Thursday, 25 June 2020

Pembangunan Pabrik Semen, Untuk Apa?





Sumber: www.google.com

Kanisius Teobaldus Deki
Staf Pengajar STIE Karya, Peneliti Lembaga Nusa Bunga Mandiri

Saat ini wacana tentang pembangunan Pabrik Semen di Lingko Lolok dan Luwuk, desa Satar Punda, Kecamatan Lambaleda sangat kencang, menimbulkan kekisruhan. Pertentangan-pertentangan terasa di mana-mana dalam ruang publik. Saling serang merupakan situasi yang terang benderang dipamerkan dalam perdebatan publik. Argumentasi-argumentasi yang dibangun berbasis pada kepentingan masing-masing pihak yang melatarinya.

Kedua belah pihak, pemerintah dan masyarakat memunyai konsep-konsep yang ingin dimenangkan. Di satu sisi, Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Manggarai Timur (Matim) memiliki landasan pijak pada Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) untuk mensejahterakan masyarakat melalui pemanfaatan maksimal potensi wilayah yang dimilikinya. Beroposisi pada konsep Pemkab, masyarakat (dengan berbagai kategori: pemilik lahan, pemerhati lingkungan, insitusi swadaya masyarakat, institusi agama dan elemen-elemen lain) terpecah belah. Ada yang menerima, tak sedikit juga yang menolak rencana itu.

Artikel ini merupakan sebuah kajian yang bertujuan membangun dasar epistemologis pilihan sikap kita dalam menganalisis kebijakan pembangunan.

Konsep Pembangunan
Pembangunan daerah menjadi alasan utama dalam menentukan pilihan sikap Pemkab Matim untuk menerima tawaran investor untuk melakukan investasi. Logika yang dibangun adalah keterhubungan antara terciptanya lapangan kerja, keterserapan tenaga kerja,  pendapatan per kapita naik dan kemakmuran ekonomi menjadi muara akhir dari pembangunan itu. Logika ini merupakan sebuah upaya merealisasikan visi, misi dan program kerja dengan tujuan final (final goal) bahwa akhirnya masyarakat yang mereka pimpin mencapai kesejahteraan.

Pembangunan pada hakikatnya memiliki dua unsur penting; pertama, masalah materi yang mau dihasilkan dan dibagi, bersemuka dengan hal kedua, masalah manusia yang menjadi pengambil inisiatif dan sekaligus menjadi subjek dari pembangunan itu. Sebab, bagaimanapun juga, pembangunan tidak hanya sampai pada jumlah produksi dan distribusi barang-barang material, lebih dari itu pembangunan harus berkiblat pada pemerdekaan manusia dalam segala aspeknya. Manusia adalah dasar sekaligus alasan pembangunan sehingga segala dimensinya harus dihiraukan.
Pemerintah dalam alur logis pembangunan adalah pihak yang secara legal mendapatkan mandate dari rakyat untuk memenuhi tujuan pembangunan. Ia memiliki kekuasaan yang sah (legal power) mengimplementasi program pembangunan bagi rakyatnya. Melalui legitimimasi kekuasaan itu, termasuk di dalamnya ia memiliki kekuatan yang memaksa.

Dalam wacana pembangunan mondial, muncul dua persepsi teoretik tentang perubahan sosial (social exchange) dalam pembangunan, yakni teori modernisasi dan teori dependensi. Teori modernisasi berupaya memperlihatkan kesenjangan antara Negara maju dan Negara berkembang. Solusi untuk melakukan percepatan pembangunan adalah dengan memberikan bantuan kepada Negara-negara berkembang dalam banyak hal untuk mengejar ketertinggalannya.

Setelah sekian lama berjalan, para ekonom melihat bahwa konsep ini membawa kebergantungan Negara berkembang kepada Negara maju, bahkan muncul Negara-negara yang terkebelakang (the development of underdevelopment) akibat modernisasi yang dicanangkan melalui pelbagai bantuan dari Negara maju untuk Negara berkembang. Teori Dependensi mengatakan bahwa kebergantungan terhadap Negara maju dan pemilik modal menyebabkan perangkap kemiskinan (the vicious circles) yang tak terelakkan. Karena itu, membebaskan diri dari ketergantungan adalah jalan yang harus dipilih untuk menjadi sejahtera.

Dua konsep teoretik itu diterjemahkan oleh para pengambil kebijakan baik pada level Negara maupun dalam skala kecil, di daerah-daerah.

Mencari Solusi Bersama
Jika ditilik, terdapat tiga kelompok yang saling memberi pengaruh dalam wacana pabrik semen di Matim. Pertama, aliran developmentalis. Kelompok ini berusaha mencari jalan keluar atas masalah perekonomian kabupaten Manggarai Timur yang masih masuk dalam kategorisasi daerah tertinggal baik Perpres nomor 113 Tahun 2015 maupun Perpes nomor 62 Tahun 2020 bersama 13 kabupaten lain di NTT. Dalam situasi ini alasan yang sangat dasariah bagi Pemkab Matim mencari segala daya upaya untuk membebaskan rakyatnya keluar dari kertinggalan. Diharapkan, dengan adanya pabrik semen ini, ada penyerapan tenaga kerja yang memberi pengaruh pada adanya pendapatan pada masyarakat.

Kedua,  aliran ekosentrisme. Aliran ini peduli pada lingkungan hidup. Pembangunan tetap boleh dilakukan asalkan tidak merusak lingkungan dan ekosistem yang ada di dalamnya. Karenanya, kehidupan yang selaras alam adalah hal utama. Diskusi pertumbuhan ekonomi bukanlah hal yang paling penting. Sektor-sektor yang harus digenjot menurut aliran ini adalah ekowisata berbasis pertanian organik.
Ketiga,  aliran antroposentrisme. Aliran ini mengutamakan masa depan manusia dan turunannya. Menurut aliran ini, manusialah tujuan dan pusat pembangunan. Pembangunan tidak boleh merusak harkat dan martabat manusia. Kemajuan pembangunan tidak boleh menciderai manusia.

Apapun aliran yang memberi pengaruh pada setiap pewacanaan, pertentangan pendapat bukanlah tujuan. Diskursus rasional hanyalah medium kita mengambil keputusan yang tepat dan mengakomodir kehidupan yang layak dan bermartabat.

Dari indicator tentang daerah tertinggal yang berbasis 6 (enam) aspek, antara lain: perekonomian masyarakat, sumber daya manusia, sarana dan prasarana, kemampuan keuangan daerah, aksesibilitas dan karakteristik daerah, Kabupaten Manggarai Timur berturut-turut berada di posisi daerah tertinggal. Suatu status yang ironis dihadapan fakta tanah Manggarai Timur yang subur dan branding kopinya yang sohor.

Semua pihak seyogianya berusaha memberikan kontribusi alternatif pemecahan atas masalah kemiskinan yang akut. Pemkab Matim membenahi sektor pertanian, perkebunan, kehutanan dan perikanan sebagai sektor unggulan yang berkontribusi dominan bagi Pendapatan Asli daerah (PAD). Lembaga-lembaga yang melakukan advokasi tidak menjadikan isu tambang dan semen sebagai lahan mengeruk keuntungan, melainkan ruang untuk mengubah ekonomi masyarakat sehingga mereka memiliki kemandirian dan kesejahteraan lahir-batin. Kekisruhan membahas rencana membangun pabrik semen di Matim menyadarkan kita bahwa pembangunan adalah usaha bersama untuk menyatukan semua energi pelbagai elemen dalam daerah, baik pemerintah, pelaku usaha dan masyarakat, agar Manggarai Timur keluar dari predikat tertinggalnya dan masyarakatnya sejahtera.***

(Dipublikasi pertama oleh Harian Umum Pos Kupang, edisi Jumat, 26 Juni 2020). 

Tuesday, 9 June 2020

Koperasi dan Spirit Pembebasan (Selarik Catatan Ziarah Kopkardios)


Foto: Pengresmian Kantor KSP Kopkardios Juli 2018 oleh Gubernur NTT Frans Lebu Raya

Kanisius Teobaldus Deki
Ketua KSP Kopkardios, Dosen STIE Karya

M
emerihatinkan! Hampir setiap hari kita membaca di media massa tentang masalah krusial yang menimpa masyarakat Nusa Tenggara Timur (NTT). Masalah – masalah itu berkutat antara bencana alam yang diakibatkan oleh perubahan iklim global sampai pada bencana yang ditimbulkan karena keserakahan manusianya.

Masalah kemiskinan yang akut, sumber daya pertanian yang melimpah tetapi tidak dieksplorasi secara maksimal, korupsi yang telah membudaya dan melibatkan hampir semua elemen masyarakat, pengangguran intelektual yang sulit ditekan, perjudian yang sukar diberantas, kekerasan dan ketidakadilan sosial dan hukum, budaya yang kian merosot dan tak jua mampu beradaptasi dengan kemajuan pesat yang ditimbulkan trend modernitas dan kehidupan religius yang seolah-olah menuju kepunahan.

Menghadapi masalah-masalah yang muncul ke permukaan kenyataan masyarakat NTT, pelbagai pihak memberikan tanggapan serentak jawaban. Pemerintah dengan prosedur hukum dan kebijakannya, coba mempresentasikan jawaban itu dalam program yang dicanangkannya. Demikian juga lembaga-lembaga lain, termasuk Gereja.

Penduduk NTT sebagian besar adalah orang-orang Kristen. Bagaimana upaya Gereja menjawabi tantangan aktual NTT, adalah sebuah pertanyaan yang urgen untuk dijawab. Artikel ini lebih merupakan secuil refleksi atas keterlibatan gereja Katolik Manggarai dalam membidani kelahiran Koperasi Karyawan Disoses Ruteng (Kopkardios). Sebuah catatan kecil tentang jawaban atas pertanyaan bagaimana membawa masyarakat (umat) keluar dari area kemiskinan massif.

Menyisir Sejarah
K
opkardios berawal dari gagasan beberapa Pimpinan Unit yang ada di lingkup kantor pusat Dioses Ruteng melalui rapat pembentukan pada tanggal 22 Desember 1998. Pertemuan ini berlangsung di Gedung Serba Guna Maria Asumpta, dihadiri oleh 61 orang peserta dari unsur karyawan Keuskupan Ruteng calon anggota Kopkardios Ruteng.

Beberapa angenda pada pertemuan awal ini antara lain: pengarahan dari Departemen Koperasi Kabupaten Manggarai / Pembina pengusaha Kecil dan Menengah (Bpk. John Sakir). Pembina Kopkardios (Rm. Simon Nama, Pr) dan informasi tentang Program Kopkardios oleh Bpk. Gabriel Awak, MM. Selain itu, informasi tentang Operasional Kopkardios disampaikan oleh P. Marsel Nahas, SVD.

Selaku Pembina Kopkardios, pada saat itu, Rm. Simon Nama, Pr, memberi orientasi perlunya Koperasi Karyawan Dioses dibentuk. Tujuannya adalah untuk meningkatkan kesejahteraan para karyawan yang bekerja di lingkungan Keuskupan Ruteng. Selain itu, lahirnya Kopkardios merupakan upaya mendukung program Keuskupan Ruteng di bidang kemandirian multiaspek, khususnya bidang ekonomi.

Kopkardios Ruteng resmi terbentuk dan beroperasi tanggal 01 Januari 1999. Wilayah kerjanya meliputi seluruh wilayah Dioses Ruteng. Anggota awal berjumlah 107 orang (Pastor beserta karyawan Keuskupan Ruteng) dengan modal perdana Rp 12.840.000 (berupa Simpanan Pokok Rp 6.420.000, Simpanan Wajib Rp 6.420.000).

Akta Pendirian Kopkardios Ruteng diterbitkan dan disahkan melalui Keputusan Menteri Koperasi, Pengusaha Kecil dan Menegah dengan Surat Keputusan Nomor : 01/BH/KDK. 24. 10/VII/99 tanggal 06 Juli 1999.

Visi yang dibangun oleh Kopkardios adalah terwujudnya lembaga keuangan yang dikelola secara mandiri, professional dan berdasarkan pada nilai-nilai serta prinsip-prinsip Koperasi untuk kesejahteraan para anggota dan masyarakat sekitarnya.

Adapun misinya adalah mengembangkan produk pelayanan kepada anggota yang lebih kompetitif dan menguntungkan, meningkatkan kualitas dan kuantitas keanggotaan, meningkatkan kualitas manajemen, memperkuat kerja sama dengan semua pihak dan memperkokoh gerakan dengan menjalankan secara utuh komitmen Gerakan Koperasi Kredit Indonesia (GKKI).

Prinsip yang terbangun yakni, keanggotaan yang bersifat sukarela & terbuka, pengelolaan secara demokratis oleh anggota, partisipasi anggota dalam kegiatan ekonomi, otonomi dan kemandirian, pendidikan dan pelatihan, kerja sama antar koperasi, kepedulian terhadap masyarakat, khususnya di tempat-tempat terpencil yang tak tersentuh bank.

Membangun Spirit Pembebasan
K
emiskinan sebagai kenyataan umum NTT melahirkan gerakan pembebasan. Gerakan Koperasi Kredit (Kopdit) merupakan salah satunya. Setidaknya, secara teoretis ada dua manfaat Kopdit.

Pertama, manfaat di bidang ekonomi. Koperasi dapat meningkatkan penghasilan anggota-anggotanya. Sisa hasil usaha yang diperoleh koperasi dibagikan kembali kepada para anggotanya sesuai dengan jasa dan aktivitasnya. Selain itu, menawarkan barang dan jasa dengan harga yang lebih murah. Barang dan jasa yang ditawarkan oleh koperasi lebih murah dari yang ditawarkan di toko-toko.Hal ini bertujuan agar barang dan jasa mampu dibeli para anggota koperasi yang kurang mampu. Juga, menumbuhkan motif berusaha yang berperikemanusiaan. Kegiatan koperasi tidak semata-mata mencari keuntungan tetapi melayani dengan baik keperluan anggotanya. Tentu, kopdit menumbuhkan sikap jujur dan keterbukaan dalam pengelolaan koperasi. Setiap anggota berhak menjadi pengurus koperasi dan berhak mengetahui laporan keuangan koperasi. Arahnya juga melatih masyarakat untuk menggunakan pendapatannya secara lebih efektif dan membiasakan untuk hidup hemat.

Kedua, di bidang sosial, koperasi mempunyai beberapa manfaat: mendorong terwujudnya kehidupan masyarakat damai dan tenteram, mendorong terwujudnya aturan yang manusiawi yang dibangun tidak di atas hubungan-hubungan kebendaan tetapi di atas rasa kekeluargaan dan mendidik anggota-anggotanya untuk memiliki semangat kerja sama dalam semangat kekeluargaan.

Dalam rentang usia yang masih belia, selama 12 tahun Kopkardios melayani masyarakat Manggarai Raya (Barat, Tengah & Timur). Pertumbuhan anggota dan asset signifikan. Tahun 2004 jumlah anggota sebanyak hanya 188 orang, dengan asset sebanyak Rp.282,409,779. Tahun 2005 ada penambahan, menjadi 229 orang, asset juga bertambah menjadi Rp. 425,357,813. Peningkatan tajam mulai tahun 2008, jumlah anggota 342 dengan asset Rp. 1,049,264,390. Sejak tahun 2010, jumlah anggota makin banyak yakni 1.584 orang dengan asset Rp. 4,571,894,038. Tahun buku 2011 peningkatan anggota sangat mengagumkan yakni sebanyak 3.334 orang dengan total asset Rp. 9,810,265,212. Hingga saat ini (Maret 2012), asset sudah berubah menjadi 10M lebih dengan anggota sebanyak 3,710 orang.

Persebaran anggota Kopkardios ada di banyak tempat, khususnya jalur-jalur paroki. Hingga saat ini ada sebanyak 2.211 laki-laki dan 1.123 wanita yang tersebar di kota Ruteng dan 11 Tempat Pelayanan Kopkardios (TPK). TPK ini ada di Paroki Mano (274 orang), Paroki Bari (407 orang), Paroki Cancar (168 orang), kelompok Kelimutu (66 orang), Paroki Rua (281 orang), Paroki Nanga Lanang (281 orang), Paroki Tanggar (144 orang), Paroki Wajur (120 orang), Paroki Mbata (40 orang), Paroki Lempang Paji (67 orang), Paroki Colol (53 orang).

Kopkardios hanyalah salah satu Kopdit di Manggarai Raya yang bergerak ke arah pemakmuran rakyat (umat). Mula-mula anggotanya hanya karyawan diosesan tetapi kemudian terbuka (inklusif) kepada semua pihak, golongan dan agama. Harus diakui, sumbangannya masih kecil bila ditilik dari jumlah umat Katolik Manggarai sebanyak 644.180 orang. Namun, lembaga ini bekerja sama dengan 22 Kopdit lainnya untuk saling menyatukan visi dan misi pembebasan masyarakat.

Kerja sama ini berkiblat pada dua sisi. Pertama, semakin banyaknya masyarakat yang mau menjadi anggota dibarengi makin kuatnya pendidikan anggota sehingga mereka menjadi pemain yang aktif dalam percaturan ekonomi global. Kedua, makin terakomodirnya masyarakat miskin dalam satu gerakan pembebasan melalui spirit “orang miskin membantu sesama miskin” (the poor helping the others). Masyarakat miskin sebagai subjek perubahan (agent of change), dilibatkan untuk memutuskan mata rantai kemiskinannya dengan jalan yang lebih deliberatif.

Sebagai “ikon keuskupan” di bidang ekonomi, Kopkardios menjadi “ntala gewang” (bintang cemerlang) untuk memberi cahaya bagi kesadaran masyarakat Manggarai Raya dari kegelapan kemiskinan. Keterlibatan semua pastor paroki, pengurus Dewan Pastoral Paroki serta semua perangkat pastoral untuk mengajak masyarakat (umat) adalah jalan lapang untuk membuat kemakmuran itu sebagai sesuatu yang mungkin (possible). Minimal, Kopdit ini menghindarkan masyarakat dari cengkeraman rentenir dan lembaga keuangan yang sangat tidak akomodatif terhadap rakyat miskin dan sederhana.*** 

(Dipublikasi pertama oleh Harian Umum Flores Pos, 22 Maret 2012)


Melawan Pemiskinan Rentenir Berwajah “Koperasi” - Catatan Reflektif RAT XV Kopkardios


Foto: Pengresmian Kantor KSP Kopkardios

Kanisius Teobaldus Deki
Ketua Kopkardios, Dosen STIE Karya

T
atkala membaca berita media ini (Flores Pos) bulan Januari-April setiap tahun, tentang pelaksanaan Rapat Anggota Tahunan (RAT) Koperasi Kredit (Kopdit) di NTT, ada dua kesan yang mendalam. Pertama, berita itu menghadirkan harapan akan perbaikan ekonomi masyarakat. Kopdit menjadi salah lembaga keuangan yang dalam banyak hal membantu masyarakat kelas bawah.

Selain itu, yang kedua, ada ironi dalam kenyataan ini. Provinsi yang menjadikan Kopdit sebagai salah satu jargonnya belum juga maksimal mengentaskan kemiskinan secara total. Hingga Maret 2015, penduduk Nusa Tenggara Timur  yang miskin sebanyak 1.159,84 ribu orang (22,61 persen). Jumlah ini meningkat 168 ribu orang bila dibandingkan pada September 2014 hanya berjumlah 991,88 ribu orang atau 19.60 persen dari total penduduk (Antaranews, 16/09/2015).  Pertanyaan yang mengemuka dari kenyataan ini, seberapa besar peran Kopdit membantu pengentasan kemiskinan di wilayah ini? Pertanyaan ini menjadi sulit persis pada saat yang sama Kopdit dihadapkan dengan rentenir baru berwajah “koperasi harian”.

Artikel ini memperlihatkan kenyataan kontradiksi antara maksud baik hadirnya Kopdit dan hadirnya rentenir-rentenir dengan nama koperasi seraya berusaha menemukan jalan keluar terbaik.


Spirit Awal Kopdit

A
wal mula, koperasi kredit (Kopdit) dimaksudkan untuk membantu orang miskin. Adalah wali kota Flammers Field-Jerman, Friedrich Wilhelm Raiffeisen berefleksi bagaimana menolong orang miskin. Raiffeisen merasa prihatin dan ingin menolong kaum miskin yang lapar dan telah di-PHK perusahaannya. Mula-mula ia mengundang orang-orang kaya untuk menggalang bantuan dan berhasil mengumpulkan uang dan roti, kemudian dibagikan kepada kaum miskin. Dalam perjalanan ditemukan ternyata derma tak memecahkan masalah kemiskinan. Kemiskinan datang dari cara berpikir yang keliru. Sikap hidup yang boros, bergantung pada pihak lain merupakan sebab lain kemiskinan.

Raiffeisen berpendapat bahwa kesulitan si miskin hanya dapat diatasi oleh orang miskin itu sendiri. Orang miskin harus mengumpulkan uang secara bersama-sama dan kemudian meminjamkan kepada sesama mereka juga. Pinjaman harus digunakan untuk tujuan yang produktif yang memberikan penghasilan. Jaminan pinjaman adalah watak para peminjam. Itulah cikal bakal dari kelahiran koperasi bernama Credit Union (CU) artinya, kumpulan orang-orang yang saling percaya. Motto yang menguat, “the poor helping the poor.”


Melawan Rentenir Berwajah Koperasi

B
erlawanan dengan spirit awal Kopdit besutan Raiffesen, kehadiran “Koperasi Harian” sungguh meresahkan masyarakat. Bunga yang tinggi (20%-40%), sistem pelayanan yang beraroma kekerasan dan ancaman serta penyitaan adalah kenyataan yang sering dikeluhkan masyarakat pengguna (user). Dari sisi bunga pinjaman saja jelas kelihatan bahwa sistem keuangan semacam ini mencekik orang yang membutuhkan jasa keuangan mereka. Akibatnya, yang miskin tambah dipermiskin lagi dan menciptakan orang miskin baru melalui utang pinjaman yang sering sulit dibayar kembali.

Bagaimana mengatasi hal ini? Pertama, membangun kesadaran dalam diri peminjam bahwa sistem peminjaman uang semacam ini tidak wajar dalam bisnis keuangan yang standar. Selain itu, masyarakat tidak mudah terprovokasi ke dalam budaya instan untuk mendapatkan uang namun memperberat peminjam pada akhirnya. Dalam ranah inilah, peran Kopdit melaksanakan sosialisasi dan pendidikan kepada masyarakat sangat urgen.

Kedua, peran pemerintah daerah. Kehadiran Koperasi Harian ditengarai makin kuat karena ketidakjelian dinas perkoperasian melakukan pemantauan terhadap semua koperasi yang ada dalam wilayah pengawasannya. Sikap tegas dibutuhkan masyarakat sebagaimana dilakukan dinas perkoperasian kabupaten Manggarai Timur, menangkap staf dari salah satu Koperasi Harian yang sudah meresahkan warganya (Pos Kupang, 22/01/2015). Sikap tegas itu, melindungi masyarakat dari pemahaman yang keliru tentang usaha perkoperasian.

Ketiga, Kopdit berusaha terus menerus untuk menciptakan produk keuangan yang memudahkan anggota masyarakat demi menjawabi kebutuhan mereka. Sebagai missal, untuk memenuhi kebutuhan petani, dijawab dengan pemberian pinjaman musiman. Setelah mereka menuai hasil, pinjaman baru dapat dibayar dengan bunga yang rendah.

Usaha Kopkardios

H
ingga di tahun buku ke-15, Kopkardios telah setia melayani anggota untuk memenuhi kebutuhannya. Kopdit ini telah berusaha memberikan bunga rendah  untuk menjembatani keterjaminan adanya uang yang cukup untuk anggota yang berjumlah 8.371 orang. Dengan jumlah anggota terbanyak datang dari kalangan petani, nelayan, tukang dan ibu rumah tangga (62%) menyodorkan bukti bahwa Kopkardios berusaha dengan segenap hati memproteksi kelompok yang rentan terhadap rentenir.

Produk pinjaman musiman yang diberikan kepada petani dan nelayan menjadi salah satu andalan Kopkardios dalam melayani anggotanya. Selain itu, kerja sama dengan para pihak seperti Asosiasi Petani Kopi Manggarai (Asnikom) menjadi jalan lapang untuk membebaskan kelompok rentan ini dari para rentenir di level pertama. Dengan sebaran anggotanya yang hampir merata di desa-desa tiga wilayah kabupaten Manggarai Raya, Kopkardios melayani masyarakat yang jauh dari lembaga financial lain. Sebuah kesetiaan dan pilihan dasar (optio fundamentalis) untuk membantu masyarakat bebas dari belenggu rentenir yang masih membayangi kelompok rentan.*** 


(Dipublikasikan pertama oleh HU Flores Pos, 18 Maret 2016).


Sunday, 7 June 2020

Sejarah Orang Manggarai





Kampung Tenda Tahun 1920 (Foto: Tropenmuseum-Netherland, 1920)

Kanisius Teobaldus Deki
Star Pengajar STIE Karya
Menulis Buku Tradisi Lisan Orang Manggarai (Jakarta: Parrhesia Institute, 2011)

Status Quaestonis: Sumber Sejarah Manggarai
Terdapat dua sumber yang bisa ditelusuri untuk menemukan sejarah Manggarai yang otentik, yakni sumber lisan dan sumber tertulis berdasarkan kajian-kajian para peneliti yang coba merekonstruksikan kembali sejarah Manggarai yang ternyata memiliki pluralitas dalam usul-asal keturunannya. Sumber lisan tentu memiliki keterbatasan karena sering terkait dengan mitologi yang sudah bercampur dengan pelbagai unsur sastra, khususnya dengan maksud didaktis.

Dari sisi mitologi ada banyak kisah yang tersebar luas. Namun umumnya menurut orang Manggarai diakui secara mitologis, dunia ini pada mulanya kosong dan tidak memiliki apa-apa sehingga disebut tana lino. Tana berarti tanah atau bumi sedangkan lino berarti kosong. Tana lino berarti bumi yang kosong [empty earth]. Kehidupan, menurut Orang Manggarai berasal dari perkawinan Ame / Ema Eta [Ayah di atas atau langit] dan Ine / Ende Wa [harafiah: Ibu di bawah atau bumi] sebagaimana nyata dalam pelbagai mitologi.[1]

Selain itu ada sumber-sumber tertulis yang cukup membantu, khususnya arsip-arsip kerajaan Manggarai, Bima dan Belanda seperti yang ditelusuri oleh W.PH. Coolhaas[2], Verheijen dan Dami N. Toda. Sumber tertulis itu juga memiliki keterbatasan karena tidak semua unsur penting dari sejarah Orang Manggarai telah termuat dalam kajian-kajian itu.[3]

Untuk mengatasi keterbatasan ini, menurut hemat saya kedua sumber ini perlu disatukan demi saling melengkapi satu sama lain. Itulah sebabnya mengapa studi banding antara sumber-sumber lisan dan sumber-sumber tertulis merupakan keharusan. Pembahasan yang akurat tentang sejarah suatu tempat dan budaya kerap kali terkait erat dengan sumber-sumber yang bisa dijadikan rujukan, khususnya sumber tertulis. Berhadapan dengan pembahasan tentang Orang Manggarai, penggunaan sumber-sumber tertulis dimungkinkan oleh penelitian yang dilakukan beberapa pendahulu yang menaruh minat terhadap Manggarai.[4]

Nama ”Manggarai”: Sejarah Perseteruan Berbagai Versi
Terdapat begitu banyak usul-asal nama Manggarai dari perspektif historis. Berbagai usaha mengkaji etiologi nama tempat maupun penelusuran historis berdasarkan peristiwa yang terjadi pada saat itu telah dibuat. Sekurang-kurangnya ada tiga tokoh yang coba membuat penelusuran nama Manggarai dalam sejarah modern.

Usaha pertama dibuat oleh Van Bekkum sebagaimana dikutip oleh Jilis Verheijen,[5] seorang misionaris dan pakar budaya yang banyak membuat penelitian tentang Manggarai dan kebudayaannya, khususnya tentang Wujud Tertinggi, bahasa, flora dan fauna Manggarai. Menurut Van Bekkum yang mengutip pernyataan orang Bima, “Manggarai” adalah gabungan dari kata-kata mangga yang berarti sauh, dan rai yang berarti lari, berpautan dengan satu peristiwa terdahulu. Selanjutnya, Verheijen mengacu pada Van Bekkum yang mengadopsi kisah lisan di Cibal tentang kisah tokoh yang bernama Mangga-Maci[cing”. Konon putra sulung Nunisa itu diutus Bima menaklukkan Manggarai bersama tiga saudaranya yang bernama Nanga-Lere, Tulus-Kuru dan Jena-ili-Woha. Mereka memberi nama Manggarai kepada Nuca Lale.[6]

Orang kedua yang coba membuat telaahan tentang hal yang sama adalah Doroteus Hemo.[7] Menurut Hemo, konon pada waktu perahu Mangga-Maci bersaudara itu tengah membongkar sauh dan mendarat, tiba-tiba pasukan Cibal menyerang, memotong sauh hingga perahu-perahu itu hanyut. Pasukan Bimapun terperanjat dan berteriak, Mangga-rai [sauh berlari]. Sejak peristiwa itulah tanah Manggarai mendapat namanya hingga sekarang ini.

Orang ketiga, Dami N. Toda juga melakukan studi yang sama.[8] Menurut Toda asal-usul nama Manggarai dari Freijss, maupun kisah Wilhelmus van Bekkum yang kemudian diiukuti oleh Verheijen maupun Hemo tetap saja berisi kisah kekeliruan yang telah berdampak politis tatkala dihubungkan dengan istilah ata raja dengan semiotik souverinitas raja Bima atas Manggarai dan diakui oleh pemerintah kolonial Belanda. Menurut Toda, kata Manggarai sebenarnya berasal dari sebutan Manga dan Raja. Kata Manggarai manga berarti “ada” tetapi kata “raja” sama sekali tidak bersinonim dengan kata “raja” dalam bahasa Melayu-Indonesia. Dalam bahasa Manggarai, kata Raja berarti: sebab musabab, masalah, biasa, manusiawi, nyata [sebagai lawan kata: yang bersifat seberang sana, asing].[9]

Lebih lanjut Toda membuat perluasan arti dari manga raja. Pasangan kata manga raja berarti: “ada [memiliki] sebab-musabab” hanyalah sebuah frase yang bila dihidupkan akan menjadi kalimat harus memperoleh proses morfologis, misalnya: manga rajan: ada sebab musabab alasan, manga rajag:  ada sebab musabab alasanku. Ata raja dalam bahasa Manggarai tidak dimaksudkan dengan terjemahan “Ada raja” seperti yang dibuat oleh Freijss, melainkan berarti: ada orang, manusia biasa yang memiliki raga. Kata ini berlawanan dengan sebutan ata pele sina yang berarti: orang [manusia] dari dunia seberang, manusia roh, mahkluk halus.[10] Jika istilah ini yang dipakai dalam pemahaman tentang usul asal kata Manggarai maka pengakuan akan souverinitas Bima dan Belanda atas Manggarai merupakan sebuah pencaplokan atas suatu bangsa tertentu. Sebab, Manggarai sebagai suku bangsa tertentu memiliki identitas, sistem pemerintahan, budaya dan semua unsur yang mencirikan mereka sebagai suku bangsa yang berdaulat. Kata “Manggarai” lebih merupakan pengakuan sekaligus pemakluman bahwa “kami ada” dan karena itu memiliki otonomi atas diri dan kehidupan kami sendiri.

Peristiwa pada abad ke-18 tidak memiliki kecocokan historis dengan peristiwa kedatangan Manggamaci. Kedatangan formal ekspedisi Bima baru terjadi sesudah tahun 1761-an, tahun tiba pertama kali misi 27 perahu Bima menuju pelabuhan Adak Todo [Kerajaan Todo] di pantai selatan Manggarai, yang bernama Nanga Ramut pada 6 November 1716 melayani permintaan bantuan Todo ke Bima.[11]

Meskipun ada ketidaksamaan pemahaman dalam mengartikan kata “Manggarai”, sebenarnya Manggarai sebelum abad ke-18 disebut dengan nama Nuca Lale. Nuca berarti pulau dan Lale adalah nama pohon kerbang [artocarpus elastica] yang memiliki warna kekuning-kuningan. Menurut pengakuan para petani, pohon Lale merupakan lambang kesuburan.

Dalam karya Piet Petu, lale itu adalah nepa yakni ular besar berwarna merah kekuning-kuningan [python reticulates], dengan demikian, Nuca Lale berarti: Pulau Ular.[12] Sebutan Nusa Nipa ini adalah nama umum yang ditemukan Piet Petu dari Orang Wonda di Lio Timur untuk menyebut pulau Flores.[13] Karena itu hampir tidak ada hubungan historisnya dengan nama Manggarai, kecuali relasi makna tafsiran.

Ditinjau dari akar budaya Manggarai, nama [orang, tempat] memang tidak harus mempunyai arti.[14] Hal itu sangat jelas pada usulan rancangan nama yang berjumlah lima yang diajukan pada saat pemberian nama seorang anak. Tetapi nama yang diajukan biasanya tidak asing dalam komposisi rasa bunyi bahasa Manggarai, bahkan sering berasal dari nama turunan ataupun variasi bunyi yang mirip dengan nama bapa, moyang, tokoh terkenal ataupun nama gelar dari lingkungan keluarga besar. Di tengah kerancuan ini, Orang Manggarai tetap yakin bahwa nama Manggarai bukanlah hasil pemberian orang luar, melainkan memiliki keaslian yang menyatakan bahwa “ada orang” [manga-raja], penduduk asli yang mendiami wilayah ini. Sejarah membuktikan bahwa terbanyak penduduk yang hingga kini berada di daerah Manggarai merupakan pendatang yang bermigrasi dari berbagai wilayah.

Sejarah Orang Manggarai: Usul-Asal yang Beragam[15]
Penelitian Dr. Verhoeven memberikan petunjuk tentang adanya kehidupan zaman purba di daerah Manggarai. Tempat hidup manusia purba antara lain ditemukan di Labuan Bajo, sedangkan alat-alat batu yang umumnya berbentuk mikrolit [flake and blade] ditemukan di Golo Bekkum, Liang Momer dan Liang Panas. Pada tahun 1951 tim yang sama membuat penggalian di beberapa situs antara lain Liang Momer dan Liang Panas. Pada dua tempat itu ditemukan tulang belulang manusia purba yang kemudian ditetapkan sebagai manusia Protonegrito.[16]

Penelitian tentang keberadaan manusia purba di Manggarai juga masih dilanjutkan hingga tahun 2004. Pada tanggal 7 November 2004 Wahyu Jadmiko dan tim yang dipimpin Dr. Raden Panji Soejono  dari Pusat Penelitian Arkeologi Nasional menemukan fosil berupa kerangka manusia yang diidentifikasi sebagai Homo floresiensis [manusia dari Flores] di Liang Bua. Sejak tahun 50-an Liang Bua dijadikan tempat penelitian oleh Dr. Verhoeven, ahli bahasa Yunani dan Latin yang menjadi misionaris di Manggarai. Penggalian pertama kali dilakukan bulan Juli 1965. Saat itu ditemukan tujuh kerangka manusia modern [Homo sapiens]. Juga ditemukan periuk, beliung persegi dan beberapa benda lain. Setelah sempat vakum, R.P. Soejono mengambil alih penelitian pada tahun 1978-1989 dengan membuka 10 kotak gali dan menemukan kerangka seperti yang ditemukan tahun 1950.[17]

Pada masa sekarang bekas perkampungan atau tempat tinggal manusia purba serupa oleh para ahli prehistori disebut abris sous roches [tempat-tempat perlindungan di bawah karang]. Tempat-tempat ini merupakan gua-gua atau karang-karang dengan himpunan tanah pada dasarnya, yang mengandung bekas-bekas alat-alat batu, tulang dan kerang dari zaman lampau. Tempat semacam ini banyak ditemukan di Irian dan Flores Barat.[18]

Jika ternyata penelitian-penelitian yang dibuat itu benar, bahwa sejak beribu-ribu tahun silam di Manggarai sudah terdapat penduduk asli, bagaimana hal itu dikaitkan dengan sejarah keberadaan setiap suku di Manggarai yang cenderung menyatakan bahwa mereka adalah pendatang? Apakah manusia purba yang ditemukan di Liang Bua pada waktu tertentu punah dan kemudian terjadi missing link [mata rantai yang terputus] seperti nasib Homo erectus di Pulau Jawa? Mengapa mereka bisa punah? R.P. Soerjono mengatakan bahwa masih banyak rahasia[19] manusia kerdil dari Flores ini yang belum terjawab.[20] Pertanyaan-pertanyaan ini menyajikan kenyataan bahwa di Manggarai ada penduduk asli yang sudah mendiami wilayah itu. Marybeth Erb menjelaskan bahwa orang Manggarai berasal dari Vietnam dan Thailand berdasarkan penelitiannya di Warloka.[21] Perdagangan yang dilakukan pada masa lampau membawa serta akibat pertemuan dengan penduduk asli dan adanya keputusan untuk menetap.

Selain itu, hingga saat ini kajian tentang historisitas Orang Manggarai masih berlanjut. Meskipun demikian, studi-studi kritis yang menelusuri sumber-sumber sejarah berusaha meluruskan sejarah yang disorientasikan. Ada satu kesalahan dalam pelajaran sejarah yang menyatakan seakan-akan orang-orang Manggarai cuma berasal dari satu suku dan satu nenek moyang.[22] Penelitian-penelitian ilmiah atas temuan fosil serta kontak yang tetap dengan pihak luar melalui perdagangan menunjukkan dengan tegas bahwa orang-orang Manggarai berasal dari suku dan keturunan yang berbeda. Dami N. Toda dalam hasil studinya menyebutkan keturunan-keturunan itu yakni asal keturunan Sumba, Mandosawu, Pong Welak, emigran Sulawesi Selatan dan Bima, keturunan Melayu-Malaka, Melayu-Minangkabau, dan Tanah Dena.[23]

Keturunan-keturunan yang beranekaragam ini kemudian tersebar di seluruh Manggarai. Keturunan Wangsa Kuleng [Mandusawu] mengasalkan nenek moyang mereka dari Turki, dan dari kepandaian yang mereka miliki, jelas bahwa mereka bukan berasal dari kebudayaan batu melainkan keturunan manusia yang sudah mengenal kepandaian menyepuh logam. Maka amat mungkin orang-orang Turki ini adalah pedagang-pedagang yang terdampar dan menetap di Manggarai pada abad ke-16. Wangsa Kuleng inilah yang mengasalkan Adak[24] Cibal dan Adak Lamba Leda dan keturunannya tersebar di Riwu, Sita, Ruteng, Ngkaer, Desu, Kolang-Torok.

Keturunan Sumba membentuk Adak Bajo yang berpusat di Tangge dan membawahi sejumlah wilayah selatan barat daya dan barat gelarang-gelarang adak dan beberapa kedaluan seperti: Dalu Kolang, Lo’ok, Wontong, Munting Welak, Matawae dan Ramut. Menurut Dami N. Toda, keturunan Sumba di kedaluan Matawae masih dapat mengingat 20 lapis keturunanya.

Selain keturunan Sumba dan Turki, ada pula migran asal Sulawesi Selatan dan Bima yang menetap di Manggarai, baik di bagian Barat maupun di pantai utara dan sedikit di selatan. Di duga kuat, migrasi ini terjadi pada abad ke-16 tatkala Kerajaan Luwu’ dan Goa berjaya dan memperluas kerajaannya.[25] Pada masa itu gelombang migrasi terjadi selain karena keinginan sukarela, juga karena adanya tekanan politik: para lawan politik raja Goa pertama yang Islam, Sultan Alauddin tak tahan di bawah paksaan lalu menjadi pelarian politik ke pulau-pulau lain, termasuk ke Manggarai. Tetapi gelombang-gelombang migrasi besar-besaran berupa pelarian politik terjadi setelah Perjanjian Bungaya 18 Nopember 1667 antara Belanda sebagai pemenang dan Kerajaan Goa-Tallo [Sultan Hasanudin] sebagai pihak yang kalah. Sultan Goa Tallo sempat menempatkan perwakilannya di Reok dan Pota[26]

Sedangkan keturunan Bima kebanyakan bermukim di Reo[k] setelah secara politis Bima membawahi sejumlah kedaluan di pantai utara Manggarai: Pacar, Berit, Rembong, Rego, Nggalak, Cibal, Lambaleda, Congkar, Biting dan Pasat serta 14 kedaluan lainnya di bagian Barat dengan pusat perwakilannya di Labuan Bajo.

Pendatang Melayu Minangkabau mendapat tempat tersendiri dalam sejarah Manggarai, karena selain tersebar luas di wilayah Manggarai, mereka juga kemudian menduduki posisi-posisi kepemimpinan di wilayah ini sejak zaman sebelum kolonialisme bangsa Belanda hingga periode 1980-an. Kelompok yang lazim diakui sebagai keturunan langsung dari Minangkabau, adalah keturunan Todo-Pongkor yang sekarang telah menyebar ke berbagai tempat di Manggarai.

Dari uraian yang menyelisik usul-asal ini dapat disimpulkan bahwa orang Manggarai tidak berasal dari satu keturunan saja. Mereka datang dari Sumba, Melayu-Malaka, Melayu-Minangkabau, Sulawesi Selatan, Bima dan bahkan dari Turki dengan daerah pemukiman serta persebaran utamanya yang berbeda-beda pula. Dewasa ini, dengan adanya mobilitas sosial yang tinggi dan pembauran lewat perkawinan, suku-suku dengan usul-asal yang berbeda ini mulau tercampur baur membentuk identitas baru yang lebih “manggarai”.[27]



[1] Bernard Raho, “Asal-Usul Kehidupan Menurut Orang Manggarai” dalam majalah: La’at Natas Edisi 3 Thn. II, Juni 2003, p. 3. Dalam tulisan ini Bernard Raho menampilkan sebuah mitologi tentang asal-usul manusia pertama dan interpretasi atasnya.
[2] Bdk. W. PH. Coolhaas, Menjenguk Masyarakat Manggarai Flores Barat, terjemahan Mikhael Agus [Ruteng, 1979].
[3] Ada sekian banyak orang yang pernah menulis tentang Manggarai. Verheijen menulis beberapa nama yang karangannya dipublikasikan sebelum tahun 1950, antara lain: J.P. Freijs seorang pedagang dan pendeta, J. Meerburg, H.M.M. Mennes  kontrolir Belanda yang tinggal di Bima, Letnan H.B Stapel sebagai pemimpin militer Belanda, Pater Piet Heerkens, Pater A. Burger adalah misionaris dan Dr. W. Ph. Coolhaas. Saya akan menyinggung karya mereka sejauh dikutip oleh Verheijen dan Dami N. Toda.
[4] Tanpa menafihkan penulis yang lain, saya menaruh perhatian yang besar untuk karya Wilhelmus van Bekkum sebagaimana dikutip Jilis A. Verheijen dan karya Verheijen sendiri serta Dami N. Toda dalam bagian ini. Karangan-karangan lain akan dirujuk bila berkaitan dengan pembahasan.
[5] Jilis A. Verheijen, Manggarai Dan Wujud Tertinggi [Jakarta: LIPI, RUL, 1990], p. 23.
[6] Dami N. Toda, Manggarai Mencari Pencerahan Historiografi [Ende: Nusa Indah, 1999], pp. 68-69.
[7] Ibid.
[8] Ibid.
[9] Bdk. Jillis A. Verheijen, Kamus Manggarai-Indonesia I, [Ende: Nusa Indah, 1967], pp. 19-20, 523.
[10] Dami N. Toda, Loc. Cit.
[11] Ibid.
[12] Piet Petu, Nusa Nipa [Ende: Nusa Indah, 1969], p. 45.
[13] Piet Petu, “Pengalaman Penelitian” dalam: Menggali Tradisi Lisan [Maumere: Pustaka Misionalia Candraditya, Seri II/1, 1983], p. 89.
[14] Dami N. Toda, Op. Cit., p.71.
[15] Robert Mirsel dan Eman Embu [eds.], Gugat Darah Petani Kopi Manggarai [Maumere: Ledalero, 2004], pp. 6-8.
[16] Doroteus Hemo, et. al., Pola Penguasaan Pemilikan Tanah dan Penggunaan Tanah Secara Tradisional Daerah Nusa Tenggara Timur [Kupang: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional Proyek Inventarisasi dan Pembinaan Nilai-Nilai Budaya Daerah, 19990], p. 25.
[17] Raju Febrian, “Ebu Gogo dari Liang Bua” dalam: TEMPO, 14 November 2004, pp. 46-49.
[18] Bdk. J. Roeder, “Felsbildforschung auf West New Guinea” dalam: Paideuma I, pp. 75-88, dan “The Rockpaintings of the Mac-Cluer Bay” dalam: Anthropos IV, pp. 456-463, sebagaimana dikutip oleh Koentjaraningrat dalam: Manusia dan Kebudayaan di Indonesia [Jakarta: Djambatan, 2002], p. 5.
[19] Para ahli dunia paleoantroplogi menanggapi penemuan fosil baru di Liang Bua. Salah satunya adalah  Prof. Dr. Teuku Jacob menuding klaim peneliti Australia: Marwood dan Peter Brown dari University of England, Australia,bersama tim dari Indonesia,  yang membenarkan penemuan fosil species manusia baru yang ditafsir meninggal 18 ribu tahun lalu sebagai “terorisme ilmiah”. Menurut Teuku Jacob, fosil yang ditemukan hanyalah manusia modern [homo sapiens] yang hidup 1. 300 – 1. 800 tahun lalu namun berbadan kecil [micro-cephali]. Sayangnya Jacob dalam tuduhannya tidak menjelaskan lebih lanjut mengapa terdapat perbedaan yang ekstrim antara jenis homo florensis dengan homo sapiens. Itulah sebabnya penelitian ilmiah terus berlangsung dan tak akan mencapai titik final. Bdk. “Homo Kontroversialinsis” dalam: Majalah TEMPO, 2 Januari 2005, p. 142.
[20] Raju Febrian, Op. Cit., p. 49. Bdk. Harian Umum Media Rakyat, “Manusia Flores dalam National Geographic Indonesia Edisi Pertama”, Sabtu, 2 April 2005.
[21] Marybeth Erb, The Manggaraians A Guide to Traditional Lifestyles [Kualalumpur: Times Edition,  1997], p. 67. Erb menunjukkan keterkaitan antara relasi perdagangan penduduk asli Manggarai dengan kerajaan Majapahit pada saat Hayam Wuruk memerintah. Warloka merupakan sebutan yang diplesetkan dari “Wuruk Loka” yang berarti tempat Hayam Wuruk [Wuruk’s place].
[22] Kenyataan ini dapat dibaca dalam buku sejarah yang ditulis oleh Doroteus Hemo, Sejarah Daerah Manggarai, Propinsi Nusa Tenggara Timur [Ruteng 1987/1988] yang dijadikan buku pegangan di tingkat Sekolah Dasar membenarkan klaim bahwa nenek moyang orang Manggarai berasal dari Minangkabau hal mana dibantah oleh Damian Toda yang berpendapat bahwa orang-orang Manggarai berasal dari suku dan ketuturan yang beranekaragam. Bdk. Dami N. Toda, Manggarai Mencari Pencerahan Historiografi, Op. Cit, pp. 218-294.
[23] Dami N. Toda, Op. Cit., p. 246.
[24] Adak dapat dipahami sebagai “Kerajaan” yang membawahi “Kedaluan” yakni pemerintahan provinsial otonom. Robert Mirsel dan Eman Embu [eds.], Op. Cit, p. 6. Menurut Verheijen dalam kamusnya, Adak memiliki pengertian yang sangat luas mencakupi hal-hal sebagai berikut: adat istiadat, budi bahasa, tegur-sapa, upacara, pesta resmi yang penting dan bisa berarti baik. Jilis Verheijen, Op. Cit., p. 2.
[25] Jejak-jejak keberadaan orang Sulawesi Selatan masih ada hingga saat ini di Manggarai. Di kecamatan Borong, misalnya, ada kampung bernama Kampung Bugis. Sedangkan di pantai utara ada Kampung Selayar di daerah Buntal kecamatan Sambi Rampas. Baik Bugis maupun Selayar adalah nama-anama tempat di Sulawesi Selatan.
[26] Dami N. Toda, Manggarai Mencari Pencerahan Historiografi, Op. Cit., p. 323.
[27] Robert Mirsel dan Eman Embu [eds.], Op. Cit., p. 8.