Monday, 20 February 2012

Contradictio in Terminis (Catatan Untuk Wilibrodus Nurdin)

Oleh Kanisius T. Deki, M.Th

Staf Pengajar STKIP St. Paulus Ruteng

Pos Kupang edisi Kamis 12 Januari 2012 menurunkan opini yang ditulis oleh saudara Wilibrodus Nurdin (WN), salah seorang anggota Pimpinan Dewan Manggarai Timur. Tulisannya diberi judul: “Ambivalensi APBD Manggarai Timur”. Tulisan ini, dalam telisikan saya adalah lanjutan dari berita Pos Kupang edisi Rabu 4 Januari 2012 dalam berita “APBD Matim Cacat Hukum” dan edisi Kamis 5 Januari 2012 berjudul “Pembahasan APBD Matim Sesuai Aturan” yang menyoal proses pembahasan APBD Manggarai Timur (Matim).

Tatkala membaca tulisan ini, ada dua hal yang menyita perhatian saya. Pertama, soal tulisan. Setahu saya, tak banyak anggota DPRD kita yang bisa atau biasa menulis di koran (ruang publik) yang aras pemikirannya terbaca secara langsung. Kehadiran opini ini memberikan keyakinan kepada publik bahwa anggota dewan kita berkualitas. Setelah sekian lama menjadi anggota Dewan, saudara WN baru menampilkan pemikirannya dalam bentuk tulisan. Tulisan ini dalam bahasa yang sangat akrab dengan ingatan saya, seperti gaya bahasa seorang kawan lama saya, yang kini berdiam di Matim.

Kedua, soal substansi permasalahan. Ada sebuah dialog yang saling menanggapi dalam berita PK sejak tanggal 4 hingga 5 Januari. Soal yang ditampilkan ialah bahwa proses perumusan APBD Matim menurut penulis opini, cacat hukum, karena itu tidak boleh diimplementasikan. Opini ini oleh penulisnya kemudian berkiblat untuk mengingatkan bupati Matim agar taat asas sehingga menghindari dampak hukum.

Membaca opini ini, ada kesan bahwa penulis opini (WN) mempunyai niat yang sangat tulus agar pembangunan Matim berbasis aturan yang sangat jelas, tegas dan legal. Ada banyak peraturan yang dikutip sebagai dasar tulisannya antara lain PP No 58 Tahun 2005 tentang Pedoman Pengelolaan keuangan Daerah yang turunannya dapat terbaca pada Permendagri No. 13 Tahun 2006 dan Permendagri No. 21 dan 22 Tahun 2011 tentang hal yang sama.

Tulisan ini mencoba memberikan sisi lain dari opini saudara WN. Lebih-lebih saya membaca dari alur proses perumusan APBD dan peran komunikatif seorang anggota legislative.

APBD Matim lahir untuk menjawabi kebutuhan masyarakat. Kebutuhan itu disalurkan melalui SKPD yang ada (di esksekutif) lalu SKPD menjawabnya melalui program kerja. Program kerja beserta anggarannya kemudian dibahas di lembaga dewan melalui komisi-komisi. Dari komisi dibawa ke badan anggaran (Banggar), di sana disinkronisasi untuk selanjutnya diasistensi ke propinsi. Berita PK 05 Januari dalam klarifikasi bupati Matim memperlihatkan bahwa gubernur NTT memberikan saran-saran perbaikan dan perbaikan itu sudah dibuat dengan melibatkan SKPD bersangkutan. Gubernur melalui SK No. 900.901.KU 239.AK/2011 memberikan persetujuan RAPBD Matim 2012 yang kemudian dikukuhkan musyawarah tertinggi DPRD Matim pada tanggal 31 Desember 2011. Apa yang menjadi soal menurut opini WN bahwa bupati Matim tidak menjalankan proses pembahasan APBD Matim sesuai prosedur hukum sudah terjawab, termasuk menyangkut lokasi, disepakati oleh DPRD Matim untuk ditetapkan melalui peraturan bupati (Perbup) sesuai RPJMD RK IV.

Menelisik lebih jauh kehadiran opini saudara WN menjadi rancu dan tidak relevan setelah lembaga dewan dan eksekutif menemui kata sepakat dalam menjembatani kekurangan yang direkomendasikan baik oleh legislative maupun gubernur. Hal itu tercermin dalam kenyataan dan silogisme berikut ini.

Pertama, Apa yang ditulis dalam opini WN sudah terselesaikan dalam perbaikan-perbaikan yang dijalankan bersama secara internal oleh SKPD (PK, 04-05/1/2012). Menjalankan satu proses yang disepakati oleh lembaga dewan dan pemerintah demi kelancaran program pembangunan lebih penting daripada sebuah pertikaian pendapat dengan metodologi yang berbeda.

Kedua, menjelajahi lebih jauh alur pemikiran yang termaktub dalam opini WN sangat jelas ada kenyataan contradictio in terminis et in actus yang dibuktikan oleh tidak konsistennya dalam menguraikan substansi soal. Semestinya, saudara WN bisa mengungkapkan ketidaksetujuannya mulai dari proses awal di Komisi dan Fraksi PDIP. Sebagai seorang anggota Fraksi WN bisa mengajukan keberatan yang harus diperjuangkan oleh Fraksinya. Toh, tidak ada kenyataan fraksi PDIP menolak RAPBD Matim Tahun 2012? Hal itu juga ditunjukkan oleh fakta bahwa sebagai anggota dewan WN seolah-olah melakukan pembiaran terhadap kasus-kasus seperti dicontohkannya pada buku APBD 2011.

Ketiga, Faktanya, lembaga legislatif sudah mengambil keputusan mengesahkan APBD Matim 2012, di mana ambivalensinya? Bagaimana mungkin lembaga dewan memutuskan sesuatu yang dianggap cacat hukum? Apakah mereka begitu bodoh sehingga tidak sadar apa yang mereka lakukan? Masyarakat Matim tahu bahwa mereka memiliki wakil yang akan membahas program pembangunan wilayahnya. Hasil pembahasan itu yang sedang ditunggu untuk diimplementasi.

Bahwa benar tata kelola pembangunan yang baik bermula dari regulasi yang sahih dan legal, tetapi munculnya opini ini seminggu (12/1/2012) setelah perbaikan rekomendasi dibuat sesuai kesepakatan (PK, 05/1/ 2012), menimbulkan pertanyaan: “Untuk apa?” atau “Ada maksud apa?” Pertanyaan-pertanyaan yang tak dapat dihindari saat baliho WN sudah terpampang di mana-mana. Tugas yang masih menanti semua pihak, termasuk lembaga dewan, ialah mengkawal pelaksanaan program pembangunan Matim sehingga berdampak positif bagi peningkatan kesejahteraan rakyat banyak.***

Dimuat Harian Umum Pos Kupang edisi18 Januari 2012

No comments:

Post a Comment