Saturday, 24 July 2021

Drs. Doroteus Hemo: Historia Magistra Vitae

 Kanisius Teobaldus Deki



Sosok Doroteus Hemo dikenal khalayak Manggarai sebagai pribadi yang banyak menghabiskan masa hidupnya sebagai peneliti dan penulis. Fokusnya pada sejarah dan budaya Manggarai. Sejauh telusuran referensi yang kami jumpai,[1] terlihat bahwa orang Manggarai pertama yang memunyai banyak karya tentang sejarah dan kebudayaan tentang daerahnya sendiri, Manggarai, adalah Doroteus![2]

“Bapa saban hari selalu meneliti dan menulis. Jika dia sudah selesai pekerjaannya di sekolah pun di kantor, selalu berkutat dengan tulisan. Ia rajin membaca, mewawancarai orang lalu menuangkan ide atau konsep-konsepnya dalam bentuk tulisan”, kenang Mama Antonia Aqulina Apul.

Doroteus melihat bahwa ada banyak peneliti dan penulis dari luar yang membahas tentang Manggarai dan segala kekayaannya. “Saya ingin agar pihak kita sendiri membicarakan diri kita dari perspektif sendiri, bukan bergantung pada apa kata orang yang adalah outsider. Keberanian kita mengatakan diri kita pada orang lain memberi manfaat yang sangat besar untuk meluruskan perspektif yang keliru”, katanya suatu kali kepada salah seorang anaknya, Engelbertus G. Hemo.

“Ketika saya sedang kuliah di Universitas Indonesia Jakarta, ada peneliti dari Amerika mewawancarai Bapa dan berniat menerjemahkan karya-karyanya ke dalam bahasa Inggris. Waktu itu Bapa memberitahu orang itu untuk menghubungi saya. Saat itulah saya sadar bahwa apa yang Bapa lakukan melalui karya-karyanya sangatlah luar biasa. Saya memuji keberanian, keuletan, pilihan sikapnya untuk menarasikan kekayaan budaya Manggarai kepada dunia luar”, lanjut Engelbertus.

Bapa Doroteus menjadi narasumber untuk berbagai kegiatan seminar ilmiah pun penelitian-penelitian yang dibuat oleh outsider. “Naskah-naskah seminarnya diketik rapih, dibuat sistematis, juga jawaban-jawaban untuk wawancara ditulis rapih. Bapa selalu mengerjakan sesuatu dengan serius hingga tuntas. Terbukti, dalam banyak tahun ia menghasilkan banyak karya, meskipun kala itu, peralatan seadanya namun ia tetap produktif”, jelas istrinya yang biasa disapa Mama Lin.

Doroteus Hemo memang konsisten. Ia bekerja melakukan penelitian dan menulis temuan-temuannya. Karya-karyanya yang sohor antara lain: Sejarah Perlawanan Keraeng Motang Rua Terhadap Belanda Di Benteng Wake dan Di Desa Copu (1975),  Analisa Sejarah Tentang Bentuk Rumah Adat Daerah Manggarai (1978), Sejarah Daerah Manggarai (1988), Pola Penguasaan Tanah Secara Tradisional Daerah Nusa Tenggara Timur (1990) dan Ungkapan Bahasa Daerah Manggarai (1990), Cerita Rakyat Daerah Manggarai (Terbit Februari 1994), Beberapa Kebiasaan Orang Manggarai Masa Lampau (1998, belum sempat terbit). Kajian-kajiannya memiki content yang mendalam dan detail sehingga masih relevan hingga saat ini.

Karya-karyanya banyak menjadi rujukan bagi penulis asal Manggarai selanjutnya seperti Robert M.Z. Lawang,[3] Dami N. Toda[4] dan Antony Bagul Dagur.[5] Sejak saat itu bermunculan publikasi-publikasi yang secara khusus membahas Manggarai. Doroteus terlihat seperti pioneer dalam studi-studi ini dari sisi tilik insider.[6]

Sejarah adalah Guru Kehidupan

Pepatah Latin “Historia magistra vitae” (sejarah adalah guru kehidupan) sangatlah tepat bagi Doroteus. Ungkapan itu datang dari buku Cicero[7] yang berjudul De Oratore (Tentang Ucapan). Ungkapan itu ada dalam ucapan lengkapnya: “Historia vero testis temporum, lux varitatis, vitae memoria, magsitra vitae, nuntia vetustatis” (sejarah merupakan saksi zaman, cahaya kebenaran, kenangan akan hidup, guru kehidupan dan pesan dari masa lalu).[8] Banyak orang belajar dari pengalaman. Pengalaman yang baik dan benar kemudian menjadi pola perilaku. Ketika pola perilaku yang sama diteruskan, terjadi perulangan. Perulangan itu membentuk tradisi dan kemudian budaya.

“Suatu hari saya bertanya, mengapa Bapa ingin menulis sejarah. Bapa memberi jawaban yang mengejutkan. Ia memilih sejarah karena dari sejarah terbentuk peradaban. Peradaban yang benar dan human hanya terjadi sebagai perbaikan dari kekeliruan dan kesalahan masa lalu”, kenang Engelbertus.

Memang terlihat ada persambungan yang linear antara minatnya dalam bidang sejarah dengan konsepnya tentang kehidupan. Selepas menjadi guru Sekolah Dasar di beberapa tempat, tatkala ada kesempatan untuk kuliah di Universitas Nusa Cendana, ia memilih jurusan Sejarah. “Bukanlah kebetulan Bapa memilih jurusan ini. Ia sudah lama merefleksikannya. Ia ingin melakukan sesuatu untuk Manggarai. Ketika orang tidak memahami sejarahnya, ia gampang kelihalangan identitas”, tandas Mama Lin.

Pembelajaran dari sejarah merupakan moment penting untuk mengkiritisi kehidupan. Dalam bukunya yang berjudul: Sejarah Manggarai ia membuat periodisasi mulai dari kondisi pra sejarah, zaman kuno, masa kurang lebih tahun 1500 sampai kehadiran Belanda 1908, kehadiran Jepang dan zaman kemerdekaan.[9]

Sejarah mengarah ke masa depan. Ia sungguh menyadari itu. Ia lalu meneliti dan menulis tentang aspek penting dari keberadaan manusia sebagai mahkluk pembelajar. Ia mengungkapkan persoalan-persoalan tanah ulayat di Manggarai sebagai tema kajian.[10] Ia juga membincangkan bagaimana membangun kehidupan bermutu melalui kebijaksanaan-kebijaksanaan lokal (local wisdom) dalam buku-bukunya tentang Ungkapan Bahasa Manggarai.[11]

Doroteus mengamini apa yang diungkapkan oleh Presiden RI pertama Ir. Soekarno. Jangan Sekali-kali Meninggalkan Sejarah (Jasmerah) adalah semboyan yang terkenal yang diucapkan oleh Soekarno, dalam pidatonya yang terakhir pada Hari Ulang Tahun (HUT) Republik Indonesia tanggal 17 Agustus 1966. Dalam pidatonya itu, Soekarno mengingatkan kita untuk membangun bangsa karena “menurunnya kesadaran nasional kita dan menurunnya kekuatan jiwa nasional kita. Apakah kelemahan jiwa kita itu? Jawabanku pada waktu itu adalah, "kelemahan jiwa kita ialah bahwa kita kurang percaya kepada diri kita sendiri sebagai bangsa, sehingga kita menjadi bangsa penjiplak luar negeri, kurang percaya-mempercayai satu sama lain, padahal kita ini pada asalnya adalah rakyat gotong royong", ungkap Soekarno dalam pidatonya berapi-api.[12]

Pendoa yang Demokratis

Doroteus lahir di Nekang tahun 1939. Ia menyelesaikan program sarjana (S1) jurusan Sejarah Universitas Nusa Cendana Kupang, Tahun 1978. Dalam keseharian hidupnya, ia dikenal sebagai pria pendiam. Ia memaknai hidup dalam kedekatan yang intim dengan Tuhan. “Kami senantiasa diajar Bapa untuk berdoa. Berdoa sebagai kekuatan dahsyat untuk mengubah kehidupan. Dalam pandangan Bapa, berdoa bukanlah rutinitas, tetapi sebuah komunikasi yang intens dengan Yang Kuasa”, kata Mama Lin.

Kehidupan spiritual yang terpelihara dengan baik membawa mereka menjadi keluarga yang baik. Nilai-nilai doa mengalir ke medan hidup yang demokratis. “Bapa tidak memaksa kami. Bapa memberi kami kesempatan untuk menjalankan hidup sesuai pilihan kami masing-masing. Bahkan ketika pemilihan sekolahpun, Bapa tidak melakukan intervensi. Yang beliau minta adalah tanggung jawab. Karena demokratis, kami masing-masing menjalankan pilihan kami dengan gembira”, ujar Engelbertus.

Dalam banyak kesaksian, Doroteus dikenal sebagai pribadi yang memiliki karakter manajemen yang kuat. Ia dipercaya menjadi kepala sekolah dengan kemampuan mengelaborasi manajemen pendidikan dengan kajian-kajian.

Ia menikah dengan Antonia Aqulina Apul yang lahir di Waning, 13 Juni 1947 pada 11 Oktober 1965. Perkawinan mereka melahirkan buah kasih: Titus Amandus C. Ndanu, SE, Engelbertus G. Hemo, S.IP, Martinus F. Hemo, SH, drh. Kristo M. Hemo, Rosalia T. M. Hemo, S.Kep, Petrus F. Hemo, A.Md, Benediktus H. Hemo, A.Md.

Ia telah bertugas di banyak tempat sebagai guru. Tahun 1956  mulai mengajar di SDK Lengko Ajang, lalu berpindah ke SDK Wunis Reweng, SDK Pembe Congkar, SDK Ruteng IV, SDK Ruteng II dan SMAK St. Thomas Aquinas Ruteng.

Usai menjadi kepala sekolah di SMAK St. Thomas Aquinas, dirinya dipercaya untuk bekerja di Kantor Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Manggarai. Selama bekerja sebagai PNS di Kantor Depdikbud Kabupaten Manggarai, juga berkarya sebagai Dosen APK St. Paulus Ruteng, Guru PGAK St. Sirilus Ruteng. Jabatan terakhirnya sebagai Kasubag Perencanaan dan Program (PRP) Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Manggarai.

Setelah sekian lama berkarya, lelaki turunan Poco Leok-Satar Mese yang tinggal di Pau dan Nekang ini akhirnya menghembuskan nafas terakhir dalam kedamaian di tengah keluarganya pada 8 Juni 2001. Ia dimakamkan di rumahnya di Jl. Ulumbu, kelurahan Bangka Nekang, kecamatan Langke Rembong. Terima kasih bapa Doroteus untuk segala kebaikanmu untuk membangun peradaban Manggarai.***



[1] Ada beberapa nama yang layak disebut, antara lain: J.W. Meerburg, Proeve eener beschrijving van Land en Volk van Midden-Manggarai (West Flores), afdeling Bima, Gouvernement Celebes en Onderhoorighendendoor J.W. Meerburg, Controleur Bima, TBG, 1891; Dagboek van de Controleur van Bima, J.W. Meerburg geouden/gedurende zijne reis door het binnerland van Manggarai (West Flores) van Reo via Koi-Tjia-Dege-Roete-Lolah en Todo naar Nanga Ramo van den 14den April to met de 6den Mei 1890, TB, 1893; W.L.J. Koymans, Memorie van overhage van den afredenden Gezaghhebber van Manggarai, ARA-Den Haag, 1932; E.E. van der Kam, Memorie van overgave van den afrenden Controleur van Manggarai, Ruteng-ARA, Den Haag, 1936; Adolf Burger, Hoe diep goddiensttig de Manggaraier van West Flores, 1938; De maan als de brenger van doo den ziekte. Een Manggarais verhaal met enkele varienten, 1940;  W.Ph. Coolhaas, Bjidrage tot kennis van het Manggaraische Volk West Flores, 1942; Wilhelmus van Bekkum, Warloka-Todo-Pongkor, een brok geschiedenis van Manggarai (West Flores), 1944; geschiedenis  van Manggarai (West Flores), 1964a; De Machtsvershuivingen van Goaneesche an Bimaneesche invloeden, 1964b; Gordon L. John Jr, The History of Manggarai (West Flores) Indonesia (USA: Cambridge Mass, 1972).

[2] Memang ada juga penulis sejarah, namun karya mereka belum diterbitkan, sebatas naskah sayembara, misalnya: Mikael Agus, Pengalaman Sejarah Manggarai (Motangrua melawan Imperialisme Belanda), 1973 (naskah 23 halaman); I. Berahi, Sejarah Peperangan di Manggarai Melawan Pemerintah Belanda, 1973 (naskah 5 halaman).

[3] Robert M.Z. Lawang, Stratifikasi Sosial di Cancar, Manggarai, Flores Barat (Jakarta: Universitas Indonesia, 1989).

[4] Dami N. Toda, Manggarai Mencari Pencerahan Histriografi (Ende: Nusa Indah, 1999).

[5] Antony Bagul Dagur, Kebudayaan Manggarai Sebagai Salah Satu Khasanah Kebudayaan Nasional (Surabaya: Ubhara Press, 1997).

[6] Ada banyak penulis nasional yang membahas Manggarai tersebar di banyak publikasi misalnya: Konetjaraningrat “Manggarai” in Frank M Lebar (ed.), Ethnic Groups of Insular Southeast Asia (New Haven: Human Relations Area File Press, Vol. 1:81-83); Laporan Penelitian Arkeologi Warloka, Kabupaten Manggarai, Flores No. 30 (Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1984).

[7] Cicero, lengkapnya: Marcus Tullius Cicero, lahir 3 Januari 106 SM dan meninggal 7 Desember 43 SM. Ia adalah filsuf, orator yang memiliki keterampilan handal dalam retorika, pengacara, penulis dan negarawan Romawi kuno. Ia dikenal sebagai ahli pidato Latin dan ahli gaya prosa. Karya filsafatnya sangat terkenal dan berpengaruh, di antaranya tertuang dalam pidato-pidatonya yang berjumlah 57 tulisan, selain 17 fragmennya yang lain. Kemudian karya-karya filsafat, retorika, dan surat-surat tercatat berjumlah ± 800 buah dan tersimpan baik hingga saat ini. Pada sumber lain tercatat bahwa pada Juli 43 SM, lebih dari 900 tulisan diselamatkan, 835 ditulis oleh Cicero sendiri, 416 dialamatkan kepada sahabatnya, seorang ksatria bernama Pomponius Atticus, dan 419 kepada 94 orang lain, baik kerabat maupun kenalannya. Untuk perluasan lihat: Howard Jones, Master Tully: Cicero in Tudor England (Nieuwkoop: De Graaf, 1998);  Neal Wood, Cicero's Social and Political Thought (New York: University of California, 1991).

[8] Pius Pandor, Ex Latina Claritas (Jakarta: Obor, 2010), hal. 96.

[9] Doroteus Hemo, Sejarah Daerah Manggarai (Ruteng, 1988).

[10] Pola Penguasaan Pemilikan Tanah dan Penggunaan Tanah Secara Tradisional Daerah Nusa Tenggara Timur, (Kupang: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Sejarah dan Nilai Tradsional Proyek Inventarisasi dan Pembinaan Nilai-nilai Budaya Daerah, 1990).

[11] Doroteus Hemo, Ungkapan bahasa Daerah Manggarai Provinsi NTT (Kupang, 1990).

Tuesday, 9 March 2021

Sistem Ijon Sudah Pamit- Kisah Kelompok Tani Golo


 

Kanisius Teobaldus Deki


K

ampung Wune terletak di desa Golo, kecamatan Cibal. Kampung ini terletak di puncak bukit. Di bagian Selatan terdapat kawasan hutan Negara. Di hutan itu terdapat mata air yang memenuhi kebutuhan penduduk. Dari ketinggian, sejauh mata memandang terpampang di depan mata wilayah Benteng Jawa di Timur. Juga kampung Barang dan Laci terlihat begitu dekat.

Penduduk di kampung ini semuanya bertani. Mereka menanam kopi, cengkeh, cokelat, kemiri dan berbagai jenis kayu. Di sini ada kelompok tani dengan nama Raka Cama. Raka dalam bahasa Manggarai berarti bekerja sama atau bergotong royong. Cama berarti sama-sama. Raka Cama berarti bekerja bersama-sama. Anggota kelompok berjumlah 32 orang. Namun yang aktif setengahnya, 16 orang.

Mereka mulai menanam kopi di tahun 1940an untuk jenis robusta. Tanaman kopi mereka peroleh dari daerah Colol di Manggarai Timur. Luas lahan masing-masing orang adalah 0,25ha-0,75. Tanaman kopi yang mereka miliki umumnya adalah warisan dari orangtua. Mereka melanjutkan pemeliharaan tanaman kopi sampai saat ini. Lahan-lahan mereka umumnya berada di kemiringan 45°. Karenanya, lahan-lahan yang ditanami kopi tidak dapat maksimal sesuai ukuran seharusnya. Rata-rata seorang petani memiliki 100-200 pohon kopi di kebunnya. Hasil produksi setiap tahun rata-rata 75kg-150kg.

Sebelum didampingi Yayasan Ayo, mereka menanam kopi dari anakan kopi yang bijinya jatuh di bawah pohon kopi. Dalam bahasa Manggarai sering disebut belak kopi. Tidak ada pemilihan biji kopi untuk dijadikan benih. Selain itu, mereka juga tidak menyemai benih lalu ditaruh dalam kokeran. Perawatan tanaman kopi tanpa pemupukan. Dibiarkan begitu saja, tumbuh sendiri secara alamiah. Mereka hanya membersihkan rumput yang ada di sekitar pohon kopi lalu meletakkan rumput itu pada pangkal pohon kopi.

Untuk pengelolaan pascapanen tidak diperhatikan secara detail. Asal sudah dipetik, diperam, cukup lama baru digiling. Terkadang kopi yang sudah matang tercampur dengan yang masih muda. Setelah ditumbuk baru dijemur di atas tanah. “Kami tidak pernah berpikir bahwa media jemuran juga berpengaruh terhadap mutu kopi. Bagi kami di saat itu, asal kopi bisa dijemur, tugas kami sudah selesai dan tinggal dijual kepada pengepul kopi di Ruteng”, kisah Bapa Vitalis, 45 tahun, ketua kelompok Raka Cama.

Tahun 2016 Yayasan Ayo mulai mendampingi masyarakat petani desa Golo di dusun, Cumpe dan Wune. Desa Golo memiliki 435 kepala keluarga. Dari sekian banyak kepala keluarga, 32 kepala keluarga bergabung membentuk satu kelompok dampingan. Dalam perjalanan waktu, terdapat 16 kepala keluarga yang terus aktif mengikuti pendidikan dan pelatihan yang diselenggarakan Yayasan Ayo Indonesia. “Bagi kami, salah satu patokan keaktifan adalah keterlibatan yang penuh pada setiap kegiatan yang diselenggarakan oleh fasilitator”, ujar ibu Delfina Luhur menjelaskan.

Sejak awal, Yayasan Ayo melihat bahwa ada praktik budidaya kopi yang belum benar. Para petani dilatih dan didampingi mulai dari konsep bertanam kopi, merawatnya hingga pengelolaan pascapanen. “Kami bertanya pada awalnya, apa penghasilan utama dari bapak ibu? Jawaban mereka adalah kopi. Setelah ditanyakan, berapa banyak waktu yang dipakai untuk memerhatikan kopi, ternyata jawaban mereka sedikit waktu yang dipakai. Demikian halnya dengan pengetahuan mereka tentang kopi kami assessment. Mereka mulai paham dan mau mengubah pola bertani mereka dalam menghasilkan kopi yang bermutu”, kisah Ibu Delfina Luhur.

Ketua Kelompok, Vitalis Nanggus mengatakan, sejak mengetahui bahwa kopi ini memiliki nilai jual yang tinggi, mereka mulai memberikan perhatian yang cukup besar untuk tanaman kopi. Mereka juga mengubah cara memetik buah kopi dengan memilih yang sudah benar-benar matang saja (te’e tu’ung), sedangkan yang setengah matang (banur) dibiarkan untuk dipetik pada waktu berikutnya. “Untuk penjemuran kami mulai ubah. Dari menjemur kopi di atas media tanah kami ganti dengan terpal atau tandu kawat kasa sehingga benar-benar terjaga dari bahan-bahan lain”, ujarnya Vitalis.

Marsel Jehabut mengatakan bahwa tanaman kopi sangat menolong masyarakat desa Golo. Selain tanaman kopi mereka juga menanam cengkeh, kemiri, cokelat dan fanili. Kebun sawah hanya dimiliki oleh segelintir orang, itupun luasnya tidak seberapa. “Kami juga menanam sayur-sayuran. Hasilnya kami jual kepada pembeli borongan yang datang ke kampung ini. Lumayan untuk memenuhi kebutuhan hidup kami”, jelasnya.

Untuk memberikan jawaban terhadap kebutuhan akan uang, anggota kelompok ini sudah menjadi anggota Koperasi Kredit (Kopdit) Ayo Mandiri, Mawar Moe dan Cembes Nai. “Sejak Kopdit-Kopdit ini ada, akses kami kepada lembaga keuangan ada. Kami bangga dipercaya oleh lembaga keuangan mikro ini. Sejak saat itu pula, kami bebas dari praktik ijon kopi atau tanaman perdagangan lainnya”, jelas ibu Theresia Nirung. Lebih lanjut ibu Theresia bercerita bahwa saat praktik ijon masih menguat, masyarakat menjadi lemah sebab hasil pekerjaan mereka hanya untuk diserahkan kepada pemilik uang.

Kesulitan yang masih tersisa di kelompok tani ini ialah kebutuhan akan peralatan untuk memproses kopi secara benar. “Kami membutuhkan mesin pulper dan huller. Kami di sini selama ini masih menggunakan lesung untuk mengupas biji kopi, baik kulit merah maupun kulit tanduk”, ungkap Teodorus Pon. Peralatan memang merupakan sarana yang penting untuk menjami produk yang dihasilkan benar-benar berkualitas.

Kehadiran Yayasan Ayo dalam mendampingi petani kopi di desa Golo ini mulai terlihat. Kopi-kopi robusta yang sudah tua telah disambung dengan kopi Arabica. Tanaman kopi ini terlihat subur dan hijau. Batang-batangnya besar dan daunnya hijau. Buah kopi lebih lebat dan ranum. “Karena kami baru mendapat pendampingan dari Yayasan Ayo, kami belum menikmati hasil kopi yang benar-benar maksimal. Kami yakin dalam tahun-tahun mendatang, kopi sambung dan kopi tanam baru dari bibit pilihan akan memberi kami hasil yang sangat besar”, ungkap Ibu Karolina Nardi.***

 

 

Monday, 1 February 2021

Opus Caritatis Pax: In Memoriam P. Servulus Isaak SVD

 


Kanisius Teobaldus Deki

B

eberapa minggu yang lalu saya bersama enu Wiwin Haman menjumpai P. Servulus di kediamannya, di Biara SVD Ruteng. Kali itu saya sempat menunggu beberapa saat di ruang tamu biara SVD karena Om Tuan Servulus, demikian kami biasa menyapa, masih melayani orang-orang yang berobat. Sejak beliau pensiun dari jabatan sebagai Ketua STKIP Santu Paulus (kelak menjadi UNIKA Santu Paulus) dan Provinsial SVD Ruteng, kegiatan harian Om Tuan adalah melayani umat yang datang berobat, khususnya untuk berbagai jenis penyakit yang sulit sembuh.

Pada hari itu Om Tuan akan menjadi pengkotbah dalam sebuah perayaan ekaristi dengan menggunakan daring, Zoom Meeting. Enu Wiwin menjadi operator untuk beliau. Hari itu saya datang karena ada ingatan yang kuat untuk bertemu sekaligus membawa ole-ole roti buatan kami. Sempat kami bercerita tentang roti itu. Beliau menerimanya dengan rasa senang. “Saya suka makan roti”, katanya singkat. Lalu saya pamit pulang. Enu Wiwin terus menyertai beliau.

Minggu, 31 Januari 2021 saya mendapat informasi dari Dr. Marsel Payong, salah seorang dosen senior di STKIP Santu Paulus. Pak Marsel menyampaikan bahwa Pater dalam kondisi sakrat maut. Semua keluarga diminta untuk berdoa. Dalam sekejab saya menginformasikan berita itu kepada semua keluarga. Barulah tersadar bahwa beliau sedang dirawat di Rumah Sakit Komodo, Labuan Bajo.

Mestinya pada hari Senin, 1 Februari 2021, saya bersama Rm. Dr. Max Regus Pr menuju Labuan Bajo untuk sebuah pekerjaan dengan salah satu perusahaan. Fokusnya audit sumber daya manusia perusahaan itu. Cuaca Ruteng beberapa hari sangatlah ekstrim. Ditambah kabar di banyak tempat ada bencana longsor dan banjir. Akhirnya kami meminta rescheduling dengan pihak perusahaan. Mereka juga setuju. Padahal dalam rencana kami, sebagai mantan murid, akan menjumpai beliau di Rumah Sakit.

Sepanjang malam saya susah tidur. Saya bangun lalu mengerjakan sesuatu di laptop. Hingga menjelang pagi karena terus tak bisa tidur saya berbisik lirih, “Om Tuan, saya mau berjaga bersama Ite”, lalu saya tertidur. Rupanya Tuhan sudah memiliki rencana untuk Om Tuan Servulus. Ketika masih terlelap saya diberitahu istri, “Om Tuan sudah tidak ada”. Beliau mangkat pada 1 Februari 2021, pkl. 05.30.

Motivator yang Handal

Tatkala saya dan saudara Fransiskus Lajur menginjakkan kaki pertama di Biara Ordo Karmel Maumere, berita itu sampai ke telinganya. Sebagai seorang paman sekaligus Ketua Sekolah STFK Ledalero, beliau datang bertemu. Kepala Biara (Prior) kami cukup terkejut melihat beliau datang. Kiranya ada sebuah kunjungan yang tak teragendakan namun begitu mendesak. Setelah basa-basi ternyata beliau datang mencari kami. “Oh baik Pater, silahkan”, kata Prior mengijinkan. Kami lalu berkeliling di Kota Maumere.

Waktu tiba di depan toko buku Nusa Indah, Om Tuan berhenti sejenak. Kami lalu masuk toko buku. Beliau membeli 2 kamus Bahasa Inggris, kami diberi masing-masing satu eksemplar. “Belajar yang baik supaya kamu dua jadi orang pintar”, harapnya. Begitulah sosok Om Tuan yang selalu memotivasi.

Pada waktu saya hendak ke Israel, saya ke Ledalero menjumpai beliau. Waktu itu saya menginformasikan berita itu dengan senang hati. “Nana boleh berbahagia dapat kesempatan ke sana. Ini ada beberapa kaset yang bisa didengar sebagai persiapan bahasa”, ujarnya sambil menyerahkan setumpukkan kaset pita. Waktu sampai di kamar saya membuka kaset-kaset itu di walkman. Betapa saya terkejut, saya mendapat pelajaran bahasa Inggris dengan pengantar pelajaran itu bahasa Italia! Saya lalu sadar Om Tuan ingin memberi pelajaran dengan kemampuan maksimal. Tentu, ada maksud di balik pemberian kaset-kaset itu. Saya harus memiliki kemampuan berbahasa asing yang melampaui standar.

Ketika mengikuti perkuliahan yang diberikan Om Tuan: Pengantar Kitab Suci Perjanjian Lama, Kritik Para Nabi dan Analisa Naratif, ketelitian menjadi kata kunci. Kertas ujian mahasiswa diperiksa kata per kata. Sebagai dosen, Om Tuan berusaha memberikan perbaikan untuk setiap jawaban mahasiswa. Ada sebuah perhatian serius terhadap pekerjaannya. Ia tidak sekedar memberikan penilaian, ia juga membangun penyempurnaan dari jawaban yang telah diberikan mahasiswa.

Motivasi yang kuat itulah menggerakkan saya untuk mengunjungi Ecole Biblique Yerusalem. Saya ingin melihat tempat Om Tuan Servulus belajar Kitab Suci selama tahun 1987-1989. Saya juga mengunjungi museum tulisan kuno, termasuk teks-teks kitab suci dari Qumran yang dipajang secara apik di sana.

Kelak ketika hidup sekampus bersama beliau di STKIP Santu Paulus dari tahun 2005, saya melihat kepribadiannya yang selalu memotivasi muncul sebagai kekuatan. Bahkan motivasi itu harus ditanggungnya dengan membiayai banyak anak tak mampu dari berbagai kampong dan keluarga. Motivasi pada akhirnya tidak hanya sebuah ungkapan kata-kata, ia berbuah pada tindakan nyata, melakukan aksi yang mewujudkan kata-kata itu!

Beliau juga memotivasi para dosen. Saat tahun 2005 kami masuk sebagai pengajar, mayoritas dosen masih berijazah S-1. Hanya beberapa orang saja yang S-2 dan S-3. Dalam setiap pertemuan, beliau selalu memiliki optimisme yang besar untuk membangun kampus yang besar dan berkualitas. Hingga dirinya menyelesaikan tugas sebagai Ketua STKIP Santu Paulus, semua dosen sudah berijazah S-2, system kampus berbasis on-line, gedung-gedung baru dibangun.

 

 

Opus Caritatis Pax

Pada tahun 1976-1980 Om Tuan belajar kitab suci di Roma hingga meraih gelar Licentiat di Institut Biblicum Roma dengan judul tesis “Peripateia Kata Pneuma (Rom 8:2b)- Imperative Category of Christian Existence”.  Usai belajar, Om Tuan kembali ke Ledalero untuk mengajar bidang Kitab Suci. Setelah sekian tahun mengajar, Om Tuan kembali pergi belajar di Ecole Biblique Yerusalem tahun 1987-1989. Tahun 1990-1994 dia menulis disertasi doktoratnya dengan judul “The Spirit of God in Ezekiel”.[1] Namun disertasi ini tak sempat dipertahankannya karena dirinya keburu dipanggil pulang kembali ke Ledalero.

Dalam sebuah perbincangan pribadi, saya bertanya mengapa tidak menyelesaikan studi doktorat. Pertanyaan ini dijawab langsung oleh Om Tuan. Pertama, tema yang diangkatnya memang termasuk baru dalam pewacanaan studi kitab suci Perjanjian Lama. Konsep tentang Roh Kudus baru muncul ketika Perjanjian Baru. Tema itu membutuhkan waktu pendalaman yang lama. Kedua, bersamaan dengan penantian untuk ujian, datanglah perintah dari Provinsial Ende saat itu untuk pulang. Ada soal internal di Ledalero kala itu. Konflik antar beberapa pihak yang dinilai bisa berdampak negative bagi perjalanan kampus. Om Tuan Servulus didapuk menjadi Ketua STFK Ledalero. Jadilah demikian, Om Tuan kembali dan taat pada perintah atasannya.

Selama dirinya menjadi Ketua STFK Ledalero, bukan saja konflik yang berhasil diredam dan dilakukan rekonsiliasi, tetapi juga pembangunan gedung kampus. Gempa tektonik tahun 1992 meluluhlantakkan kampus STFK Ledalero. Semua bangunan hancur berkeping-keping. Selama sekian tahun mahasiswa belajar di barak-barak sederhana yang terbuat dari bambu. Kami termasuk mengalami belajar di barak. Lalu pihak Yayasan, SVD dan Sekolah membangun gedung-gedung baru yang megah, besar dan mentereng. Kami menyelesaikan studi di gedung-gedung baru itu.

Ketika STKIP Santu Paulus Ruteng mengalami prahara, P. Servulus dimintai bantuan melakukan pembenahan oleh Mgr. Eduardus Sangsun SVD, Pembina Yayasan sekolah. Kala itu perseteruan sulit dibendung. Yayasan berkonflik dengan pihak Sekolah. Masalah pokoknya adalah adanya temuan korupsi peningkatan status sekolah itu menjadi universitas. Selain itu masih ada juga masalah-masalah lain yang mendesak untuk diatasi.

Ketika akhir tahun 2003 P. Servulus datang ke Ruteng, berbagai aksi penolakan dilakukan. Para dosen mengundurkan diri, mahasiswa diberhentikan. Pengrusakan kampus dilakukan. Aksi mogok menjadi kenyataan harian. Bahkan saking menguatnya demonstrasi, mahasiswa menarik dosen dari dalam ruang kelas, termasuk P. Servulus. Namun Pater Servulus menyikapi situasi dengan caranya sendiri. Ia tidak membenci mereka yang menolaknya. Ia bahkan berusaha mencari jalan keluar agar semua pihak yang bertikai dapat berdamai kembali.

Dalam sebuah wawancara dengan salah seorang dosen senior, Bapa Alfons Sene, konflik itu memang membutuhkan actor penyelesai dari luar. Ketika saya bertanya, mengapa Uskup Eduardus Sangsun tidak mengangkat dosen-dosen yang ada sebagai Ketua, Bapa Alfons mengatakan bahwa mereka bagian dari konflik. “Bapa uskup tahu, kita butuh penengah, butuh orang yang lebih berkompeten, lebih berintegritas mengurus sekolah ini. Semua karakter itu ada pada beliau”, ujarnya.

Ia juga mengayomi dosen-dosen yang masih menolaknya dan memiliki praduga kepadanya. Ia  melakukan itu dengan cinta kasih. Ia mengamini apa yang dikatakan Paus Pius XII dalam Ensiklik Urbi Arcano, 14,686, yang mengatakan “Opus Caritatis Pax” yang bisa diterjemahkan: Perdamaian adalah buah cinta kasih. Pernyataan Paus Pius XII ini merujuk pada gagasan Thomas Aquinas dalam Summa Theologiae (II-II, q.29. art. 3) yang berkata: “Perdamaian sejati dan abadi lebih merupakan persoalan cinta kasih daripada keadilan, karena fungsi keadilan hanyalah sekedar menghapuskan rintangan-rintangan menuju perdamaian. Namun, perdamaian itu sendiri adalah sebuah tindakan dan hasil dari cinta kasih semata-mata” (Pius XII, Ensiklik Urbi Arcano, 14).[2]

Karena kesediaannya berkorban bagi banyak orang, konflikpun berlalu. Pihak-pihak yang bertikai menerima kenyataan bahwa konflik tidak menciptakan kemajuan. Konflik meluluh-lantakkan banyak hal, termasuk nilai dan karakter. Kajian-kajian P. Servulus di masa itu berusaha mengembalikan prinsip ajaran Katolik yang melandasi pendirian STKIP Santu Paulus. Ia selalu kembali ke pola dasariah: Yesus sebagai guru dan pendidik.[3] Pola itu dikembangkannya dalam system pendidikan kampus, pencapaian sumber daya manusia dan relasi inter-antar personal.

Dalam masa periode kedua kepemimpinannya, P. Servulus dipercayai oleh kongregasi SVD untuk menjadi Provinsial. Pekerjaan ini tidaklah mudah. Kongregasi ini mulai kelimpungan dengan berbagai soal yang berat. Usaha-usaha dalam bidang ekonomi mereka terpuruk. P. Servulus lalu berhenti sebagai Ketua STKIP Santu Paulus walaupun masa jabatannya masih tersisa beberapa tahun. Dirinya masih mengajar beberapa mata kuliah. Ia berfokus membangun kongregasinya.

Pengabdian yang Total

Pada suatu waktu P. Servulus dikejutkan dengan munculnya sebuah surat dari Kampus. Isinya singkat, dirinya tidak lagi menjadi pengajar di sekolah yang sudah diselamatkannya. Surat itu dihantar oleh seorang staf dari yayasan. Ketika membaca surat itu hatinya gundah. Bukan isi surat yang membuat dirinya masgul, melainkan cara mereka memperlakukan dirinya.

“Etikalah yang membuat kita disebut manusia”, katanya. Dirinya sungguh sadar apa yang telah dilakukannya atas lembaga itu merupakan pelayanan yang diterima dari Tuhan. Namun respek terhadap semua pihak yang telah membuat sekolah itu berjalan kembali dalam kesuksesan adalah bagian dari etika. “Ketika orang tidak lagi memiliki etika, apa bedanya dengan orang yang tidak berpendidikan?”, komentarnya suatu kali saat saya mengunjungi beliau di komunitasnya.

Bisa jadi P. Servulus tidak butuh dihargai dengan sebuah acara perpisahan yang mewah. Ia hanya ingin menegaskan, etika adalah buah dari sebuah pendidikan, yang seharusnya dilakonkan oleh pihak-pihak yang ada di lembaga itu.

P. Servulus tidak banyak menulis buku, sejauh yang saya tahu, selain sebuah buku yang dieditnya.[4] Sedangkan artikelnya tersebar di banyak buku kumpulan tulisan termasuk Jurnal Missio. Banyak bahan kuliahnya dalam bentuk diktat. “Suatu saat saya akan menerbitkannya menjadi buku”, katanya suatu kali.

Rupanya itu tidak lagi bisa dilakukannya. Penyakit gula yang menggerogotinya membuat matanya bermasalah. Berkali-kali ia dirawat berkaitan dengan matanya ini. Pengalaman sebagai orang sakit lalu mendorongnya untuk merawat orang-orang sakit. Ia memiliki karunia menyembuhkan. Banyak orang lalu datang kepadanya setiap hari. Beliau menerimanya dengan hati yang tulus. Mereka didoakan lalu sembuh. “Kami sangat berterima kepada Pater Servulus. Kami pernah meminta bantuan doa beliau, kami sembuh”, ujar Yohanes Jeharut, salah seorang pasiennya. Banyak orang memiliki kesan yang sama.

Ia juga melayani perayaan ekaristi bagi siapa saja yang membutuhkannya. Ia datang bertemu keluarga-keluarga, memberikan peneguhan dan kekuatan. Ia hadir untuk menjadi sumber kegembiraan bagi sesamanya. Ia imam yang sederhana. Ketika ada trend, imam-imam muda dalam kongregasinya memiliki mobil sendiri, ia tetap bergantung pada sopir biara yang setia mengantarnya ke mana saja ia melayani.

Kesederhanaan dan kesahajaan hidup menjadi bagian dari kepribadiannya. Imam pertama yang ditahbiskan di Paroki St. Gregorius Borong tahun 1973 ini, kemudian kembali merayakan Pesta Pancawindu Imamat dalam kesederhaan di tempat itu.

Interaksi yang intens dengan banyak orang inilah yang bisa jadi P. Servulus tertular Covid-19. Bersamaan dengan itu, sakit gula yang sudah menahun, bisa jadi membuka peluang bagi dirinya untuk terinveksi. Hingga pada 16 Januari 2021 pihak SVD membawa P. Servulus ke Labuan Bajo untuk mendapat perawatan yang intensif. Dalam perawatan itulah kondisinya bertambah parah, didukung oleh usia yang kian lanjut, P. Servulus menghembuskan nafas terakhir.

P. Servulus lahir di Rekas, 23 Desember 1944. Anak Guru Utung ini, adik kandung dari P. Yan Mendjang SVD, mantan rector UNIKA Widya Mandira Kupang, kakak kandung dari Sr. Maria Columba SSpS, mantan Provinsial SSpS Kalimantan. Beliau mangkat pada usia 77 tahun. Selamat Jalan Om Tuan, bahagia bersama para kudus di Surga!***



[1] Kanisius Teobaldus Deki, Menjadi Abdi Menghalau Gelap Budi Menyingsing Fajar Pengetahuan (Maumere: Ledalero, 2009), hal. 546-547.

[2] Pius Pandor, Ex Latina Claritas (Jakarta: Obor, 2010), hal. 215.

[3] Kanisius Teobaldus Deki, Op.cit., hal. 179-202.

[4] Servulus Isaak (ed.), Mencari Keadilan (Ende: Nusa Indah, 1985).

Sunday, 31 January 2021

Temuan Dokumen Baru (Menguak Teka-Teki Tanah Sengketa Labuan Bajo- Sisi Tilik Dokumen Tanah- Bagian ke-6)

 


Foto Tanah Sengketa (sumber:floresa.co)

Temuan Dokumen Baru

D

alam perjalanan waktu, ketika ada begitu banyak yang membaca ulasan-ulasan saya edisi 1-5, mereka memberikan berbagai dokumen baru berkaitan dengan tanah yang disengketakan saat ini. Dokumen-dokumen itu membenarkan bahwa “ada teka-teki” dalam banyak aspek terkait tanah Toroh Lemma Batu Kallo.

Di penghujung tahun 2015, muncul Surat dari BPN Labuan Bajo bertanggal 21 Desember 2015. Surat itu berisi tentang undangan Sidang Panitia “A” Permohonan Hak Atas Tanah atas nama Dai Kayus. Surat ditujukan kepada Lurah Labuan Bajo, Anggota Panitia “A”, Muhamad Naser, Abdul Gani, Umar Ali, Maling Pembalas masing-masing sebagai Ahli Waris, Ente Puasa dan Muhamad Syair selaku saksi. Diundang juga H. Umar Ishaka dan Ramang N. Ishaka selaku Fungsionaris Adat, termasuk Dayus Kayus selaku pemohon. Dalam dokumen surat itu masih ditambahkan juga nama-nama yang diundang antara lain: Fatimah Badosalam, Muhamad Ali, Baharudin Kamis, Masan Basri, Samsul Bahri dan Sarul Rol. Total yang diundang adalah 17 orang.

Adapun Panitia “A” masuk dalam dokumen Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2007. Dalam pasal 1 dijelaskan bahwa Panitia Pemeriksaan Tanah A yang selanjutnya disebut Panitia “A” adalah panitia yang bertugas melaksanakan pemeriksaan, penelitian dan pengkajian data fisik maupun data yuridis baik di lapangan maupun di kantor dalam rangka penyelesaian permohonan pemberian hak milik, hak guna bangunan, hak pakai atas tanah Negara, hak pengelolaan dan permohonan pengakuan ha katas tanah.

Oleh Kejati NTT, Dai Kayus juga menjadi salah satu tersangka dan sudah ditahan. Apa yang menarik dari kasus Dai Kayus ada dalam tiga aspek ini. Pertama, alas hak kepemilikan tanah dari Dai Kayus dibenarkan oleh Funsionaris Adat Kedaluan Nggorang yang diwakili oleh H. Umar Ishaka dan Ramang N. Ishaka. Setelah kepemilikannya menjadi jelas, termasuk juga akta notaris dengan status kepemilikan yang tetap maka Day Kayus melakukan pensertifikatan hingga sertifikatnya keluar. Sertfikat keluar dari BPN dan dengan demikian menjadi final bahwa tanah itu miliknya.

Kedua, Kejati telah menangkap Dai Kayus serta kepala BPN dengan tuduhan karena mengambil tanah Negara sehingga menyebabkan kerugian Negara 3 triliun (belakangan nilai kerugian diturunkan Kejati menjadi 1,3 triliun). Juga Notaris yang melakukan proses akta tanah, Theresia Koro Demu ditahan. Sedangkan H. Umar Ishaka dan Ramang N. Ishaka, sebagai pihak yang memberikan keterangan mengenai alas hak atas tanah, belum ditangkap dan dijadikan tersangka. Peran mereka sangatlah penting. Sebagai Fungsionaris Adat, mereka bukan saja memiliki pengetahuan tentang tanah tetapi juga kuasa atasnya. Karena itu, jika mereka menyatakan bahwa tanah itu bebas dan merestui untuk pembuatan sertifikat, bukankah mereka juga bagian yang harus bertanggungjawab? Jika temuan Kejati tidak sealur dengan fakta ini, apa alasannya? Ataukah Kejati tebang pilih? Hal itu diperjelas pada point ketiga.

Ketiga, ada begitu banyak nama lain yang yang ada dalam dokumen Undangan BPN terkait Sidang Panitia “A” Permohonan Hak Atas Tanah Dai Kayus sebagaimana sudah dijelaskan di atas, ada 4 orang ahli waris dan 2 orang saksi, mengapa mereka juga tidak masuk sebagai tersangka? Kedudukan mereka sebagai ahli waris dan saksi atas tanah sangatlah penting. Saksi atas tanah, misalnya saksi batas, menjadi pemilik lahan di lokasi yang sama. Artinya, dua orang yang menjadi saksi juga memiliki lahan di daerah sengketa itu. Demikian halnya dengan para ahli waris, adalah pihak yang menerima tanah warisan dari orangtuanya.

Membaca Sikap Fungsionaris Adat

Setelah Kraeng Dalu Haji Ishaka meninggal, ada 3 orang yang menjadi penerus Fungsionaris Adat Nggorang: Haji Umar H. Ishaka, Haji Ramang H. Ishaka dan Muhamad Syair. Kegaduhan persoalan tanah di Labuan Bajo menggugah mereka untuk mengelurkan satu dokumen tertulis. Dokumen itu diberi judul: Surat Pernyataan Tentang Kedaulutan Fungsionaris Adat Nggorang Atas Tanah Adat Ulayat Nggorang di Wilayah Kelurahan Labuan Bajo, Kecamatan Komodo Kabupaten Manggarai Barat.

Ada 4 point penting dinyatakan dalam surat itu. Dalam point 1 disebutkan ha katas tanah sekitar 3.000ha yang telah diserahkan kepada banyak pihak termasuk di dalamnya pemerintah daerah. Point 2 menegaskan bahwa sejak otoritas Fungsionaris Adat menyerahkan tanah kepada para pihak, Fungsionaris Adat tidak lagi memiliki kewenangan atas tanah-tanah itu. Point 3 menyatakan bahwa setiap pihak yang telah memeroleh tanah tersebut dengan tata cara budaya Manggarai “kapu manuk-lele tuak” telah sah menjadi pemilik. Point 4 menyatakan bahwa siapa saja yang ingin memanfaatkan tanah tersebut langsung berurusan dengan pemiliknya.

Dokumen itu ditandatangani oleh Fungsionaris Adat atas nama Haji Umar H. Ishaka, Haji Ramang H. Ishaka dan Muhammad Syair. Pihak yang juga menandatangani dokumen itu selaku saksi antara lain: Haji Muhammad Syahip, Antonius Hantam, Haji Muhammad Abubakar Djudje, Abubakar Sidik, Theo Urus, Muhammad Sidik, Fransiskus Ndejeng, Muhammad H. Ishaka Bakar.

Jika membaca dokumen ini, sangatlah jelas bahwa Fungsionaris Adat sudah menyediakan ruang yang jelas bagi pemilik untuk melakukan apa saja atas tanah di maksud. Dokumen itu dikeluarkan pada 1 Maret 2013 di Labuan Bajo.

Jika memang demikian alur kebijakan Fungsionaris Adat, maka wajarlah kalau kemudian penerus Kraeng Dalu Haji Ishaka dalam diri anak-anaknya, memberikan keterangan alas hak atas tanah di Toroh Lemma Batu Kallo kepada Dai Kayus untuk disertifikat (bdk. Dokumen Surat bertanggal 21 Desember 2015). Demikian halnya sikap BPN, tanpa keraguan memanggil Fungsionaris Adat Nggorang dalam diri H. Umar Ishaka dan Ramang N. Ishaka. Simpulannya jelas, tanah ini bukanlah milik Pemda Manggarai (kemudian Manggarai Barat).

Dengan diterbitkannya sertifikat tanah atas nama Dai Kayus di Toroh Lemma Batu Kallo bukan hanya  membatalkan hak kepemilikan tanah itu atas nama Pemda Manggarai tetapi juga tidak mengakui fakta itu. Dengan kata lain, proses pengurusan yang belum final oleh Pemda Manggarai menjadi fakta tak terbantahkan bahwa tanah itu tidak bisa dikata sebagai milik Pemda Manggarai.

Sikap Kejati NTT Belum Profesional?

Kejanggalan-kejanggalan ini melahirkan pertanyaan: Apakah Kejati NTT sudah sungguh mempertimbangkan dokumen dan fakta lapangan terkait kasus ini?  Ada 2 hal yang patut disampaikan.

Pertama, aksi para Notaris dan PPAT se-NTT yang menolak anggota mereka Theresia Koro Demu dengan pemogokan kerja selama 3 hari (20-22 Januari 2021). Dalam penyampaian Ketua IPPAT NTT, Emmanuel Mali sangat menyayangkan Kejati NTT yang menahan rekan mereka sebab tugas notaris adalah membuat akta dan tidak masuk dalam isi yang menjadi janji para pihak. Jika kedua belah pihak, baik penjual maupun pembeli sudah menunjukkan sertifikat tanah maka akta dapat diterbitkan.

Penahanan Theresia Koro Demu oleh Kejati NTT, dalam pandangan IPPAT NTT, sangatlah tidak lazim dan bertentangan dengan profesi Notaris yang juga dilindungi undang-undang.

Kedua, sikap Kejati tebang pilih terhadap tersangka kasus lain di NTT sungguh berbeda dengan kasus tanah yang diklaim milik Pemda di Labuan Bajo. Koordinator TPID NTT, Meridian Dewanta menjelaskan bahwa dalam kasus Bank NTT Cabang Surabaya, di mana Negara dirugikan Rp.127 miliar, kredit macet itu juga melibatkan 2 notaris: Erwin Kurniawan dan Maria Baroroh. Dalam kenyataannya, dua notaris itu tidak ditahan. Oleh karena itu, Meridian meminta agar Kejaksaan Agung RI menindaktegas Kejati NTT (kastra.co, edisi 30 Januari 2021).

Jika masyarakat yang peduli akan kasus ini bertanya, apakah Kejati dalam melaksanakan tugasnya belum professional? Pertanyaan ini lahir dari kontradiksi-kotradiksi yang sudah dijelaskan pada bagian terdahulu tulisan ini.

Faktanya, Pemda Manggarai tidak memegang dokumen final atas tanah. Jika karena itu ada pihak yang mengklaim tanah itu dan menjualnya, maka semua pihak yang masih hidup dari Pemda Manggarai harusnya jadi tersangka. Demikian juga pihak-pihak lain yang dinyatakan dalam ulasan ke-6 ini. Sedangkan Pemda Manggarai Barat yang sudah berusaha melakukan pelbagai langkah mendapatkan kembali tanah itu, hendaklah dibebaskan. Juga orang-orang lain yang terbukti tidak bersalah.*** (bersambung).

Thursday, 28 January 2021

Dilige et quod vis fac! In Memoriam Kanisius Barung

 

 


M

ula pertama bertemu Pak Kanisius Barung sekitar tahun 1991. Kala itu saya masih duduk di bangku Sekolah Menengah Pertama. Guru Bahasa Indonesia kami, tamatan Universitas Sanata Dharma Jogjakarta, Dra. Editha Saka, merujukkan salah satu sumber pustakanya pada buku yang ditulis Pak Kanisius cum suis (dengan teman-temannya), diterbitkan oleh PT. Gramedia tahun 1990. Saya suka melihat para penulis buku. Itu bagian yang tak mungkin absen dari pandangan saya saat membaca sebuah buku. Ada adagium mengatakan, penulis kerap mencerminkan isi. Lalu muncul kebanggaan karena ternyata buku ini, salah satu penulisnya orang Manggarai.

Hingga tahun itu, nama penulis sohor yang tak mungkin dilupakan dalam pewacanaan Bahasa Indonesia adalah Dr. Gorys Keraf dengan puluhan buku dan artikel karyanya, termasuk yang paling banyak dibaca adalah buku Komposisi terbitan Nusa Indah. Munculnya nama Kanisius Barung setidaknya memiliki sebuah keterwakilan perasaan bahwa ada juga orang Manggarai yang berkarya dalam bidang bahasa.

Pertemuan tak terduga terjadi saat saya menjadi pengajar STKIP Santu Paulus tahun 2005. Sejak tahun 2003 kampus itu mengalami kesulitan yang teramat pelik, berhubung ada masalah internal yang berpuncak pada demonstrasi dan pengunduran diri dosen dan regenerasi yayasan. Persoalan antara sekolah dan yayasan, selama dua tahun, meluluhlantakkan banyak hal. Pergunjingan, perseteruan terbuka menjadi konflik yang berujung pada kekacauan, termasuk kebalauan akademik. Saya masuk pada saat ketegangan itu memuncak dan mencapai titik kulminasinya. Lalu ada itikad baik semua pihak untuk berdamai.

Meski sudah berdamai, serpihan-serpihan konflik masih terasa. Upaya untuk menyusun kembali kekuatan di segala aspek kampus menjadi sine qua non (syarat mutlak) untuk meneruskan denyut nafas akademik yang pada masa-masa sebelumnya berjalan abnormal. Saya dipercayakan untuk membangun Jurnal Ilmiah Missio. Jurnal ini sebelumnya ditangani oleh Pak Kanisius Barung. Di tangannya, ia bersama tim kerja, sempat menerbitkan satu edisi. Edisi ini kemudian menjadi cikal-bakal terbitan berkala kampus. Saya bersama teman-teman melanjutkan karya besar ini dengan beberapa modifikasi.

Jadilah jurnal ilmiah ini menjadi salah satu ikon penting kampus, khususnya untuk memublikasi kajian dosen kampus itu. Selain untuk pengembangan diri dosen, kehadiran jurnal ini menolong kampus dalam proses akreditasi mutu, baik Program Studi (Prodi) maupun Sekolah Tinggi. Di tangan saya, hingga masa jabatan berakhir, berhasil memublikasi 6 volume (12 edisi). Khusus untuk Prodi Teologi waktu itu meraih akreditasi A, grade paling bergengsi dengan rekor berturut-turut di Kopertis Wilayah VIII (Bali, NTB dan NTT).

Karya Akademik yang Berkelanjutan

Fokus Pak Kanisius dalam bidang bahasa memang sebuah pilihan profesi yang tak banyak dilakukan oleh orang lain. Kecintaan terhadap bahasa dan sastra melebur dirinya untuk terus berkutat dengan kegiatan-kegiatan kebahasaan. Ia menjadikan kegiatan Bulan  Bahasa sebagai moment penting. Ia mengikuti pelbagai konsorsium dan seminar tentang bahasa dan sastra.

Dalam karyanya sebagai pencinta bahasa, Ia seolah sepaham dengan St. Agustinus yang berujar “Dilige et quod vis fac” yang bisa diterjemahkan: cintailah dan lakukanlah apa yang kamu kehendaki. Pernyataan ini terdapat dalam Epistulum Iohannis ad Parthos tractatus decem VII,8. Pak Kanisius sungguh mencintai pekerjaannya dalam bidang profesinya.

Ia sungguh teliti dengan pekerjaan mahasiswanya. Ia tak segan-segan memarahi mahasiswa yang belum menguasai kemampuan dasar berbahasa. Teori-teori bahasa didekatkan dengan contoh-contoh sederhana. Dia sendiri juga menjadi contoh. Ia menulis pelbagai artikel bahasa. Ia memublikasikan konsep dan pikirannya dalam bentuk buku. Dalam sebuah sharing di ruang minum, pernah Pak Kanis bertutur bahwa dirinya mendapat banyak projek kebahasaan dari Pemda.

Ketika Drs. Yoseph Tote, M.Si menjadi Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Manggarai, mereka bersama menyusun sebuah buku tentang Pendidikan Karakter. Buku ini menjadi salah buku pegangan bagi Sekolah Dasar. Pada waktu Tote sudah menjadi Bupati Manggarai Timur, pekerjaan ini lebih diperluas. Bahkan Pak Kanisius menghasilkan 6 buku pelajaran pendidikan karakter siswa Sekolah dasar. 1 buku untuk setiap kelas. Tentu ini usaha yang sangat kreatif dan maju. Menyatupadukan bahasa, budaya dan karakter adalah hal yang paling dasar dalam melahirkan generasi milenial yang tak lupa akar. Lebih-lebih ketika arus globalisasi dengan Revolusi 4.0 menghantam pertahanan nilai di segala lini.

Tak hanya bergiat menulis buku teks, oleh integritasnya sebagai akademisi, Pemda Manggarai pernah memberi tugas menjadi Panwaslu sebagai perwakilan akademisi kepadanya. Selain itu, Pemda Manggarai Timur memercayakan dirinya menjadi asesor untuk seleksi Eselon II di kabupaten itu. Hal mana juga kepercayaan yang sama saya terima dari Pemda Manggarai. Kiprah akademisi yang merambah bidang-bidang lain menurut hemat saya adalah pengakuan akan kapasitas dan kualitas diri oleh pihak luar.

Dalam sebuah kesempatan dia bercerita panjang lebar tentang pengabdian masyarakatnya yang menjangkau banyak bidang dan orang. “Kita disebut bermutu bukan semata-mata karena internal demand. Dalam kampus, apalagi kita punya kuasa, kita bisa memaksa orang atau panitia untuk menokohkan kita. Itu-itu saja orang yang jadi pembicara, ya, karena mereka punya otoritas di sini. Coba hitung, berapa banyak mereka memeroleh external demand?”, tanyanya retoris seakan menjadi otorkritik terhadap situasi kampus waktu itu.

Karya akademiknya terus meretas jalan baru. Pada saat pandemic Covid-19 melanda semua pihak akrab dengan rapat atau pertemuan virtual. Melalui aplikasi Zoom Meeting Pak Kanisius menawarkan program pendidikan bahasa Indonesia kepada banyak pihak. “Ada banyak rekan yang meminta agar saya mengajar bahasa Indonesia melalui aplikasi itu. Saya menawarkannya kepada banyak orang melalui media social”, jelasnya pada suatu ketika saya bertamu ke rumahnya di Ngencung. Saya lihat tawaran itu di akun Facebook Pak Kanisius.

Kerinduan yang Tak Berkesudahan

Ketika usianya terus beranjak, Pak Kanisius tetap memiliki mimpi yang ingin diraihnya. Ia ingin menempuh pendidikan formal yang lebih tinggi. Kerinduan ini memang beralasan. Dua adiknya telah menyandang gelar doctor: Dr. Goridus Syukur dan Dr. Agustinus Bandur. Dalam sebuah catatan yang dibuat Dr. Fransiskus Borgias, mereka datang dari keluarga sederhana, anak tukang potret keliling. Namun keuletan dan ketekunan dalam berjuang telah menempah mereka menjadi pribadi-pribadi yang tangguh.

Pernah suatu kali dia berbincang-bincang soal studi lanjut. “Kampus tidak mungkin lagi mengirim kita untuk ke jenjang yang lebih tinggi”, katanya. Hal itu memang beralasan. Sejak tahun 2005, Ketua Sekolah Pater Servulus Isaak SVD, pernah memberi alur kebijakan: Orang yang dikirim studi ke jenjang S-3 adalah para dosen yang membiayai sendiri S-2nya. Waktu itu banyak rekan dosen memang berijazah S1. Prioritas pembiayaan studi ke jenjang S-2. Sebagai Kaprodi PGSD waktu itu dia cukup berpeluang dikirim. Namun begitulah, bersamaan dengan berjalannya waktu, hingga Pater Servulus diganti pemimpin baru, kesempatan itu tak kunjung datang.

Dia bukan tipe orang yang mudah menyerah. Bersama sohibnya, Yoseph Tote, mereka mendaftar di salah satu universitas di Surabaya untuk Program S-3. Fokus studi mereka pada manajemen sumber daya manusia. Mereka membiayai diri sendiri. Sebuah keberanian yang patut diacungi jempol karena persis di usia yang kian lanjut mereka masih berkeinginan untuk mencapai gelar tertinggi pendidikan formal. Hingga saat dirinya berpulang ke rumah Tuhan, saya tidak lagi mendengar soal akhir dari perjalanan studi S-3nya ini.

Pak Kanis berusaha menghasilkan karya-karya akademik yang dipublikasikan secara nasional. Ia seorang peneliti dan pengabdi ilmu yang senantiasa menyerahkan seluruh hidupnya pada profesinya.

Pemesan Roti Keju

Pada semester kedua 2020, kami mendirikan usaha roti yang kami namakan “Star A Roti”. Produk andalan kami adalah roti sobek yang kami proses dari bahan bermutu dan peralatan modern. Roti sobek memiliki 3 varian: original, cokelat dan keju. Beberapa kali Pak Kanisius dan Istrinya, Ibu Christine memesan roti sobek kami. Sayapun mengantar sendiri beberapa kali, kendati kami memiliki karyawan yang bertugas untuk itu. Yah, sebuah anjangsana setelah lama tak bersua muka.

Cerita-cerita singkat menjadi acara spontan dalam kunjungan itu. Saling menguatkan dan memberikan apresiasi. Saya tak menyangka sedikitpun jikalau dalam beberapa waktu terakhir ini Pak Kanisius mengalami sakit, apalagi terserang Covid-19. Pantas saja tak ada lagi pesan singkat yang meminta kami mengantar roti ke kediamannya.

Pada pagi, 27 Januari 2021, Pak Kanisius akhirnya menghembuskan nafas terakhir setelah berjuang menyelamatkan diri dari sesak nafas akibat Covid-19. Sebuah berita sedih akan kepergian seorang rekan dosen dan pencinta bahasa Indonesia. Selamat Jalan Kraeng, engkau sudah melakukan apa yang engkau cintai dalam kehidupanmu. Tuhan mengasihimu!***