Kanisius Teobaldus Deki
Dosen STIE Karya, Ketua Lembaga Nusa Bunga Mandiri
1.
Pendahuluan
Setiap daerah memiliki ritus tertentu untuk
menginisiasi seorang individu ke dalam masyarakatnya. Inisiasi ini memiliki
pelbagai macam tujuan. Salah satu tujuan upacara inisiasi adalah agar pribadi
bersangkutan mendapat legalitas dalam stratifikasi sosial masyarakatnya.
Pada kesempatan ini secara khusus saya akan
mendalami tentang ritus kelahiran orang Manggarai sebagai bentuk insiasi
individu ke dalam masyarakat. Ulasan ini dilatari oleh dua hal, yakni: pertama, ada kenyataan saat ini bahwa
masyarakat Manggarai sudah kurang menghargai upacara-upacara inisiasi seperti Cear Cumpe. Hadirnya agama Katolik
dengan ritus Permandian seolah menghapus peran upacara Cear Cumpe. Kedua, efek
dari ketidaksadaran ini terlihat dalam ketidak-setiaan pribadi Manggarai untuk
menerima identitasnya sesuai dengan status sosialnya menurut ritus inisiasi
itu.
Artikel ini terdiri dari empat bagian. Pada
bagian pertama membahas status persoalan. Bagian kedua membedah ritus kelahiran
orang Manggarai. Bagian ketiga membahas ritus kelahiran sebagai upacara inisiasi.
Akhirnya, pada bagian keempat dibuat kesimpulan sekaligus penutup kajian ini.
2. Ritus
Kelahiran Orang Manggarai
Bagi orang Manggarai, kelahiran seorang
manusia memiliki tempat yang sangat istimewa. Karena itu setiap tahapannya
memberi arti yang sangat dalam dan nuansa yang kaya makna. Berikut ini ada
beberapa tahapan yang menjadi pusat perhatian.[2]
2.1. Cikéng
Cikéng mempunyai
arti mengurut, meraba pada bagian tertentu dari tubuh, perut, kandungan, vagina
perempuan pada detik-detik menjelang persalinan. Di Kuwus, Manggarai Barat,
disebut Sapang atau Dung. Hal seperti
ini biasanya dilakukan oleh ibu-ibu (dukun[3] kampung)
yang sudah berpengalaman dalam membantu persalinan di kampungnya. Hal yang sama
bisa juga dilakukan oleh laki-laki asalkan ada persetujuan dari si ibu atau
suaminya. Tujuannya untuk mengetahui dengan pasti kapan bayi akan lahir.
2.2. Loas
Loas berarti
melahirkan. Istilah ini dalam bahasa Manggarai hanya dikhususkan untuk manusia,
dalam hal ini bagi ibu yang melahirkan anaknya. Padanannya, dading.
2.3. Èntap Siding
Èntap siding (éntap: memukul, siding: dinding) dalam arti yang luas adalah memukul dinding bilik
atau rumah saat terjadinya persalinan. Ada kebiasaan, pada saat si ibu sedang
menunggu saat persalinan, kaum pria tinggal di luar rumah, sambil berdiang
dekat api unggun. Jika terdengar tangisan bayi, mereka memukul dinding sebanyak
tiga kali sambil bertanya “Ata one ko ata pe’ang?” (Orang dalam atau orang
luar?). Ata one dalam sistem
partilineal adalah istilah untuk laki-laki karena dia akan menjadi penerus
generasi klan, sedangkan ata pe’ang
adalah istilah untuk perempuan sebab jika dia diperistri, dia akan masuk dalam
klan suaminya.
Tujuan dari acara ini adalah
untuk mengukuhkan atau mendeklarasikan pertama kalinya status jenis kelamin
anak dalam keluarga.[4]
2.4. Poro Putes
Poro putes (poro: memotong, putés: tali plasenta) mempunyai arti
memotong tali plasenta bayi yang baru lahir.
Alat yang digunakan untuk
memotong plasenta adalah sembilu (lampek), yakni pisau
berbahan baku
bambu yang dikeringkan lalu dipertajam. Pemanfaatan pisau lampek adalah tradisi turun temurun untuk menghindari karatan besi
yang dapat menyebabkan infeksi pada plasenta.
2.5. Boak Imar
Boak imar (boak: kubur, imar:
gumpalan darah, ari-ari)[5] merupakan
penguburan sisa darah dan ari-ari yang telah dipotong pada saat persalinan
serta kain-kain yang memiliki bercak darah persalinan. Tempat penguburannya
adalah di samping rumah, khususnya daerah yang agak lembab. Tujuannya adalah
agar kondisi kesehatan si bayi dan ibunya tetap terjaga.
Pada saat boak imar ini, juga dikuburkan benda tertentu yang mewakili harapan
orang tua untuk anaknya di masa depan, misalnya, menyertakan buku dan ballpoint
supaya anaknya kelak menjadi orang cerdas.
2.6. Toko One Cumpe
Pada zaman dahulu,
ibu yang sudah melahirkan tidur (toko)
di tempat pembaringan (cumpe) yang
ditempatkan dekat api agar terasa hangat. Ibu bersama bayinya tidur di tempat
itu selama 5-10 hari.[6]
2.7. Upacara Cear Cumpe/Lega Cumpe
2.7.1. Arti dan Maksud:
Cear cumpe atau Lega cumpe adalah upacara yang
dilaksanakan pada hari ke-3 atau ke-5 setelah seorang bayi dilahirkan. Cear secara
harafiah adalah membongkar cumpe (tempat
bayi dan ibunya tidur). Acara yang sama di Manggarai Timur disebut wa’u wa tana (wa’u: turun, keluar, wa tana:
di luar rumah, di alam bebas).[7] Adapun
tujuan dari acara ini ialah agar ibu dan bayi yang baru lahir bisa berpindah
tempat. Sebab sebelum upacara ini dibuat, bayi dan sang ibu hanya berada di
tempat khusus (cumpe) atau zaman
modern berada dalam kamar saja.
Di beberapa wilayah, upacara cear cumpe terbagi menjadi dua bagian
yakni Ratung wuwung dan Wali cumpe. Ratung wuwung dimaksudkan agar ubun-ubun bayi yang masih lembek
dikuatkan sehingga dibebaskan dari kuasa angin jahat. Sedangkan wali cumpe dibuat karena ada kebiasaan
orang tua dulu, bayi yang baru lahir dibaringkan di atas cumpe (bale-bale/tenda). Wali cumpe adalah upacara pemindahan bayi
dari tenda ke tikar atau tempat yang layak.
Selain itu, alasan yang lebih substansial,
upacara ini dibuat sebagai simbol pengakuan atas keabsahan seorang anak yang
baru lahir untuk menjadi anaknya dan ungkapan kesediaan orang tua untuk
bertanggungjawab atas anak itu dalam mendidik dan membesarkannya. Dalam acara
ini, yang paling menjadi perhatian ialah pemberian nama anak. Adapun nama,
dipilih empat atau lima, lalu dari nama-nama yang ada kemudian dipilih satu
yang menjadi nama anak bersangkutan.
2.7.2. Hewan Kurban
Hewan kurban dalam upacara ini adalah ayam
jantan (manuk lalong). Di beberapa
daerah dalam acara ini disembelih seekor babi. Ayam atau babi disembelih dalam
sebuah ritual khas dengan struktur yang sudah baku melalui torok cear cumpe.
2.7.3. Peserta yang Hadir
Acara ini harus disaksikan oleh anak rona (pihak pemberi gadis, ibu anak
yang baru lahir) dan wa’u (keluarga
klan ayah, pihak penerima gadis, disebut juga ase-ka’e) dan wéki pa’ang
olon-ngaungn musin (warga kampung). Di Mombok Manggarai Timur, selain pihak
yang disebutkan tadi, ada juga yang disebut gheti
kilo (ketua warga kampung, tu’a panga), ghéti
beo (tetua, sesepuh kampung) dan sando
(penolong persalinan).
2.7.4. Alternatif Acara
Bila kondisi tidak memungkinkan atau bila
kedua orang tuanya berhalangan maka perlu dibuat acara khusus yang lebih
sederhana yakni acara nggolong ruha one
sa’i gala de mantar hitud cai wéru (penggulingan telur) pada dahi anak.
Maksud dari acara ini yakni mengungkapkan kesediaan kedua orang tua bahwa
mereka akan tetap mengadakan acara cear cumpe. Tujuan lainnya ialah supaya toe mangas babang agu béntang le kaka tana,
saung haju (gangguan dari naga tanah)
sehingga sang bayi seperti telur yang tetap terjaga di dalam cangkangnya.
2.7.5. Urutan Acara
Urutan acara sangat variatif. Setiap daerah
memiliki kekhasan, khususnya sebelum acara cear cumpe ini dilakukan. Di daerah
Mombok, upacara dimulai jelang matahari terbit. Sesepuh keluarga berdiri di
pintu, memegang nyiru, sambil mengucapkan sapaan terhadap alam semesta: “Denge di’a lite, mori tanah wa, awang eta,
lawang ite émpo nusi. Nenggitu kole ulungle, waingnlau, beo agu wae, o’o de
sain meka weru dite, neka bentang neka baba.” Berikut ini adalah urutan
yang lazim di Manggarai Tengah.
1. Ucapan salam
(Tuak kapu agu sangged ase-ka’e ata manga
one acara ce’ar cumpe). Ucapan salam selamat datang kepada semua peserta
yang hadir biasanya dilakukan anggota keluarga (tertua) yang telah diberi
mandat oleh pemilik hajatan cear cumpe.
Sang penerima mandat, sambil memegang satu botol tuak/arak, menyampaikan ucapan
terima kasih telah hadir di acara cear
cumpe sekaligus memohon doa restu untuk masa depan dari anak yang baru
lahir.
2. Pemberian
nama (teing ngasang, nampo ngasang).
Kepada peserta yang hadir diberi kesempatan untuk memberikan empat nama dan
nama kelima diserahkan kepada orang tua anak/bayi itu. Nama yang diberikan
orang tua bayi akan menjadi nama sebenarnya yang akan disebut dalam torok manuk. Karena itu nama itu disebut
“ngasang manuk”, sebuah nama yang harus dihargai, lebih-lebih kalau pemiliknya
sudah dewasa. Torok cear cumpe. Dalam
torok diucapkan maksud dari perayaan itu sekaligus memohon berkat, perlindungan
dari Tuhan, nenek moyang yang telah meninggal serta roh alam. Jawaban atas
persetujuan dari “atas” akan dinyatakan lewat “urat manuk” (hati dan usus ayam)
dan penutur torok
akan membacanya serta menyampaikan artinya kepada peserta yang hadir. Torok
terbagi menjadi dua bagian besar. Pertama,
persiapan, yaitu acara persembahan siri-pinang
dan tuak (teing cepa agu tuak) bagi
leluhur yang telah meninggal, lalu, kedua,
penyampaian torok pemberian nama dengan doa dan harapan bagi kebaikan sang bayi
di masa depan. Di sela-sela torok itu, ada kebiasaan bagi anak wina (pihak penerima gadis) untuk memberikan uang kepada si
bayi. Anak rona (pihak pemberi gadis)
pun demikian, pada saat ini mereka juga membawa sesuatu (misalnya: gelang emas,
anting emas, kain tenunan songke/lipa)
lalu anak wina akan menggantikannya
dengan sejumlah uang yang nilainya lebih besar dari nilai normal.
3. Toto Urat Manuk (Acara
pembacaan tanda pada hati dan usus ayam). Ayam yang sudah disembelih dibelah
lalu diperlihatkan ususnya. Penutur torok akan
membaca hati dan usus ayam lalu menyampaikan hasilnya. Jika usus ayam ini tidak
terbelit, berarti Mori Jari Dedek (Tuhan) dan semua
leluhur memberi restu kepada bayi itu dan menjadi pelindungnya dalam meraih
masa depan yang cerah-gemilang. Sebagai wali
urat di’a (syukur atas lurusnya usus ayam yang berarti pertanda baik karena
mendapat restu Yang Maha Tinggi dan para leluhur), pihak anak wina memberikan sejumlah uang sebagai ungkapan kegembiraan.
4. Helang (Sesajian
untuk Leluhur). Bagian-bagian tertentu seperti hati ayam, paha ayam diambil
lalu dibakar untuk dijadikan sajian bagi Yang Maha Tinggi dan arwah leluhur.
Bersama daging itu disertakan nasi, air dan tuak
(arak).
2.7.6. Torok Teing Cepa agu Tuak:
Torok Pembukaan :
Kerrrr………ho’o cépa di’a kugut ite ngasang énde lopo agu éma do,
agu ise wura agu céki, ai leso ho’o de, néki wéki, tara manga, padir wa’i réntu
sa’i, té adak cear cumpe dé empos, lalong bakok to’ong kudut adak tanda ngasang
dé émpos…ho’os cépa agu tuaks, maim ga…
(Kerrrrrr….inilah siri-pinang
yang kami persembahkan buat kakek-nenek yang telah meninggal, juga seluruh roh
nenek moyang, karena hari ini kita bersatu hati, menyatukan wajah, dengan
berjulur kaki untuk melakukan upacara pemberian nama dan membongkar tempat
kelahiran dari cucu kalian…marilah memamah siri-pinang ini, juga mencicipi tuak
ini…marilah kalian semua…)
Torok Cear Cumpe:
Dénge……….di’a lé meu céki agu empo, nénggitu kole ite, mori agu
ngaran, Ai mesen momang dé meu, katu le meu le mai, anak bara agu wua tuka
dami. Hoog de manuk kudut adakn lami ratung wuwung agu cear di’a cumpen. One
manuk ho’o teing lami ngasang. Hi (sebut
nama anak itu) muing ngasangn, kudut
pu’ung noo main hia ga eme lage para neka koe béntang lé tana pe’ang, neka
ligot siong, neka pédéng menes, ai hitu de turan lami rajan one manuk ho’o
ratung wuwung, cear cumpe agu teing ngasang ho’o.
(Dengarlah, hai kalian, roh
leluhur dan nenek moyang, demikianpun Tuhan sang Pemilik dan Yang Empunya, karena
besar kasih kalian, kalian mengirimkan anak, buah rahim kami. Inilah ayam yang
kami persembahkan untuk membongkar Cumpe dan menguatkan ubun-ubunnya. Dia
adalah (sebut namanya) sebagai nama pemberian untuknya, biarlah dari sekarang,
kalau dia pergi ke manapun, tidak diganggu oleh pelbagai penyakit, dibebaskan
dari segala macam ancaman roh jahat, disayangi oleh alam. Itulah maksud yang
menjadi inti dalam ayam korban ini, untuk membongkar Cumpe dan memberikan nama)
Kali hitus tae agu torok toe senget le, toe pinga sina, ngongt
benta kin le tana pe’ang, ligot kit siong, pédéng kin menes, ngongt cau bon
lami manuk ratung wuwung, cear cumpe agu teing ngasang ho’o tura one urat,
pécing one péning rao ranggi mbolot urat manuk toe kong toton…
(Walaupun maksud ayam ini
dikorbankan sudah kami sampaikan, namun niat dan permohonan kami tak
dihiraukan, kekuatan roh jahat masih menguasainya, sakit masih dideritanya,
alam tak menjaganya, ayam korban ini menjadi tak bermakna untuk upacara
membongkar Cumpe, menguatkan ubun-ubunnya dan memberikan nama untuknya,
sampaikanlah ketaksetujuan dan ketaksukaan kalian lewat hati dan usus ayam
ini…nanti ususnya terbelit-bengkok, dan darinya tak dapat dibaca apapun…)
Somba….yo émpo agu céki, nggitu kole ite morin agu ngaran, ho’o
ketag manukn lami pujud mu’u, saka cangkéms meu. Nahe pu’ung no’o main, sembeng
lite wéki agu wakar, nahe uway lé usang,
bekay lé lena. Kudut langkas haeng ntalay eta mosen, uwa haeng wulang…
(Ampunilah kami…. hai nenek
moyang dan para roh leluhur serta Tuhan Pemilik dan Sang Empunya, inilah
ayamnya untuk memuji dan memuliakan kalian. Biarlah dari sekarang ini,
kalianlah yang menjadi penjaga tubuh dan jiwanya, biarlah dia bertumbuh dan
berkembang seperti banyaknya hujan, beranak-pinak seperti musim kemerau. Biarlah
dia tinggi sampai langit, bertumbuh mencapai bulan…)
Hitus de tae agu torok, senget lite le, pinga lite sina, pecing lé
meu céki
agu ase ka’e wéki, camas raja ce’e, manuk laing tu’ung, manuk cear
cumpe agu teing ngasang ho’o. Cékél ndéng, déri wa’i, bombong pésu, lengkas
maja, lengkang salang urat manuk ho’o. Cala mangas poti kose agu keba kamping
hia, du waes laud, du lésos saled, somba…di’a dé urat manuk ho’o to’ong…
(Itulah yang kami sampaikan dalam
harapan dan doa, dengarlah hai kalian, pahamilah, ketahuilah hai kalian para
leluhur dan roh nenek moyang, inilah ayam sejati, ayam untuk membongkar Cumpe
dan memberikan nama. Nyatakanlah itu dalam hati ayam yang kilat- bersinar,
empedu yang bergelembung-indah, usus ayam yang lurus-terbaca. Mungkin ada setan jahat dan pembawa malapeta yang akan
mencelakai dia, biarlah semua itu dibuang bersama matahari yang tenggelam dan
air yang mengalir….ampunilah, biarlah usus ayam ini bertanda baik…)
2.7.7. La’at Meka Weru
Laat méka wéru
(laat: mengunjungi, méka
wéru: tamu baru/bayi yang baru
lahir) dalam konteks kelahiran adalah mengunjungi keluarga yang memiliki bayi
yang baru lahir. Laat ini bertujuan
untuk mengunjungi sekaligus menyambut bayi yang baru lahir, sebab kini dia
tinggal bersama dengan keluarga dan klan tertentu.
Biasanya para tamu yang datang membawa serta
hadiah berupa ayam, beras, kacang-kacangan, dll yang bertujuan agar menambah
nutrisi bagi ibu dan bayi. Pemberian ini merupakan keiklasan hati atas dorongan
cinta kasih.
Kata “Inisiasi” berasal
dari kata bahasa Latin, initium, yang berarti masuk atau permulaan, secara harafiah
berarti: masuk ke dalam. Inisiasi terdapat di dalam ritus kehidupan di berbagai
tempat. Ritual-ritual dilakukan ketika bersyukur atas bayi di dalam kandungan,
lahir, pubertasi (akil balik), pernikahan, hingga kematian. Ritus erat
hubungannya dengan proses kehidupan manusia. Praktek inisisasi sebenarnya telah
dilakukan oleh banyak kelompok, suku, kelompok keagamaan, dan kelompok mistik.[10]
Di dalam bahasa
Inggris, “Inisiasi” berasal dari kata initiate
yang berarti: memulai suatu kegiatan. Inisiasi adalah sebuah perayaan ritus
yang menjadi tanda masuk atau diterimanya seseorang di dalam sebuah kelompok
atau masyarakat. Inisiasi juga menjadi sebuah tanda formal diterima menjadi dewasa
di dalam sebuah komunitas. Setiap daerah atau tempat memiliki cara dan ritual
yang berbeda-beda sebagai wujud inisiasi. Inisiasi merupakan ritual sebagai
tanda seseorang diterima di dalam sebuah komunitas atau suku. Inisiasi
merupakan gejala sosio-antropologis yang muncul dan berkembang di dalam setiap
komunitas atau masyarakat.[11]
Mircea Eliade12] merupakan antropolog yang
terkenal dalam mempelajari dan mengembang sosiologi dan antropologi. Mircea
Eliade menjelaskan inisiasi sebagai suatu tindakan agama yang
berprinsip klasik atau tradisional. Dia
medefinisikan inisiasi sebagai sebuah perubahan dasar dalam kondisi yang
esensial, yang membebaskan manusia dari masa yang profan dan sejarah. Inisiasi
mengintisarikan sejarah yang sakral dalam dunia. Intisari
bahwa seluruh dunia disucikan menjadi baru dan dirasakan sebagai pekerjaan yang sakral, yaitu ciptaan Tuhan.[13]
Adapun alasan-alasan untuk dan fungsi inisiasi, antara lain:
·
Ini merupakan penilaian nyata akan ritual kematian, yang
akhirnya memimpin kepada penaklukan ketakutan akan kematian.
·
Fungsi inisiasi untuk menyatakan makna yang
dalam dari keadaan menuju generasi baru dan
membantu mereka memikul tanggung jawab atas
tindakan manusia yang benar dan partisipasi dalamkebudayaan.
·
Inisiasi menyatakan dunia terbuka terhadap
pergeseran manusia dan disebut transendental.
·
Inisiasi membuka nilai-nilai spiritual.
Dalam analisisnya mengenai ritus, M. Eliade
membedakan antara tipe-tipe inisiasi ke dalam dua cara, yaitu tipe-tipe dan
fungsi, yaitu:[16]
·
Ritus Pubertas: Ritus ini merupakan ritual
yang bersifat kolektif. Ritus ini
dilakukan sebagai ritual anak-anak menuju dewasa. Hal ini
biasa juga disebut dewasa awal.
·
Masuk ke dalam komunitas mistis (secret society). Ritual ini dilakukan
dilakukan sebagai tanda masuknya seseorang ke dalam sebuah komunitas. Komunitas
ini sering disebut dengan masyarakat rahasia (secret society).
·
Pekerjaan Mistis (Mistical Vocation). Pekerjaan Mistis mengarah kepada seorang yang
bekerja dibidang pengobatan secara (mistis), seperti dukun. Ritus ini
dilakukan dengan mempersiapkan seseorang yang telah dipilih. Pekerjaan Mistis
ini dilakukan sebagai upaya melestarikan kebudayaan dan tradisi suatu daerah tertentu.
Ritus-ritus ini dapat dibagi ke dalam dua
tipe:
1.
Ritus pubertas, anak remaja yang memperoleh
izin untuk dianggap dewasa,
mendapatkan pengetahuan, dapat
melakukan hubungan seks. Ritual ini
menandakan mereka masuk ke dalam kedewasaan.
2.
Inisiasi khusus, seseorang menjalani suatu
keadaan yang melampaui keadaan manusia. Orang tersebut pun menjadi makhluk supranatural.
3.4. Cear
Cumpe sebagai Ritus Inisiasi Individu
Upacara Cear
Cumpe menghadirkan beberapa dimensi, antara lain: pemberian nama dan
pernyataan status. Dua aspek ini dijelaskan dalam konsep berikut ini:
3.4.1. Pemberian Nama
Dalam analisis yang dibuat oleh Damian Toda
tentang nama, nyata bahwa bagi Orang Manggarai nama tidak selalu memiliki makna
khusus.[17] Hal itu sangat jelas pada usulan rancangan
nama yang berjumlah lima yang diajukan pada saat pemberian nama seorang anak.
Tetapi nama yang diajukan biasanya tidak asing dalam komposisi rasa bunyi
bahasa Manggarai, bahkan sering berasal dari nama turunan ataupun variasi bunyi
yang mirip dengan nama bapa, moyang, tokoh terkenal ataupun nama gelar dari
lingkungan keluarga besar.
Nama ini diberikan dengan macam cara. Orang tua dari anak
akan menyiapkan nama. Demikianpun orang-orang yang pada saat itu hadir dalam
upacara Cear Cumpe. Ada keyakinan
yang kuat bahwa nama anak harus mendapat restu dari leluhur. Itulah sebabnya,
di beberapa wilayah Manggarai, ada cara
lain untuk menentukan nama yakni dengan menggunakan pinang yang dibelah dua.
Keluarga memilih satu nama. Lalu pinang dilempar ke udara, jika semua pinangnya
terbuka atau salah satunya terbuka maka nama yang sudah dipilih itu cocok. Juga
berlaku sebaliknya. Jika belum terbuka, maka diulang sampai tiga kali. Kalau
tetap tidak terbuka, maka dicari nama lain.
Ada harapan agar dalam nama itu, jika ia
mengikuti nama orang terkenal, diharapkan tabiat dan perwatakannya akan
mengikuti tabiat dan perwatakan orang itu. Selain itu ada nama khas yang hampir
tidak punya arti tetapi menjadi ciri khas nama orang Manggarai seperti: Jehaut,
Jeramat, Jerau, Jandu, Jehalut, Jehaman, Jemudu, Jelandas, Jerubu, dll. Namun,
di zaman ini, nama-nama anak yang lahir kemudian didominasi oleh nama jawa,
khususnya nama para artis. Selain itu, berkembang juga kebiasaan di kalangan
anak muda untuk memberikan nama keluarga pada anaknya mengikuti nama ayahnya.
Terdapat harapan agar si anak mengikuti tabiat dan perwatakan ayahnya, juga
untuk membangun satu identitas keturunan yang baru. Selain itu, ada perpaduan
nama berdasarkan bunyi bahasa yang indah dari kata bahasa Manggarai sendiri.[18]
3.4.2. Pernyataan Status
Masyarakat adalah kelompok sosial yang
terdiri dari individu-individu. Namun oleh institusi keluarga, individu diberi
status tertentu sebagai anggota dalam kelompok sosial. Pada gilirannya, secara
sosial, individu dibawa masuk ke dalam stratifikasi sosial tertentu.[19]
Status merupakan satu segi yang ditentukan
secara sosial atas diri seseorang yang pada gilirannya menentukan sebuah relasi
sosial dan mencakup hak dan kewajiban tertentu terhadap orang lain. Status itu
dapat dibedakan antara status yang diberikan (ascribed) dengan status yang diperoleh (achieved).[20]
Dalam waktu penantian kelahiran
bayi, kaum laki-laki berdiang dekat api di luar rumah. Jika
terdengar tangisan bayi, mereka memukul dinding sebanyak tiga kali sambil
bertanya “Ata one ko ata pe’ang?” (Orang dalam atau orang luar?). Ata one adalah istilah untuk laki-laki
karena dia akan menjadi penerus generasi klan, sedangkan ata pe’ang adalah istilah untuk perempuan sebab jika dia
diperistri, dia akan masuk dalam klan suaminya.
Pada zaman sekarang,
kaum lelaki tidak lagi membuat perapian di luar rumah. Oleh karena perubahan
cara memandang kelahiran seorang manusia sudah berubah, yakni banyak ibu dibawa
ke rumah sakit bersalin, maka pertanyaan itu diajukan post partum (sesudah melahirkan). Namun maknanya tetap sama.
Pertanyaan ini sangat penting artinya untuk
mengukuhkan atau mendeklarasikan pertama kalinya status jenis kelamin anak
dalam keluarga. Orang Manggarai menganut sistem partilineal. Patrilineal
adalah suatu adat masyarakat yang mengatur alur keturunan berasal dari pihak
ayah.[21] Kata ini
seringkali disamakan dengan patriarkat atau patriarkhi,
meskipun pada dasarnya artinya berbeda. Patrilineal berasal dari dua
kata, yaitu pater (bahasa Latin) yang berarti "ayah", dan linea
(bahasa Latin) yang berarti "garis". Jadi, "patrilineal"
berarti mengikuti "garis keturunan yang ditarik dari pihak ayah".[22]
Karena itu, laki-laki
memiliki fungsi dan peran sebagai berikut: 1) Laki-lakilah yang melanjutkan
keturunan klan. Laki-laki mempunyai hak atas seluruh warisan yang dimiliki
orang tuanya. 2) Perempuan akan mendapat “identitas” baru dalam klan suaminya.
Ia juga memperoleh harta warisan dari klan suaminya.
Pertama, Sebagai Ata one (penerus keturunan klan) laki-laki adalah pihak “anak rona”
(pemberi gadis) mempunyai hak untuk memanfaatkan harta warisan yang
dimilikinya. Selain itu, ata one juga
berhak mendapat bantuan saudarinya dalam urusan adat, misalnya melalui sida (permintaan bantuan dalam bentuk
uang atau hewan yang diwajibkan adat).
Adapun kewajibannya
terbadi dalam dua hal yakni: terhadap suku atau klannya dan terhadap anak wina (pihak penerima gadis).
Terhadap klannya (wa’u) ia terlibat
dalam urusan adat seperti melaksanakan upacara penti (syukur panen), kelas/paka
di’a (kenduri), nempung/wagal
(perkawinan), dll. Sedangkan kewajiban terhadap anak wina ialah menjadi pihak penyalur berkat bagi kelompok anak
wina dalam pelbagai bentuk. Anak rona,
melalui pelbagai upacara mendoakan keselamatan anak wina dan jikapun memberikan barang tertentu, barang itu
merupakan tanda atau simbol restu anak
rona terhadap anak wina dalam
upaya memperjuangkan kehidupan yang lebih baik. Kerap anak rona dalam kiasan disebut “sa’i” (dahi, kepala) yang berarti
sumber keturunan.
Selain itu, ata one bertugas untuk memelihara dan
menjaga orang tua (tei tinu). Bila orang tua meninggal dunia, ata one berperan untuk mengurus seluruh
ritual yang berkaitan dengan kematian dengan melibatkan anak wina.
Kedua, Sebagai Ata Pe’ang, Anak wina mempunyai hak menerima “wida” atau “widang”
berupa barang-barang yang dibutuhkannya dalam kehidupan barunya di klan
suaminya. Pada zaman lampau, wida ini bukan hanya barang kebutuhan rumah tangga
tetapi juga bisa berupa “uma duat” (sawah atau ladang).
Kewajiban ata pe’ang dapat terlihat dalam pelbagai
bentuk aktivitas, antara lain: hena le
bantang (kewajiban tidak resmi) dan sida
(sumbangan wajib ata pe’ang). Dalam dua hal ini, anak wina atau ata pe’ang
akan memberikan bantuan sekemapuannya jika ia diajak untuk membantu saudaranya
dalam peristiwa hena le bantang. Sedangkan sebaliknya, sida merupakan kewajiban
yang sudah dipatok jumlahnya dan terkandung di dalamnya kepastian untuk
menerima dan mengimplemnetasikan sida.
4.
Kesimpulan
Dalam pandangan budaya Manggarai, individu
merupakan bagian yang tak terpisahkan dari identitasnya sebagai makhluk sosial
(ens sociale). Ia berada bersama yang
lain. Dalam sosialitasnya itu, ia mengembankan tugas dan kewajiban yang
didasarkan pada hak-haknya.
Pemberian nama pada upacara Cear Cumpe, selain sebagai maklumat
kepada publik tentang jenis kelamin dan nama yang diberikan kepadanya, juga
merupakan pengumuman tugas-tugas yang akan melekat padanya. Hal itu menjadi
kentara dalam pola pembagian peran sebagai “ata one” (penerus klan) atau
sebagai “ata pe’ang” (menjadi anak wina,
menjadi istri dari klan lain).
Terdapat hubungan kausalitas yang saling
mengandaikan di sini. Pihak ata one,
sebagai pemberi gadis, secara mistik diyakini sebagai pemberi kebaikan, pewaris
rejeki dan pengurus orang tua yang bijak. Sementara itu, ata pe’ang adalah pihak yang senantiasa terlibat dalam pelbagai
urusan adat sehingga equilibrium relasi tetap terwujud. Hal itu tampak dalam
keterlibatan anak wina menerima “bantang” atau “sida”, baik dalam urusan
perkawinan maupun dalam ritual kematian.
Individu dalam budaya Manggarai, sejak lahir
diinisiasi untuk menerima tugas dan kewajiban ini, serentak menerima hak-hak
yang telah digariskan dalam upacara Cear
Cumpe.***
REFERENSI
Adrianus
Nggoro, Budaya Manggarai Selayang Pandang.
Ende: Nusa Indah, 2006.
Daeng, Hans,
Antropologi Budaya, Ende: Nusa Indah,
2003.
Deki,
Kanisius, Tradisi Lisan Orang
Manggarai-Membidik Persaudaraan
Dalam
Bingkai Sastra. Jakarta: Parhhesia Institute, 2011.
Eliade,
Mircea, Rites and Symbols of
Initiation,first edition. New York:
NY Harper and Row, 1958.
_________(ed.),
The Encyclopedia Of Religion, Vol.7.
USA :
Macmillan Publhishing Company, 1987.
Groenen, C.,
Teologi Sakramen Inisiasi Baptisan
Krisma: Sejarah dan Sistematika.
Yogjakarta: Kanisius, 1992
http://id.wikipedia.org/wiki/Inisiasi, diakses pada: 23 Januari 2011
http://id.wikipedia.org //“patrilineal”//, diakses: 06
Februari 2012.
Janggur,
Petrus, Butir-butir Adat Manggarai Jilid
2. Ruteng: Yayasan
Siri Bongkok, 2010.
Jeff Hill and Peggy
Daniels, Life Events and Rites of Passage. New York: Omnigraphic, 2008.
John Dami Mukese, Seri Buku Pastoralia: Ke Arah Kristianisasi
Upacara Inisiasi Wa’u Wa Tana. Ende: Nusa Indah, 1983.
Martha Nemes
Fried and Morton Fried, Tran-sitions:
Four Ritualism
in Eight
Cultures.USA: Penguin Books, 1981.
Prabaswara,Yusuf
Brian, Kamus Nama Indah, Surabaya:
Greissinda Press, 2008.
Raho,
Bernard, Keluarga Berziarah Lintas
Zaman-Suatu
Tinjauan
Sosiologis. Maumere: Ledalero, 2003.
Regus, Max
& Deki, Kanisius (eds.), Gereja
Menyapa Manggarai-
Menghirup
Keutamaan Tradisi, Menumbuhkan Cinta, Menjaga Harapan. Jakarta: Parhhesia Institute, 2011.
Toda, Dami N., Manggarai Mencari Pencerahan
Historiografi. Ende:
Nusa Indah, 1999.
Thomas
Hylland Eriksen, Antropologi Sosial &
Budaya:
Sebuah
Pengantar, terj. Yoseph M. Florisan. Maumere:
Ledalero, 2009.
(Pertama dipublikasi dalam Jurnal Missio Vol.
IV, No. 2, Tahun 2012 sebagai edisi yang sudah direvisi).
[1] Tentang Orang Manggarai, bdk. Kanisius T. Deki, Tradisi Lisan Orang Manggarai-Membidik Persaudaraan Dalam Bingkai
Sastra, Jakarta: Parrhesia Institute, 2011.
[2] Adrianus
Nggoro, Budaya Manggarai Selayang Pandang
(Ende: Nusa Indah, 2006), hal. 159-163. Bdk. Max Regus & Kanisius T. Deki
(eds.), Gereja Menyapa
Manggarai-Menghirup Keutamaan Tradisi, Menumbuhkan Cinta & Menjaga Harapan,
Jakarta: Parrhesia Institute, 2011, hal. 53-67.
[3] Di Manggarai “dukun” tidak selalu berarti orang yang memiliki kemampuan
tenung, tetapi juga ketrampilan dalam bidang kesehatan sebagai bidan.
[4] John Dami Mukese, Seri Buku
Pastoralia: Ke Arah Kristianisasi Upacara Inisiasi Wa’u Wa Tana (Ende: Nusa
Indah, 1983), hal. 31.
[5] Jillis Verheijen, Kamus Bahasa
Manggarai Jilid 1 (Netherland: Koninklijk Intituut Voor Taal-Land En
Volkenkundi, 1967), hal. 175.
[8] Penjelasan yang memadai tentang insisasi bdk. Hans Daeng, Antropologi Budaya, Ende: Nusa Indah,
2003, hal. 48-57. Sebagai bahan bandingan baca: Jeff Hill and Peggy Daniels, Life Events and Rites of Passage (New
York: Omnigraphic, 2008).
[9] Bdk. http://id.wikipedia.org/wiki/Inisiasi,
diakses pada: 23 Januari 2011.
[10] C. Groenen, Teologi Sakramen Inisiasi Baptisan Krisma:
Sejarah dan Sistematika, Jogjakarta: Kanisius, 1992, hal. 8-40.
[11] Ibid.
[12] Mircea Eliade lahir pada 28 Februari
1907 dan meninggal pada 22 April 1986 adalah sejarawan, filsuf, penulis fiksi
Rumania dan profesor di Universitas Chicago. Karyanya yang terkenal antara
lain: Rites and Symbols of Initiation (Birth and Rebirth), 1958; The
Sacred and the Profane: The Nature of Religion, 1959; The Two and the One,
1965; The Quest: History and Meaning in Religion, 1969.
[13] Mircea
Eliade, Rites and Symbols of
Initiation,first edition (New York: NY Harper and Row, 1958), hal. 17-28.
[14] Martha Nemes
Fried and Morton Fried, Tran-sitions:
Four Ritualism in Eight Cultures.USA: Penguin Books, 1981, hal. 9-256.
[15] Ed. Mircea
Eliade, The Encyclopedia Of Religion,
Vol.7., USA: Macmillan Publhishing Company, 1987, hal. 224-238.
[16] Ibid.
[18] Nama orang
Manggarai sangat variatif. Mengikuti nama artis dan nama orang jawa: Rano
Karno, Susilowati, Sulistyo, Parman, Haryanto, Haryono, dll. Nama mengikuti
arti berdasarkan kata dalam bahasa barat: Aristarchus
(pemimpin terbaik), Abel (nafas
kehidupan), Antonio (pria yang patut
dihargai), Beatrice (doa untuk orang
lain/membuat orang lain bahagia), dll. Nama dalam kata Manggarai yang indah didengar
dan makna yang mendalam: Naige
(hatiku), Nera (cahaya), dll. Bdk.
Yusuf Brian Prabaswara, Kamus Nama Indah,
Surabaya: Greissinda Press, 2008.
[19] Bdk. Bernard Raho, Keluarga
Berziarah Lintas Zaman-Suatu Tinjauan Sosiologis, Maumere: Ledalero, 2003,
hal.47.
[20] Bdk. Thomas Hylland Eriksen, Antropologi
Sosial & Budaya: Sebuah Pengantar, terj. Yoseph M. Florisan, (Maumere:
Ledalero, 2009), hal. 83-84.
[21]
Sementara itu patriarkhat berasal dari dua kata yang lain, yaitu pater
yang berarti "ayah" dan archein (bahasa Yunani) yang berarti
"memerintah". Jadi, "patriarkhi" berarti "kekuasaan
berada di tangan ayah atau pihak laki-laki".
[22] Bdk. www.wikipedia.org //“patrilineal”//,
diunduh: 06 Februari 2012.
[23] Bdk. Petrus Janggur, Butir-butir
Adat Manggarai Jilid 2, Ruteng: Yayasan Siri Bongkok, 2010, hal.111-119.