Kanisius Teobaldus
Deki M.Th
Dosen STKIP Santu
Paulus Ruteng
Ayah
perkosa anak? Kakek perkosa cucu? Mana mungkin? Tapi itulah faktanya! Itu
adalah pertanyaan spontan yang sontak keluar dari dalam hati tatkala membaca
berita media akhir-akhir ini di NTT. Tak berselang lama, di Manggarai Timur ada
dua kasus yang memilukan hati. Pada Pos
Kupang 28 Oktober 2017 diberitakan seorang ayah di kampung Rimun, desa Ruan,
kecamatan Kota Komba, tega memperkosa anak kandungnya lalu membuat video atas
peristiwa tragis itu. Pada 3 November 2017, media ini juga menurunkan berita
yang tak kalah mengerikan: seorang kakek di Borong mencabuli cucunya sendiri di
rumah orang tua anak itu. Ini hanya dua berita terakhir dengan jangka waktu tak
terpaut jauh. Belum lagi kasus pengakhiran hidup secara paksa melalui bunuh
diri seakan-akan telah menjadi menu harian yang disajikan media NTT. NTT lalu
menjadi sebuah wilayah yang harusnya darurat moral!
Berita-berita
ini menimbulkan kemarahan spontan, melebihi umpatan! Melampaui kemarahan,
pertanyaan yang perlu diajukan ialah “Ada apa dengan masyarakat kita? Apa yang
menyebabkan semua ini bisa terjadi?” Pertanyaan-pertanyaan ini membawa kita
kepada usaha menemukan jawaban. Jawaban, yang sekiranya bisa, menemukan hulu
sekaligus akarnya, agar NTT kembali menjadi sebuah rumah dan komunitas yang
layak dihuni oleh pemiliknya. Tempat semua pihak merasa nyaman dan merayakan
kebahagiaan.
Adagium
Thomas Hobbes
Thomas
Hobbes, filsuf aliran empirisme-materialisme dari Inggris (1588-1679) pernah
melangsir kembali pernyataan Plautus dalam karyanya yang berjudul Asiniria (195SM) “lupus est homo
homini”. Pernyataan itu diubah menjadi “homo homini lupus” oleh Hobbes dalam
karyanya De Cive (1651) dengan arti
yang kurang lebih sama: manusia menjadi serigala bagi sesamanya. Pernyataan
Hobbes ini menggambarkan dua hal mendasar pada manusia. Pertama, manusia memiliki kebebasan, hawa nafsu, kodrat social.
Hawa nafsu terbesar manusia adalah memertahankan diri. Kedua, ikutannya adalah ada persaingan dalam usaha manusia
memertahankan dirinya sendiri. Pada level kedua inilah muncul seolah tak
terelakan insting manusia untuk menguasai sesamanya. Selajur dengan konsep
evolusi bahwa yang kuat akan terus bertahan (survival the fittest), manusia
lalu memangsa sesamanya.
Situasi
persaingan kemudian diterjemahkan ke pelbagai level dan bidang kehidupan.
Persaingan lalu menjerumuskan manusia untuk selalu berpikir tampil sebagai
pemenang. Kekalahan telak masyarakat NTT pada bidang ekonomi menjerembabkan
masyarakatnya untuk berenang di arus putus asa. Secara nasional NTT adalah
provinsi dengan angka kemiskinan nomor urut tiga dari belakang. Bersamaan
dengan itu, lembaga-lembaga keagamaan dan pemerintahan yang diyakini masyarakat
menjadi gawang nilai-nilai justru meleburkan dirinya dalam praktik-praktik
korup yang mengenaskan.
Masyarakat
NTT, meminjam bahasa Hobbes, menjadi serigala lalu tak segan-segan mengorbankan
sesamanya, atas nama apapun. Perilaku masyarakat NTT yang cenderung mengambil
jalan pintas untuk menyelesaikan persoalan yang meliliti hidupnya adalah
signa-signal kuat betapa kehidupan di NTT sangat keras dan penuh aroma
ketidaknyamanan. Masyarakat NTT perlu dilatih untuk membangun nilai dalam
membentuk pola pikir, pola kata dan pola tindakan. Bahwasannya, sesama bukanlah
lawan tarung yang harus ditaklukan melainkan rekan yang wajib diterima dengan
kesadaran sebagai sahabat. Sesama adalah homo
homini socius!
Menjadi
Komunitas Yang Ramah
Kasus
pemerkosaan, pelecehan seksual terhadap anak-anak dan bunuh diri yang kian
marak di NTT merupakan warning (tanda)
buat kita untuk berani mengatakan bahwa moralitas kita berada di titik nadir.
Karena itu membangun moralitas berbasis kesadaran akan penciptaan kehidupan yang
layak menjadi sine qua non
(keharusan) yang mewajibkan partisipasi aktif semua pihak.
Keluarga-keluarga
membangun kehidupan berbasis cinta, saling menghargai, saling mendukung.
Nilai-nilai keadilan, kebenaran, penghargaan atas kehidupan harus ditumbuh-kembangkan
dalam setiap rumah. Menurut Paus Fransiskus dalam sebuah pertemuan, ada tiga
kata yang harus selalu ada dalam setiap rumah: terima kasih, maaf dan ampun.
Ketiga kata ini, meski sederhana, adalah symbol penghargaan, kelemahan dan
kekuatan mengampuni. Kesediaan untuk saling melayani dalam porsi yang wajar
merupakan kekuatan dari sebuah keluarga. Kehangatan yang ditimbulkan oleh cinta
yang tulus merupakan jalan untuk selalu mengingat rumah sebagai tempat impian.
Lembaga-lembaga
pendidikan menjadi rumah yang ramah bagi semua pihak: guru, pegawai, orangtua
dan murid. Sekolah bukan hanya tempat menimba ilmu, melainkan juga tempat
mengalami kasih di mana sharing-sharing kebaikan dibagikan dengan cara yang
elegan. Kekerasan harus dijauhkan dari segala metode dan prinsip pengayaan
nilai. Guru dan orangtua menjadi tim sukses yang setara dalam menyukseskan
pendidikan anak dalam kolaborasi apik dan terukur. Anak menjadi subjek yang
menerima nilai sebagai pilihan sikap dan dasar bagi tindakan moral.
Lembaga
pemerintahan menjadi tempat pelayanan publik yang setia mengedepankan
penghormatan dan pangarusutamaan martabat manusia. Komitmen untuk menjadi
pejabat publik yang bersih menganimasi masyarakat untuk juga berjalan di lajur
yang sama. Pemerintah yang melayani dengan tulus, memenuhi kebutuhan masyarakat
secara maksimal, adalah kampanye kemanusiaan massif lebih dari slogan-slogan
kampanye panggung politik.
Agama-agama
ditampilkan bukan sebagai lembaga peradilan yang bengis atas nasib manusia
melainkan pintu-pintu terbuka yang rela-sedia menerima setiap orang yang letih
dengan perjuangannya. Pemimpin-pemimpin agama adalah motivator yang
merempresentasi kasih Allah, dengan kehangatan cinta dan kemurnian batin yang
selalu terjaga. Politik agama adalah upaya membawa semakin banyak manusia NTT
ke jalan yang benar dengan spiritualitas kerja, kreatif, komunitarian, inovatif
dan futuristik di mana nilai-nilai yang membentenginya jelas bermutu total.
Sebuah politik yang tidak mencampuradukan nilai hanya demi kekuasaan duniawi.
Dengan
jalan ini, NTT darurat moral adalah sebentuk mimesis (ingatan). Sebuah ingatan kolektif untuk selalu membaca
kenyataan keterpurukan perilaku moral masyarakat kita dengan membangun refleksi
yang bermuara kepada perubahan tingkah laku. Akhirnya, membentuk komitmen aneka
komunitas yang ramah (keluarga, lembaga pendidikan, pemerintahan dan agama)
untuk membuat pilihan sikap dalam bertindak selalu merujuk pada nilai moral.***
No comments:
Post a Comment