Monday, 20 February 2012

Satu Abad Gereja Katolik Manggarai: Perjumpaan Transformatif Agama-Budaya


Kanisius T. Deki, M.Th
Dosen Teologi STKIP St. Paulus Ruteng

Jelang pergantian tahun 2011, Keuskupan Ruteng menyiapkan sebuah panitia untuk merayakan yubileum satu abad Gereja Keuskupan Ruteng. Hal yang sama ditegaskan kembali dalam Sidang Pastoral Keuskupan Ruteng 10-13 Januari 2012. Di tengah bayangan kesemarakan acara yang sedang dirancang dan akan dipentaskan dalam pelbagai program dan dalam hiruk pikuk kerja panitia yang tanpa kenal lelah melakukan pelbagai sidang, saya terusik untuk menorehkan beberapa pemikiran reflektif. Sebuah tirisan pikiran tentang perjumpaan iman dan budaya sebagai sebuah moment refleksi bersama satu abad Gereja Keuskupan Ruteng tahun 2012 ini.

Gereja Katolik di Manggarai bermula pada tanggal 17 Mei 1912 saat Pater Henrikus Looijmans, SJ, membaptis orang Manggarai pertama masuk agama katolik di Reo. Mereka adalah Katarina (Arbero), Henricus, Agnes Mina, Caecilia Weloe, dan Helena Loekoe. Mereka dibaptis dalam usia dewasa dan langsung menerima sakramen nikah suci pada hari yang sama. Sejak peristiwa pembaptisan itu, usaha pekabaran Injil di Manggarai terus bertumbuh dan berkembang oleh usaha misionaris SVD, Fransiskan dan Imam-imam projo dengan jumlah umat kurang lebih 644.180 orang umat Katolik yang tersebar di 78 paroki.
Ada kesan mendalam yang dialami oleh para misionaris dalam perjumpaan mereka dengan orang Manggarai. Pada saat tempat lain menolak kehadiran mereka, dikejar-kejar dan di bunuh, orang Manggarai justru menerima misi mereka dalam damai. Mereka mendapat tempat yang layak dalam nubari. Para misionaris dianggap sebagai sesama (ata dite, toe ata bana) yang kemudian membawa berkat bagi orang Manggarai dalam banyak segi kehidupan: spiritual, pendidikan, kesehatan dan ekonomi. Dan salah satu aspek yang paling menonjol dalam pertemuan iman Kristen dengan orang Manggarai adalah ranah budaya.

Gereja ”Menyapa” Manggarai
Ada kenyataan yang tak dapat dielak bahwa Gereja Katolik berjumpa dengan budaya Manggarai. Perjumpaan ini memberikan efek resiprok. Di satu pihak orang Manggarai menerima Ajaran Gereja sebagai “budaya baru” serentak dalam budaya Orang Manggarai sudah ada naturaliter christiana (nilai-nilai Kristen yang tumbuh secara alamiah dalam budaya), sehingga dengan mudah ajaran Gereja diterima dan diadaptasi menjadi bagian dari nilai Orang Manggarai.

Orang Manggarai menerima kekristenan dalam budaya mereka. Penerimaan itu tidak serentak membuat mereka berpaling secara total dari budaya dan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya karena adanya kondisi “saling menerima nilai”. Hal itu terbukti ketika kehidupan Orang Manggarai masih diwarnai oleh praktik-praktik ritus-ritus adat-istiadat dalam memaknai hidup mereka.

Dalam situasi di mana kehidupan manusia Manggarai diwarnai oleh identitas kekatolikan mereka di satu pihak dan masih dipraktikannya ritus-ritus penanda kehidupan bernafaskan adat-istiadat, dapatkah dikatakan itu adalah “sebuah sinkretisme?”

Menyadari adanya salah tafsir atas kondisi keimanan orang Manggarai, seolah-olah mereka adalah kaum kafir, penyembah berhala, saya melihat bahwa penerimaan nenek moyang orang Manggarai terhadap kekristenan adalah sebuah pilihan yang tepat untuk mencapai keselamatan. Namun pilihan untuk mendaratkan iman di atas wadah kultur budaya setempat secara kontekstual adalah keharusan demi menghasilkan iman yang kontekstual dan relevan.
“Gereja Menyapa Manggarai” lebih pada bagaimana Gereja menghadirkan diri sebagai bagian yang tak terpisahkan dari kultur orang Manggarai, menjadi esensi sekaligus eksistensi mereka. “Menyapa” berarti adanya kerendahan hati gereja untuk menghadirkan diri sebagai “milik” yang akan menjadi spirit hidup orang Manggarai. Berlawanan dengan ini, “Gereja Katolik di Manggarai” berarti gereja yang menghadirkan dirinya sebagai sesuatu yang asing dan berada dalam “nuansa congkak” sebagai kekuatan superior (seperti makna adagium lama: extra ecclesiam nula salus) di atas nilai-nilai lain, misalnya budaya.
Kesadaran ini kemudian memutlakkan adanya perubahan paradigma dalam berteologi dan lebih khusus praksis keagamaan. Gereja Katolik yang berakar berarti memberikan diri untuk juga diubah oleh kebudayaan sehingga ia tidak menjadi asing di dalam jiwa pemiliknya. Ada satu proses renunsiasi dan transformasi. Gereja dan cara menghadirkan dirinya harus masuk ke dalam “pengosongan diri” (peristiwa inkarnasi), sehingga dibaptis oleh nilai-nilai budaya, disalibkan melalui inkulturasi dan akhirnya menghadirkan nilai-nilai injili yang kontekstual sebagai kebangkitan manusia Manggarai untuk meraih “spiritualitas baru”.

Gereja: Kapital Spiritual
Spiritualitas adalah pintu masuk menuju perubahan. Langkah spiritualitas yang paling radikal itu ada dalam kerelaan meniti jalan pertobatan. Artinya, tanpa pertobatan sosial, politik dan rohani, Gereja Keuskupan Ruteng yang mencakup Manggarai, Manggarai Barat dan Manggarai Timur akan tenggelam dalam kawah krisis sosial, kultural dan politik yang mematikan. Gereja adalah simbol dari ‘kapital spiritual’ (modal spiritual) yang mungkin semakin dianggap remeh di tengah centang perenang nafsu akan kekuasaan dewasa ini.

Namun, sesuatu yang perlu digemakan sejak awal bahwa basis spiritualitas sebagai salah satu modal pembangunan kemanusiaan tidak menghasilkan sikap dan pilihan tindakan pastoral menjauh dari kemiskinan dan kemelaratan yang menggenangi kehidupan manusia. Usaha melakukan transformasi spiritual seyogyanya menimbulkan efek sosial (politik) yang tegas. Bukan sebaliknya, terbekap dalam kesendirian yang beku. Sesuatu yang tidak memiliki persambungan aktif dengan degup jantung kehidupan sosial. Kapital spiritual adalah jalan menuju perubahan sosial masyarakat.

Kapital spiritual adalah cikal bakal munculnya gerakan revolusioner demi kemanusiaan. Ini mencuat dari keyakinan bahwa konstruksi sosial religius yang senantiasa memiliki kejernihan spiritual akan mampu tampil sebagai peluru yang merobek status quo politik kekuasaan yang menistakan setiap bentuk kehidupan. Energi spiritual yang memantul dari nubari individual dan komunal orang yang beriman seharusnya mengalirkan energi pembebasan kemanusiaan. Ini adalah sikap revolusioner di tengah padang gurun apatisme politik kekuasaan terhadap kemanusiaan, lingkungan hidup dan kebudayaan. Gereja Manggarai (masyarakat Manggarai) dalam konteks kapital spiritual tidak hanya berurusan dengan persoalan rohani melainkan melebur dalam proses liberasi-revolusioner agama untuk kemanusiaan dan peradaban.

Dengan jalan ini, Gereja (umat) Manggarai akan mewartakan misi pembebasan yang komprehensif dan holistik. Di satu pihak, ia melanjutkan misi untuk menyelematkan umat manusia dari kematian kekal, tetapi di lain pihak, keselamatan itu sudah mulai dari dunia ini, kini dan di sini (hic et nunc). Dengan demikian, upaya menjadi “Gereja Katolik Manggarai” untuk 100 tahun ke depan baru mulai. Jika jalan ini yang dipilih, maka kehadiran Gereja sungguh menumbuhkan cinta dan menjaga harapan yang terpatri di dalam setiap jiwa orang Manggarai.***
Dimuat Harian Umum Flores Pos edisi 19 Januari 2012

No comments:

Post a Comment