Kanisius
Teobaldus Deki
Congress Steering
Committee
Sampai seberapa jauh nilai-nilai dalam
budaya dapat bertahan? Itulah pertanyaan dasar lagi mahapenting dalam
pewacanaan pemertahanan nilai pada satu masyarakat tertentu. Nilai-nilai yang
sudah membentuk kehidupan bersama sudah mulai rapuh diterpa pelbagai kondisi
yang tidak mendukungnya. Di satu pihak nilai-nilai itu serta merta dianggap
sudah ketinggalan zaman, pada pihak lain, penilaian itu serentak merupakan
upaya spontan dari gaya hidup modern yang ingin bebas nilai. Namun, jika
nilai-nilai yang membentuk norma, aturan dan hukum sudah dimatilemaskan oleh
pelbagai perspesi yang keliru, pertanyaan yang muncul ialah pada basis mana
kita bisa menegaskan jati diri sebagai pemilik budaya? Pertanyaan ini tentu
lahir dari keprihatinan tentang erosi nilai yang kian deras dan pada gilirannya
membentuk perilaku yang salah dalam kehidupan bersama.
Kongres Pertama Pemuda Manggarai Raya
yang akan berlangsung 13-15 Agustus 2014 di Ruteng, muncul dari keberagaman
keprihatinan tentang sebuah kerinduan memiliki kehidupan yang damai, ramah dan
sejahtera. Sebuah kehidupan yang terbangun di atas wadas nilai.
Masalah dan
Pertanyaan
Belakangan ini begitu marak masalah yang
melahirkan pertanyaan-pertanyaan. Pertanyaan-pertanyaan itu membentang dari
eksistensi nilai hingga aplikasinya: Apakah dalam budaya kita ada nilai? Jika
sudah ada, apakah nilai-nilai itu sudah diimplementasi? Mengapa masalah-masalah
dalam kehidupan bersama tidak bisa diatasi dengan merujuk pada nilai-nilai yang
ada? Mengapa pihak-pihak yang semestinya menjadi pemangku nilai tidak
memperlihatkan kedekatan tindakan mereka dengan nilai-nilai yang dianut? Dengan
lain perkataan, mengapa tindakan para tokoh (agama, adat, masyarakat, politik,
pemerintah) tidak menunjukkan adanya pengetahuan akan nilai dan komitmen untuk
mengejawantahnya dalam perilaku hidup? Mengapa masyarakat Manggarai yang
memiliki filosofi kehidupan yang penuh persaudaraan bisa melakukan kekerasan?
Pertanyaan-pertanyaan yang lahir dari
rahim peduli akan sebuah kehidupan masyarakat yang damai dan sejahtera ini
mengisyaratkan adanya masalah. Masalah yang paling besar adalah minimnya usaha
untuk benar-benar memahami nilai-nilai dalam budaya sehingga melahirkan dua
konsekuensi. Pertama, ketiadaan
pengetahuan tentang nilai. Hal ini terlihat dalam jawaban atas
pertanggungjawaban tindakan bila terjadi sebuah masalah: tidak tahu. Kedua, minimnya interpretasi atas
nilai-nilai budaya. Hakikinya, nilai-nilai dalam setiap budaya memiliki konsep
universalitas. Pada semua budaya ada dictum
untuk melarang pembunuhan dan kerabatnya semisal penganiayaan, pelecehan,
penjajahan, dsb. Namun, nilai-nilai dalam budaya kemudian didistorsi oleh
pelbagai hukum positif yang kerap lebih dipentingkan dalam penerapannya pada
penyelesaian kasus atau perkara. Karenanya, usaha hermeneutis untuk membangun
konstruksi penafsiran atas nilai budaya merupakan hal yang harus dan mutlak.
Kongres
Pemuda: Menemukan Kembali Kegairahan Untuk Belajar
Di mana tempat Kongres Pemuda Manggarai
Raya dalam kondisi ini? Kongres sebagai sebuah perhelatan akbar kaum muda yang
datang dari segenap penjuru dunia ini selayaknya memberi tempat lahirnya
komitmen untuk kembali belajar budaya. Kekayaan khasanah budaya Manggarai
terakui bukan hanya pada hasil karya penstudi-penstudi melalui laporan
akademik, tetapi lebih pada penciptaan tatanan kehidupan yang damai dan sejahtera
di masa lalu. Tradisi lisannya yang telah lama berkembang menjadi rujukan nilai
yang berkontribusi positif pada penegasan jati diri orang Manggarai (Deki, 2011:207-211).
Pada sisi ini, ikhtiar untuk kembali
bergairah belajar budaya adalah pilihan dan syarat mutlak (sine quo non). Belajar untuk mengetahui sejarah peradaban Manggarai
dari masa ke masa (tombo nunduk), bentuk
dan sistem pemerintahan Adak
(tradisional a la Manggarai), sistem dan relasi sosial, pelbagai bentuk tuturan
adat (tombo adak), ritus-ritus dan
upacara-upacara adat, relasi antara mbaru
gendang (rumah adat) dengan lingko
(kebun komunal) dalam penataan kehidupan bersama. Demikianpun sastra lisan yang
berkembang sejak awal kehidupan orang Manggarai yang berciri didaktis: tombo go’et (peribahasa), tombo turuk (cerita), tombo bundu (teka-teki), syair lagu (dere) dan torok (ungkapan doa dalam upacara adat). Unsur-unsur ini menjadi
objek penting sumber nilai bagi setiap orang yang ingin menemukan jati dirinya
sebagai orang Manggarai.
Menjadi Pelaku
Budaya
Ikhtiar untuk belajar kembali budaya
baru merupakan langkah awal untuk pemenuhan sebuah kerangka epistemologis dalam
menyusun dan mempertanggungjawabkan pilihan sikap. Lebih jauh dari ranah
intelektual dan emosional, menemukan jati diri sebagai orang Manggarai pada
akhirnya adalah perpaduan yang erat pada ranah sikap dan tutur kata.
Kongres ini selayaknya merumuskan sebuah
sumpah untuk berani menjadi pelaku dari nilai-nilai budaya. Ia juga ada dalam
kemestian menegaskan sebuah keberpihakan pada universalitas nilai yang harus
dijunjung tinggi melalui upaya hermeutis: menafsir intisari nilai yang lahir di
zaman dulu ke konteks zaman ini. Selain itu, tak kalah penting, kongres ini
harus bisa menjadi titik dan awal baru bagi keberanian kaum muda Manggarai
mempromosikan nilai-nilai budayanya kepada pihak lain. Sebuah keberanian yang
lahir dari rahim keyakinan bahwa apa yang kita miliki sangat positif untuk
penciptaan kehidupan bersama. Tentu hal ini akan dapat dilakukan secara elegan
jika kaum muda Manggarai sendiri memiliki pengetahuan dan kesadaran budaya dan
hidup dari khasanah itu. Selama berkongres!*** (Dimuat di HU Pos Kupang, 11 Agustus 2014).
No comments:
Post a Comment