Tuesday, 2 January 2018

NTT Darurat Moral! Catatan Akhir Tahun 2017





Kanisius Teobaldus Deki M.Th
Dosen STKIP Santu Paulus Ruteng

Ayah perkosa anak? Kakek perkosa cucu? Mana mungkin? Tapi itulah faktanya! Itu adalah pertanyaan spontan yang sontak keluar dari dalam hati tatkala membaca berita media akhir-akhir ini di NTT. Tak berselang lama, di Manggarai Timur ada dua kasus yang memilukan hati.  Pada Pos Kupang 28 Oktober 2017 diberitakan seorang ayah di kampung Rimun, desa Ruan, kecamatan Kota Komba, tega memperkosa anak kandungnya lalu membuat video atas peristiwa tragis itu. Pada 3 November 2017, media ini juga menurunkan berita yang tak kalah mengerikan: seorang kakek di Borong mencabuli cucunya sendiri di rumah orang tua anak itu. Ini hanya dua berita terakhir dengan jangka waktu tak terpaut jauh. Belum lagi kasus pengakhiran hidup secara paksa melalui bunuh diri seakan-akan telah menjadi menu harian yang disajikan media NTT. NTT lalu menjadi sebuah wilayah yang harusnya darurat moral!
Berita-berita ini menimbulkan kemarahan spontan, melebihi umpatan! Melampaui kemarahan, pertanyaan yang perlu diajukan ialah “Ada apa dengan masyarakat kita? Apa yang menyebabkan semua ini bisa terjadi?” Pertanyaan-pertanyaan ini membawa kita kepada usaha menemukan jawaban. Jawaban, yang sekiranya bisa, menemukan hulu sekaligus akarnya, agar NTT kembali menjadi sebuah rumah dan komunitas yang layak dihuni oleh pemiliknya. Tempat semua pihak merasa nyaman dan merayakan kebahagiaan.

Adagium Thomas Hobbes
Thomas Hobbes, filsuf aliran empirisme-materialisme dari Inggris (1588-1679) pernah melangsir kembali pernyataan Plautus dalam karyanya yang berjudul Asiniria (195SM) “lupus est homo homini”. Pernyataan itu diubah menjadi “homo homini lupus” oleh Hobbes dalam karyanya De Cive (1651) dengan arti yang kurang lebih sama: manusia menjadi serigala bagi sesamanya. Pernyataan Hobbes ini menggambarkan dua hal mendasar pada manusia. Pertama, manusia memiliki kebebasan, hawa nafsu, kodrat social. Hawa nafsu terbesar manusia adalah memertahankan diri. Kedua, ikutannya adalah ada persaingan dalam usaha manusia memertahankan dirinya sendiri. Pada level kedua inilah muncul seolah tak terelakan insting manusia untuk menguasai sesamanya. Selajur dengan konsep evolusi bahwa yang kuat akan terus bertahan (survival the fittest),  manusia lalu memangsa sesamanya.
Situasi persaingan kemudian diterjemahkan ke pelbagai level dan bidang kehidupan. Persaingan lalu menjerumuskan manusia untuk selalu berpikir tampil sebagai pemenang. Kekalahan telak masyarakat NTT pada bidang ekonomi menjerembabkan masyarakatnya untuk berenang di arus putus asa. Secara nasional NTT adalah provinsi dengan angka kemiskinan nomor urut tiga dari belakang. Bersamaan dengan itu, lembaga-lembaga keagamaan dan pemerintahan yang diyakini masyarakat menjadi gawang nilai-nilai justru meleburkan dirinya dalam praktik-praktik korup yang mengenaskan.
Masyarakat NTT, meminjam bahasa Hobbes, menjadi serigala lalu tak segan-segan mengorbankan sesamanya, atas nama apapun. Perilaku masyarakat NTT yang cenderung mengambil jalan pintas untuk menyelesaikan persoalan yang meliliti hidupnya adalah signa-signal kuat betapa kehidupan di NTT sangat keras dan penuh aroma ketidaknyamanan. Masyarakat NTT perlu dilatih untuk membangun nilai dalam membentuk pola pikir, pola kata dan pola tindakan. Bahwasannya, sesama bukanlah lawan tarung yang harus ditaklukan melainkan rekan yang wajib diterima dengan kesadaran sebagai sahabat. Sesama adalah homo homini socius!

Menjadi Komunitas Yang Ramah
Kasus pemerkosaan, pelecehan seksual terhadap anak-anak dan bunuh diri yang kian marak di NTT merupakan warning (tanda) buat kita untuk berani mengatakan bahwa moralitas kita berada di titik nadir. Karena itu membangun moralitas berbasis kesadaran akan penciptaan kehidupan yang layak menjadi sine qua non (keharusan) yang mewajibkan partisipasi aktif semua pihak.
Keluarga-keluarga membangun kehidupan berbasis cinta, saling menghargai, saling mendukung. Nilai-nilai keadilan, kebenaran, penghargaan atas kehidupan harus ditumbuh-kembangkan dalam setiap rumah. Menurut Paus Fransiskus dalam sebuah pertemuan, ada tiga kata yang harus selalu ada dalam setiap rumah: terima kasih, maaf dan ampun. Ketiga kata ini, meski sederhana, adalah symbol penghargaan, kelemahan dan kekuatan mengampuni. Kesediaan untuk saling melayani dalam porsi yang wajar merupakan kekuatan dari sebuah keluarga. Kehangatan yang ditimbulkan oleh cinta yang tulus merupakan jalan untuk selalu mengingat rumah sebagai tempat impian.
Lembaga-lembaga pendidikan menjadi rumah yang ramah bagi semua pihak: guru, pegawai, orangtua dan murid. Sekolah bukan hanya tempat menimba ilmu, melainkan juga tempat mengalami kasih di mana sharing-sharing kebaikan dibagikan dengan cara yang elegan. Kekerasan harus dijauhkan dari segala metode dan prinsip pengayaan nilai. Guru dan orangtua menjadi tim sukses yang setara dalam menyukseskan pendidikan anak dalam kolaborasi apik dan terukur. Anak menjadi subjek yang menerima nilai sebagai pilihan sikap dan dasar bagi tindakan moral.
Lembaga pemerintahan menjadi tempat pelayanan publik yang setia mengedepankan penghormatan dan pangarusutamaan martabat manusia. Komitmen untuk menjadi pejabat publik yang bersih menganimasi masyarakat untuk juga berjalan di lajur yang sama. Pemerintah yang melayani dengan tulus, memenuhi kebutuhan masyarakat secara maksimal, adalah kampanye kemanusiaan massif lebih dari slogan-slogan kampanye panggung politik.
Agama-agama ditampilkan bukan sebagai lembaga peradilan yang bengis atas nasib manusia melainkan pintu-pintu terbuka yang rela-sedia menerima setiap orang yang letih dengan perjuangannya. Pemimpin-pemimpin agama adalah motivator yang merempresentasi kasih Allah, dengan kehangatan cinta dan kemurnian batin yang selalu terjaga. Politik agama adalah upaya membawa semakin banyak manusia NTT ke jalan yang benar dengan spiritualitas kerja, kreatif, komunitarian, inovatif dan futuristik di mana nilai-nilai yang membentenginya jelas bermutu total. Sebuah politik yang tidak mencampuradukan nilai hanya demi kekuasaan duniawi.
Dengan jalan ini, NTT darurat moral adalah sebentuk mimesis (ingatan). Sebuah ingatan kolektif untuk selalu membaca kenyataan keterpurukan perilaku moral masyarakat kita dengan membangun refleksi yang bermuara kepada perubahan tingkah laku. Akhirnya, membentuk komitmen aneka komunitas yang ramah (keluarga, lembaga pendidikan, pemerintahan dan agama) untuk membuat pilihan sikap dalam bertindak selalu merujuk pada nilai moral.***


No comments:

Post a Comment