Saturday, 30 May 2020

RITUS KELAHIRAN ORANG MANGGARAI[1] SEBAGAI BENTUK INISIASI INDIVIDU KE DALAM MASYARAKAT






Kanisius Teobaldus Deki
Dosen STIE Karya, Ketua Lembaga Nusa Bunga Mandiri


1. Pendahuluan
Setiap daerah memiliki ritus tertentu untuk menginisiasi seorang individu ke dalam masyarakatnya. Inisiasi ini memiliki pelbagai macam tujuan. Salah satu tujuan upacara inisiasi adalah agar pribadi bersangkutan mendapat legalitas dalam stratifikasi sosial masyarakatnya.

Pada kesempatan ini secara khusus saya akan mendalami tentang ritus kelahiran orang Manggarai sebagai bentuk insiasi individu ke dalam masyarakat. Ulasan ini dilatari oleh dua hal, yakni: pertama, ada kenyataan saat ini bahwa masyarakat Manggarai sudah kurang menghargai upacara-upacara inisiasi seperti Cear Cumpe. Hadirnya agama Katolik dengan ritus Permandian seolah menghapus peran upacara Cear Cumpe. Kedua, efek dari ketidaksadaran ini terlihat dalam ketidak-setiaan pribadi Manggarai untuk menerima identitasnya sesuai dengan status sosialnya menurut ritus inisiasi itu.

Artikel ini terdiri dari empat bagian. Pada bagian pertama membahas status persoalan. Bagian kedua membedah ritus kelahiran orang Manggarai. Bagian ketiga membahas ritus kelahiran sebagai upacara inisiasi. Akhirnya, pada bagian keempat dibuat kesimpulan sekaligus penutup kajian ini.

2. Ritus Kelahiran Orang Manggarai
Bagi orang Manggarai, kelahiran seorang manusia memiliki tempat yang sangat istimewa. Karena itu setiap tahapannya memberi arti yang sangat dalam dan nuansa yang kaya makna. Berikut ini ada beberapa tahapan yang menjadi pusat perhatian.[2]

2.1. Cikéng
Cikéng mempunyai arti mengurut, meraba pada bagian tertentu dari tubuh, perut, kandungan, vagina perempuan pada detik-detik menjelang persalinan. Di Kuwus, Manggarai Barat, disebut Sapang atau Dung. Hal seperti ini biasanya dilakukan oleh ibu-ibu (dukun[3] kampung) yang sudah berpengalaman dalam membantu persalinan di kampungnya. Hal yang sama bisa juga dilakukan oleh laki-laki asalkan ada persetujuan dari si ibu atau suaminya. Tujuannya untuk mengetahui dengan pasti kapan bayi akan lahir.

2.2. Loas
Loas berarti melahirkan. Istilah ini dalam bahasa Manggarai hanya dikhususkan untuk manusia, dalam hal ini bagi ibu yang melahirkan anaknya. Padanannya, dading.

2.3. Èntap Siding
Èntap siding (éntap: memukul, siding: dinding) dalam arti yang luas adalah memukul dinding bilik atau rumah saat terjadinya persalinan. Ada kebiasaan, pada saat si ibu sedang menunggu saat persalinan, kaum pria tinggal di luar rumah, sambil berdiang dekat api unggun. Jika terdengar tangisan bayi, mereka memukul dinding sebanyak tiga kali sambil bertanya “Ata one ko ata pe’ang?” (Orang dalam atau orang luar?). Ata one dalam sistem partilineal adalah istilah untuk laki-laki karena dia akan menjadi penerus generasi klan, sedangkan ata pe’ang adalah istilah untuk perempuan sebab jika dia diperistri, dia akan masuk dalam klan suaminya.

Tujuan dari acara ini adalah untuk mengukuhkan atau mendeklarasikan pertama kalinya status jenis kelamin anak dalam keluarga.[4]

2.4. Poro Putes
Poro putes (poro: memotong, putés: tali plasenta) mempunyai arti memotong tali plasenta bayi yang baru lahir.

Alat yang digunakan untuk memotong plasenta adalah sembilu (lampek), yakni pisau berbahan baku bambu yang dikeringkan lalu dipertajam. Pemanfaatan pisau lampek adalah tradisi turun temurun untuk menghindari karatan besi yang dapat menyebabkan infeksi pada plasenta.

2.5. Boak Imar
Boak imar (boak: kubur, imar: gumpalan darah, ari-ari)[5] merupakan penguburan sisa darah dan ari-ari yang telah dipotong pada saat persalinan serta kain-kain yang memiliki bercak darah persalinan. Tempat penguburannya adalah di samping rumah, khususnya daerah yang agak lembab. Tujuannya adalah agar kondisi kesehatan si bayi dan ibunya tetap terjaga.

Pada saat boak imar ini, juga dikuburkan benda tertentu yang mewakili harapan orang tua untuk anaknya di masa depan, misalnya, menyertakan buku dan ballpoint supaya anaknya kelak menjadi orang cerdas.

2.6. Toko One Cumpe
Pada zaman dahulu, ibu yang sudah melahirkan tidur (toko) di tempat pembaringan (cumpe) yang ditempatkan dekat api agar terasa hangat. Ibu bersama bayinya tidur di tempat itu selama 5-10 hari.[6]

2.7. Upacara Cear Cumpe/Lega Cumpe
2.7.1. Arti dan Maksud:
Cear cumpe atau Lega cumpe adalah upacara yang dilaksanakan pada hari ke-3 atau ke-5 setelah seorang bayi dilahirkan. Cear secara harafiah adalah membongkar cumpe (tempat bayi dan ibunya tidur). Acara yang sama di Manggarai Timur disebut wa’u wa tana (wa’u: turun, keluar, wa tana: di luar rumah, di alam bebas).[7] Adapun tujuan dari acara ini ialah agar ibu dan bayi yang baru lahir bisa berpindah tempat. Sebab sebelum upacara ini dibuat, bayi dan sang ibu hanya berada di tempat khusus (cumpe) atau zaman modern berada dalam kamar saja.

Di beberapa wilayah, upacara cear cumpe terbagi menjadi dua bagian yakni Ratung wuwung dan Wali cumpe. Ratung wuwung dimaksudkan agar ubun-ubun bayi yang masih lembek dikuatkan sehingga dibebaskan dari kuasa angin jahat. Sedangkan wali cumpe dibuat karena ada kebiasaan orang tua dulu, bayi yang baru lahir dibaringkan di atas cumpe (bale-bale/tenda). Wali cumpe adalah upacara pemindahan bayi dari tenda ke tikar atau tempat yang layak.

Selain itu, alasan yang lebih substansial, upacara ini dibuat sebagai simbol pengakuan atas keabsahan seorang anak yang baru lahir untuk menjadi anaknya dan ungkapan kesediaan orang tua untuk bertanggungjawab atas anak itu dalam mendidik dan membesarkannya. Dalam acara ini, yang paling menjadi perhatian ialah pemberian nama anak. Adapun nama, dipilih empat atau lima, lalu dari nama-nama yang ada kemudian dipilih satu yang menjadi nama anak bersangkutan.

2.7.2. Hewan Kurban
Hewan kurban dalam upacara ini adalah ayam jantan (manuk lalong). Di beberapa daerah dalam acara ini disembelih seekor babi. Ayam atau babi disembelih dalam sebuah ritual khas dengan struktur yang sudah baku melalui torok cear cumpe.

2.7.3. Peserta yang Hadir
Acara ini harus disaksikan oleh anak rona (pihak pemberi gadis, ibu anak yang baru lahir) dan wa’u (keluarga klan ayah, pihak penerima gadis, disebut juga ase-ka’e) dan wéki pa’ang olon-ngaungn musin (warga kampung). Di Mombok Manggarai Timur, selain pihak yang disebutkan tadi, ada juga yang disebut gheti kilo (ketua warga kampung, tu’a panga), ghéti beo (tetua, sesepuh kampung) dan sando (penolong persalinan).

2.7.4. Alternatif Acara
Bila kondisi tidak memungkinkan atau bila kedua orang tuanya berhalangan maka perlu dibuat acara khusus yang lebih sederhana yakni acara nggolong ruha one sa’i gala de mantar hitud cai wéru (penggulingan telur) pada dahi anak. Maksud dari acara ini yakni mengungkapkan kesediaan kedua orang tua bahwa mereka akan tetap mengadakan acara cear cumpe. Tujuan lainnya ialah supaya toe mangas babang agu béntang le kaka tana, saung haju (gangguan dari naga tanah) sehingga sang bayi seperti telur yang tetap terjaga di dalam cangkangnya.

2.7.5. Urutan Acara
Urutan acara sangat variatif. Setiap daerah memiliki kekhasan, khususnya sebelum acara cear cumpe ini dilakukan. Di daerah Mombok, upacara dimulai jelang matahari terbit. Sesepuh keluarga berdiri di pintu, memegang nyiru, sambil mengucapkan sapaan terhadap alam semesta: “Denge di’a lite, mori tanah wa, awang eta, lawang ite émpo nusi. Nenggitu kole ulungle, waingnlau, beo agu wae, o’o de sain meka weru dite, neka bentang neka baba.” Berikut ini adalah urutan yang lazim di Manggarai Tengah.

1.      Ucapan salam (Tuak kapu agu sangged ase-ka’e ata manga one acara ce’ar cumpe). Ucapan salam selamat datang kepada semua peserta yang hadir biasanya dilakukan anggota keluarga (tertua) yang telah diberi mandat oleh pemilik hajatan cear cumpe. Sang penerima mandat, sambil memegang satu botol tuak/arak, menyampaikan ucapan terima kasih telah hadir di acara cear cumpe sekaligus memohon doa restu untuk masa depan dari anak yang baru lahir.

2.      Pemberian nama (teing ngasang, nampo ngasang). Kepada peserta yang hadir diberi kesempatan untuk memberikan empat nama dan nama kelima diserahkan kepada orang tua anak/bayi itu. Nama yang diberikan orang tua bayi akan menjadi nama sebenarnya yang akan disebut dalam torok manuk. Karena itu nama itu disebut “ngasang manuk”, sebuah nama yang harus dihargai, lebih-lebih kalau pemiliknya sudah dewasa. Torok cear cumpe. Dalam torok diucapkan maksud dari perayaan itu sekaligus memohon berkat, perlindungan dari Tuhan, nenek moyang yang telah meninggal serta roh alam. Jawaban atas persetujuan dari “atas” akan dinyatakan lewat “urat manuk” (hati dan usus ayam) dan penutur torok akan membacanya serta menyampaikan artinya kepada peserta yang hadir. Torok terbagi menjadi dua bagian besar. Pertama, persiapan, yaitu acara persembahan siri-pinang dan tuak (teing cepa agu tuak) bagi leluhur yang telah meninggal, lalu, kedua, penyampaian torok pemberian nama dengan doa dan harapan bagi kebaikan sang bayi di masa depan. Di sela-sela torok itu, ada kebiasaan bagi anak wina (pihak penerima gadis) untuk memberikan uang kepada si bayi. Anak rona (pihak pemberi gadis) pun demikian, pada saat ini mereka juga membawa sesuatu (misalnya: gelang emas, anting emas, kain tenunan songke/lipa) lalu anak wina akan menggantikannya dengan sejumlah uang yang nilainya lebih besar dari nilai normal.

3.      Toto Urat Manuk (Acara pembacaan tanda pada hati dan usus ayam). Ayam yang sudah disembelih dibelah lalu diperlihatkan ususnya. Penutur torok akan membaca hati dan usus ayam lalu menyampaikan hasilnya. Jika usus ayam ini tidak terbelit, berarti Mori Jari Dedek (Tuhan) dan semua leluhur memberi restu kepada bayi itu dan menjadi pelindungnya dalam meraih masa depan yang cerah-gemilang. Sebagai wali urat di’a (syukur atas lurusnya usus ayam yang berarti pertanda baik karena mendapat restu Yang Maha Tinggi dan para leluhur), pihak anak wina memberikan sejumlah uang sebagai ungkapan kegembiraan.

4.      Helang (Sesajian untuk Leluhur). Bagian-bagian tertentu seperti hati ayam, paha ayam diambil lalu dibakar untuk dijadikan sajian bagi Yang Maha Tinggi dan arwah leluhur. Bersama daging itu disertakan nasi, air dan tuak (arak).

2.7.6. Torok Teing Cepa agu Tuak:

Torok Pembukaan :
Kerrrr………ho’o cépa di’a kugut ite ngasang énde lopo agu éma do, agu ise wura agu céki, ai leso ho’o de, néki wéki, tara manga, padir wa’i réntu sa’i, té adak cear cumpe dé empos, lalong bakok to’ong kudut adak tanda ngasang dé émpos…ho’os cépa agu tuaks, maim ga…
(Kerrrrrr….inilah siri-pinang yang kami persembahkan buat kakek-nenek yang telah meninggal, juga seluruh roh nenek moyang, karena hari ini kita bersatu hati, menyatukan wajah, dengan berjulur kaki untuk melakukan upacara pemberian nama dan membongkar tempat kelahiran dari cucu kalian…marilah memamah siri-pinang ini, juga mencicipi tuak ini…marilah kalian semua…)

Torok Cear Cumpe:
Dénge……….di’a lé meu céki agu empo, nénggitu kole ite, mori agu ngaran, Ai mesen momang dé meu, katu le meu le mai, anak bara agu wua tuka dami. Hoog de manuk kudut adakn lami ratung wuwung agu cear di’a cumpen. One manuk ho’o teing lami ngasang. Hi (sebut nama anak itu)  muing ngasangn, kudut pu’ung noo main hia ga eme lage para neka koe béntang lé tana pe’ang, neka ligot siong, neka pédéng menes, ai hitu de turan lami rajan one manuk ho’o ratung wuwung, cear cumpe agu teing ngasang ho’o.
(Dengarlah, hai kalian, roh leluhur dan nenek moyang, demikianpun Tuhan sang Pemilik dan Yang Empunya, karena besar kasih kalian, kalian mengirimkan anak, buah rahim kami. Inilah ayam yang kami persembahkan untuk membongkar Cumpe dan menguatkan ubun-ubunnya. Dia adalah (sebut namanya) sebagai nama pemberian untuknya, biarlah dari sekarang, kalau dia pergi ke manapun, tidak diganggu oleh pelbagai penyakit, dibebaskan dari segala macam ancaman roh jahat, disayangi oleh alam. Itulah maksud yang menjadi inti dalam ayam korban ini, untuk membongkar Cumpe dan memberikan nama)

Kali hitus tae agu torok toe senget le, toe pinga sina, ngongt benta kin le tana pe’ang, ligot kit siong, pédéng kin menes, ngongt cau bon lami manuk ratung wuwung, cear cumpe agu teing ngasang ho’o tura one urat, pécing one péning rao ranggi mbolot urat manuk toe kong toton…
(Walaupun maksud ayam ini dikorbankan sudah kami sampaikan, namun niat dan permohonan kami tak dihiraukan, kekuatan roh jahat masih menguasainya, sakit masih dideritanya, alam tak menjaganya, ayam korban ini menjadi tak bermakna untuk upacara membongkar Cumpe, menguatkan ubun-ubunnya dan memberikan nama untuknya, sampaikanlah ketaksetujuan dan ketaksukaan kalian lewat hati dan usus ayam ini…nanti ususnya terbelit-bengkok, dan darinya tak dapat dibaca apapun…)

Somba….yo émpo agu céki, nggitu kole ite morin agu ngaran, ho’o ketag manukn lami pujud mu’u, saka cangkéms meu. Nahe pu’ung no’o main, sembeng lite wéki agu wakar, nahe  uway lé usang, bekay lé lena. Kudut langkas haeng ntalay eta mosen, uwa haeng wulang…
(Ampunilah kami…. hai nenek moyang dan para roh leluhur serta Tuhan Pemilik dan Sang Empunya, inilah ayamnya untuk memuji dan memuliakan kalian. Biarlah dari sekarang ini, kalianlah yang menjadi penjaga tubuh dan jiwanya, biarlah dia bertumbuh dan berkembang seperti banyaknya hujan, beranak-pinak seperti musim kemerau. Biarlah dia tinggi sampai langit, bertumbuh mencapai bulan…)

Hitus de tae agu torok, senget lite le, pinga lite sina, pecing lé meu céki
agu ase ka’e wéki, camas raja ce’e, manuk laing tu’ung, manuk cear cumpe agu teing ngasang ho’o. Cékél ndéng, déri wa’i, bombong pésu, lengkas maja, lengkang salang urat manuk ho’o. Cala mangas poti kose agu keba kamping hia, du waes laud, du lésos saled, somba…di’a dé urat manuk ho’o to’ong…
(Itulah yang kami sampaikan dalam harapan dan doa, dengarlah hai kalian, pahamilah, ketahuilah hai kalian para leluhur dan roh nenek moyang, inilah ayam sejati, ayam untuk membongkar Cumpe dan memberikan nama. Nyatakanlah itu dalam hati ayam yang kilat- bersinar, empedu yang bergelembung-indah, usus ayam yang lurus-terbaca. Mungkin ada  setan jahat dan pembawa malapeta yang akan mencelakai dia, biarlah semua itu dibuang bersama matahari yang tenggelam dan air yang mengalir….ampunilah, biarlah usus ayam ini bertanda baik…)


2.7.7. La’at Meka Weru
Laat méka wéru (laat: mengunjungi, méka wéru: tamu baru/bayi yang baru lahir) dalam konteks kelahiran adalah mengunjungi keluarga yang memiliki bayi yang baru lahir. Laat ini bertujuan untuk mengunjungi sekaligus menyambut bayi yang baru lahir, sebab kini dia tinggal bersama dengan keluarga dan klan tertentu.
Biasanya para tamu yang datang membawa serta hadiah berupa ayam, beras, kacang-kacangan, dll yang bertujuan agar menambah nutrisi bagi ibu dan bayi. Pemberian ini merupakan keiklasan hati atas dorongan cinta kasih.

3. Ritus Kelahiran Orang Manggarai Sebagai Bentuk Inisiasi Individu Ke Dalam Masyarakat[8]

3.1. Pengertian Inisiasi[9]
Kata “Inisiasi” berasal dari kata bahasa Latin, initium, yang berarti masuk atau permulaan, secara harafiah berarti: masuk ke dalam. Inisiasi terdapat di dalam ritus kehidupan di berbagai tempat. Ritual-ritual dilakukan ketika bersyukur atas bayi di dalam kandungan, lahir, pubertasi (akil balik), pernikahan, hingga kematian. Ritus erat hubungannya dengan proses kehidupan manusia. Praktek inisisasi sebenarnya telah dilakukan oleh banyak kelompok, suku, kelompok keagamaan, dan kelompok mistik.[10]
Di dalam bahasa Inggris, “Inisiasi” berasal dari kata initiate yang berarti: memulai suatu kegiatan. Inisiasi adalah sebuah perayaan ritus yang menjadi tanda masuk atau diterimanya seseorang di dalam sebuah kelompok atau masyarakat. Inisiasi juga menjadi sebuah tanda formal diterima menjadi dewasa di dalam sebuah komunitas. Setiap daerah atau tempat memiliki cara dan ritual yang berbeda-beda sebagai wujud inisiasi. Inisiasi merupakan ritual sebagai tanda seseorang diterima di dalam sebuah komunitas atau suku. Inisiasi merupakan gejala sosio-antropologis yang muncul dan berkembang di dalam setiap komunitas atau masyarakat.[11]
Mircea Eliade12] merupakan antropolog yang terkenal dalam mempelajari dan mengembang sosiologi dan antropologi. Mircea Eliade menjelaskan inisiasi sebagai suatu tindakan agama yang berprinsip klasik atau tradisional. Dia medefinisikan inisiasi sebagai sebuah perubahan dasar dalam kondisi yang esensial, yang membebaskan manusia dari masa yang profan dan sejarah. Inisiasi mengintisarikan sejarah yang sakral dalam  dunia. Intisari bahwa seluruh dunia disucikan menjadi baru dan dirasakan sebagai pekerjaan yang sakral, yaitu ciptaan Tuhan.[13]

3.2. Fungsi Inisiasi[14]
Adapun alasan-alasan untuk dan fungsi inisiasi, antara lain:
·         Ini merupakan penilaian nyata akan ritual kematian, yang akhirnya memimpin kepada penaklukan ketakutan akan kematian.
·         Fungsi inisiasi untuk menyatakan makna yang dalam dari keadaan menuju generasi baru dan membantu mereka memikul tanggung jawab atas tindakan manusia yang benar dan partisipasi dalamkebudayaan.
·         Inisiasi menyatakan dunia terbuka terhadap pergeseran manusia dan disebut  transendental.
·         Inisiasi membuka nilai-nilai spiritual.

3.3. Tipe-tipe Inisiasi[15]
Dalam analisisnya mengenai ritus, M. Eliade membedakan antara tipe-tipe inisiasi ke dalam dua cara, yaitu tipe-tipe dan fungsi, yaitu:[16]
·         Ritus Pubertas: Ritus ini merupakan ritual yang bersifat kolektif. Ritus ini dilakukan sebagai ritual anak-anak menuju dewasa. Hal ini biasa juga disebut dewasa awal.
·         Masuk ke dalam komunitas mistis (secret society). Ritual ini dilakukan dilakukan sebagai tanda masuknya seseorang ke dalam sebuah komunitas. Komunitas ini sering disebut dengan masyarakat rahasia (secret society).
·         Pekerjaan Mistis (Mistical Vocation). Pekerjaan Mistis mengarah kepada seorang yang bekerja dibidang pengobatan secara (mistis), seperti dukun. Ritus ini dilakukan dengan mempersiapkan seseorang yang telah dipilih. Pekerjaan Mistis ini dilakukan sebagai upaya melestarikan kebudayaan dan tradisi suatu daerah tertentu.
Ritus-ritus ini dapat dibagi ke dalam dua tipe:
1.      Ritus pubertas, anak remaja yang memperoleh izin untuk dianggap dewasa, mendapatkan pengetahuan, dapat melakukan hubungan seks. Ritual ini menandakan mereka masuk ke dalam kedewasaan.
2.      Inisiasi khusus, seseorang menjalani suatu keadaan yang melampaui keadaan manusia. Orang tersebut pun menjadi makhluk supranatural.

3.4. Cear Cumpe sebagai Ritus Inisiasi Individu
Upacara Cear Cumpe menghadirkan beberapa dimensi, antara lain: pemberian nama dan pernyataan status. Dua aspek ini dijelaskan dalam konsep berikut ini:

3.4.1. Pemberian Nama
Dalam analisis yang dibuat oleh Damian Toda tentang nama, nyata bahwa bagi Orang Manggarai nama tidak selalu memiliki makna khusus.[17] Hal itu sangat jelas pada usulan rancangan nama yang berjumlah lima yang diajukan pada saat pemberian nama seorang anak. Tetapi nama yang diajukan biasanya tidak asing dalam komposisi rasa bunyi bahasa Manggarai, bahkan sering berasal dari nama turunan ataupun variasi bunyi yang mirip dengan nama bapa, moyang, tokoh terkenal ataupun nama gelar dari lingkungan keluarga besar.

Nama ini diberikan dengan macam cara. Orang tua dari anak akan menyiapkan nama. Demikianpun orang-orang yang pada saat itu hadir dalam upacara Cear Cumpe. Ada keyakinan yang kuat bahwa nama anak harus mendapat restu dari leluhur. Itulah sebabnya, di beberapa wilayah Manggarai, ada cara lain untuk menentukan nama yakni dengan menggunakan pinang yang dibelah dua. Keluarga memilih satu nama. Lalu pinang dilempar ke udara, jika semua pinangnya terbuka atau salah satunya terbuka maka nama yang sudah dipilih itu cocok. Juga berlaku sebaliknya. Jika belum terbuka, maka diulang sampai tiga kali. Kalau tetap tidak terbuka, maka dicari nama lain.

Ada harapan agar dalam nama itu, jika ia mengikuti nama orang terkenal, diharapkan tabiat dan perwatakannya akan mengikuti tabiat dan perwatakan orang itu. Selain itu ada nama khas yang hampir tidak punya arti tetapi menjadi ciri khas nama orang Manggarai seperti: Jehaut, Jeramat, Jerau, Jandu, Jehalut, Jehaman, Jemudu, Jelandas, Jerubu, dll. Namun, di zaman ini, nama-nama anak yang lahir kemudian didominasi oleh nama jawa, khususnya nama para artis. Selain itu, berkembang juga kebiasaan di kalangan anak muda untuk memberikan nama keluarga pada anaknya mengikuti nama ayahnya. Terdapat harapan agar si anak mengikuti tabiat dan perwatakan ayahnya, juga untuk membangun satu identitas keturunan yang baru. Selain itu, ada perpaduan nama berdasarkan bunyi bahasa yang indah dari kata bahasa Manggarai sendiri.[18]

3.4.2. Pernyataan Status
Masyarakat adalah kelompok sosial yang terdiri dari individu-individu. Namun oleh institusi keluarga, individu diberi status tertentu sebagai anggota dalam kelompok sosial. Pada gilirannya, secara sosial, individu dibawa masuk ke dalam stratifikasi sosial tertentu.[19]

Status merupakan satu segi yang ditentukan secara sosial atas diri seseorang yang pada gilirannya menentukan sebuah relasi sosial dan mencakup hak dan kewajiban tertentu terhadap orang lain. Status itu dapat dibedakan antara status yang diberikan (ascribed) dengan status yang diperoleh (achieved).[20]

Dalam waktu penantian kelahiran bayi, kaum laki-laki berdiang dekat api di luar rumah. Jika terdengar tangisan bayi, mereka memukul dinding sebanyak tiga kali sambil bertanya “Ata one ko ata pe’ang?” (Orang dalam atau orang luar?). Ata one adalah istilah untuk laki-laki karena dia akan menjadi penerus generasi klan, sedangkan ata pe’ang adalah istilah untuk perempuan sebab jika dia diperistri, dia akan masuk dalam klan suaminya.

Pada zaman sekarang, kaum lelaki tidak lagi membuat perapian di luar rumah. Oleh karena perubahan cara memandang kelahiran seorang manusia sudah berubah, yakni banyak ibu dibawa ke rumah sakit bersalin, maka pertanyaan itu diajukan post partum (sesudah melahirkan). Namun maknanya tetap sama.

Pertanyaan ini sangat penting artinya untuk mengukuhkan atau mendeklarasikan pertama kalinya status jenis kelamin anak dalam keluarga. Orang Manggarai menganut sistem partilineal. Patrilineal adalah suatu adat masyarakat yang mengatur alur keturunan berasal dari pihak ayah.[21] Kata ini seringkali disamakan dengan patriarkat atau patriarkhi, meskipun pada dasarnya artinya berbeda. Patrilineal berasal dari dua kata, yaitu pater (bahasa Latin) yang berarti "ayah", dan linea (bahasa Latin) yang berarti "garis". Jadi, "patrilineal" berarti mengikuti "garis keturunan yang ditarik dari pihak ayah".[22]

Karena itu, laki-laki memiliki fungsi dan peran sebagai berikut: 1) Laki-lakilah yang melanjutkan keturunan klan. Laki-laki mempunyai hak atas seluruh warisan yang dimiliki orang tuanya. 2) Perempuan akan mendapat “identitas” baru dalam klan suaminya. Ia juga memperoleh harta warisan dari klan suaminya.

Kenyataan ini melahirkan konsekuensi-konsekuensi hak dan kewajiban, antara lain:[23]
Pertama,  Sebagai Ata one (penerus keturunan klan) laki-laki adalah pihak “anak rona” (pemberi gadis) mempunyai hak untuk memanfaatkan harta warisan yang dimilikinya. Selain itu, ata one juga berhak mendapat bantuan saudarinya dalam urusan adat, misalnya melalui sida (permintaan bantuan dalam bentuk uang atau hewan yang diwajibkan adat).

Adapun kewajibannya terbadi dalam dua hal yakni: terhadap suku atau klannya dan terhadap anak wina (pihak penerima gadis). Terhadap klannya (wa’u) ia terlibat dalam urusan adat seperti melaksanakan upacara penti (syukur panen), kelas/paka di’a (kenduri), nempung/wagal (perkawinan), dll. Sedangkan kewajiban terhadap anak wina ialah menjadi pihak penyalur berkat bagi kelompok anak wina dalam pelbagai bentuk. Anak rona, melalui pelbagai upacara mendoakan keselamatan anak wina dan jikapun memberikan barang tertentu, barang itu merupakan tanda atau simbol restu anak rona terhadap anak wina dalam upaya memperjuangkan kehidupan yang lebih baik. Kerap anak rona dalam kiasan disebut “sa’i” (dahi, kepala) yang berarti sumber keturunan.

Selain itu, ata one bertugas untuk memelihara dan menjaga orang tua (tei tinu). Bila orang tua meninggal dunia, ata one berperan untuk mengurus seluruh ritual yang berkaitan dengan kematian dengan melibatkan anak wina.

Kedua,  Sebagai Ata Pe’ang, Anak wina mempunyai hak menerima “wida” atau “widang” berupa barang-barang yang dibutuhkannya dalam kehidupan barunya di klan suaminya. Pada zaman lampau, wida ini bukan hanya barang kebutuhan rumah tangga tetapi juga bisa berupa “uma duat” (sawah atau ladang).

Kewajiban ata pe’ang dapat terlihat dalam pelbagai bentuk aktivitas, antara lain: hena le bantang (kewajiban tidak resmi) dan sida (sumbangan wajib ata pe’ang). Dalam dua hal ini, anak wina atau ata pe’ang akan memberikan bantuan sekemapuannya jika ia diajak untuk membantu saudaranya dalam peristiwa hena le bantang. Sedangkan sebaliknya, sida merupakan kewajiban yang sudah dipatok jumlahnya dan terkandung di dalamnya kepastian untuk menerima dan mengimplemnetasikan sida.

4. Kesimpulan
Dalam pandangan budaya Manggarai, individu merupakan bagian yang tak terpisahkan dari identitasnya sebagai makhluk sosial (ens sociale). Ia berada bersama yang lain. Dalam sosialitasnya itu, ia mengembankan tugas dan kewajiban yang didasarkan pada hak-haknya.

Pemberian nama pada upacara Cear Cumpe, selain sebagai maklumat kepada publik tentang jenis kelamin dan nama yang diberikan kepadanya, juga merupakan pengumuman tugas-tugas yang akan melekat padanya. Hal itu menjadi kentara dalam pola pembagian peran sebagai “ata one” (penerus klan) atau sebagai “ata pe’ang” (menjadi anak wina, menjadi istri dari klan lain).

Terdapat hubungan kausalitas yang saling mengandaikan di sini. Pihak ata one, sebagai pemberi gadis, secara mistik diyakini sebagai pemberi kebaikan, pewaris rejeki dan pengurus orang tua yang bijak. Sementara itu, ata pe’ang adalah pihak yang senantiasa terlibat dalam pelbagai urusan adat sehingga equilibrium relasi tetap terwujud. Hal itu tampak dalam keterlibatan anak wina menerima “bantang” atau “sida”, baik dalam urusan perkawinan maupun dalam ritual kematian.

Individu dalam budaya Manggarai, sejak lahir diinisiasi untuk menerima tugas dan kewajiban ini, serentak menerima hak-hak yang telah digariskan dalam upacara Cear Cumpe.***


REFERENSI

Adrianus Nggoro, Budaya Manggarai Selayang Pandang. Ende: Nusa Indah, 2006.

Daeng, Hans, Antropologi Budaya, Ende: Nusa Indah, 2003.

Deki, Kanisius, Tradisi Lisan Orang Manggarai-Membidik Persaudaraan
Dalam Bingkai Sastra. Jakarta: Parhhesia Institute, 2011.

Eliade, Mircea, Rites and Symbols of Initiation,first edition. New York:
NY Harper and Row, 1958.

_________(ed.), The Encyclopedia Of Religion, Vol.7. USA :
Macmillan Publhishing Company, 1987.

Groenen, C., Teologi Sakramen Inisiasi Baptisan Krisma: Sejarah dan Sistematika.
Yogjakarta: Kanisius, 1992

http://id.wikipedia.org/wiki/Inisiasi, diakses pada: 23 Januari 2011

http://id.wikipedia.org //“patrilineal”//, diakses: 06 Februari 2012.

Janggur, Petrus, Butir-butir Adat Manggarai Jilid 2. Ruteng: Yayasan
Siri Bongkok, 2010.

Jeff Hill and Peggy Daniels, Life Events and Rites of Passage. New York: Omnigraphic, 2008.

John Dami Mukese, Seri Buku Pastoralia: Ke Arah Kristianisasi Upacara Inisiasi Wa’u Wa Tana. Ende: Nusa Indah, 1983.

Martha Nemes Fried and Morton Fried, Tran-sitions: Four Ritualism
in Eight Cultures.USA: Penguin Books, 1981.

Prabaswara,Yusuf Brian, Kamus Nama Indah, Surabaya: Greissinda Press, 2008.

Raho, Bernard, Keluarga Berziarah Lintas Zaman-Suatu
Tinjauan Sosiologis. Maumere: Ledalero, 2003.

Regus, Max & Deki, Kanisius (eds.), Gereja Menyapa Manggarai-
Menghirup Keutamaan Tradisi, Menumbuhkan Cinta, Menjaga Harapan. Jakarta: Parhhesia Institute, 2011.

Toda, Dami N., Manggarai Mencari Pencerahan Historiografi. Ende:
Nusa Indah, 1999.

Thomas Hylland Eriksen, Antropologi Sosial & Budaya:
Sebuah Pengantar, terj. Yoseph M. Florisan. Maumere:
Ledalero, 2009.

(Pertama dipublikasi dalam Jurnal Missio Vol. IV, No. 2, Tahun 2012 sebagai edisi yang sudah direvisi).


[1] Tentang Orang Manggarai, bdk. Kanisius T. Deki, Tradisi Lisan Orang Manggarai-Membidik Persaudaraan Dalam Bingkai Sastra, Jakarta: Parrhesia Institute, 2011.
[2] Adrianus Nggoro, Budaya Manggarai Selayang Pandang (Ende: Nusa Indah, 2006), hal. 159-163. Bdk. Max Regus & Kanisius T. Deki (eds.), Gereja Menyapa Manggarai-Menghirup Keutamaan Tradisi, Menumbuhkan Cinta & Menjaga Harapan, Jakarta: Parrhesia Institute, 2011, hal. 53-67.

[3] Di Manggarai “dukun” tidak selalu berarti orang yang memiliki kemampuan tenung, tetapi juga ketrampilan dalam bidang kesehatan sebagai bidan.
[4] John Dami Mukese, Seri Buku Pastoralia: Ke Arah Kristianisasi Upacara Inisiasi Wa’u Wa Tana (Ende: Nusa Indah, 1983), hal. 31.

[5] Jillis Verheijen, Kamus Bahasa Manggarai Jilid 1 (Netherland: Koninklijk Intituut Voor Taal-Land En Volkenkundi, 1967), hal. 175.
[6] Ibid., hal. 718.
[7] John Dami Mukese, Op. cit.
[8] Penjelasan yang memadai tentang insisasi bdk. Hans Daeng, Antropologi Budaya, Ende: Nusa Indah, 2003, hal. 48-57. Sebagai bahan bandingan baca: Jeff Hill and Peggy Daniels, Life Events and Rites of Passage (New York: Omnigraphic, 2008).
[9] Bdk. http://id.wikipedia.org/wiki/Inisiasi, diakses pada: 23 Januari 2011.
[10] C. Groenen, Teologi Sakramen Inisiasi Baptisan Krisma: Sejarah dan Sistematika, Jogjakarta: Kanisius, 1992, hal. 8-40.
[11] Ibid.
[12] Mircea Eliade lahir pada 28 Februari 1907 dan meninggal pada 22 April 1986 adalah sejarawan, filsuf, penulis fiksi Rumania dan profesor di Universitas Chicago. Karyanya yang terkenal antara lain: Rites and Symbols of Initiation (Birth and Rebirth), 1958; The Sacred and the Profane: The Nature of Religion, 1959; The Two and the One, 1965; The Quest: History and Meaning in Religion, 1969.
[13] Mircea Eliade, Rites and Symbols of Initiation,first edition (New York: NY Harper and Row, 1958), hal. 17-28.
[14] Martha Nemes Fried and Morton Fried, Tran-sitions: Four Ritualism in Eight Cultures.USA: Penguin Books, 1981, hal. 9-256.
[15] Ed. Mircea Eliade, The Encyclopedia Of Religion, Vol.7., USA: Macmillan Publhishing Company, 1987, hal. 224-238.
[16] Ibid.
[17] Dami N. Toda, Manggarai Mencari Pencerahan Historiografi, Ende: Nusa Indah, 1999, hal. 71.
[18] Nama orang Manggarai sangat variatif. Mengikuti nama artis dan nama orang jawa: Rano Karno, Susilowati, Sulistyo, Parman, Haryanto, Haryono, dll. Nama mengikuti arti berdasarkan kata dalam bahasa barat: Aristarchus (pemimpin terbaik), Abel (nafas kehidupan), Antonio (pria yang patut dihargai), Beatrice (doa untuk orang lain/membuat orang lain bahagia), dll. Nama dalam kata Manggarai yang indah didengar dan makna yang mendalam: Naige (hatiku), Nera (cahaya), dll. Bdk. Yusuf Brian Prabaswara, Kamus Nama Indah, Surabaya: Greissinda Press, 2008.
[19] Bdk. Bernard Raho, Keluarga Berziarah Lintas Zaman-Suatu Tinjauan Sosiologis, Maumere: Ledalero, 2003, hal.47.
[20] Bdk. Thomas Hylland Eriksen, Antropologi Sosial & Budaya: Sebuah Pengantar, terj. Yoseph M. Florisan, (Maumere: Ledalero, 2009), hal. 83-84.
[21] Sementara itu patriarkhat berasal dari dua kata yang lain, yaitu pater yang berarti "ayah" dan archein (bahasa Yunani) yang berarti "memerintah". Jadi, "patriarkhi" berarti "kekuasaan berada di tangan ayah atau pihak laki-laki".
[22] Bdk. www.wikipedia.org //“patrilineal”//, diunduh: 06 Februari 2012.
[23] Bdk. Petrus Janggur, Butir-butir Adat Manggarai Jilid 2, Ruteng: Yayasan Siri Bongkok, 2010, hal.111-119.