Kanisius
Teobaldus Deki
Peneliti
Budaya Manggarai pada
Lembaga
Nusa Bunga Mandiri dan
STKIP
St. Paulus Ruteng
Di tengah
bergolaknya pelbagai masalah yang mengancam kehidupan manusia, parameter mana
yang dipakai untuk menjadi rujukan nilai? Pertanyaan ini menjadi titik mulai
usaha pencarian kebenaran manakala di lapangan ditemukan kenyataan bahwa
masyarakat ternyata memiliki beragam interpretasi atas pelbagai model
pendekatan penyelesaian masalah. Sampai sejauh ini, ada tiga sumber nilai yang,
setidaknya hakul yakin, diamini oleh masyarakat dan Negara. Pertama nian,
nilai-nilai yang muncul dari undang-undang, peraturan dan norma Negara. Pada
tempat kedua, nilai dan tata aturan yang datang dari budaya. Selanjutnya, pada
tempat ketiga, nilai-nilai, aturan dan norma yang datang dari agama.
Ada dua fakta
yang mendasari kajian ini. Pertama,
tatkala menyempatkan diri mengunjungi saudara-saudari di lembaga
pemasyarakatan, celetukan yang muncul ialah bahwa banyak kasus di ranah privat
tak harus berujung di kepolisian, kejaksaan dan pengadilan. Kasus tapal batas
tanah, pelbagai salah paham, hak waris, masalah perceraian, adalah beberapa
contoh masalah yang dapat diselesaikan oleh hukum adat.
Kedua, masalah
pemberian ijin beberapa usaha, termasuk pertambangan yang dilakukan oleh oknum
tua adat, setelah ditelisik, tidak memiliki dasar memadai yang ditandai dengan
ketiadaan identitas otoritatif yang sah. Begitu banyak orang sekarang ini
mengakui dirinya sebagai tua adat (tu’a
golo-kepala kampung, tu’a teno-otoritas
pembagi dan penjaga tanah ulayat) tanpa didukung oleh sebuah sejarah keberadaan
yang sahih dan dapat dipertanggungjawabkan. Di tengah hiruk pikuk pengakuan
palsu tentang identitas dan pembentangan sejarah yang penuh dengan manipulasi,
apa yang harus dilakukan pemerintah untuk menjembatani usaha penyelesaian
masalah dan konflik antar masyarakat, pemerintah dan para investor?
Kajian ini
lebih merupakan sebuah tawaran sekaligus opening
study (studi awal) untuk mencari perhubungan yang intens antara masalah,
kearifan local (local wisdom) dan
tawaran solutif melalui revitalisasi lembaga adat.
Kearifan
Lokal dan Kesadaran Negara
Negara
sesungguhnya memiliki kesadaran untuk mengatasi pelbagai persoalan yang
dihadapi warganya. Negara tahu bahwa hukum positif tidak bisa menjadi rujukan
tunggal. Ada dua titik penting pada kesadaran ini.
Pertama, selain hukum,
peraturan dan norma agama, budaya melalui kearifan lokalnya, telah terbukti
mumpuni mengatasi persoalan sebelum republic ini dibangun. Masyarakat zaman
lampau yang memiliki pijakan nilai berdasarkan nilai-nilai budaya bisa hidup
rukun dan damai. Bahkan jikapun mereka berperang, hal itu terjadi dengan
nilai-nilai yang sudah jelas dilandasi etika berperang. Bukan secara
serampangan dan membabi-buta melakukan aksi kekerasan yang tak jelas nilai
pijakannya!
Kedua, setelah Negara
merdeka, memiliki hukum, aturan dan nilai-nilai dalam pelbagai bentuknya,
penyelesaian kasus dan konflik juga beraraskan hukum, aturan dan nilai budaya,
walaupun semuanya berbentuk lisan dan diwariskan secara turun temurun.
Kenyataan ini lalu melahirkan legitimasi Negara atas pelbagai hukum dan praktik
aturan lembaga adat dalam pelbagai aspeknya.
Kesadaran Negara
ini terlihat jelas dalam produk hukumnya dalam pelbagai bidang. Pengakuan
terhadap hukum adat di bidang agraria melalui UUPA No. 5 Tahun 1960 tanggal 24
September 1960. Selanjutnya, UU No. 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia
(HAM), pada pasal 6 ayat (1) dan ayat (2) juga dijelaskan mengenai hal
tersebut. Bahkan dalam bidang khusus juga dinyatakan secara eksplisit: UU No.
41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, UU
No. 14 Tahun 2004 tentang Perkebunan, UU
No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, Permen Agraria / Kepala BPN No. 5 Tahun 1999 tanggal
24 Juni 1999 dan Permendagri No. 3
Tahun 1997 tentang Pelestarian, pemberdayaan dan pengembangan adat-istiadat,
budaya dan hukum adat.
Tentu masih banyak
undang-undang dan peraturan yang dapat dideretkan. Pengungkapan UU dan
Peraturan ini, yang secara umum digariskan dalam UUD 1945 Pasal 18 B ayat (2) :
"Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat adat beserta
hak-hak tradisionalnya sepanjang hidup dan sesuai dengan perkembangan
masyarakat dan prinsip NKRI yang diatur dalam UU", mau menegaskan bahwa Negara
memandang perlu dan karenanya serius mau menempatkan lembaga adat dan hukumnya
dalam menjamin kehidupan, memajukan dan mensejahterakan kehidupan masyarakat
Indonesia.
Kemendesakan
Revitalisasi Lembaga Adat
Mengikuti alur pemikiran
di atas, menjadi nyata bahwa rujukan tunggal dan dominan pada penyelesaian
masalah di Manggarai ataupun wilayah lain, tanpa menghiraukan lembaga adat
adalah sesuatu yang timpang. Pertanyaan pokok kita selanjutnya adalah
“Bagaimana mendapat kepastian tentang peran lembaga adat jika ternyata lembaga
ini sudah kehilangan taringnya? Atau sudah kehilangan perannya? Atau bahkan
identitasnya mengarah kepada kepunahan?”
Pertanyaan-pertanyaan
ini penting diajukan untuk menjadi leading
question (pertanyaan pengarah) pada usaha revitalisasi lembaga adat dan
produk hukumnya. Usaha kongkrit yang menjadi ikutannya ialah bagaimana
membangun penelitian partisipatif dan objektif yang berfokus pada pemahaman
tentang lembaga adat, usut asal, struktur, tugas dan tanggung jawab serta peran
yang dapat dimainkan dalam kehidupan privat pun komunal.
Dalam hubungan dengan
peran, tugas dan tanggung jawab fungsionaris adat, hukum, peraturan dan norma
adat menjadi tools (seperangkat alat)
untuk menjamin keharmonisan. Karena itu, memahami tata aturan adat yang muncul
dari ritus-ritus dan pelbagai praktik kehidupan sehari-hari adalah usaha
lanjutan untuk membentuk hukum adat yang dapat dijadikan rujukan kehidupan
bersama.
Penelitian atas
lembaga dan hukum adat adalah sebuah keniscayaan. Penelitian ini kemudian
berkiblat pada pembentukan rancangan peraturan daerah (Ranperda) dan
finalisasinya pada Peraturan Daerah (Perda). Perda sebagai payung hukum
pelegalan lembaga dan hukum adat menyelesaikan masalah pada level tertentu,
pada akhirnya dapat mengurangi penyelesaian masalah yang salah arah dan salah
kaprah. Jika alur ini menjadi jalan, untuk meretas pilihan alternative
pemecahan masalah berbasis kearifan local yang bersumber pada khazanah budaya
kita, sebagai kekayaan milik sendiri dan tidak mungkin dinafihkan, mengapa kita
tidak mulai bergerak sekarang?*** (Dimuat HU Pos Kupang, Oktober 2014).
No comments:
Post a Comment