Kanisius Teobaldus Deki
1. PENGANTAR:
IMAM SEBAGAI PEWARTA SABDA
Para Imam berdasarkan sakramen Tahbisan berpartisipasi dalam
satu-satunya imamat Kristus, Kepala dan Gembala. Kristus adalah satu-satunya
Imam, Nabi dan Raja. Identitas dan misi Yesus ini diteruskan atau dilanjutkan
juga oleh para imam melalui tahbisan suci. Masih dalam alur maksud yang sama,
Tuhan Yesus memanggil dan mengutus para rasulNya ke seluruh dunia.[1]
Yesus bersabda, “KepadaKu telah diberikan
segala kuasa di surga dan di bumi. Karena itu
pergilah, jadikanlah semua bangsa muridKu dan baptislah mereka dalam
nama Bapa dan Anak dan Roh Kudus, dan ajarilah mereka melakukan segala segala
sesuatu yang telah diperintahkan kepadamu. Dan ketahuilah Aku menyertai kamu
sampai kepada akhir zaman”( Mat 28:20). Sabda Yesus ini umumnya dilihat
Gereja sebagai sebuah basis pemahaman untuk memberikan diri ke dalam pelayanan
imamat yang pada akhirnya bermuara
kepada keselamatan umat manusia seutuhnya.
Dalam Dekrit tentang pelayanan dan
kehidupan para Imam (Presbyterorum Ordinis) dijelaskan bahwa para imam,
yang dipilih dari antara manusia dan ditetapkan bagi manusia dalam hubungan
mereka dengan Allah, untuk mempersembahkan persembahan dan korban bagi
dosa-dosa, bergaul dengan orang-orang lain bagaikan dengan saudara-saudari mereka.[2]
Karena itu fokus pelayanan para imam menjadi jelas yakni: mereka dipanggil
untuk hidup bersama dengan orang lain, bukan dalam keterpisahan, sebab esensi
panggilan mereka, selain “ada” yang berasal dari Allah (man of God),
juga sekaligus “ada” untuk sesama (man for others) dalam bingkai cinta
kasih pastoral.[3]
Panggilan kepada cinta kasih pastoral yang mereka memiliki dimensi sosial (social
dimension) yang mau tidak mau harus berhadapan dengan sesama. Sebab,
jikalau ia hadir hanya untuk dirinya maka panggilannya menjadi nirmakna (meaningless).[4]
Meskipun sudah jelas bahwa
panggilannya diarahkan untuk keselamatan manusia, namun itu tidak berarti ia
imun terhadap pelbagai tanggapan atas pelayanan yang ia berikan. Tulisan ini
berbicara tentang urgensitas meditasi dalam kehidupan imam. Terdapat asumsi
bahwa kehidupan imam dan pelayanannya mesti mengalir dari sebuah hati yang
hening dan tenang, yang “senantiasa merenungkan hukum Tuhan, siang dan malam”.
Pada bagian pertama, dipaparkan sekilas tentang
panggilan menjadi imam, bagian kedua merupakan pengungkapkan “suara
umat” yang terbanyak diambil dari mass media, bagian ketiga tentang urgensitas
meditasi dalam pelayanan seorang Imam, bagian keempat kesimpulan dan penutup.
2.1. Penilaian
Umat atas Kotbah Imam
Kehidupan
Imam tidak pernah sepi dari berbagai tanggapan: entah itu kritik, celaan maupun
sanjungan dan puji-pujian. Cara menyampaikannya juga bermacam-macam: mulai dari
gosip murahan pada saat bertemu, percakapan resmi dalam pertemuan pastoral
sampai pada penyampaian lewat media massa. Kesadaran ini menyodorkan satu
kenyataan bahwa imam dan kehidupannya selalu mendapat perhatian dari hampir
semua pihak, khususnya umat Katolik. Secara positif dapat dikatakan bahwa dari
fenomena ini dapat dilihat dimensi tanggung jawab etis umat dalam menghargai
imamat dan memberikan tempat yang terhormat atasnya.
Ada
begitu banyak segi kehidupan dan pelayanan imam yang mendapat sorotan umat.
Jika diurutkan jumlahnya sangat banyak. Hal berikut adalah tema yang sering
mendapat sorotan umat, berkaitan dengan hidup dan perilaku Imam, gembala mereka
yakni kotbah.
Salah
satu tugas imam yang paling penting ialah menjadi pembawa Kabar Gembira,
menjadi nabi yang bersuara atas dan dalam nama Allah. Imam hadir untuk
membebaskan manusia dari kungkungan dosa dan membawanya menuju keselamatan
melalui terang Sabda. Tetapi yang menjadi kendala ialah bagaimana menghasilkan
sebuah pewartaan yang tepat sasar, bagaimana menghasilkan sebuah kotbah yang berisi,
bagaimana metode yang paling baik dalam menyampaikannya supaya umat memahami
apa yang diwartakan. Persoalannya lebih kepada isi dan metode penyampaiannya.
Dalam banyak kesempatan, umat mengatakan bahwa kotbah para Pastor sering tidak
menjawabi kebutuhan real mereka, tidak sesuai konteks zaman.[6]
Belum lagi dikeluhkan tentang kotbah yang terlalu panjang, berbelit-belit dan
tidak sistematis,[7]
menjemukan, tidak menarik, hanya mengulangi bacaan Injil[8],
hanya membaca ulang kotbah yang sudah dibuat pada waktu yang lalu[9],
dsb.
Atas
keluhan yang ada ini, terdapat berbagai tanggapan yang muncul sebagai reaksi,
entah spontan maupun terencana. Ada umat tertentu yang mencari informasi
tentang siapa yang memimpin perayaan Ekaristi di parokinya. Jika imam itu mempunyai
kemampuan untuk membawakan kotbah yang menarik maka ia akan merayakan misa di
parokinya. Jika yang memimpin adalah mereka yang diklasifikasikan dalam tipe
“tak menarik” maka mereka akan pergi ke tempat lain: kapela stasi lain dalam paroki, kapela-kapela biara
ataupun ke gereja paroki lain. Selain itu, ada umat yang malas ke Gereja dengan
alasan bahwa kotbah imam hanya “yang itu-itu saja”, tidak ada perubahan metode
dan balutan isinya tidak variatif.
Efek
dari kenyataan ini ialah lahirnya suatu perbandingan spontan antara imam yang
satu dengan imam yang lain, hanya berdasarkan kotbah. Imam yang berhasil
memikat hati umat dengan kotbah yang “menarik dan menawan” dianggap lebih baik
daripada yang sebaliknya. Selain itu, kebanyakan imam-imam tua yang telah
kendur semangatnya dalam berkotbah “dihindari” oleh umat, dalam arti tidak
diharapkan untuk merayakan Ekaristi hari itu. Sedangkan imam-imam muda yang
“prematur menjadi tua” yang berpenampilan seperti imam tua-tua dicemoohkan
sebagai “yang tak memiliki semangat pelayanan, yang tidak kreatif, terlalu
cepat menjadi kakek,” dsb.
2.2. Beberapa
Catatan Kritis dari Umat atas Penilaian Umat
Menyikapi
berbagai kritikan yang berasal dari sebagian umat atas cara imam berkotbah,
beberapa umat lain memberikan catatan kritis atas tanggapan-tanggapan itu. Pertama,
Sambil mengutip Kanon 769: “hendaknya ajaran Kristiani disajikan dengan cara
yang sesuai dengan keadaan para pendengar dan yang memadai kebutuhan-kebutuhan
zaman”, Christ Widya Utomo berkomentar bahwa sangatlah penting untuk hirau
terhadap konteks umat dan zaman yang sedang berkembang. Terhadap tema-tema
tertentu, jika ada yang lebih berkompeten, khususnya awam, bisa juga diberikan
kesempatan untuk berbicara.[10]
Kedua,
tanggapan yang lebih tajam datang dari J. Soedjati Djiwandono. Menurut Soedjati
sebagai umat, kaum awam perlu mawas diri. Hal pertama, apakah keluhan-keluhan
serupa itu tidak menunjukkan bahwa kotbah bukanlah hal esensial atau inti
perayaan Ekaristi, yang dapat berlangsung tanpa kotbah? Hal kedua, apakah
selama ini kita menganggap kotbah di gereja selama perayaan Ekaristi sebagai
satu-satunya sumber inspirasi spiritual atau rohani, pengetahuan, penguatan,
dan pendalaman iman? Apakah kita kurang menyadari bahwa terdapat sumber-sumber
dan cara-cara lain untuk itu semua, seperti belajar sendiri melalui baca
(misalnya tentang ajaran sosial Gereja), refleksi, berpikir atau berdiskusi
dengan orang lain? Hal ketiga, apakah kita termasuk orang awam yang cengeng,
yang kurang mandiri, terlalu menggantungkan diri pada imam (di paroki),
misalnya harus menghadirkan imam setiap kali kita melangsungkan berbagai macam
rapat, diskusi, dsb., sehingga imam kita kekurangan waktu untuk belajar,
termasuk sebagai bagian untuk mempersiapkan kotbah? Apakah kita menyadari bahwa
seorang imam, sebagaimana orang-orang lain, perlu selalu belajar, menambah
pengetahuan, memperdalam pemahaman tentang berbagai masalah, dan menambah
berbagai macam keterampilan? Hal keempat, umat Katolik zaman sekarang sudah
jauh lebih maju. Tetapi kemajuan itu tidak merata. Oleh sebab itu, apalagi
dengan semakin tingginya mobilitas horisontal maupun vertikal dalam masyarakat,
umat Katolik, terutama di kota-kota besar, semakin beragam dari segi sosial,
ekonomi, maupun pendidikan. Sebab itu, tugas pelayanan seorang imam (khususnya
di paroki) juga semakin berat, apalagi dengan semakin berkurangnya jumlah imam
dibandingkan dengan jumlah umat. Bertambah beratnya tugas ini mencakup juga
tugas berkotbah. Pada kelompok mana kotbah harus difokuskan? Suatu kotbah[11]
mungkin cocok bagi kelompok tertentu, tetapi belum tentu hal itu diterima
secara sama oleh kelompok lain, karena alasan perbedaan latar belakang. Sebab
itu kotbah yang “baik” atau yang “membosankan” dan “kurang menarik”, mungkin
sekali tidak berlaku bagi semua umat. Sebagai solusi atas masalah itu, Soedjati
menawarkan gagasannya supaya umat harus lebih berperan, “pro aktif” dalam
membangun dan membina imannya. Citra lama seakan-akan imam itu selalu paling
suci, pintar dan benar seharusnya tidak ada lagi. Dan Imam sendiri jangan
sampai “termakan” atau bahkan secara tidak sadar ikut menciptakan mitos seperti
itu.
Ketiga,
J.B. Komang dalam menanggapi “debat” seputar kotbah imam coba memberikan solusi
alternatif dengan disediakannya tempat khusus untuk homili dalam mass media,
misalnya Mingguan HDUP. Alasannya jelas, dengan adanya kolom yang demikian,
umat bisa membaca homili tersebut untuk selanjutnya direnungkan dalam kehidupan
real. Persoalan baru muncul: siapa orang yang
berkompeten yang akan menangani kolom tersebut?[12] Pemikiran ini sebenarnya bukanlah hal yang baru. Sudah
sejak lama beberapa imam dari berbagai kongregasi[13] dan keuskupan[14] telah membaca peluang itu dan menulis buku tentang
homili dan kotbah. Bahkan situs-situs kotbah di intenet juga semakin banyak
disediakan dalam berbagai bahasa dan dengan mudah diakses.[15] Atau juga renungan-renungan singkat yang diracik dengan
gaya yang sederhana tetapi menawan, melalui buletin-buletin paroki atau yang
ditawarkan oleh kelompok-kelompok studi.[16]
2.3. Nilai
yang bisa Dipetik
Setiap
kritikan umat terhadap perilaku imam dan bagaimana ia menghayati spiritualitas
imamatnya, tentu didasarkan oleh rasa cinta dan sayang yang dibalut oleh
kesadaran bahwa mereka juga memiliki tanggung jawab yang sama dalam membangun
dan mengembangkan Gereja Kristus. Kritikan semacam itu mesti ditanggapi secara
bijaksana, penuh kerendahan hati, seraya mengakui bahwa sebagai manusia,
seorang imam juga mempunyai kelemahan kodrati. Kritikan umat tentang kotbah
juga tak bisa dipandang sebagai tanda yang mengindikasikan bahwa kehadiran
seorang imam ditolak oleh umatnya. Seorang imam pada gilirannya mesti memiliki
pemikiran yang positif bahwa setiap kritikan itu berdaya konstruktif, dan
membuat ia semakin berusaha, terlecut untuk membaca, merenungkan Sabda Tuhan
dan membuat aplikasi praktis bagi umatnya.
Kembali
ke soal klasik tadi: bagaimana meracik sebuah kotbah yang “berisi” sekaligus
disajikan dalam “metode” yang menarik? Ada banyak cara yang ditawarkan. Pada
kesempatan ini, fokus perhatian kita hanya diarahkan kepada urgensitas meditasi
bagi seorang imam, khususnya dalam mempersiapkan kotbah.
3. KOTBAH YANG MENGALIR DARI KEDALAMAN BATIN: ARTI PENTING
MEDITASI DALAM KEHIDUPAN SEORANG IMAM
3.1. Apa itu
Meditasi?
Sesuatu
menjadi jelas jikalau diberi arti, dijelaskan pengertiannya atau paling kurang membuat
sebuah identifikasi yang sahih atasnya. Itulah kecenderungan yang terjadi dalam
dunia intelek. Definisi lalu menjadi penting. Namun ternyata tidak semua hal
bisa menjadi lebih jelas jikalau didefinisikan. Meskipun demikian, tetap ada
usaha membuat penjelasan, walaupun ada kejamakan dalam perspektif: Budhisme,[17]
Hinduisme, Kristen,[18]
Islam. Menurut Naomy Humphrey, membuat sebuah definisi untuk meditasi justru
akan mempersulit daripada membantu. Terkadang kata-kata menghalangi arti dan
bukan menyingkapnya. Sambil mengutip Chuang-tzu, guru besar Tao abad ke-14, ia
mengatakan, “kata-kata ada untuk memberi arti, namun sekali saja engkau
memahami arti tersebut, engkau dapat menyingkirkan kata-katanya”.[19]
Mengatasi kesulitan itu, Naomi membuat deskripsi yang
mendekati kebenaran tentang meditasi. Pertama, meditasi sebagai suatu
keadaan kesadaran. Meditasi merupakan kegiatan mental yang berkenaan dengan
kesadaran. Dalam hal ini, kesadaran tidak ada kaitannya dengan kemampuan
intelektual, latar belakang pendidikan ataupun kepribadian. Meditasi dapat
dianggap sebagai kesadaran atau persepsi total. Bermeditasi tidak sama dengan
berpikir mengenai sesuatu secara intelektual. Kedua, meditasi sebagai
jalan kehidupan spiritual. Pada saat meditasi telah terintegrasi ke dalam pola
hidup sehari-hari, meditasi akan menjadi bagian alamiah dari hidup sehari-hari.
Meditasi bukan lagi sekedar latihan atau pengalaman kesadaran yang diubah.
Meditasi mempunyai kekuatan untuk mengubah semua aspek kehidupan: berpikir,
merasa, melakukan dan mengenal. Meditasi menanam benih untuk pencerahan dan
menjadi jalan hidup; lebih dari itu, meditasi adalah jalan spiritual.[20]
The Concise Columbia Encyclopedia[21] menjelaskan meditasi sebagai displin religius, aktivitas
mana pikiran dibimbing kepada fokus tertentu. Itu mengandaikan keterlibatan rahmat Ilahi, sebagaimana
kontemplasi dalam tradisi mistik kristiani. Yang jelas ada tema spiritual,
pertanyaan, masalah atau bahkan juga pencapaian persatuan dengan Yang Ilahi
melalui visualisasi atau pengulangan doa dalam batin.
Dalam tradisi Kristen, meditasi dilihat sebagai suatu
sikap hening di hadapan Allah, untuk merenungkan cintaNya yang teramat besar,
mengalaminya dan berusaha bersatu dengan cinta Allah itu. Itu berarti sebuah
tindakan melihat ke dalam diri sendiri untuk menemukan Allah dalam kedalaman
keberadaanNya, Allah yang adalah interior intimo.[22] Selain itu, meditasi, meminjam istilah Paus Pius XII,
juga merupakan sebuah aksi mengangkat budi kepada perkara-perkara surgawi dan
membimbingnya kepada Allah, memurnikan budi, memimpin afeksi dan mengarahkan
tindakan.[23]
3.1. Mengapa
Meditasi Penting?: Belajar dari Kehidupan Yesus
Yesus,
sebagai seorang Guru sejati, menempatkan meditasi dan doa dalam posisi yang
sangat penting dalam hidupNya. Hal ini secara eksplisit diungkapkan oleh para
penginjil: “…mengasingkan diri ke tempat yang sunyi[24];
marilah ke tempat yang sunyi, supaya kita sendirian, dan beristirahatlah seketika.
Maka berangkatlah mereka untuk mengasingkan diri ke tempat yang sunyi[25]; Yesus membawa Petrus, Yohanes dan Yakobus,
lalu naik ke atas gunung untuk berdoa[26];
Akan tetapi Ia mengundurkan diri ke tempat-tempat yang sunyi untuk berdoa[27];
pagi-pagi benar, waktu hari masih gelap, Ia bangun dan pergi ke luar. Ia pergi ke tempat yang sunyi dan berdoa”.[28] Ada beberapa catatan dari pola hidup Yesus ini:
Pertama, Sebelum
menjalankan tugas perutusanNya, Yesus berpuasa di padang gurun selama 40
hari-40 malam.[29] Yesus memulai karyaNya dalam sebuah keheningan dan
kesunyian. Dalam keheningan dan kesunyian, visi dan misi cenderung lebih mudah
ditemukan dan diarahkan. Memang ada
tantangan untuk mengarahkan secara salah apa artinya menjadi utusan. Tetapi
hati yang selalu hening, dalam diam yang diliputi oleh terang Ilahi, sanggup
memutuskan dengan tepat apa yang terbaik.
Hal itu berlanjut tatkala Yesus sudah berkarya: sebelum
dan sesudah menjalankan sesuatu pelayanan, Ia selalu pergi ke tempat yang sunyi
untuk berdoa, bermeditasi. Karya Yesus, dalam berbagai bentuknya mengalir dari
hati yang hening yang disertai
pertimbangan bijaksana untuk menyatakan dengan penuh kasih, lembut
sekaligus tegas kehendak BapaNya di tengah manusia dan dunia. Dengan kata lain,
hidup Yesus oleh caraNya “menarik diri” dari kehidupan ramai, mengalami
ketenangan batin, selalu menimba inspirasi baru, pada akhirnya, selalu memiliki
orientasi theosentris (God centered-berpusat pada Allah), bukan diriNya
sendiri (self-centered). Karena itu, karya Yesus baik dalam pewartaan
maupun pelayananNya merupakan eksplisitasi dari pelaksanaan kehendak Bapa.[30]
Kedua, Meskipun ada
kesan bahwa “pengunduran diri Yesus” ke tempat yang sunyi lebih menekankan soal
“locus” (kesunyian atau keheningan lahiriah) tetapi sebenarnya tidak
hanya berhenti sampai di situ. Keheningan batin bisa dirasakan di mana-mana,
tanpa ada garis demarkasi yang tajam. Namun adalah sesuatu yang wajar, jika
kehadiran kita di tempat yang sunyi, tenang lebih menjanjikan suasana yang
kondusif daripada di tempat yang ramai, walaupun hal itu bukan tak mungkin.[31] Jika seseorang dapat membuat spiritual discernment
(pemindaian Roh) secara otomatis, dalam waktu yang relatif singkat, itu lebih
merupakan buah yang dituai atas usaha yang terus-menerus menceburkan diri ke
dalam keheningan batin dan kedekatan yang intim dengan Allah.
Ketiga, tatkala
berhadapan dengan orang Yahudi, khususnya pemimpin agama, orang Farisi dan ahli
Taurat, Yesus selalu menjawab pertanyaan mereka dengan singkat, jelas tetapi
tepat sasar. Ketika Ia berkotbah, kata-kataNya mengalir, memberikan daya yang
sangat kuat sehingga orang-orang mengikuti Dia, bahkan ke mana saja Ia pergi.[32] Kata-kata yang keluar dari mulut Yesus tentu bersumber
pada keheningan batin yang dimilikiNya. Kata-kata itu secara spontan keluar
untuk memberikan ketenangan, penghiburan, kedamaian, kepastian, pengharapan dan
kebahagiaan, singkatnya keselamatan bagi mereka yang percaya kepadaNya.[33] Daya “Kata-kata” (Sabda) Yesus yang telah ditulis dalam
Kitab Suci, tetap bergema dan memiliki pengaruh bagi manusia hingga saat ini
dan akan tetap mempunyai kekuatan sampai kapanpun.
3.2. Meditasi Dalam
Kehidupan Imam
Dalam
usaha membangun hidup rohaninya, seorang imam sudah sewajarnya membaca Sabda
Allah dalam suasa doa dan meditasi, misalnya melalui metode Lectio Divina.[34]
Melalui jalan ini imam mendengarkan Dia yang
bersabda dengan rendah hati dan penuh kasih.[35] Berkotbah merupakan satu bentuk pewartaan khas Imam.
Kotbah merupakan pewartaan Sabda Allah dengan cara memaklumkannya secara
aktual, sehingga mereka merasa dan mengalami bahwa Allahlah yang tengah
berbicara kepada mereka. Hal ini menjadi mungkin karena Imam telah lebih dahulu
mengalami Allah dalam keheningan batinnya lalu mengalir keluar lewat kata-kata
pewartaan dan seluruh sikap hidupnya. Morton T. Kelsey berkata, “tidak mungkin
seseorang melayani Allah, untuk berbicara tentang realitas spiritual kepada
manusia modern tanpa kedekatan dan mengalami sendiri Allah dalam hidupnya”.[36]
Dalam permenungannya, Rm. Dr. Hubertus Leteng Pr
memberikan dua makna bagi meditasi untuk menghidupkan api spiritualitas hidup
seorang imamat. Dua point itu juga akan menuntun kita melihat peran meditasi
dalam membangun kotbah yang bisa berbicara kepada umat dan mendarat di atas
realitas kehidupan real mereka.
3.3.1. Meditasi
sebagai Momentum Perjumpaan dengan Realitas Jamak (Diri, lingkungan, sesama dan
Tuhan)
Melalui
aktivitas meditasi, seorang Imam berhadapan dengan realitas yang jamak,
kenyataan yang tidak pernah bersifat tunggal. Imam sebagai manusia berhadapan
dengan pelbagai kemungkinan obyek yang ditemukannya. Ada beberapa pemikiran
berkaitan dengan hal ini. Pertama, Dalam meditasi ia menarik semua
kenyataan itu ke dalam dirinya, merenungkannya dan merasakan getaran eksistensi
setiap obyek itu dan kemudian memberikan tanggapan atasnya secara khusus.
Johnanes B. Lotz mengatakan bahwa meditasi juga mengantar manusia untuk kembali
kepada dirinya yang paling dalam dan unik, kepada pusat pribadinya, di mana ia
sepenuhnya menjadi diri sendiri, kepada kemerdekaan pribadi, di mana ia
sepenuhnya memiliki dan menentukan diri sendiri, serta memberi dirinya itu
karakter yang paling dalam. Dengan demikian, bermeditasi secara essensial
berarti menjadi diri sendiri, bukan sebagai suatu kesenangan erotik dalam
memandang diri sendiri, melainkan sebagai sebuah upaya untuk mencapai diri
sendiri dan beristirahat dalam diri dan dengan diri. Dengan upaya itulah tata
tertib dasar dari hidup manusia diwujudkan.[37]
Setiap
orang yang sanggup masuk ke dalam diri sendiri, berupaya untuk memahami
siapakah dirinya yang sesungguhnya, akan semakin mampu memahami orang lain,
lingkungan dan Allahnya. Ketidakmampuan untuk menerima diri sendiri membuat
banyak orang jatuh ke dalam idealisme, mimpi dan khayalan yang berlebihan dan
akhirnya meraih absurditas dalam hidupnya. Barangkali orang yang menjadi gila
lebih disebabkan oleh ketidaksanggupan mereka untuk mengorganisir keinginan,
cita-cita, kehendak dan kemauan mereka secara baik. Atau juga mereka yang
menjadi “pribadi sulit”. Dalam dunia filsafat, Sokrates pernah berujar, “gnoti
seauton” untuk menegaskan bahwa hidup perlu direfleksikan, direnungkan
terus menerus untuk menemukan maknanya.
Melalui
meditasi, seorang imam memiliki kerelaan untuk menerima diri sendiri: kelemahan
dan kekuatannya, kekurangan dan kelebihannya. Menerima diri dengan rela adalah
jalan lapang yang membebaskan dirinya dari segala bentuk idealisme yang keliru,
khususnya ketika ia menemukan bahwa ternyata ia memiliki kekurangan dan
kelemahan di dalam dirinya. Meditasi membuat ia semakin yakin bahwa dirinya,
dari asalnya, adalah berarti, memiliki keunikan dan serentak keistimewaan. Oleh
karena kesadaran diri bahwa ia berarti, ia juga termotivasi untuk menerima
tanggung jawab yang diberikan Tuhan kepadanya. Tugas kotbah pada gilirannya,
adalah sebuah anugerah, bahwa Tuhan memperkenankan dirinya untuk menjadi
pewarta, “mulut Allah” yang menyampaikan sabdaNya. Kotbah yang lahir dari
ketulusan dan kerelaan sangat kentara: tenang, berwibawa, memiliki
penekanan-penekanan yang terasa jelas dan cenderung padat-berisi. Kotbah yang
lahir dari kerelaan, juga disertai rasa tanggung jawab memiliki karakter sbb:
tidak tergesa-gesa atau merasa dikejar waktu, tak mau menyampaikan sesuatu
asal-asalan, tidak bergairah, loyo, tidak memberikan banyak penyimpangan dari
teks atau yang sama sekali tak dimaksudkan oleh teks, baik teks in se
maupun interpretasinya.
Kedua,
Meksipun mengenal diri sebagai bagian yang esensial, itu bukan berarti suatu
sikap egois yang lupa akan realitas lain di luar dirinya sendiri. Manusia adalah makluk sosial (ens sociales) yang
selalu berhubungan dengan “dunia luar”, termasuk dengan sesamanya. Ketika ia
bermeditasi, ia mempertimbangkan isi pewartaannya, apakah sesuai dengan konteks
pendengar, selaras dengan kemampuan menanggapi serta cocok dengan kebutuhan
konkrit mereka? Jawaban atas berbagai pertanyaan ini bukan bagaimana merangkai
kata-kata yang indah, puitis dan abstrak, melainkan apakah diksi (pemilihan
kata) yang dipakai tepat sasar, menyentuh pemahaman dan terutama mencapai
kebutuhan mereka.
Pada akhirnya, kotbah yang baik bukan dinilai dari soal
kelogisan, kerunutan ide, keabstrakan cara menyampaikan serta penggunaan
kata-kata yang bombastik. Kotbah yang baik, dengan bahasa dan cara yang
sederhana mesti menimbulkan kesan tertentu di dalam hati pendengar. Itu berarti,
bukan suatu tawaran ide yang instan, melainkan sebuah “lemparan” Sabda Tuhan
yang memunculkan refleksi baru di dalam benak mereka dan atas jawaban yang
mereka temukan sendiri, mereka memutuskan apa yang hendak mereka lakukan dalam
kehidupan, sesuai dengan inspirasi Sabda itu.
Jika setiap kotbah mempertenggangkan kepentingan umat,
maka refleksi yang dibangun dalam meditasi selalu bersifat dan berorientasi
sosial, bukan individualistik. Ketika imam mulai mencari dirinya sendiri dengan
tujuan supaya menjadi terkenal, jadi pahlawan, tanpa mempertimbangkan dengan
bijak efek kata-katanya, lalu mulai mengkotbahkan sesuatu yang tak bisa
dipahami umat, maka di saat itulah ia sebenarnya kehilangan identitas, jati
diri sebagai gembala yang mewartakan Sabda Tuhan. Juga tatkala imam terlibat
dalam arus perdebatan politis, membela kelompok tertentu serentak mengenyahkan
kelompok yang lain, ia sebenarnya tidak membawa suara Tuhan, tetapi suaranya
sendiri yang “dipaksa” untuk dijadikan sebagai seruan profetis, meski dalam kenyataan
akhirnya kandas juga.
Ketiga, Imam adalah
seorang yang dipanggil dan diutus untuk melaksanakan kehendak Allah. Seperti
Kristus utusan Bapa, tidak melaksanakan kehendakNya sendiri, tetapi kehendak
Dia yang mengutusNya, demikian juga seorang imam. Seorang imam tidak mencari
dan melaksanakan kehendaknya sendiri. Kehendak Allahlah yang menjadi keutamaan
seorang Imam, kesempurnaan hidupnya, panduan tingkah lakunya, yang terungkap
dalam setiap sabdaNya sebagai mana dikatakan dalam Dei Verbum, adalah
“santapan jiwa, sumber jernih dan kekal hidup rohani bagi manusia”.[38]
Melalui meditasi kerelaan, ketulusan dan kesetiaan
mendengarkan Sabda Allah membuat imam dalam kesehariannya selalu merindukan
kehendak Allah, sebagaimana Kristus yang menjalankan misi dan tugas
perutusanNya dalam kerangka itu. Itulah sebabnya mengapa seorang imam yang
demikian selalu berkata dalam hatinya seperti sebuah Lagu dalam Ekaristi,
“bersabdalah ya Tuhan, aku abdiMu bersedia mendengarkannya”. Atau seorang
musafir yang mencari Allah dalam tulisan St. Yohanes dari Salib: “Di manakah
Engkau bersembunyi Kekasih? Aku tertinggal mengeluh! Kau lari bagai rusa; dan
hatiku terluka: Aku kejar memanggil yang hilang”.[39] Menjadi “terluka” karena kesan yang yang ditimbulkan
Allah, ada akibat langsung dari pengalaman akan cinta Allah. “Luka” itu menjadi
sebuah kerinduan abadi untuk tetap merasakan kehadiranNya, untuk selalu
mendengarkan sabdaNya.
Hati yang mendengar dengan tulus Sabda Tuhan akan menjadi
lahan di mana Sabda akan bertumbuh subur dan berkembang hingga memperoleh
banyak hasil saat dituai dalam rangkaian kata-kata kotbah. Ketika di dalam hati
“Tuhan dan suaraNya telah kabur”, maka yang keluar dari mulut saat mewartakan
ialah kata-kata yang cenderung menghakimi, memarahi dan menghindari Sabda
Pengharapan yang dapat memberikan kesejukan bagi para musafir dan kembara di
padang peziarahan yang merayakan Ekaristi dalam keseluruhan hidup mereka.
Sebagai seorang pewarta, “berbahagialah orang yang
mengisi tabung panahnya sampai penuh. Ia tidak akan dipermalukan oleh musuh…”[40] Tabung panah kita adalah hati yang selalu dikosongkan
dan kemudian untuk diisi oleh Allah dan sabdaNya. Anak panah “Sabda” itulah
yang dilontarkan ke hadapan hati dan hidup umat beriman. Lontaran yang tepat:
melalui kata-kata yang keluar dari kedalaman hati yang penuh cinta dan
keintiman dengan Sang Sabda, dan sasaran yang telak: umat yang telah dipahami
konteksnya, masalah konkritnya dan kesanggupan mereka untuk menerima merupakan
jalan menuju kotbah yang “mendarat” sekaligus menarik.
3.3.2. Meditasi sebagai Momentum Pertobatan dan Rekonsiliasi
Kotbah merupakan buah dari sedimentasi yang solid antara
Sabda Allah. Kotbah kehidupan memiliki kekuatan untuk mengubah. Ia mengubah
orang yang mendengarnya, tetapi sekaligus mereka yang menyampaikannya.
Kata-kata memiliki kekuatan. Setiap kata mempunyai arti. Pada arti yang
tercipta itu terletak kekuatan kata.[41] Begitu seorang imam mewartakan tentang kerajaan Allah,
ia sendiri mesti hakul yakin bahwa kerajaan Allah itu sungguh ada dan tersedia
untuk mereka yang telah percaya.
Dalam kenyataan, Imam sebagai seorang manusia tidak
terlepas dari kelemahan manusiawi yang menyertai hidupnya. Ia memiliki keinginan, cita-cita dan bayangan tertentu
tentang jabatan dan tugas pelayanannya. Tak jarang ia bisa jatuh dalam
penghayatan yang keliru, terbius trend zaman yang berorientasi materialistis:
turut serta dalam berbagai usaha ekonomi pribadi, terlibat dalam MLM (multi
level marketing)[42], dsb. Ia juga bisa terpuruk dalam kenyataan yang
membiusnya untuk selalu tampil sesuai mode yang sedang berkembang. Bahkan ia bisa merelakan banyak waktu yang ada hanya
untuk menonton TV, misalnya. Kemajuan media komunikasi yang sangat pesat
membuat imam juga terhempas dalam pusaran HP (hand phone), sehingga tak
jarang banyak waktu dipergunakan untuk memencet tombol mengirim SMS (short
message service), daripada membaca buku rohani, membuat permenungan pribadi
atas masalah aktual umat, membuat evaluasi atas kotbah-kotbah yang telah
dibawakan dan dibagikan kepada umat atau mengadakan kunjungan pastoral ke rumah
atau lingkungan yang miskin dan dililiti pelbagai persoalan.[43]
Meditasi menyadarkan imam untuk merefleksikan kembali
motivasi menjadi imam, melihat secara jujur komitmen pelayanannya, praksis
pastoralnya, visi dan misi Kristus yang diembannya. Ia diajak untuk “kembali”
ke “pelataran kudus”, berani membuang pikiran, keinginan-kehendak serta
perbuatan yang tidak sesuai dengan orientasi hidupnya sebagai seorang imam.
Dengan kata lain, ia mesti ber-metanoia: berani secara radikal mengubah
hidupnya yang tidak sesuai dengan esensi panggilannya menuju kepada cara hidup
baru, cara hidup dalam Roh. Ia mesti bertobat dari cara hidup yang menganggap
enteng tugas kotbah. Ada anggapan yang
kuat bahwa kotbah itu semacam bagian tambahan, siap atau tidak, no problem.
Atau ada pastor tertentu menganggap bahwa apapun yang disampaikan imam, umat
harus dengar, suka atau tidak suka.
Ada saatnya hidup rohani menjadi kering, pelayanan jadi
kacau, arah tidak lagi begitu jelas, meski sudah berusaha mati-matian
menjalankan tugas dengan baik, sepenuh hati dan tulus. Meditasi tidak jalan,
doa terasa hambar. Kesulitan itu sering terjadi karena meditasi terlalu banyak
menggunakan pikiran, daya khayal, gerak perasaan dan kerinduan kita sendiri
yang kerap jauh dari apa yang sedang kita pikirkan, bayangkan atau lakukan.[44] Inilah pengalaman yang disebut St. Yohanes dari Salib
sebagai “malam gelap”, sebuah jalan yang mesti dilewati jika ingin bersatu
dengan Sang Kekasih (Allah). Berkomentar tentang hal ini Yohanes mengatakan
bahwa buah-buah yang paling baik tumbuh di atas tanah yang dingin dan kering.
Dalam meditasi, kekeringan tersebut
menghasilkan kerendahan hati, keuletan, ketenangan dan kehendak untuk
tetap bertahan dan terus berusaha mengembangkan kehidupan batin setiapkali
menghadapi rintangan. Boleh jadi meditasi kita menjadi prosais dan pucat. Namun
itu tidak terlalu penting, kalau dengan bantauannya kita dapat menjalin
hubungan antara akan dan kehendak kita di satu pihak dengan hal-hal ilahi di
pihak lain, tidak peduli betapa kelam pandangan kita saat itu.[45] Pada saat hati dan budi dijejali pelbagai pikiran dan
perasaan, pergumulan batin berjalan secara kritis. Ia mempertanyakan kembali
motivasi, isi dan sikap pewartaan imam dalam kotbahnya. Pertanyaan-pertanyaan
itu menghasilkan buah permenungan yang digodok dalam terang Sabda yang
otentik-original.
Pada akhirnya ia memiliki sikap seperti Yesus. Ia merubah
arah pewartaannya dengan meletakkan kehendak Allah sebagai pusat, bukan demi
kepentingan pribadi, kelompok atau golongan tertentu yang terlimitasi oleh
waktu. Karena jika itu yang terjadi, tidak ada dimensi keabadian dalam
pewartaanNya. Ia menjadi sadar bahwa perjuangan Yesus adalah “mengubah
perspektif” manusia tentang Allah dan keselamatan yang ditawarkanNya. Hal ini
tampak nyata dalam segala perjuanganNya melawan para imam kepala dengan
kepentingan politik mereka, melawan para farisi dengan gambaran mereka tentang
Allah yang menekan rakyat jelata dan orang berdosa, melawan para murid yang
mengharapkan seorang mesias yang bertindak dengan kekerasan dan mencari
kejayaan politis. Yesus sesungguhnya melawan suatu semangat, suatu roh yang
menjiwai dan menggerakkan semua manusia dan institusi manusia sehingga mereka
bertindak atas suatu cara yang merusakkan kesejahteraan manusia yang benar dan
dengan cara demikian menghalangi perkembangan Kerajaan Allah, menghalangi
bertumbuhnya kesejahteraan manusia yang dinginkan Allah.
Mengubah perspektif secara benar adalah sebuah
pertobatan. Pertobatan menyadarkan seorang imam bahwa “persembahan kepada Allah
ialah jiwa yang menyesal” seraya percaya juga “hati yang remuk redam tak pernah
Kau tolak”.[46] Ia akan menjadi sebuah rekonsiliasi bila ada kesediaan
untuk mengakui bahwa ia kerap salah dalam menilai tugas pewartaannya, enggan
untuk serius dan penuh dedikasi. Rekonsiliasi akan terwujud bila karena
kesadaranya itu ia berubah dan semakin memperhatikan “pihak lain” yang menjadi
sasaran pewartaannya, bukan demi dirinya sendiri. Inilah sikap “passing-over”
(melewati tapal batas) untuk berani memahami orang lain dan menilik dari cara
mereka memandang dan membawa mereka ke pemahaman yang benar.
Pada akhirnya, seorang imam yang menjadikan meditasi
bagian dari hidupnya menghasilkan buah-buah padi Sabda Allah yang bernas.
Kemauannya untuk terlibat bergumul dalam masalah aktual dan pembatinan
peristiwa itu melalui meditasi memberi efek positif bahwa ia menyajikan Kabar
Gembira yang berakar pada realitas umat. Karena itu, pernyataan St. Paulus
kepada jemaat di Efesus hendaknya tetap menjadi pegangan bagi setiap
pengkotbah: “Jangan ada kata buruk keluar dari mulutmu, melainkan hanyalah yang
baik untuk membangun iman dan mendatangkan rahmat bagi para pendengar. Janganlah
menyusahkan Roh Kudus Allah, sebab dalam Dialah kamu dimeteraikan untuk hari
penyelamatan. Jauhkanlah dari kamu segala kepahitan, kegeraman, kemarahan,
pertikaian, fitnah serta segala macam kejahatan. Bersikaplah ramah seorang
terhadap yang lain, berlakulah lembut hati dan hendaklah saling mengampuni,
seperti Allah telah mengampuni kamu dalam Kristus”.[47]
3.3.3. Meditasi
sebagai Momentum Transformasi
Para
penulis rohani dan mistikus memandang meditasi sebagai bagian yang sangat
penting dalam kehidupan seorang manusia religius. Melalui meditasi, manusia dimungkinkan mengalami
kedekatan yang intim dengan Tuhan. Menurut St. Teresa dari Yesus, semakin memasuki
ruang batinnya, merefleksikan hidupnya ia akan semakin mencintai.[48] Manusia tidak hanya mencintai Tuhan dengan sepenuh hati
tetapi ia juga berani mencintai sesamanya seperti dirinya sendiri.[49]
Meditasi dan doa yang tak kunjung putus memungkinkan seorang
imam ditransformasikan ke dalam cara memandang, cara berpikir dan cara
bertindak Allah. Inilah yang kerap disebut sebagai kontemplasi, di mana terjadi
persatuan kehendak antara manusia dan Allah dalam cinta. Sehingga benarlah kata
St. Paulus, “…aku hidup, tetapi bukan lagi aku sendiri yang hidup, melainkan
Kristus yang hidup di dalam aku. Dan hidup yang kuhidupi sekarang dalam daging,
adalah hidup oleh iman dalam Anak Allah yang telah mengasihi aku…”[50] Proses transformasi ini terjadi kalau imam betul
menjadikan kehendak Allah sebagai satu-satunya pegangan bagi hidup, misi dan
karya pastoralnya. Melalui kotbah seorang imam menjadi “mulut Allah”[51] yang mewartakan SabdaNya. Dan imamlah yang mestinya
menjadi pelaksana Sabda yang pertama sehingga dari penghayan pribadinya itu, ia
memberikan teladan atau contoh kepada umatnya. St. Yakobus berkata, “Hendaklah
kamu menjadi pelaku firman dan bukan hanya pendengar saja”.[52] Transformasi akan menjadi sebuah kenyataan yang kasat
mata bila firman dan cara hidupnya menjadi satu.
4.
PENUTUP
Meditasi
adalah jalan menuju diri sendiri, sesama, lingkungan dan Tuhan. Imam sebagai
gembala umat menjalankan meditasi dalam kesadaran bahwa aktivitas itu memiliki
arti penting bagi perjalanan hidup rohaninya dan bagi karya pelayanannya di tengah umat. Salah satu tugas penting imam
adalah mewartakan Sabda Allah, khususnya dalam bentuk homili atau kotbah.
Di tengah banyaknya kritikan yang
hadir sebagai tanggapan terhadap isi dan cara berkotbah yang terkesan “tidak
menarik”, seorang imam dipanggil untuk menarik diri ke dalam keheningan batin,
membuat otokritik seraya melihat dari dekat tentang “kekurangan-kekurangannya”.
Mengenal diri dengan baik melalui proses meditasi membuat seorang imam mampu
dan sadar akan kemampuan dan kekurangannya, sehingga ia bisa realistis terhadap
diri dan sesamanya. Pengenalan diri itu pula membawa rasa percaya diri
sekaligus tanggung jawab untuk mewartakan dengan tulus, jujur dan penuh
dedikasi.
Mengenal sesama dan lingkungan juga
penting. Melalui meditasi, seorang imam dipanggil untuk berani “keluar dari
diri sendiri”, coba untuk memahami umat dari perspektif mereka. “Keluar” untuk
mengerti dan menyelami secara serius persoalan konkrit yang mereka alami,
membuat permenungan atasnya lalu mencari solusi yang tepat sasar. Persoalan konkrit mereka dan jawaban aktual serta tepat
sasar inilah yang menjadikan kotbah terasa “berarti” dan “mendarat”.
Meditasi juga membawa seorang imam ke hadirat Allah.
Melalui doa dan meditasi yang berkesinambungan, imam akhirnya sadar akan
kelemahan dan kekurangannya. Ia tahu bahwa ia lemah. Karena itu ia datang
dengan “tangan kosong” ke hadirat Allah dan meminta agar Allah-lah yang mengisi
kekosongannya.[53] Dengan jalan ini, ia sungguh menaruh kepercayaan akan
belas kasih Allah dan kebaikanNya. Ia juga semakin yakin bahwa ia tidak bekerja
sendirian, melainkan bersama Allah yang memberinya kekuatan. Ia menjadi begitu
dekat dengan Allah, sebab Ia adalah interior intimo, Dia yang berada
lebih dekat daripada diriku sendiri.[54] Mendengarkan Dia, menjalankan apa yang menjadi
kehendaknya membuat seorang imam ditransformasikan ke dalam hidup Allah
sendiri. Menjadi satu dengan Allah adalah pengalaman kontemplasi,[55] di mana imam dan Allah mengalami persatuan dalam cinta.
Pengalaman persatuan dengan Allah inilah yang diwartakan oleh imam dalam
kotbahnya. Ia tidak hanya mewartakan kata-kata kosong, tetapi sesuatu yang
memiliki dasar kokoh dalam pengalaman konkrit. Kotbah yang berbicara dari
pengalaman konkrit akan menjadi lebih hidup dan bermakna. “Kotbah hidup” imam
sendiri juga menentukan, bahwa ia ternyata bukan hanya bisa berkata-kata tetapi
juga sanggup menghayatinya dalam hidup. Adalah moment pertobatan yang perlu
dibangun dalam meditasi jika ternyata antara Sabda dan penghayatan hidup imam
terbentang jurang yang dalam.***
REFERENSI
DOKUMEN DAN BUKU:
Barry. William A. & Robert G. Doherty, Contemplative in
Action. New York:
Paulist Press, 2002.
Carreto. Carlo, Kotamu adalah
Gurunmu, terj. Andreas Tefa Sawu. Ende: Nusa
Indah, 1995.
_____________, In Search of Beyond. London: Darton, Longman
and Todd,
1977.
de Meesters. Carlos, Lectio Divina, terj.
Piet Go. Malang: Dioma, 1992.
de Meesters. Koen, Tangan Kosong-Theresia
dari Kanak-Kanak Yesus, terj.
Cyprianus Verbeek. Yogyakarta: Kanisius, 1984.
Hardawiryana. Robert (penterj.), Dokumen
Konsili Vatikan II. Jakarta: Obor,
1992.
Humphrey. Naomi, Meditasi Jalan Ke Dalam
Diri. Jakarta: Abdi Tandur, 2000.
Jager. Willigis Contemplation A Christian Path. Misouri:
Triumph Books, 1994.
Kelsey. Morton T., Companion on the Inner Way: The Art of
Spiritual Guidance.
New York: Crossroad Publishing
Company, 1983.
Lalu. Yosef, Inilah Puteraku Terkasih, Homili Tahun C. Ende:
Nusa Indah, 1985.
_____________, Tuhan segala Bangsa, Homili Tahun B. Ende: Nusa
Indah,
1984.
Leteng. Hubertus, Spiritualitas Imamat Motor Kehidupan Imam.
Maumere: Ledalero, 2003.
_____________, Cinta Kasih Pastoral Seorang Imam: Pedoman
Penghayatan
dan Pengamalan Cinta Kasih Seorang Imam. Ruteng: Sekpas
Keuskupan Ruteng, 1999.
_____________, Khotbah Tahun C, Seri Kotbah
3. Maumere: Ledalero, 2003.
_____________, Relasi antar Pribadi Seorang
Imam Selibater.
Ruteng: Sekpas Keuskupan Ruteng, 1999.
Levey. Judith S. & Agnes Greenhall
(eds.), The Concise Columbia Encyclopedia
New York: Avo Books, 1983.
Lerner. Eric, Journey of Insight Meditation: a personal experience
of the Budha’s
way.
London: Turnstone Books, 1977.
Peters. J.P.A., Lagu Batin Sumber Hidup, terj. Cyprianus Verbeek.
Yogyakarta: Kanisius, 1985.
Rahner. Karl, Everyday Faith. New
York: Herder and Herder, 1968.
_____________, On Prayer. New York: Paulist Press, 1958.
Slatery. Peter, Sumber-sumber Karmel, terj. E. Siswanto.
Malang: Dioma, 1993.
St. Teresa dari Yesus, Puri Batin, terj. Marie Terese.
Bandung:
Karmel Lembang, 1992.
Vouillume. Rene, Faith and Contemplation. London: Darton,
Longman and
Todd, 1974.
Verbeek. Cyprianus, Dalam Kuasa Cinta. Malang: Dioma, 1993.
Yohanes dari Salib, Cinta Membimbing. terj. Verbeek.
Cyprianus.
Malang: Dioma, 1981.
MAJALAH, MANUSKRIP DAN WEBSITE INTERNET:
Djiwandono. Soedjati, “Kotbah Kurang Menarik?” dalam: Mingguan
HIDUP,
16 Februari 2003.
Bala. Robert, “Kotbah dan Informasi” dalam: Mingguan
HIDUP, 16 Februari
2003.
Decky. Teobald, “Kekuatan Kata” dalam: ZIARAH,
No. 3, Thn IV,
Desember 2000.
http://www.geocities.com/seapadre 1999/ dari P.
Phil Bloom.
http://www.ignatius.net/pastor.html dari P.
Joseph Pellegrino.
Isaak. Servulus, Literatur
Kenabian-Profetismus. Maumere: STFK Ledalero, 1999.
Komang. J.B., “Kolom Homili” dalam: Mingguan
HIDUP, 24 November 2002.
Rivai. S., “Bila Imam dan Kaum religius ikut
MLM” dalam: Mingguan HIDUP,
4 Mei 2003.
Utomo. Christ Widya, “Tentang Kotbah” dalam: Mingguan
HIDUP,
24 Agustus 1997.
Watanama. Lorent, “Kotbah yang baik” dalam: Mingguan
HIDUP,
19 Januari 2003.
[1] Bdk. Dr. Hubert Leteng Pr, Spiritualitas Imamat Motor
Kehidupan Imam, Maumere: Ledalero, 2003, hal. 13.
[2] Bdk. PO, 3 dalam: Robert Hardawiryana
(penterj.), Dokumen Konsili Vatikan II, Jakarta: Obor, 1992, hal. 463.
[3] Dokumen Pastores Dabo Vobes, 2,3
menulis, “Pilihan Hidup menjadi seorang imam adalah ‘pilihan cinta kasih”. Dr.Hubertus Leteng Pr, Cinta
Kasih Pastoral Seorang Imam: Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Cinta Kasih
Seorang Imam, Ruteng: Sekpas Keuskupan Ruteng, 1999, hal. 1.
[4] Pada buku Cinta Kasih Pastoral Seorang
Imam, Dr. Hubertus Leteng menampilkan hal ini pada bagian ketiga dan menandaskan
pentingnya dimensi sosial sebagai perwujudan bentuk konkret dari cinta kasih
yang vertikal. Bdk. Ibid, hal. 52-70.
[5] Untuk uraian pada bagian ini, terfokuskan
pada beberapa tulisan dari Mingguan HIDUP dan juga atas observasi spontan pada
umat yang mengikuti perayaan Ekaristi.
[14] Sebagai misal: Dr. Hubert Leteng Pr, Khotbah Tahun C, Seri
Kotbah 3, Maumere: Ledalero, 2003; Rm. Yosef Lalu Pr, Inilah Puteraku
yang Terkasih, Homili Tahun C, Ende: Nusa Indah, 1985; Tuhan Segala
Bangsa, Homili Tahun B, Ende: Nusa Indah, 1984, dll.
[15] Lihat misalnya:
http://www.st.ignatius.net/pastor.html dari P. Joseph Pellegrino, atau:
http://www.geocities.com/seapadre 1999/ dari P. Phil Bloom.
[16] Sebagai contoh: SUAKA yang diterbitkan oleh Kelompok Studi
Spiritualitas Karmel (KSSK) yang berisi renungan untuk dua hari minggu dalam
setiap edisinya dan beberapa kolom lain yang bergerak seputar kontekstualisasi
Sabda dalam kehidupan sehari-hari.
[17] Khusus untuk perspektif Budis, bdk. Eric Lerner, Journey of Insight Meditation: a personal
experience of the Buddha’s way, London: Turnstone Books, 1977.
[18] Tanpa berusaha menafikan perspektif yang
lain, tulisan ini lebih difokuskan pada tradisi Kristen.
[21] Judith S. Levey & Agnes Greenhall (eds.), The Concise
Columbia Encyclopaedia, New York: Avo Books, 1983, hal. 531.
[22] Dr. Hubertus Leteng Pr, Relasi Antar Pribadi Seorang Imam Selibater,
Ruteng: Sepkas, 1998, hal. 138.
[31] Pengalaman bahwa juga kota besar mampu menyimpan ketenangan
dalam dirinya, bahwa juga gedung-gedung bertingkat tinggi bersinar seperti
intan, bagi Carlo Carretto, memiliki arti yang sama dengan kehidupannya di
padang gurun Sahara. Bdk. Carlo Carretto, Kotamu adalah Gurunmu, terj.
Andreas Tefa Sawu, Ende: Nusa Indah, 1995.
[32] Orang banyak mengikuti Yesus ke manapun Ia pergi: “Semua orang
mencari Engkau” (Mrk. 1:37), “Ketika hari siang, Yesus berangkat dan pergi ke
tempat yang sunyi. Tetapi orang banyak mencari Dia, lalu menemukanNya dan
berusaha menahan Dia supaya jangan meninggalkan mereka” (Luk 4:42), dll.
[34] Tentang Lectio Divina, Bdk. Carlos de
Mesters, Lectio Divina, terj. Piet Go, Malang: Dioma, 1992. Dalam buku
itu, Carlos de Mesters menjelaskan tahap-tahap Lectio Divina: Membaca,
Merenungkan, Doa, Kontemplasi.
[36] Morton T. Kelsey, Companion on The Inner Way: The Art of
Spiritual Guidance, New York: The Crossroad Publishing Company, 1983, hal.
ix.
[37] Johanes B. Lotz, Interior Prayer: The Exercise of
Personality, New York: Herder and Herder, 1968, hal. 34., sebagaimana
dikutip Dr. Hubertus Leteng Pr dalam: Spiritualitas Imamat Motor Kehidupan
Imam, Op. Cit., hal. 402-403.
[41] K. Teobald Deki, “Kekuatan Kata” dalam: majalah ZIARAH,
No. 3, Thn. IV, Desember 2000, hal. 61.
[42] Bdk. Kolom “Antar Kita” bertajuk: Bila Imam dan Kaum Religius
Ikut MLM dalam: Mingguan HIDUP, 4 Mei 2003, hal. 45.
[43] Bdk. Kolom “Sejenak Tawa” bertajuk: Waktu Luang Romo, yang
membuat distingksi antara cara hidup imam zaman lampau (tradisional) dan zaman
kini (modern), dalam: Ibid, hal. 5.
[45] Bdk. Cyprianus Verbeek, Op. Cit, hal. 36-40., lihat
juga Dr. Hubert Leteng Pr, Spiritualitas Imamat Motor Kehidupan Imam, Loc.
Cit.
[48] Hal ini dapat ditelusuri dalam karyanya tentang: Puri Batin. Teresa dari Yesus, Puri Batin,
terj. Marie Terese, Bandung: Karmel Lembang, 1992. Dalam buku ini St.
Teresa melukiskan hidup doa, termasuk
meditasi, sebagai jalan bertahap menuju inti jiwa yakni Allah. Bdk. Juga karya
Peter Slatery O.Carm, Sumber-Sumber Karmel, terj. E. Siswanto O.Carm,
Malang:Dioma, 1993, hal. 67-74.
[51] Pewarta sering dilihat sebagai identitas
nabi. Kata “nabi”, “prophemi”, “profeta/prophet” memiliki berbagai arti:
profeta (mengatakan sesuatu terlebih dahulu, menyingkapkan sesuatu yang
tersembunyi, berbicara atas nama Allah), bentuk gramatik qatil yang mempunyai
arti aktif: dia memaklumkan, dia yang berseru. P. Servulus Isaak, SVD Lic., Literatur
Kenabian-Profetismus, Maumere: STFK Ledalero, 1999, hal. 4-6.
[53] Bdk. Koen de Meester OCD, Tangan
Kosong-Theresia dari Kanak-Kanak Yesus, terj. Cyprianus Verbeek O.Carm,
Ende: Nusa Indah, 1984.
[55] Tentang kontemplasi baca juga: Rene Voillaume, Faith and
Contemplation, London: Darton, Longman and Todd, 1974. Karl Rahner, On
Prayer, New York: Paulist Press, 1958. Carlo Careto, In Search of The
Beyond, London: Darton, Longman and Todd, 1977. J.P.A. Peters OCD, Lagu
Batin Sumber Hidup, terj. Cyprianus Verbeek O. Carm, Yogyakarta: Kanisius,
1985. Yohanes dari Salib, Cinta Membimbing, terj. Cyprianus Verbeek
O.Carm, Malang: Dioma, 1981. William A. Barry & Robert G. Doherty, Contemplative
in Action. New York: Paulist Press, 2002. Willigis Jager, Contemplation
A Christian Path. Misouri: Triumph Books, 1994.