Kanisius Teobaldus Deki
B |
eberapa minggu yang
lalu saya bersama enu Wiwin Haman
menjumpai P. Servulus di kediamannya, di Biara SVD Ruteng. Kali itu saya sempat
menunggu beberapa saat di ruang tamu biara SVD karena Om Tuan Servulus,
demikian kami biasa menyapa, masih melayani orang-orang yang berobat. Sejak
beliau pensiun dari jabatan sebagai Ketua STKIP Santu Paulus (kelak menjadi UNIKA
Santu Paulus) dan Provinsial SVD Ruteng, kegiatan harian Om Tuan adalah
melayani umat yang datang berobat, khususnya untuk berbagai jenis penyakit yang
sulit sembuh.
Pada hari itu Om Tuan
akan menjadi pengkotbah dalam sebuah perayaan ekaristi dengan menggunakan
daring, Zoom Meeting. Enu Wiwin
menjadi operator untuk beliau. Hari itu saya datang karena ada ingatan yang
kuat untuk bertemu sekaligus membawa ole-ole roti buatan kami. Sempat kami
bercerita tentang roti itu. Beliau menerimanya dengan rasa senang. “Saya suka
makan roti”, katanya singkat. Lalu saya pamit pulang. Enu Wiwin terus menyertai beliau.
Minggu, 31 Januari
2021 saya mendapat informasi dari Dr. Marsel Payong, salah seorang dosen senior
di STKIP Santu Paulus. Pak Marsel menyampaikan bahwa Pater dalam kondisi sakrat
maut. Semua keluarga diminta untuk berdoa. Dalam sekejab saya menginformasikan
berita itu kepada semua keluarga. Barulah tersadar bahwa beliau sedang dirawat
di Rumah Sakit Komodo, Labuan Bajo.
Mestinya pada hari
Senin, 1 Februari 2021, saya bersama Rm. Dr. Max Regus Pr menuju Labuan Bajo
untuk sebuah pekerjaan dengan salah satu perusahaan. Fokusnya audit sumber daya
manusia perusahaan itu. Cuaca Ruteng beberapa hari sangatlah ekstrim. Ditambah
kabar di banyak tempat ada bencana longsor dan banjir. Akhirnya kami meminta rescheduling dengan pihak perusahaan.
Mereka juga setuju. Padahal dalam rencana kami, sebagai mantan murid, akan
menjumpai beliau di Rumah Sakit.
Sepanjang malam saya
susah tidur. Saya bangun lalu mengerjakan sesuatu di laptop. Hingga menjelang
pagi karena terus tak bisa tidur saya berbisik lirih, “Om Tuan, saya mau
berjaga bersama Ite”, lalu saya tertidur. Rupanya Tuhan sudah memiliki rencana
untuk Om Tuan Servulus. Ketika masih terlelap saya diberitahu istri, “Om Tuan
sudah tidak ada”. Beliau mangkat pada 1 Februari 2021, pkl. 05.30.
Motivator yang Handal
Tatkala saya dan
saudara Fransiskus Lajur menginjakkan kaki pertama di Biara Ordo Karmel
Maumere, berita itu sampai ke telinganya. Sebagai seorang paman sekaligus Ketua
Sekolah STFK Ledalero, beliau datang bertemu. Kepala Biara (Prior) kami cukup
terkejut melihat beliau datang. Kiranya ada sebuah kunjungan yang tak
teragendakan namun begitu mendesak. Setelah basa-basi ternyata beliau datang
mencari kami. “Oh baik Pater, silahkan”, kata Prior mengijinkan. Kami lalu berkeliling
di Kota Maumere.
Waktu tiba di depan
toko buku Nusa Indah, Om Tuan berhenti sejenak. Kami lalu masuk toko buku.
Beliau membeli 2 kamus Bahasa Inggris, kami diberi masing-masing satu
eksemplar. “Belajar yang baik supaya kamu dua jadi orang pintar”, harapnya.
Begitulah sosok Om Tuan yang selalu memotivasi.
Pada waktu saya hendak
ke Israel, saya ke Ledalero menjumpai beliau. Waktu itu saya menginformasikan
berita itu dengan senang hati. “Nana boleh
berbahagia dapat kesempatan ke sana. Ini ada beberapa kaset yang bisa didengar
sebagai persiapan bahasa”, ujarnya sambil menyerahkan setumpukkan kaset pita.
Waktu sampai di kamar saya membuka kaset-kaset itu di walkman. Betapa saya
terkejut, saya mendapat pelajaran bahasa Inggris dengan pengantar pelajaran itu
bahasa Italia! Saya lalu sadar Om Tuan ingin memberi pelajaran dengan kemampuan
maksimal. Tentu, ada maksud di balik pemberian kaset-kaset itu. Saya harus
memiliki kemampuan berbahasa asing yang melampaui standar.
Ketika mengikuti
perkuliahan yang diberikan Om Tuan: Pengantar Kitab Suci Perjanjian Lama,
Kritik Para Nabi dan Analisa Naratif, ketelitian menjadi kata kunci. Kertas
ujian mahasiswa diperiksa kata per kata. Sebagai dosen, Om Tuan berusaha
memberikan perbaikan untuk setiap jawaban mahasiswa. Ada sebuah perhatian
serius terhadap pekerjaannya. Ia tidak sekedar memberikan penilaian, ia juga
membangun penyempurnaan dari jawaban yang telah diberikan mahasiswa.
Motivasi yang kuat
itulah menggerakkan saya untuk mengunjungi Ecole Biblique Yerusalem. Saya ingin
melihat tempat Om Tuan Servulus belajar Kitab Suci selama tahun 1987-1989. Saya
juga mengunjungi museum tulisan kuno, termasuk teks-teks kitab suci dari Qumran
yang dipajang secara apik di sana.
Kelak ketika hidup
sekampus bersama beliau di STKIP Santu Paulus dari tahun 2005, saya melihat
kepribadiannya yang selalu memotivasi muncul sebagai kekuatan. Bahkan motivasi
itu harus ditanggungnya dengan membiayai banyak anak tak mampu dari berbagai
kampong dan keluarga. Motivasi pada akhirnya tidak hanya sebuah ungkapan
kata-kata, ia berbuah pada tindakan nyata, melakukan aksi yang mewujudkan
kata-kata itu!
Beliau juga memotivasi
para dosen. Saat tahun 2005 kami masuk sebagai pengajar, mayoritas dosen masih
berijazah S-1. Hanya beberapa orang saja yang S-2 dan S-3. Dalam setiap
pertemuan, beliau selalu memiliki optimisme yang besar untuk membangun kampus
yang besar dan berkualitas. Hingga dirinya menyelesaikan tugas sebagai Ketua
STKIP Santu Paulus, semua dosen sudah berijazah S-2, system kampus berbasis on-line, gedung-gedung baru dibangun.
Opus Caritatis Pax
Pada tahun 1976-1980
Om Tuan belajar kitab suci di Roma hingga meraih gelar Licentiat di Institut
Biblicum Roma dengan judul tesis “Peripateia
Kata Pneuma (Rom 8:2b)- Imperative Category of Christian Existence”. Usai belajar, Om Tuan kembali ke Ledalero
untuk mengajar bidang Kitab Suci. Setelah sekian tahun mengajar, Om Tuan kembali
pergi belajar di Ecole Biblique Yerusalem tahun 1987-1989. Tahun 1990-1994 dia
menulis disertasi doktoratnya dengan judul “The
Spirit of God in Ezekiel”.[1]
Namun disertasi ini tak sempat dipertahankannya karena dirinya keburu dipanggil
pulang kembali ke Ledalero.
Dalam sebuah
perbincangan pribadi, saya bertanya mengapa tidak menyelesaikan studi doktorat.
Pertanyaan ini dijawab langsung oleh Om Tuan. Pertama, tema yang diangkatnya memang termasuk baru dalam
pewacanaan studi kitab suci Perjanjian Lama. Konsep tentang Roh Kudus baru
muncul ketika Perjanjian Baru. Tema itu membutuhkan waktu pendalaman yang lama.
Kedua, bersamaan dengan penantian
untuk ujian, datanglah perintah dari Provinsial Ende saat itu untuk pulang. Ada
soal internal di Ledalero kala itu. Konflik antar beberapa pihak yang dinilai
bisa berdampak negative bagi perjalanan kampus. Om Tuan Servulus didapuk
menjadi Ketua STFK Ledalero. Jadilah demikian, Om Tuan kembali dan taat pada
perintah atasannya.
Selama dirinya menjadi
Ketua STFK Ledalero, bukan saja konflik yang berhasil diredam dan dilakukan
rekonsiliasi, tetapi juga pembangunan gedung kampus. Gempa tektonik tahun 1992
meluluhlantakkan kampus STFK Ledalero. Semua bangunan hancur berkeping-keping.
Selama sekian tahun mahasiswa belajar di barak-barak sederhana yang terbuat
dari bambu. Kami termasuk mengalami belajar di barak. Lalu pihak Yayasan, SVD
dan Sekolah membangun gedung-gedung baru yang megah, besar dan mentereng. Kami
menyelesaikan studi di gedung-gedung baru itu.
Ketika STKIP Santu
Paulus Ruteng mengalami prahara, P. Servulus dimintai bantuan melakukan
pembenahan oleh Mgr. Eduardus Sangsun SVD, Pembina Yayasan sekolah. Kala itu
perseteruan sulit dibendung. Yayasan berkonflik dengan pihak Sekolah. Masalah
pokoknya adalah adanya temuan korupsi peningkatan status sekolah itu menjadi
universitas. Selain itu masih ada juga masalah-masalah lain yang mendesak untuk
diatasi.
Ketika akhir tahun
2003 P. Servulus datang ke Ruteng, berbagai aksi penolakan dilakukan. Para
dosen mengundurkan diri, mahasiswa diberhentikan. Pengrusakan kampus dilakukan.
Aksi mogok menjadi kenyataan harian. Bahkan saking menguatnya demonstrasi,
mahasiswa menarik dosen dari dalam ruang kelas, termasuk P. Servulus. Namun
Pater Servulus menyikapi situasi dengan caranya sendiri. Ia tidak membenci
mereka yang menolaknya. Ia bahkan berusaha mencari jalan keluar agar semua
pihak yang bertikai dapat berdamai kembali.
Dalam sebuah wawancara
dengan salah seorang dosen senior, Bapa Alfons Sene, konflik itu memang
membutuhkan actor penyelesai dari luar. Ketika saya bertanya, mengapa Uskup
Eduardus Sangsun tidak mengangkat dosen-dosen yang ada sebagai Ketua, Bapa
Alfons mengatakan bahwa mereka bagian dari konflik. “Bapa uskup tahu, kita
butuh penengah, butuh orang yang lebih berkompeten, lebih berintegritas
mengurus sekolah ini. Semua karakter itu ada pada beliau”, ujarnya.
Ia juga mengayomi
dosen-dosen yang masih menolaknya dan memiliki praduga kepadanya. Ia melakukan itu dengan cinta kasih. Ia
mengamini apa yang dikatakan Paus Pius XII dalam Ensiklik Urbi Arcano, 14,686, yang mengatakan “Opus Caritatis Pax” yang bisa diterjemahkan: Perdamaian adalah buah
cinta kasih. Pernyataan Paus Pius XII ini merujuk pada gagasan Thomas Aquinas
dalam Summa Theologiae (II-II, q.29.
art. 3) yang berkata: “Perdamaian sejati dan abadi lebih merupakan persoalan
cinta kasih daripada keadilan, karena fungsi keadilan hanyalah sekedar
menghapuskan rintangan-rintangan menuju perdamaian. Namun, perdamaian itu
sendiri adalah sebuah tindakan dan hasil dari cinta kasih semata-mata” (Pius
XII, Ensiklik Urbi Arcano, 14).[2]
Karena kesediaannya
berkorban bagi banyak orang, konflikpun berlalu. Pihak-pihak yang bertikai
menerima kenyataan bahwa konflik tidak menciptakan kemajuan. Konflik
meluluh-lantakkan banyak hal, termasuk nilai dan karakter. Kajian-kajian P.
Servulus di masa itu berusaha mengembalikan prinsip ajaran Katolik yang
melandasi pendirian STKIP Santu Paulus. Ia selalu kembali ke pola dasariah:
Yesus sebagai guru dan pendidik.[3]
Pola itu dikembangkannya dalam system pendidikan kampus, pencapaian sumber daya
manusia dan relasi inter-antar personal.
Dalam masa periode
kedua kepemimpinannya, P. Servulus dipercayai oleh kongregasi SVD untuk menjadi
Provinsial. Pekerjaan ini tidaklah mudah. Kongregasi ini mulai kelimpungan
dengan berbagai soal yang berat. Usaha-usaha dalam bidang ekonomi mereka
terpuruk. P. Servulus lalu berhenti sebagai Ketua STKIP Santu Paulus walaupun
masa jabatannya masih tersisa beberapa tahun. Dirinya masih mengajar beberapa
mata kuliah. Ia berfokus membangun kongregasinya.
Pengabdian yang Total
Pada suatu waktu P.
Servulus dikejutkan dengan munculnya sebuah surat dari Kampus. Isinya singkat,
dirinya tidak lagi menjadi pengajar di sekolah yang sudah diselamatkannya.
Surat itu dihantar oleh seorang staf dari yayasan. Ketika membaca surat itu
hatinya gundah. Bukan isi surat yang membuat dirinya masgul, melainkan cara
mereka memperlakukan dirinya.
“Etikalah yang membuat
kita disebut manusia”, katanya. Dirinya sungguh sadar apa yang telah
dilakukannya atas lembaga itu merupakan pelayanan yang diterima dari Tuhan.
Namun respek terhadap semua pihak yang telah membuat sekolah itu berjalan
kembali dalam kesuksesan adalah bagian dari etika. “Ketika orang tidak lagi
memiliki etika, apa bedanya dengan orang yang tidak berpendidikan?”,
komentarnya suatu kali saat saya mengunjungi beliau di komunitasnya.
Bisa jadi P. Servulus
tidak butuh dihargai dengan sebuah acara perpisahan yang mewah. Ia hanya ingin
menegaskan, etika adalah buah dari sebuah pendidikan, yang seharusnya dilakonkan
oleh pihak-pihak yang ada di lembaga itu.
P. Servulus tidak
banyak menulis buku, sejauh yang saya tahu, selain sebuah buku yang dieditnya.[4]
Sedangkan artikelnya tersebar di banyak buku kumpulan tulisan termasuk Jurnal
Missio. Banyak bahan kuliahnya dalam bentuk diktat. “Suatu saat saya akan
menerbitkannya menjadi buku”, katanya suatu kali.
Rupanya itu tidak lagi
bisa dilakukannya. Penyakit gula yang menggerogotinya membuat matanya
bermasalah. Berkali-kali ia dirawat berkaitan dengan matanya ini. Pengalaman
sebagai orang sakit lalu mendorongnya untuk merawat orang-orang sakit. Ia
memiliki karunia menyembuhkan. Banyak orang lalu datang kepadanya setiap hari.
Beliau menerimanya dengan hati yang tulus. Mereka didoakan lalu sembuh. “Kami
sangat berterima kepada Pater Servulus. Kami pernah meminta bantuan doa beliau,
kami sembuh”, ujar Yohanes Jeharut, salah seorang pasiennya. Banyak orang
memiliki kesan yang sama.
Ia juga melayani
perayaan ekaristi bagi siapa saja yang membutuhkannya. Ia datang bertemu keluarga-keluarga,
memberikan peneguhan dan kekuatan. Ia hadir untuk menjadi sumber kegembiraan
bagi sesamanya. Ia imam yang sederhana. Ketika ada trend, imam-imam muda dalam
kongregasinya memiliki mobil sendiri, ia tetap bergantung pada sopir biara yang
setia mengantarnya ke mana saja ia melayani.
Kesederhanaan dan
kesahajaan hidup menjadi bagian dari kepribadiannya. Imam pertama yang
ditahbiskan di Paroki St. Gregorius Borong tahun 1973 ini, kemudian kembali
merayakan Pesta Pancawindu Imamat dalam kesederhaan di tempat itu.
Interaksi yang intens
dengan banyak orang inilah yang bisa jadi P. Servulus tertular Covid-19.
Bersamaan dengan itu, sakit gula yang sudah menahun, bisa jadi membuka peluang
bagi dirinya untuk terinveksi. Hingga pada 16 Januari 2021 pihak SVD membawa P.
Servulus ke Labuan Bajo untuk mendapat perawatan yang intensif. Dalam perawatan
itulah kondisinya bertambah parah, didukung oleh usia yang kian lanjut, P.
Servulus menghembuskan nafas terakhir.
P. Servulus lahir di
Rekas, 23 Desember 1944. Anak Guru Utung ini, adik kandung dari P. Yan Mendjang
SVD, mantan rector UNIKA Widya Mandira Kupang, kakak kandung dari Sr. Maria
Columba SSpS, mantan Provinsial SSpS Kalimantan. Beliau mangkat pada usia 77
tahun. Selamat Jalan Om Tuan, bahagia bersama para kudus di Surga!***
[1]
Kanisius Teobaldus Deki, Menjadi Abdi
Menghalau Gelap Budi Menyingsing Fajar Pengetahuan (Maumere: Ledalero,
2009), hal. 546-547.
[2]
Pius Pandor, Ex Latina Claritas
(Jakarta: Obor, 2010), hal. 215.
[3]
Kanisius Teobaldus Deki, Op.cit.,
hal. 179-202.
[4]
Servulus Isaak (ed.), Mencari Keadilan
(Ende: Nusa Indah, 1985).
No comments:
Post a Comment