Sunday 15 July 2018

RITUS ADAT ORANG MANGGARAI




Kanisius Teobaldus Deki M.Th
Dosen STKIP Santu Paulus,
Ketua Lembaga Nusa Bunga Mandiri


Ritus

R
itus merupakan serangkaian tindakan simbolis yang dimaksudkan untuk menjalin relasi yang intim dengan Sang Pencipta, dunia roh, para leluhur, lingkungan dan alam semesta (kosmos) karena ada keyakinan akan keterhubungan hidup manusia dengan unsur-unsur itu. Manusia menyadari keterbatasan dirinya di hadapan tata ciptaan dan penciptanya. Karena itu manusia membangun relasi secara sadar melalui simbol-simbol demi menjamin kehidupan dan kebahagiaannya (bdk. David Kertzer, 1988:9). Simbol-simbol itu melukiskan dimensi spiritual dari kehidupan manusia. Selain itu ritus meyatu-padukan individu dengan masyarakatnya. Ada dimensi privat serentak komunal, individual sekaligus sosial (Durkheim 1915: 226).

Ritus Orang Manggarai

R
itus bagi orang Manggarai, sejalan dengan konsep di atas, adalah manivestasi akan kesadaran keberadaan sebagai manusia yang utuh, lengkap dan holistik. Manusia adalah “ada” dalam “ada-bersama yang lain”. Individu tidak pernah sendiri dalam artian tanpa ada keterhubungan dengan dunia dan sesamanya. Orang Manggarai percaya akan adanya Wujud Tertinggi (Verheijen, 1992) yang disebut dalam berbagai rupa, mulai dengan ungkapan parallel hingga sebutan ringkas. Wujud Tertinggi disebut dalam paralelisme simbolik seperti: “parn awon-kolepn sale” (Dia yang terbit di timur-terbenam di Barat); “tanan wa-awangn eta” (Dia yang ada di bumi- ada di langit); “ulun le-wa’in lau” (Dia yang memiliki hulu-Dia memiliki hilir). Sebutan bernuansa aktivitas kedirianNya misalnya: “Mori Jari Dedek “ (Tuhan Pengada-Pencipta); “Mori Wowo” (Tuhan Penjadi); “Mori agu Ngaran” (Tuhan dan Pemilik). Dalam kehidupan sehari-hari, sebutan untuk Tuhan adalah “Mori Keraeng” (Tuhan Penguasa).

Pengakuan atas ketidaksendirian manusia dalam alam ciptaan terbangun dalam keyakinan akan kehadiran “ada-yang-lain” yakni para roh (naga, ata pele sina). Ada roh penjaga kampung  (naga golo); roh penjaga rumah (naga mbaru), roh leluhur (wura agu ceki). Keberlangsungan hidup yang tak pernah terputus dimanifestasi dalam kepercayaan akan kehidupan dunia abadi melalui perantara sejati dalam diri para leluhur (ende-ema) yang sudah meninggal. Mereka adalah jembatan komunikator (letang temba; laro jaong; mu’u tungku) berhadapan dengan Tuhan Sang Pemilik Kehidupan (Mori agu Ngaran, Mori Jari Dedek; Mori Wowo).

Dalam cinta yang tak terbatas, melampaui dunia dan waktu, mereka akan membantu manusia yang masih berjuang di dunia oleh karena permohonan manusia yang masih hidup melalui kurban tertentu sesuai dengan ujud. Kurban yang dipersembahkan sebagai simbol cinta manusia terentang mulai dari telur ayam (ruha manuk), ayam (manuk), babi (ela), kambing (mbe), kuda (jarang) hingga yang paling besar adalah kerbau (kaba). Telur dan darah hewan kurban adalah simbol kehidupan. Telur adalah rumah sekaligus awal kehidupan. Darah adalah kehidupan itu sendiri. Hewan kurban memiliki warna tersendiri (wulu) seturut tata upacara dan intensinya. Warna putih melambangkan kesucian dan kemurnian. Ayam jantan putih dipersembahkan pada ritus Wuat Wa’i (perutusan). Ungkapan yang utama pada doa (torok) Wuat Wa’i adalah “poro neho lalong bakok du lakom, neho lalong rombeng du kolem” (semoga engkau seperti ayam jantan putih sewaktu menuju tempat perjuangan, seperti ayam berwarna-warni tatkala engkau kembali). Ungkapan ini memiliki makna bahwa seseorang yang diutus harus memiliki kesucian batin untuk memenangkan perjuangan dan berhasil sebagai pemenang dalam pertarungan kehidupan sehingga ia memiliki kesemarakan bagaikan ayam berbulu warna-warni.

Tujuan Ritus

R
itus orang Manggarai dilaksanakan karena ada maksud dan tujuan. Sebuah ritus lahir karena memberikan jawaban atas pertanyaan tentang kenyataan pun masalah yang dihadapi. Kehamilan misalnya adalah kenyataan tentang proses cikal bakal kelahiran seorang manusia. Karena itu ritus Lamba Wakas adalah sebentuk doa yang dimaksudkan agar ibu sang bayi tetap sehat dan aman, bebas dari gangguan roh jahat. Ritus Cear Cumpe dan Teing Ngasang merupakan pengukuhan status seorang anak kepada masyarakat. Ritus Dopo Wing merupakan akhir dari seluruh proses nifas seorang ibu yang dimaklumkan final (ditandai menopause) dan karenanya memiliki alasan kuat untuk mengucapkan syukur dan terima kasih kepada Tuhan atas karunia keturunan dan kehidupan yang berkelimpahan (mose di’a-mose lencek). Demikian halnya dengan ritus-ritus adat yang lainnya dalam hal pekerjaan, perkawinan, kesehatan, kematian dan pascakematian (Deki, et.al., 2017).

Ritus selalu mengandaikan maksud baik. Ritus yang dibuat asal-asalan akan selalu membawa bencana bagi pelakunya. Karena itu, ritus dalam susunannya yang sudah baku dimulai dengan persetujuan bersama melalui pernyataan langsung (kari). Kari yang dilakukan sebelum upacara wajib hukumnya sehingga upacara itu menjadi sah dan pantas. Ada tiga pihak yang harus ada dalam setiap ritus: 1) ase-ka’e (keluarga dari garis keturunan ayah), 2) anak rona (keluarga dari pemberi gadis) dan 3) anak wina (keluarga dari penerima anak gadis). Ase ka’e adalah saksi dari niat. Anak rona adalah penguat dari niat dan Anak Wina adalah penerima berkat dari niat itu. Oleh kehadiran tiga pihak itu, ritus orang Manggarai berciri relasional. Melalui ritus, relasi dibangun untuk selalu dan senantiasa ada dalam kekompakkan dan perdamaian. Moment memperlihatkan usus atau hati ayam (toto urat) adalah kesempatan untuk mengetahui apakah niat dan doa diterima oleh Tuhan dan para leluhur. Saat sakral di mana dimensi spiritual bercorak mistis menjadi kekuatan sebuah ritual: kata-kata doa (torok/tudak) yang diucapkan dijawab dalam rupa tanda!

Hewan Kurban

H
ewan yang telah disembelih memberikan tanda lahiriah dalam bentuk-bentuk terbaca oleh penutur torok. Tanda-tanda itu sudah lazim diterima dengan masing-masing maksud sesuai dengan pernyataan dalam doa (torok/tudak). Jawaban atas doa yang terungkap dalam tanda memberikan arah positif pun negative bagi pelaku ritual. Jika usus atau hati ayam berkilau, lurus tak bercela, maka Tuhan, roh leluhur, roh alam mersetui permohonan. Jika sebaliknya yang terjadi maka itu pertanda doa tak dikabulkan. Doa yang tak dikabulkan memberi kesempatan kepada pemilik hajatan untuk melakukan tindakan silih sesuai dengan tata aturan ritus yang berlaku.

Imam dalam Ritus

U
ntuk menyampaikan torok/tudak dalam ritus adat, peran penutur torok sebagai imam sangatlah penting. Dialah yang membawakan doa-doa (ata mu’u luju-lema emas) dan memperlihatkan tanda (toto urat) yang dinyatakan lewat usus atau hati hewan kurban. Melalui pembacaan atas tanda, dia pula yang menegaskan pesan dari tanda itu. Seorang penutur torok/tudak sejatinya adalah orang-orang terpilih dalam satu kampung. Ia memunyai kemampuan bukan saja karena hasil belajar semata melainkan juga karena mendapat wasiat langsung dari roh leluhur (ita one nai-lang one nipi). Karenanya, dia harus memiliki kerelaan hati dalam melayani dan menjaga kesucian diri agar pelayanannya membawa manfaat baik bagi masyarakat.

Pelestarian Ritus Adat

Ritus orang Manggarai akan terus bertahan. Hal itu disebabkan karena ritus-ritus itu tetap aktual dan relevan dalam memberikan jawaban bagi kebutuhan manusia. Selama orang Manggarai tetap percaya bahwa ritus-ritus itu berdampak positif, maka ritus-ritus itu akan tetap dijalankan.

Selain itu dalam setiap moment kehidupan, privat maupun komunal, hendaknya upacara-upacara adat tetap dijalankan secara konsisten. Upacara-upacara komunal seperti pesta Penti Weki Peso Beo (syukuran) setiap tahun dilakukan secara konsisten agar masyarakat tetap tahu berterima kasih. Pada lini privat, kendati beberapa ritus inisiasi sudah dilakukan melalui agama, namun upacara Cear Cumpe dan Teing Ngasang tetaplah dibuat sebagai penanda masuknya seorang individu ke dalam lingkup sosial masyarakat.

Dengan jalan pembiasaan itu, ritus-ritus lain mendapat tempat keberadaannya dengan memerhatikan filosofi kehidupan orang Manggarai “Gendangn one-lingkon pe’ang” yang memberikan bingkai bagi kehidupan manusia di tengah dunia ini. Ketika ritus-ritus dijalankan dengan benar maka orang Manggarai belajar mengaya nilai darinya dan membentuk karakternya berbasis nilai-nilai itu. ***

Dipublikasi pertama oleh: www.floressmart.com pada 15 Juli 2018.

No comments:

Post a Comment