(Catatan
Pilkada ke-7)
Kanisius Teobaldus Deki
Beberapa waktu ini, usaha untuk memenangkan Pilkada terus digencarkan. Paslon terus mendekatkan diri ke masyarakat pemilih. Mereka tidak sendirian. Ada juga tim sukses yang berusaha secara maksimal melakukan hal yang sama. Masing-masing tim membangun simpati dan keyakinan kepada para pemilih agar Paslon merekalah yang menang. Ini adalah hal lumrah dalam dunia politik. Kemenangan merupakan hasil dari perjuangan yang maksimal.
Untuk mencapai kemenangan, kerja-kerja politik dilakukan. Salah
satu hal yang dupayakan adalah melakukan kampanye-kampanye politik. Kampanye
politik diniatkan agar ada pengenalan yang cukup dekat dengan paslon dan
program-program strategis yang dicanangkannya jika dia terpilih menjadi bupati
pun wakil bupati. Pengenalan ini bermuara pada votum (pilihan keputusan) untuk memilih paslon tertentu. Paslon
yang memiliki suara terbanyak akan keluar sebagai pemenang.
Paradoks
Politik
Pilkada memiliki tujuan mulia. Melalui prosesi politik Pilkada,
kekuasaan akan diperoleh untuk menentukan kebijakan-kebijakan pembangunan yang
tertera pada visi, misi dan program kerja, baik Rencana Pembangunan Jangka
Menengah (RPJMD) maupun Rencana Kerja Tahunan (RKT) pada setiap OPD (Organisasi
Perangkat Daerah). OPD-OPD (atau dikenal dengan sebutan dinas) inilah yang
mengemas program untuk menjawabi kebutuhan masyarakat. Tentu, program dibangun
melalui analisis mendalam atas masalah yang ada di tengah masyarakat melalui peta
kebutuhan (needs mapping).
Dalam menyampaikan visi, misi dan program kerja inilah Paslon dan
tim suksesnya berusaha sekuat tenaga untuk menawarkan konsep-konsep
pembangunannya. Di sinilah ruang bagi banyak persoalan yang membelit semua
pihak. Ada berbagai macam strategi pemenangan. Dari pilihan untuk menggunakan
cara yang baik, bahkan tak jarang memilih jalan yang buruk.
Saat ini black campaign
(kampanye hitam), hate speech
(pernyataan kebencian) dan hoax
(berita bohong) kencang menyerang kita dari segala arah, khususnya pada media
sosial. Di media sosial seperti Facebook orang dengan mudah membuat fake account (akun palsu). Mereka dengan
gampang mengambil foto orang lain untuk dijadikan foto profil. Mereka begitu enteng
berkata apa saja, menghina, mencaci maki, mengumbar kebencian dengan tujuan
menciptakan chaos (kekacauan).
Pelaku-pelaku akun palsu ini seakan menjadi pahlawan bagi sekelompok orang yang
merindukan kericuhan. Pengikutnya tak sedikit. Komentar-komentar yang
menyertainya juga spontan memicu kemarahan. Ada tindakan memancing yang sudah
disiapkan perangkapnya. Ada yang marah itulah tujuannya. Kemarahan yang
memuncak adalah scenario yang diinginkan.
Sayangnya, pergerakan pelaku akun palsu ini susah dibendung.
Dengan liar mereka mengekspresikan kemauannya dan mengarahkan para pembaca ke
perangkap-perangkap yang sudah disiapkan. Ada banyak yang terjebak ke jeratan.
Tatkala pembaca masuk perangkap, tujuan pemilik akun palsu tercapai. Balas
mencaci menjadi dominan. Prosentase yang menolak status-status penuh kebencian
lebih sedikit.
Jika sudah demikian, politik memiliki jalan paradoksal. Di satu
sisi, ia memiliki orientasi yang mulia: dengan mendapatkan kekuasaan, pemegang
kekuasaan dapat membangun kebijakan pembangunan yang bermuara pada kesejahteraan
banyak orang. Di sisi yang lain, kekuasaan yang hendak diraih itu rentan dengan
praktik yang melawan hakikat kemanusiaan yang benar. Praktik-praktik
penghinaan, caci maki, penipuan, hujatan hingga penyerangan secara fisik pun
mental dianggap sebagai sebuah kebajikan demi meraih kemenangan. Ada situasi “homo homini lupus” dalam ungkapan Thomas
Hobes. Manusia telah menjadi serigala bagi sesamanya. Ungkapan ini ada dalam
karyanya De Cive tahun 1651.
Menjadi
Pribadi Pemberani
Pembangunan seyogyanya adalah fakta tentang perencanaan, implementasi
dan hasil yang dapat dirasakan oleh masyarakat sebagai subjek sekaligus tujuan
pembangunan. Perencanaan pembangunan seharushnya berbasis pada kebutuhan riil (real needs) masyarakat. Pelaksanaannyapun
sudah memiliki indicator-indikator capaian yang menyertainya. Hasilnya, terlihat
dalam bentuk nyata. Pada peningkatan SDM, adanya perubahan pola pikir yang
terkristalisasi pada inovasi-inovasi program pembangunan. Pada infrastruktur,
jalan, jembatan, gedung, irigasi, bangunan dapat dipakai dan bertahan lama. Pada
bidang pendidikan, semakin banyak masyarakat yang mengenyam pendidikan formal
pun nonformal melalui pelatihan ketrampilan. Pada bidang kesehatan, penurunan
angka stunting, gizi buruk, kematian
ibu dan anak, berkurangnya berbagai penyakit dan usia harapan hidup yang kian
tinggi. Demikian pertumbuhan ekonomi dinilai dari aspek daya beli, peredaran
uang, pertumbuhan modal, minimnya angka pengangguran dan besarnya kesempatan
kerja. Bidang-bidang inilah yang semestinya menjadi point penilaian tentang
seberapa besar pembangunan telah dijalankan sesuai tujuannya.
Tatkala fokusnya bergeser, bukan lagi pada konsep pembangunan dan
rencana capaian yang mengarahkan masyarakat pada kemajuan dan kesejahteraan,
maka wacana semacam itu sudah keluar dari aras yang benar. Wacana politik
semacam itu sudah menista politik in se
(dalam dirinya sendiri). Sejalan dengan kekeliruan arah (disorientation) seperti itu, ada kecenderungan untuk menyerang
pertahanan lawan secara membabi-buta melalui media sosial dengan focus pada hate-speech, black campaign dan hoax.
Orang Manggarai dikenal sebagai ata bae tombo, pecing adak (memahami pembicaraan yang benar,
memiliki nilai-nilai budaya). Politik dan percaturan Pilkada adalah Salang Tuak (situasi temporal) yang memiliki
limitasi waktu. Hanya dalam tempo beberapa bulan saja. Sedangkan kehidupan kita
adalah Salang Wae Teku Tedeng
(kehidupan lestari, tanpa dibatasi oleh waktu) memperlambangkan kebersamaan
tiada akhir selain maut yang memisahkan. Atas konsep karakteristik budaya
leluhur yang telah disematkan kepada setiap orang Manggarai, maka situasi
politik yang penuh caci maki, hinaan, seharusnya bukanlah identitas kedirian
orang Manggarai yang selalu memiliki filosofi bae hiang cama tau (tahu menghargai sesama) sebagai bentuk
perlawanan homo homini lupus dari
Thomas Hobbes. Sejatinya, menurut Seneca, homo
homini socius, manusia adalah kawan bagi sesamanya.
Tindakan pemalsuan identitas dan kedirian melalui akun palsu merupakan
deviasi dari salah satu keutamaan kardinal yakni keberanian. Keberanian (courage, fortitude) dalam pandangan St.
Thomas Aquinas merupakan keutamaan (virtus, arête)
setelah kebijaksanaan dan keadilan. Dalam perspektif St. Thomas Aquinas,
keberanian memampukan seseorang untuk melawan halangan atau rintangan yang
berusaha menajuhkan dirinya dari hidup menurut bimbingan akal budinya. Keutamaan
keberanianlah yang mendorong orang yang bermartabat melawan kelemahan kehendak
(weakness of will) dalam melakukan
hal baik.
Di perhelatan politik Pilkada Manggarai saat ini ada begitu banyak akun palsu yang menyerang Paslon H2N bersama tokoh-tokoh yang mendukungnya. Akun-akun ini secara gencar, massif mengeluarkan kata-kata penuh caci maki, hinaan dan kebohongan. Tindakan mereka menunjukkan secara terang benderang kediriannya sebagai pribadi-pribadi yang kerdil dan lemah. Mereka seolah sedang berjuang bagi kandidatnya, padahal di saat bersamaan mereka menciderai Paslonnya. Mereka adalah tanda-tanda kekalahan peradaban Manggarai yang memiliki tatanan nilai (pecing adak). Mereka harus dilawan dengan kasih dan pengampunan. Kasih dan pengampunan itulah yang terus dilakukan H2N dan timnya untuk mempresentasikan politik yang sejati: memenangkan kemanusiaan kita sebagai orang Manggarai dari segala aspeknya.
Jika saja, ini acara cari jodoh yang pernah ditayangkan salah satu televisi swasta, mereka datang dengan topeng. Pembawa acara meminta mereka membuka topeng. Lalu terkuaklah siapa wajah di balik topeng itu. Hari ini juga sama, dalam Pilkada ini, bukalah topengmu, berdiskusilah secara santun. Jika tidak, anda tetaplah menjadi pribadi kerdil, lemah dan penakut. Hal mana melawan citra kita sebagai Ata Rona, Laki Tu'ung keta (lelaki pemberani)!***
Kupang, 30-31 Oktober 2020
No comments:
Post a Comment