Sumber gambar: www.andthem.com
T
|
atkala pemusnahan
terhadap martabat dan kehidupan manusia menjadi suatu trend yang sulit untuk dikendalikan, sebagai mahkluk yang mengenal
arti pentingnya kehidupan, manusia dipanggil untuk mencintai dan mengakui
kehidupan. Di saat manusia kehilangan jati dirinya karena arus perkembangan
zaman, kita mestinya menunjukkan kepada dunia bahwa hidup manusia adalah suatu
keharusan yang patut dipelihara, diakui dan dicintai. Kita tidak bisa membenarkan pembunuhan dengan motivasi apapun.
Mengapa kita tidak bisa membenarkan pembunuhan dalam
bentuk apapun? Martabat manusia dapat dikatakan terletak dalam kenyataan, bahwa
ia merupakan mahkluk yang berakal budi dan berkemauan, bahwa ia memiliki suara
hati dan kebebasan untuk menentukan dirinya sendiri. Ia memiliki otonomi. Dalam
filsafat kita mengatakan bahwa manusia itu persona. Itulah yang membedakannya
dari semua mahkluk lain di dunia ini. Dan itulah sebabnya mengapa manusia, dan
hanya manusia, dapat menjadi alamat sapaan Tuhan penciptanya. Manusia adalah
satu-satunya makhluk dunia yang terbuka pada transendensi. Ide Sokrates tentang
kebakaan jiwa dan adanya hidup sesudah kematian membuktikan hal itu. Itulah
dasar paling dalam dari nilai tak terhingga setiap manusia. Maka setiap manusia
baik pria maupun wanita, yang sudah lahir atau belum, pandai atau bodoh, sehat
atau sakit jiwanya, merupakan tujuan in se (dalam dirinya sendiri),
dikehendaki secara personal oleh Sang Pencipta, dan tak pernah boleh
diperuntukkan bagi pelbagai kepentingan, tak pernah boleh menjadi sarana untuk
mencapai pelbagai tujuan masyarakat.
N
|
ilai khusus kehidupan manusia terletak dalam kenyataan bahwa kehidupan itu
merupakan basis eksistensi dan pengembangan manusia dalam martabatnya itu. Maka
kehidupan manusia tidak pernah boleh sekedar dipakai untuk mencapai pelbagai
tujuan. Nilai kehidupan manusiawi mendahului penataan diri masyarakat, maka
keutuhannya merupakan salah satu hak azasi manusia yang paling dasariah. Itulah
yang dimaksudkan kalau dikatakan bahwa kehidupan manusia adalah suci. Kehidupan
manusia harus dianggap suci, artinya tidak boleh dijamah demi pelbagai keuntungan.
Bahkan dalam situasi kematian yang penuh derita, kesucian hidup tidak hilang.
Bagi manusia yang percaya akan Allah Pencipta, wewenang mutlak Tuhan atas
kehidupan dan kematian manusia merupakan dasar yang paling kokoh agar kehidupan
manusia tidak diperkosa.
Melalui refleksi kritis kita menolak gaya hidup
hedonisme. Hedonisme di dalamnya mengandung kebenaran bahwa manusia menurut
kodratnya mencari kesenangan dan berupaya menghindari ketidaksenangan. Kita
harus mengakui bahwa keinginan akan kesenangan merupakan suatu dorongan yang
sangat mendasar dalam hidup manusia. Tapi kita mesti bertanya secara kritis
apakah manusia selalu mencari kesenangan? Apakah tidak mungkin bahwa manusia
membaktikan hidupnya demi orang lain dengan niat dan motivasi yang murni? Sr.
Teresa dari Kalkuta membaktikan hidupnya sampai akhir demi melayani kaum miskin
di Kalkuta. Apakah dia bersama rekan-rekannya hanya ingin mencari kesenangan
semata? Sulit untuk membuktikan ketidakbenaran para hedonis. Melalui refleksi
kita menemukan bahwa mereka tidak benar bukan karena suatu kekurangan logis dalam argumentasinya, melainkan karena
pandangan mereka tidak cocok dengan pengalaman hidup manusia.
Namun jika kita jeli melihat argumentasi mereka ada satu
loncatan yang tidak dipertanggungjawabkan. Mula-mula mereka menganggap bahwa
kodrat manusia adalah mencari kesenangan lalu kemudian ia menyetarafkan
kesenangan dengan moralitas yang baik. Secara logis mestinya ia membatasi diri
pada suatu etika deskriptif saja dan tidak sampai merumuskan etika normatif.
Jika manusia cenderung kepada kesenangan, apa yang membuktikan hal itu tentang
kualitas etisnya? Ada kenyataan bahwa sebagian orang mencapai kesenangan dengan
menyiksa diri atau membunuh orang lain. Melihat kenyataan ini kita bisa
mengatakan bahwa kesenangan saja tidak cukup untuk menjamin sifat etis suatu
perbuatan. Selain itu para hedonis mempunyai konsep yang salah tentang
kesenangan. Mereka berpikir bahwa sesuatu adalah baik kalau disenangi. Sebagai
konsekuensinya hedonisme mengandung suatu egoisme, karena hanya mementingkan
diri sendiri saja. Maksudnya ialah lahir suatu egoisme etis atau egoisme yang
mengatakan bahwa saya tidak mempunyai kewajiban moral untuk membuat sesuatu
yang lain daripada yang terbaik buat saya. Egoisme etis harus ditolak sebab
bertentangan dengan prinsip persamaan: semua manusia harus diperlakukan secara
sama, selama tidak ada alasan untuk suatu perlakuan yang berbeda.
K
|
ita juga menolak sikap kaum utilitarian. Prinsip kegunaan bahwa suatu
perbuatan adalah baik jika menghasilkan kebahagiaan terbesar untuk jumlah orang
terbesar, tidak selamanya benar. Misalnya pada era Orde Baru, banyak rakyat
dikorbankan demi kepentingan pembangunan nasional. Kita bertanya: Jika
pembangunan itu bertujuan mensejahterakan rakyat Indonesia, mengapa rakyat yang
justru diperlakukan tidak adil? Untuk siapa pembangunan dilaksanakan? Keberatan
lain lagi adalah bahwa prinsip kegunaan tidak memberi jaminan apa pun bahwa
kebahagiaan dibagi juga dengan adil. Jika dalam suatu masyarakat mayoritas anggotanya
hidup makmur dan sejahtera serta hanya sedikit yang miskin dan mengalami banyak
kekurangan, menurut utilitarisme dari segi etis masyarakat seperti itu telah
diatur dengan baik, karena kuantitas kesenangan melebihi ketidaksenangan.
Bahaya terbesar prinsip utilitarisme adalah ketika manusia diukur dari
kemampuannya: sejauh mana ia memberikan kegunaan dan nilai plus. Akibatnya
janin manusia yang sudah diketahui cacat dalam kandungan dianggap tidak
memberikan manfaat yang besar bagi keluarga, malah akan mendatangkan kerugian.
Karena itu praktek aborsi sangat dekat dengan prinsip ini. Demikian halnya
tuntutan spesialisasi dalam berbagai bidang pekerjaan. Manusia tidak bisa
dinilai dari aspek kemampuan semata: sejauh mana dia sanggup memberikan
sesuatu. Manusia tanpa spesialisasi tetaplah memiliki eksistensi yang luhur,
yang harus dihormati dan diakui.
S
|
eperti hedonisme dan utilitarisme, kita juga menolak materialisme dalam
segala bentuknya. Materialisme adalah ajaran yang menekankan keunggulan
faktor-faktor material atas yang spiritual dalam metafisika, teori nilai,
fisiologi, epistemologi atau penjelasan historis. Pada satu kutub ekstrem,
materialisme merupakan keyakinan bahwa tidak ada sesuatu selain materi yang
sedang bergerak. Pikiran (roh, kesadaran, jiwa) tidak lain adalah materi yang
sedang bergerak. Pada kutub ekstrem lainnya, materialisme merupakan keyakinan
bahwa pikiran sungguh-sungguh ada tetapi disebabkan oleh perubahan material dan
sama sekali tergantung pada materi. Pikiran tidak memiliki daya guna kausal,
juga tidak mutlak perlu untuk berfungsinya alam semesta. Konsekuensi dari
pemikiran ini adalah tidak mengakui eksistensi Allah atau dunia adikodrati.
Realitas satu-satunya adalah materi dan segala sesuatu merupakan manisfestasi
dari aktivitas materi. Materi dan aktivitasnya besifat abadi.[1]
Materialisme cenderung membawa manusia kepada kerakusan.
Manusia tidak lebih dilihat semata sebagai sarana yang bisa mendatangkan
keuntungan bagi pemilik modal. Harkat dan martabat manusia hanya diukur dari sejauh
mana seseorang bisa menghasilkan sesuatu. Banyak peristiwa KKN (korupsi,
kolusi, nepotisme) terjadi justru karena orang ingin menumpuk harta kekayaan
sebanyak-banyaknya hanya untuk kepentingan pribadi, meskipun banyak orang lain
menjadi korban. Materialisme juga membawa manusia kepada sikap konsumeristis.
Konsumerisme merupakan sikap hidup yang lebih mau menikmati daripada menahan,
mengkonsumsi daripada memproduksi. Akibatnya jika manusia sudah ketiadaan
barang-barang yang bisa dikonsumsi ia akan melegalkan segala cara untuk
mendapatkannya. Dengan ini dapat kita katakan bahwa hidup manusia bukan hanya
untuk menghasilkan materi sebanyak-banyaknya. Makna hidup manusia bukan
terletak di situ. Melalui kekayaan yang ada sebenarnya manusia dapat mengekspresikan
dirinya sebagai mahkluk sosial yang mencintai orang lain, jatuh belas kasihan
kepada mereka yang tak berdaya sebab mereka adalah sesama manusia, bukan
sampah. Dengan mencintai dan memberi kita menegaskan bahwa mereka adalah diriku
yang lain.
A
|
khirnya kita juga menolak sekularisme yang melanda dunia. Hidup manusia
bukan hanya untuk hari ini. Sokrates sungguh menyadari hal itu. Ia menegaskan
bahwa manusia akan hidup terus setelah kematiannya. Karena itu dari pihak
manusia dituntut suatu persiapan melalui kebajikan-kebajikan. Kebajikan
dilihatnya sebagai jalan menuju kepada kesempurnaan hidup. Kemajuan dalam
segala bidang penting bagi manusia karena dengan itu manusia ditolong untuk
menyempurnakan eksistensinya sebagai animal rationale. Tetapi manusia
juga tidak bisa menyadari bahwa ia adalah homo religiosus yang
mengarahkan dirinya kepada sesuatu yang transenden, Wujud Tertinggi. Sokrates
tidak mengingkari adanya dewa-dewa sebagai sembahan manusia. Dalam kosa kata
Kristen, wujud tertinggi itu adalah Allah.
Keutuhan atau integritas
etis manusia bernilai lebih tinggi. Maka demi penyelamatan orang lain, orang
boleh mempertaruhkan, bahkan mengorbankan kehidupannya, misalnya yang belum ada
obatnya, atau apabila ia lebih suka membunuh diri daripada dipaksa oleh siksaan
yang tak tertahankan, untuk membela keadilan dan kebenaran atau untuk
memberitahukan nama-nama mereka yang menjadi tanggung jawabnya kepada pihak
yang mau menghancurkan mereka. Sokrates meminum racun bukan karena ia tidak
menghargai kehidupan, bukan pula semata-mata karena ia melihat badan tidak
memiliki arti. Namun, ada satu nilai yang lebih tinggi yang ia mau capai ialah
bahwa kebenaran dalam keadaan apapun harus dibela dan dipertahankan.[2] Di sini, Sokrates memperlihatkan bahwa kehidupan manusia mencapai
kepenuhan maknanya bila ia mempertaruhkan segalanya untuk mencapai kebenaran,
hal mana yang merupakan unsur yang memberikan makna bagi hidupnya. Perjuangan
Sokrates berdimensi sosial: Ia tidak hanya berjuang untuk mencapai keamanan dan
kemapanan dirinya, tetapi ia juga lebih dari itu berjuang untuk masa depan
negerinya, terutama kehidupan kaum mudanya. Ia memiliki orientasi agar manusia
muda beralih dari cara pandang lama ke cara pandang baru, dari pendewaan
kekuasaan, kekayaan dan tradisi kepada kelepasan, kebebasan dan sikap yang
selalu kritis. Sebab bagi dia, makna hidup manusia justru terletak pada
kesadaran akan eksistensinya sebagai mahkluk yang memiliki rasio. Rasionya
menyanggupkan dia untuk melihat kebenaran dan melalui kebenaran ia mencapai
tujuan hidupnya yakni kesempurnaan jiwanya, yang dalam hal ini ia sebut sebagai
kebahagiaan.***
No comments:
Post a Comment