Sunday, 1 November 2020

Orang-orang Berjiwa Kerdil di Pilkada Manggarai 2020

 

Foto: Topeng-topeng, sibakkan siapa di balik wajahmu? (sumber:alif.id).

(Catatan Pilkada ke-7)

Kanisius Teobaldus Deki

Beberapa waktu ini, usaha untuk memenangkan Pilkada terus digencarkan. Paslon terus mendekatkan diri ke masyarakat pemilih. Mereka tidak sendirian. Ada juga tim sukses yang berusaha secara maksimal melakukan hal yang sama. Masing-masing tim membangun simpati dan keyakinan kepada para pemilih agar Paslon merekalah yang menang. Ini adalah hal lumrah dalam dunia politik. Kemenangan merupakan hasil dari perjuangan yang maksimal.

Untuk mencapai kemenangan, kerja-kerja politik dilakukan. Salah satu hal yang dupayakan adalah melakukan kampanye-kampanye politik. Kampanye politik diniatkan agar ada pengenalan yang cukup dekat dengan paslon dan program-program strategis yang dicanangkannya jika dia terpilih menjadi bupati pun wakil bupati. Pengenalan ini bermuara pada votum (pilihan keputusan) untuk memilih paslon tertentu. Paslon yang memiliki suara terbanyak akan keluar sebagai pemenang.

Paradoks Politik

Pilkada memiliki tujuan mulia. Melalui prosesi politik Pilkada, kekuasaan akan diperoleh untuk menentukan kebijakan-kebijakan pembangunan yang tertera pada visi, misi dan program kerja, baik Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJMD) maupun Rencana Kerja Tahunan (RKT) pada setiap OPD (Organisasi Perangkat Daerah). OPD-OPD (atau dikenal dengan sebutan dinas) inilah yang mengemas program untuk menjawabi kebutuhan masyarakat. Tentu, program dibangun melalui analisis mendalam atas masalah yang ada di tengah masyarakat melalui peta kebutuhan (needs mapping).

Dalam menyampaikan visi, misi dan program kerja inilah Paslon dan tim suksesnya berusaha sekuat tenaga untuk menawarkan konsep-konsep pembangunannya. Di sinilah ruang bagi banyak persoalan yang membelit semua pihak. Ada berbagai macam strategi pemenangan. Dari pilihan untuk menggunakan cara yang baik, bahkan tak jarang memilih jalan yang buruk.

Saat ini black campaign (kampanye hitam), hate speech (pernyataan kebencian) dan hoax (berita bohong) kencang menyerang kita dari segala arah, khususnya pada media sosial. Di media sosial seperti Facebook orang dengan mudah membuat fake account (akun palsu). Mereka dengan gampang mengambil foto orang lain untuk dijadikan foto profil. Mereka begitu enteng berkata apa saja, menghina, mencaci maki, mengumbar kebencian dengan tujuan menciptakan chaos (kekacauan). Pelaku-pelaku akun palsu ini seakan menjadi pahlawan bagi sekelompok orang yang merindukan kericuhan. Pengikutnya tak sedikit. Komentar-komentar yang menyertainya juga spontan memicu kemarahan. Ada tindakan memancing yang sudah disiapkan perangkapnya. Ada yang marah itulah tujuannya. Kemarahan yang memuncak adalah scenario yang diinginkan.

Sayangnya, pergerakan pelaku akun palsu ini susah dibendung. Dengan liar mereka mengekspresikan kemauannya dan mengarahkan para pembaca ke perangkap-perangkap yang sudah disiapkan. Ada banyak yang terjebak ke jeratan. Tatkala pembaca masuk perangkap, tujuan pemilik akun palsu tercapai. Balas mencaci menjadi dominan. Prosentase yang menolak status-status penuh kebencian lebih sedikit.

Jika sudah demikian, politik memiliki jalan paradoksal. Di satu sisi, ia memiliki orientasi yang mulia: dengan mendapatkan kekuasaan, pemegang kekuasaan dapat membangun kebijakan pembangunan yang bermuara pada kesejahteraan banyak orang. Di sisi yang lain, kekuasaan yang hendak diraih itu rentan dengan praktik yang melawan hakikat kemanusiaan yang benar. Praktik-praktik penghinaan, caci maki, penipuan, hujatan hingga penyerangan secara fisik pun mental dianggap sebagai sebuah kebajikan demi meraih kemenangan. Ada situasi “homo homini lupus” dalam ungkapan Thomas Hobes. Manusia telah menjadi serigala bagi sesamanya. Ungkapan ini ada dalam karyanya De Cive tahun 1651.

Menjadi Pribadi Pemberani

Pembangunan seyogyanya adalah fakta tentang perencanaan, implementasi dan hasil yang dapat dirasakan oleh masyarakat sebagai subjek sekaligus tujuan pembangunan. Perencanaan pembangunan seharushnya berbasis pada kebutuhan riil (real needs) masyarakat. Pelaksanaannyapun sudah memiliki indicator-indikator capaian yang menyertainya. Hasilnya, terlihat dalam bentuk nyata. Pada peningkatan SDM, adanya perubahan pola pikir yang terkristalisasi pada inovasi-inovasi program pembangunan. Pada infrastruktur, jalan, jembatan, gedung, irigasi, bangunan dapat dipakai dan bertahan lama. Pada bidang pendidikan, semakin banyak masyarakat yang mengenyam pendidikan formal pun nonformal melalui pelatihan ketrampilan. Pada bidang kesehatan, penurunan angka stunting, gizi buruk, kematian ibu dan anak, berkurangnya berbagai penyakit dan usia harapan hidup yang kian tinggi. Demikian pertumbuhan ekonomi dinilai dari aspek daya beli, peredaran uang, pertumbuhan modal, minimnya angka pengangguran dan besarnya kesempatan kerja. Bidang-bidang inilah yang semestinya menjadi point penilaian tentang seberapa besar pembangunan telah dijalankan sesuai tujuannya.

Tatkala fokusnya bergeser, bukan lagi pada konsep pembangunan dan rencana capaian yang mengarahkan masyarakat pada kemajuan dan kesejahteraan, maka wacana semacam itu sudah keluar dari aras yang benar. Wacana politik semacam itu sudah menista politik in se (dalam dirinya sendiri). Sejalan dengan kekeliruan arah (disorientation) seperti itu, ada kecenderungan untuk menyerang pertahanan lawan secara membabi-buta melalui media sosial dengan focus pada hate-speech, black campaign dan hoax.

Orang Manggarai dikenal sebagai ata bae tombo, pecing adak (memahami pembicaraan yang benar, memiliki nilai-nilai budaya). Politik dan percaturan Pilkada adalah Salang Tuak (situasi temporal) yang memiliki limitasi waktu. Hanya dalam tempo beberapa bulan saja. Sedangkan kehidupan kita adalah Salang Wae Teku Tedeng (kehidupan lestari, tanpa dibatasi oleh waktu) memperlambangkan kebersamaan tiada akhir selain maut yang memisahkan. Atas konsep karakteristik budaya leluhur yang telah disematkan kepada setiap orang Manggarai, maka situasi politik yang penuh caci maki, hinaan, seharusnya bukanlah identitas kedirian orang Manggarai yang selalu memiliki filosofi bae hiang cama tau (tahu menghargai sesama) sebagai bentuk perlawanan homo homini lupus dari Thomas Hobbes. Sejatinya, menurut Seneca, homo homini socius, manusia adalah kawan bagi sesamanya.

Tindakan pemalsuan identitas dan kedirian melalui akun palsu merupakan deviasi dari salah satu keutamaan kardinal yakni keberanian. Keberanian (courage, fortitude) dalam pandangan St. Thomas Aquinas merupakan keutamaan (virtus, arête) setelah kebijaksanaan dan keadilan. Dalam perspektif St. Thomas Aquinas, keberanian memampukan seseorang untuk melawan halangan atau rintangan yang berusaha menajuhkan dirinya dari hidup menurut bimbingan akal budinya. Keutamaan keberanianlah yang mendorong orang yang bermartabat melawan kelemahan kehendak (weakness of will) dalam melakukan hal baik.

Di perhelatan politik Pilkada Manggarai saat ini ada begitu banyak akun palsu yang menyerang Paslon H2N bersama tokoh-tokoh yang mendukungnya. Akun-akun ini secara gencar, massif mengeluarkan kata-kata penuh caci maki, hinaan dan kebohongan. Tindakan mereka menunjukkan secara terang benderang kediriannya sebagai pribadi-pribadi yang kerdil dan lemah. Mereka seolah sedang berjuang bagi kandidatnya, padahal di saat bersamaan mereka menciderai Paslonnya. Mereka adalah tanda-tanda kekalahan peradaban Manggarai yang memiliki tatanan nilai (pecing adak). Mereka harus dilawan dengan kasih dan pengampunan. Kasih dan pengampunan itulah yang terus dilakukan H2N dan timnya untuk mempresentasikan politik yang sejati: memenangkan kemanusiaan kita sebagai orang Manggarai dari segala aspeknya. 

Jika saja, ini acara cari jodoh yang pernah ditayangkan salah satu televisi swasta, mereka datang dengan topeng. Pembawa acara meminta mereka membuka topeng. Lalu terkuaklah siapa wajah di balik topeng itu. Hari ini juga sama, dalam Pilkada ini, bukalah topengmu, berdiskusilah secara santun. Jika tidak, anda tetaplah menjadi pribadi kerdil, lemah dan penakut. Hal mana melawan citra kita sebagai Ata Rona, Laki Tu'ung keta (lelaki pemberani)!***

Kupang, 30-31 Oktober 2020

 

No comments:

Post a Comment