman atau novel] dan prosa dramatik [tragedi, komedi,
tragikomedi dan melodrama]. Jacob Sumarjo, “Kesusastraan” dalam: Op.Cit,
p. 442.
[14] Puisi merupakan jenis sastra yang menekankan kepadatan
bentuk, keplastisan bahasa dan kepekatan lambangnya. Pada jenis puisi segalanya
bersifat konotatif, artinya kandungan isi dari pada apa yang dikatakan lebih
kaya daripada yang terdengar atau terbaca. Dalam karya prosa, apa yang
tertulis, biasanya hanya mempunyai arti seperti yang dituliskannya, cenderung
berarti denotatif saja, meskipun pada zaman sekarang perbedaan ini sangat
tipis. Jacob Sumarjo, “Kesusastraan” dalam: Ibid.
[15] Dami N. Toda, Manggarai Manari Pencerahan Historiografi
[Ende: Nusa Indah, 1999], p. 13.
[16] Bdk. Petrus Janggur, “Tombo Turuk:
Cerita Rakyat Manggarai”, Stensilan [Ruteng, 1995]. Seluruh materi yang
terdapat dalam stensilan ini pernah dibawakan dalam acara siaran budaya di RSPD
[Radio Pemerintah] Manggarai. Atas berbagai pertimbangan, khususnya kekayaan
nilai yang terkandung di dalamnya maka bahan yang sama dijadikan pelajaran pada
Sekolah Dasar sebagai Muatan Lokal [Mulok].
[17] Bdk. Ignas Kleden, Sastra
Indonesia Dalam Enam Pertanyaan [Jakarta: Grafiti-Freedom Institute, 2004],
p. 8.
[18] Louis Luzbetak, “Kerasulan dan Kebudayaan”, disadur dan
diterjemahkan oleh Josef Glinka dalam: Seri Buku Pastoralia, Seri
IX/7/1984 [Maumere: Ledalero, 1984], p. 19: [That complex whole which
includes knowledge, belief, art, morals, law, customs and any other
capabilities and habits acquired as member of society].
[19] Lowie, The History of Ethnological Theory [New
York: Rinehart, 1937] sebagaimana dikutip oleh Louis Luzbetak, Ibid., p.
20: [The
sum total of what an individual acquires from his society-those beliefs, customs,
artistic norms, food-habits, and crafts which come to him not by his own
creative but as a legacy from the past, conveyed by formal and informal
education].
[20] Clyde Kluckhohn, “Mirror for Man” terjemahan Parsuadi
Suparlan dalam: Parsuadi Suparlan [ed.], Manusia, Kebudayaan Dan
Lingkungannya [Jakarta: Rajawali, 1984], p. 78.
Comments
Post a Comment