Saturday, 25 March 2017

KONSEP BELIS ORANG MANGGARAI




Kanisius Teobaldus Deki
Peneliti Budaya Manggarai 
081238575433



Dalam budaya orang Manggarai perkawinan tidak hanya menjadi urusan privat dua individu tetapi juga dua keluarga besar dari kelompok masyarakat yang berbeda. Perkawinan mengikat-satukan dua keluarga besar dengan segala konsekuensinya. Sebagai tanda pemersatu, belis menjadi symbol penguat yang secara resmi diakui oleh masyarakat dan menjadi bagian tak terpisahkan dari prosesi perkawinan itu. Dalam kenyataan ditemukan praktik-praktik menyimpang pemberian belis yang menimbulkan masalah bagi pengantin pun anggota keluarganya. Bagaimana konsep belis orang Manggarai adalah fokus kajian dalam artikel ini.



1    1.  Pengantar
Perkawinan sejatinya melahirkan kehidupan yang bahagia. Setidaknya itulah yang menjadi harapan dan muara akhir dari tindakan mempersatukan pria dan wanita dalam satu ikatan permanen. Namun untuk sampai pada tahapan itu, perkawinan memiliki etape-etape tersendiri yang sudah terkonstruksi secara sosial, budaya pun agama.
Pelbagai analisis, misalnya atropologis, perkawinan dilihat sebagai tindakan natural untuk memperbanyak keturunan dalam pemenuhan kebutuhan sosio-ekonomis.[1] Secara sosiologis perkawinan diarahkan untuk melahirkan individu dan masyarakat.[2] Dalam konsep agama Kristen melalui Kitab Hukum Kanonik (Kan. 1096 dan 1135) dinyatakan sebagai kebersamaan seluruh hidup (totius vitae consortium).[3]
Dalam perspektif kebudayaan, perkawinan memiliki peran sentral dalam kehidupan manusia. Untuk mencapai tujuannya, perkawinan memiliki tahapan-tahapan yang memiliki makna dan arti tertentu bagi manusia pemilik budaya itu. Di tengah kemajemukan nilai yang terbangun oleh karena makna-makna proses perkawinan, salah satu hal penting yang sering menjadi tilikan ialah soal mahalnya biaya perkawinan.
Usaha menilik biaya perkawinan kemudian dikerucut dalam aspek-aspek utama, semisal belis, mas kawin atau sering disebut mahar.[4] Terkait besarnya biaya belis ini, ada suara-suara sumbang yang terekspresi dalam macam-macam pendapat baik secara langsung, dalam acara peminangan maupun secara tidak langsung melalui pewacanaan media sosial.[5]
Kajian ini lebih merupakan sebuah studi awal (opening study) bagi kajian yang lebih luas dan mendalam tentang konsep belis dan penerapannya dalam budaya orang Manggarai. Sebagai studi awal tentu menjadi titik mulai untuk menemukan tonggak-tonggak penting bagi analisis yang lebih konprehensif dan holistic. Untuk menemukan data ada dua cara yang ditempuh yakni pembacaan atas hasil studi pendahulu dan jajak pendapat melalui media sosial (facebook) yang dilakukan beberapa waktu lalu.

2   2. Jajak Pendapat Media Sosial
2.1.              Mula Kisah
Jajak pendapat ini lahir secara sadar ketika ada tiga situasi berikut ini: Pertama, sering sekali sebuah prosesi perkawinan orang Manggarai terganggu oleh urusan belis (paca). Paca yang lengkap dan banyak dianggap sebagai sebuah kehebatan. Sebaliknya jika jumlahnya kurang atau tidak memenuhi target kesepakatan menjadi sebuah awal malapetaka. Kedua, ada komentar-komentar lepas orang non Manggarai yang mengatakan belis perempuan Manggarai sangat mahal.[6] Ketiga, ketika media sosial kian menjamur dan arus informasi sangat deras mengalir menjangkaui semua orang, pelbagai pendapat dapat diutarakan sedemikian bebas termasuk keberatan-keberatan terhadap adanya belis dalam perkawinan.[7]
Menghadapi kenyataan ini, saya lalu terpanggil memanfaatkan media sosial ini untuk mengetahui tanggapan masyarakat luas secara sistematis terkait adanya belis dalam perkawinan pada budaya Manggarai. Pertanyaan-pertanyaan diajukan dalam dua soal lalu di-share ke lima akun face book yang berbeda[8]:
Tabe gula ase-kae (selamat pagi saudara-saudariku), saya mau minta pendapat Anda: 1) Apa nilai dasar belis/paca orang Manggarai menurut Anda? 2) Apa masalah yg ada dalam belis (konsep? deviasi konsep? interpretasi? bentuk? nominal?) Atas partisipasi dite (kalian), terima kasih. Tabe (Salam).

2.2.            Hasil Jajak Pendapat
2.2.1.        Jumlah yang Ikut Berpendapat
Sejak tanggal 25 Agustus 2014, ketika pendapat ini diposting di face book, setiap hari ada yang memberikan komentar. Ketika pooling untuk sementara ditutup tanggal 08 Oktober 2014, berikut adalah hasilnya seperti dinyatakan dalam table 1:


Tabel 1
Jumlah responden yang ikut dalam Jajak Pendapat

No
Kode Akun
Jumlah Melihat
Jumlah Menyukai
Jumlah Komentar
1
NTD
980
412
102
2
SC
24
3
7
3
IASP
33
1
2
4
MDKL
18
3
2
5
PMR
24
8
18

Total
1079
427
131

Dalam tulisan ini, kajian lebih lanjut diarahkan berdasarkan pandangan responden yang memberikan pendapat yakni 131 pendapat.



2.2.2.      Masalah Belis
Dari 131 orang yang terlibat memberikan pendapat melalui komentar, baik yang singkat maupun panjang, sebanyak 110 responden yang melihat belis sebagai masalah yang harus segera diatasi. Hanya 21 orang yang tidak menganggap belis sebagai masalah. Lihat diagram 2 berikut ini:
Dapat dikatakan bahwa 83% pengguna face book yang ikut dalam pooling pendapat ini berpendapat bahwa belis itu sebuah masalah yang penting untuk segera ditanggapi. Hanya 17% yang melihatnya bukan sebagai masalah. Itu berarti, menurut versi dari pengguna face book, pembicaraan tentang belis menjadi sebuah isu mendesak untuk dikembangkan dan didalami.


   3. Perkawinan Dalam Budaya Manggarai[9]

Untuk membahas tentang belis, perlulah terlebih dahulu menguraikan secara singkat perkawinan orang Manggarai yang berfokus pada tujuan perkawinan, bentuk-bentuk dan prosesi perkawinan. Dalam kajian Petrus Janggur, adapun tujuan perkawinan dalam tata adat masyarakat Manggarai dapat dilihat dalam tiga aspek ini:

3.1.             Tujuan Perkawinan
Dalam budaya Manggarai, perkawinan memiliki beberapa tujuan antara lain: Pertama, untuk mendapat keturunan (kudut beka weki oné-beka salang pé’ang). Anak sebagai hasil keturunan dilihat sebagai berkat dari Mori Jari Dedek (Allah Pencipta) sehingga kelahiran merupakan kenyataan untuk memperbanyak anggota suku. Penggambaran hal itu diungkap dalam go’et:  Ã©mé wakak betong asa-manga wakén nipu taé” (bambu yang tua mati, mesti diganti dengan bambu tunas-tunas muda) atau “émé muntung pu’u gurung-manga wungkutn te ludung”. Dalam upacara peresmian perkawinan adat (wagal atau nempung) harapan untuk memperoleh keturunan diungkapkan dalam doa mendapatkan keturunan yaitu “ra’ok lobo sapo-rénték lobo kécép, borék cala bocél-ta’i cala wa’i” (duduk berhimpun di atas tungku api-duduk berderet-deret bagaikan tutupan periuk, membuang air besar mengenai betis-buang air besar mengenai kaki). Arti dari pernyataan ini ialah agar pengantin baru mendapat banyak keturunan. Hal mana diidamkan dalam konteks masyarakat agraris yang membutuhkan banyak tenaga kerja.
Kedua,  perkawinan diarahkan untuk membangun woe nelu (perhubungan antara keluarga anak rona [pemberi gadis] dan anak wina [penerima gadis]) dan menambah eratnya jalinan keluarga besar. Bahkan terdapat perkawinan politis untuk mendamaikan kedua wilayah adak[10] (pemerintahan).[11]
Ketiga, perkawinan dalam budaya orang Manggarai bertujuan “kudut ita le mosé di’as isé wina-rona” (untuk saling membahagiakan pria dan wanita). Sedari awal leluhur orang Manggarai mengakui hubungan suami isteri selain mengasihi dan tetap setia satu sama lain mendatangkan kebahagiaan dan kesejateraan.

3.2.            Bentuk Perkawinan
Bentuk perkawinan adat masyarakat Manggarai ada tiga yaitu Perkawinan cangkang (perkawinan antarklén/suku), Perkawinan tungku dan Perkawinan cako (perkawinan intraklén/suku).
Pertama, perkawinan cangkang. Perkawinan cangkang bertujuan membentuk kekerabatan baru (woé nelu weru atau iné-amé weru). Dengan demikian terjadilah perluasan hubungan kekeluargaan dan nama suku tersebut semakin dikenal oleh suku-suku lainnya. Lazimnya zaman dulu perkawinan cangkang terjadi antar kampong atau antar ke-dalu-an, asal tidak terjadi dengan pihak yang diharamkan atau tidak dengan pihak yang seketurunan (toé neki ceki-toé remong empo). Perkawinan jenis ini sangat dilarang oleh pihak Gereja Katolik Manggarai.
Kedua, perkawinan tungku. Perkawinan tungku bertujuan untuk melestarikan hubungan kekeluargaan yang telah terbentuk sejak lama agar tidak terputus. Perkawinan tungku menurut tradisi Manggarai bermacam-macam. Ada perkawinan tungku cu atau disebut juga tungku dungka. Perkawinan antara anak laki-laki dari saudari dengan anak gadis dari saudara. Selain itu ada pula yang disebut tungku sa’i atau juga disebut tungku ulu. Ada pula yang disebut tungku canggot dan bahkan ada yang disebut tungku anak de dué dan ada pula yang disebut tungku salang manga. Ada pula yang disebut tungku néténg nara dan bahkan ada yang disebut tungku dondot (sudah ada perkawinan tungku sebelumnya lalu disusul lagi dengan perkawinan tungku yang berikutnya.) Untuk mengetahui dengan jelas apakah itu perkawinan tungku atau tidak penting sekali dibuat turuk empo (silsilah keturunan) dari orangtua kedua calon mempelai.
Ketiga, perkawinan cako. Perkawinan cako sebenarnya masih berhubungan dengan tungku.Tungku Salang atau kerap disebut Tungku Manga Sa’i yakni perkawinan antar cucu atau cece. Dalam perkawinan cako pemuda berasal dari keturunan sulung (wae tu’a) dan gadis  berasal dari turunan bungsu [wae koe]. Perkawinan cako baru dapat terjadi setelah lima empo (lima generasi keturunan). Perkawinan cako didahului oleh suatu upacara yang disebut baro kamping morin. Perkawinan cako ini dapat terjadi apa yang disebut cako cama asé-ka’é atau cako cama wa’u dan ada pula yang disebut cako cama salang.
Selain perkawinan Tungku dan Cangkang, ada juga beberapa jenis perkawinan yang mirip dengan Tungku. Pertama, perkawinan Lobo Pa’a atau disebut juga Toko r[l]ener (tidur dengan tindih-menindih). Perkawinan jenis ini terjadi bila dua orang pria kakak beradik menikahi dua orang perempuan kakak beradik. Meskipun ini bukanlah gejala yang umum namun perkawinan ini terdapat di beberapa tempat di Manggarai. Kedua, perkawinan Duluk atau disebut juga Kempeng Kabo, yakni perkawinan yang dilangsungkan antara satu pria dengan dua orang gadis yang beradik-kakak. Ketiga, perkawinan Lili. Perkawinan Lili terjadi jika seorang pria menikahi janda kakak atau adiknya sendiri. Dan keempat, perkawinan Tinu Lalo yakni seorang pria menikahi adik dari istri yang meninggal. Alasan yang paling kuat dari perkawinan Tinu Lalo adalah memberikan perlindungan, pertolongan dan jaminan masa depan kepada anak-anak yang telah ditinggalkan oleh ibu mereka.

3.3.            Tahapan Perkawinan[12]
Terdapat setidaknya empat tahap perkawinan dalam adat orang Manggarai. Pertama : membawa barang bukti cinta dari pihak pemuda kepada pihak wanita (ba pangkang). Hal ini terjadi kalau anak gadis masih di bawah umur atau masih ada dalam bangku sekolah. Pihak laki-laki (calon anak wina) menemui pihak wanita (calon anak rona). Sebagai bukti cinta pihak laki-laki membawa seekor kuda atau kerbau. Apabila anak gadis sudah beranjak dewasa, pada saat ba pangkang dapat dilaksanakan juga penukaran cincin (tukar kila) dan mengadakan perjanjian: Nanti pada kesempatan mau menikah antara kedua insane itu, maka kuda atau kerbau bukti cinta tadi (jarang ko kaba pangkang) diperhitungkan sebagai belis, mas kawin (paca). Sebaliknya bila ternyata kedua insan tadi tidak mau melanjutkan hubungannya dengan pernikahan maka kuda atau kerbau dikembalikan kepada pihak laki-laki.
Kedua, pengikatan, masuk minta, masuk rumah, membawa sirih-pinang yang dalam bahasa adatnya disebut dengan “pongo” atau “ba cepa” atau juga sering disebut “tuké mbaru”. Tahap ini adalah tahap peresmian pertunangan. Dalam acara pongo kedua belah pihak mempunyai wakil atau juru bicara/juru runding yang disebut tongka atau paténg. Juru bicara dari pihak laki-laki disebut tongka téi atau paténg téi sedangkan juru runding dari pihak wanita disebut tongka tiba atau paténg tiba.
Hal pokok yang dibicarakan dalam acara pongo/ba cepa/ tuké mbaru adalah belis (Paca) yang berupa kuda dan kerbau (wasé uwur agu wasé wunut) dan uang sebagai penyerta kuda dan kerbau berikut jumlahnya. Misalnya ditetapkan 5 ekor kuda dan 3 ekor kerbau serta uang lima puluh juta rupiah. Jika perundingan tentang belis disepakati maka dapat ditentukan kapan pernikahan dilaksanakan. Sebelum mengakhiri upacara pongo, mesti dirajut pembicaraan apa yang mesti dibuat bila salah satu dari kedua insan itu pada suatu saat tidak mau menikahi pasangannya, dengan berbagai alasan. Keputusannya biasanya begini : Bila anak gadis tidak mau menikahi pasangannya maka belis yang sudah dikeluarkan oleh pihak laki-laki dikembalikan dan ditambah seekor babi untuk memulangkan si pemuda kepada pihak keluarganya. Babi itu dalam bahasa adatnya disebut “ela podo wa’u”. Tetapi jika laki-laki yang tidak bersedia menikahi pasangannya maka belis yang sudah dikeluarkannya dan sudah diterima pihak anak gadis tidak akan dikembalikan lagi dan malah ditambah dengan seekor kuda atau kerbau sebagai penutup rasa malu pihak keluarga wanita. Dalam bahasa adatnya disebut jarang ko kaba cému ritak. Kesepakatan antara juru runding /tongka itu diresmikan dalam “ela mbukut”. (seekor babi sebagai simbol pengikatan kesepakatan adat pongo). Ela mbukut itu diberikan oleh anak rona kepada anak wina. Upacara pongo bisa berjalan lancar, bisa juga sebaliknya. Tergantung pendekatan kedua belah pihak sebelumnya, di samping itu juga tergantung kelihaian juru runding berbicara soal adat.
Pongo cangkang dan pongo tungku ataupun pongo cako berbeda-beda dilihat dari latar belakangnya. Pongo cangkang dikarenakan seorang pemuda tertambat hatinya oleh seorang gadis yang dipilih/ditemuinya di kampung lain atau klén lain. Dalam bahasa kiasan adat dikenal ungkapan karena melihat sirih di depan kampung “ita kala le pa’ang- tuluk pu’u batu mbaun”. Sedangkan pongo tungku diadakan demi pertimbangan mencari kembali pokok/asal-usul keturunan, dan mau menjalin kembali. Dalam kiasan adat dikatakan, karena tanta sudah mendahului, maka menantu harus mengikutinya, ”inang olo-woté musi atau alo dalo-pulu wungkut”. Pongo tungku lebih mempertimbangkan keluhan anak-wina yang berkata : ”tidak ada tenaga untuk membuat api/memasak atau untuk menimba air. Dalam kiasan adatnya dikatakan : ”baro de inang, api toé caing-waé toé haéng”. Untuk melengkapi keluhan ini biasanya anak wina membawa seekor kambing atau anjing (acu la’it borék) dan pakaian untuk calon pengantin putri (towé tabing) . Pongo cako hampir sama dengan pongo tungku. Karena pintu rumah berhadapan dan satu halaman tempat bermain sehingga terjadilah perpaduan cinta antara pemuda dan sang gadis. Dalam kiasan adatnya dikatakan “ali mbaru dungka tau-ca natas baté labar itu mangan majak mata di nana-reju mata diha enu”. Menurut adat Manggarai pongo cako atau perkawinan cako dapat terjadi pada lapisan generasi yang ke- 4 atau ke-5, dstnya. Dalam hal ini menurut adat biasanya akan ada tanda-tanda yang bakal muncul dari pasangan yang hendak menikah itu. Tanda itu menurut adat adalah sebagai berikut : Bila perkawinan cako itu direstui oleh para leluhur dan Tuhan sendiri maka dari perkawinan itu akan memperoleh keturunan dan murah rejeki (ita le di’a moséd). Tetapi bila tidak direstui atau belum tepat waktunya karena masih terlalu dekat maka bila perkawinan sudah berjalan beberapa tahun, keluarga cako itu tidak mendapat keturunan dan bahkan sering jatuh sakit dan menyebabkan kematian di antara mereka. Maka di sini jelas sekali perkawinan cako itu belum direstui Tuhan dan para leluhur. Perkawinan cako dapat ditunda sampai generasi berikutnya. Selain itu perkawinan cako tidak direstui Tuhan dan para leluhur karena dahulu para leluhur berpisah dan tinggal berjauhan satu sama lain karena percecokan internal keluarga (biké haé wa’u). Yang sering kita jumpai akhir-akhir ini adalah cako cama salang atau cako cama anak wina. Hal ini tidak berhalangan karena menurut adat, orangtua mereka berasal dari wa’u (suku) yang berbeda (toe neki cekis). Mereka mempunyai hubungan hanya karena memiliki anak rona yang sama. Karena itu ada yang menyebut “waé teku remong” (bertemu di air timba karena satu anak rona).
Ketiga, peresmian perkawinan. Dalam masyarakat Manggarai dikenal tiga jenis peresmian perkawinan. Pertama, perkawinan masuk yang disebut dalam bahasa adatnya  pumpuk ulu-rami wa’i” atau ada pula yang menyebutnya “tu’us wa-cangkem éta” bahkan ada pula yang menyebutnya “donggo mata olo-donggé mata oné”. Peresmian jenis ini diadakan bagi mereka yang tidak mampu atau karena sebabsebab lain yang sangat mendesak. Belis dalam peresmian jenis ini tidak dibayar tuntas, paling tinggi hanya membayar seekor kuda atau dua ekor babi pengganti kuda. Mengapa terjadi peresmian jenis ini yang dilandasi oleh unsur “belas kasih” dari anak rona (tu’us wa-cangkem éta). Pertama-tama karena ketidakmampuan orang miskin (momang ata lénggé) melunasi belis. Selanjutnya orang tua pihak anak gadis menghargai cinta anaknya dalam hal hubungannya dengan pemuda yang dicintainya itu. Pihak laki-laki belum sempat menyediakan belis, tetapi karena didesak terus maka peresmian dilaksanakan juga. Tetapi ada pula yang terjadi karena keikhlasan orang tua pihak gadis. Anak mantu itu kelak sebagai penolong bagi mereka di hari tuanya. Dan akhirnya si pemuda juga ingin tinggal bersma orang tua isterinya karena tanah garapan disitu sangat subur bila dibandingkan dengan tanah garapan di kampung asalnya. Selanjutnya menurut adat Manggarai, pasangan ini tidak akan ada upacara podo (mengantar si isteri ke kampung suaminya). Ia akan tetap tinggal di kampong isterinya. Kecuali bila rejeki keluarga ada dan mereka minta urusan adat perkawinannya dibereskan, maka pihak anak rona pasti menyambutnya dengan gembira dan melaksanakan upacara adat seperti biasanya, yaitu umber atau wagal. Dan bila hal ini terjadi, dan keluarga itu tetap tinggal di kampong anak rona, maka bahasa adat “tu’us wa-cangkem éta, donggo mata olo-donggé mata oné”, diganti dengan bahasa adat lain yang disebut “kawé woja wolé-latung coko” atau juga sering disebut “long bombo-kawé mbaék”. Dengan demikian si isteri dapat podo ke kampung suaminya atau bila tetap tinggal maka si isteri dapat pergi-pulang ke kampung suaminya tanpa rintangan lagi.
Peresmian perkawinan yang kedua disebut umber. Di Kolang Kecamatan Kuwus Kabupaten Manggarai Barat menyebutnya Pedeng Panté. Umber atau pedeng panté ditandai dengan pembayaran/pemberian belis sebagian kecil sesuai dengan kemampuan pihak anak wina. Umber ini ada yang menyebutnya Cehi ri’i-wuka wancang-radi ngaung. Bila diterjemahkan secara harafiah artinya peresmian perkawinan dapat dilaksanakan karena pihak anak wina masuk dengan cara membuka alang-alang-membuka pelepah bambu- menggunakan tangga dari kolong rumah, maksudnya meresmikan perkawinan itu karena sebagian belis dapat dibayar. Dasarnya adalah keluarga yang baru dibentuk itu bagaikan mata air yang tidak akan berhenti mengalirkan airnya dan bukan jalan menuju ke pohon enau yang dapat berhenti mengeluarkan niranya. Dalam bahasa adatnya dikatakan “bom salang tuak-maik salang waé teku tédéng”. Maksudnya, dalam perjalanan hidup mereka kelak akan membayar segala tunggakan belisnya dengan cara-cara adat yang berlaku hingga akhir hayat mereka.
Sesudah umber maka si isteri dapat dihantar ke kampong suaminya (podo). Dengan demikian si isteri menjadi anggota suku (wa’u) seturut suaminya. Sang isteri mengikuti ceki suaminya dan segala norma adat yang berlaku dalam suku/ wa’u dari suaminya. Di sana sang isteri dapat memperoleh segala warisan berdasarkan hak suaminya dalam suku itu. Dalam urusan peresmian perkawinan adat yang disebut umber itu atau cehi ri’i-wuka wancang-radi ngaung, sangat penting anak wina membawa seekor kerbau yang disebut “kaba uté” atau ada yang menyebutnya “lébong”. Kaba uté atau lébong itu akan dibunuh dan dagingnya diberikan kepada “anak rona dari ibu” (anak rona sa’i/anak rona ulu”) dan juga kepada seluruh anggota suku dari ayah (asé-ka’é de ema) bahkan seluruh warga kampung (pa’ang olo-ngaung musi). Daging itu sebagai saksi bahwa yang bersangkutan telah meresmikan perkawinannya menurut adat Manggarai yang disebut umber itu.
Akhirnya peresmian perkawinan yang ketiga disebut wagal atau nempung. Upacara ini paling lengkap. Belis dibayar tuntas demikian pun uang sebagai penyerta belis dan upacara mendoakan hewan kurban diadakan yang dalam bahasa adatnya disebut “cikat kina-wagak kaba, ela lé-lancungsili” Maksudnya ada seekor babi yang didoakan dan ada pula kerbau yang turut didoakan untuk kesejahteraan kehidupan keluarga yang dibentuk itu. Selain itu ada pula acara sompo atau wéla héndéng (pengantin perempuan diayubahagiakan dengan mengenakan pakaian adat dan bali-belo (mahkota pada kepalanya) lalu dipersandingkan dengan suaminya dihadapan para tetua adat dari pihak anak rona dan anak wina serta seluruh warga kampung (weki pa’ang olo-ngaung musi). Sebelum babi didoakan ada pula pemberian wida (pemberian berupa barang-barang seperti kain-kain songke, perhiasanperhiasan dsbnya). Dalam bahasa adatnya disebut : lipa lecak dari anak rona dan wida rampas dari semua tetua adat dalam kampung itu.
Pendoaan hewan kurban bertujuan untuk mengikat kedua pengantin menjadi satu dan memohon rahmat dan berkat Tuhan untuk segala karya dan usaha mereka dan untuk kesejahteraan keluarga di masa-masa mendatang. Mohon agar keluarga baru ini dikarunia anak laki-laki dan perempuan serta murah rejeki. Mohon pula kepada Tuhan dan para leluhur agar mereka dijauhkan dari segala macam marabahaya yang dapat menggagu kelancaran perjalanan keluarga ini. Sangat diharapkan agar keluarga baru ini tetap utuh dan hanya satu isteri dan satu suami (cawi ného wuas-dolé ného ajos). Bagi keluarga yang mampu, pada waktu wagal atau nempung biasanya dimeriahkan pula oleh permainan caci. Pertunjukkan caci ini biasanya satu atau dua hari, sesuai dengan kesepakatan kedua belah pihak yang berpesta itu. Seluruh rangkaian upacara wagal itu dapat dijadikan saksi bagi kehidupan keluarga itu.
Keempat, bagian terakhir dari seluruh rangkaian peresmian perkawinan adat masyarakat Manggarai adalah podo. Podo adalah acara mengantar si isteri dari kampung asalnya ke kampung suaminya. Podo dilaksanakan sesudah umber atau wagal/nempung. Pada waktu podo, anak rona membawa semua barang-barang yang telah diberikan oleh orang tua pihak perempuan kepada anak dan suaminya. Barangbarang itu adalah barang-barang yang disebut “widang” atau “wida”. Barang-barang widang adalah berupa barang-barang perlengkapan kamar tidur, barang-barang yang dipakai di dapur dan pakaian-pakaian si anak perempuan dsbnya. Barang wida adalah barang-barang yang diperoleh waktu upacara wagal atau nempung. Barang-barang itu berupa kainkain adat yang disebut “lipa lecak dan wida rampas”, barang-barang perhiasan dari emas dan perak yang dipakai oleh pengantin perempuan dsbnya. Selain itu anak rona membawa pula seekor babi yang disebut “ela péntang pitak” (babi yang dipakai dalam upacara membersihkan si pengantin wanita dari segala lumpur/kotoran).
Upacara puncak dalam podo adalah upacara pentang pitak yaitu upacara pembebasan isteri/pembersihan si isteri dari segala keterikatannya dengan keluarga asalnya. Selain itu upacara ini meresmikan si isteri masuk dalam lingkungan adat-istiadat suaminya. Untuk itu diadakan penginjakan telur (gerep ruha) di depan pintu rumah adat (mbaru gendang/ mbaru tembong) di kampung suaminya atau gerep ruha di depan rumah suaminya. Dengan adanya upacara gerep ruha dan upacara péntang pitak, si isteri resmi menjadi anggota suku (wa’u) suaminya dan mengikuti segala tatanan kehidupan adat-istiadat suaminya (lut ceki de ronan).


   4. Konsep Belis (Paca)[13]
Konsep tentang paca dalam budaya orang Manggarai dapat dijelaskan dalam tiga hal berikut yakni pengertian, makna dan tujuan, penentuan paca dan peran paca.

4.1.            Pengertian
Jillis Verheijen dalam kamusnya mengartikan paca sebagai emas kawin, pembayaran pihak laki-laki kepada pihak pengantin wanita.[14] Paca dalam tradisi lazimnya diberikan dalam bentuk hewan dan kemudian ketika orang Manggarai mengenal uang juga dalam bentuk uang yang diistilahkan “pe’ang tana agu one mbaru” atau “wa loce” (apa yang ada di luar rumah berupa hewan dan dalam rumah berupa uang).

4.2.           Makna dan Tujuan
Paca dalam adat istiadat orang Manggarai memunyai tiga makna dan tujuan. Pertama, merupakan bentuk penghargaan terhadap tuka wing de ende (rahim). Hanya perempuanlah yang memiliki rahim. Dalam rahim kehidupan manusia pada awalnya terbentuk. Tidak akan ada manusia jika ia tidak bertumbuh dan berkembang dalam rahim perempuan. Karena itu, penghargaan terhadap rahim dinyatakan lewat paca.
Kedua, sarana pengukuhan kehidupan suami istri. Melalui paca secara resmi kehidupan suami-istri dikukuhkan. Dalam banyak pernyataan, permintaan paca juga dimaksudkan untuk menghindari perceraian atau anggapan yang menggampangkan perkawinan yang telah direstui.
Ketiga, sebagai bentuk tanda bahwa lelaki (dan keluarganya) berkemampuan dan dapat bertanggungjawab menghidupkan istri dan anak. Paca sebagai symbol kemampuan memberikan rasa aman kepada pihak wanita dan keluarganya.

4.3.            Penentuan Belis
Pada zaman dahulu, pemberian paca disesuaikan dengan status sosial. Ada tiga kelompok sosial dengan konsekuensinya masing-masing. Kelompok pertama, raja. Kelompok kedua, dalu. Ketiga, kelompok gelarang. Keempat masyarakat biasa.[15] Konsekuensinya, besaran dan jumlah belis untuk keempat kelompok itu tidaklah sama.
Dalam perjalanan waktu, ada semacam adopsi otomatis terhadap tingkat sosial yang baru. Pahun dalam kajiannya memperlihatkan bahwa makin tinggi pendidikan dan kedudukan sosial seorang perempuan di Manggarai, makin banyak dan besar paca yang diminta. Bahkan jika dinominalkan angka uang mencapau ratusan juta rupiah. Hal mana dianggap sangat fantastic dan menakutkan para pria di Manggarai.[16]
Dalam kenyataan, ruang kompromi dibuka lebar. Meskipun sudah diputuskan dalam upacara pongo/tuké mbaru tentang jumlah paca pada kenyataannya, karena factor-faktor ekstern, maka pihak yang berhak menerima mas kawin (anak rona), memahami kedaan pihak pemberi mas kawin (anak-wina). Hal ini sangat diperjelas dalam ungkapan adat: ”bom salang tuak-maik salang waé” (bukan jalan air tuak yang hanya memberikan airnya sesaat, tetapi sumber air yang senantiasa memberikan airnya sepanjang masa). Ini berarti bahwa semua kekurangan atau “tunggakan” mas kawin atau belis akan diperhitungkan kemudian. Ada pengandaian bahwa mas kawin itu tidak akan hilang tetapi masih tersimpan baik di bawah naungan pohon teno. Pepatah adat melansirnya secara padat dengan berkata “lé mbau teno”. Lé mbau teno itu sendiri mengandung arti : belis atau paca akan diberikan kepada pihak yang berhak menerimanya (anak-rona) menanti hasil kerja suami-isteri sendiri.
Di sinilah serentak diperlihatkan kelebihan dari proses perkawinan adat, dimana pihak laki-laki (anak wina) secara resmi masuk minta/melalaui tahap pongo. Bila tahap ini dilalui secara baik, akan tersibak pula harapan bahwa pihak anak rona “mengasihi”(momang) anak wina. Hal ini bukan rekaan. Tetapi ada pautan adat yang tersimpul dalam ungkapan “pasé sapu-sélék kopé, weda rewatuké mbaru”.
Khusus untuk peroslan wanita yang diculik atau dibawalarikan, sudah terdapat tata aturan untuk pacanya. Dahulu hanya laki-laki yang kaya dapat menculik (roko, wéndo) seorang gadis. Sebab bila pihak keluarga si gadis menyusul atau mencarinya maka pada saat itu pihak laki-laki harus melunasi belis atau mas kawin yang diminta oleh pihak keluarga si gadis (anak rona).Terlebih bila si gadis sudah dipinang pemuda lain, dan sebagaian belisnya sudah diterima oleh pihak keluarganya, maka pihak laki-laki harus melunasi mas kawin secara tuntas, seberapa saja yang dimintakan, mulai dari “belas gendang-biké nggong” sampai kepada “paca wekinya”.
Dalam kasus wanita yang sudah bersuami dibawa lari atau diculik oleh seorang laki-laki (roko wina datawéndo wina data), pihak laki-laki harus berani membayar belis dua kali lipat (tala tumpa), mengingat orang tua si wanita yang diculik harus membayar atau mengembalikan mas kawin suaminya yang pertama/yang ditinggalkannya.

4.4.           Peran Belis
Dalam kehidupan sehari-hari, belis dimanfaatkan untuk urusan adat istiadat yang dapat dinyatakan sebagai berikut:
Pertama, hewan yang diberikan pihak anak wina dipakai untuk memenuhi kebutuhan keluarga besarnya. Misalnya, kerbau yang dibawa anak wina dipelihara ataupun dijual. Kenyataan juga memperlihatkan bahwa tak jarang jarang ko kaba paca (kuda atau kerbau) yang dibawa dijual untuk memenuhi kebutuhan keuangan dari acara perkawinan.
Kedua, uangnya dipakai untuk menyelesaikan urusan perkawinan yakni seremoni adat (memberi sejumlah uang kepada pihak anak rona, keluarga dan konsumsi) dan perayaan pesta perkawinan (konsumsi, tenaga kerja, gedung, dekorasi, music, dll).


5. Implikasi Konsep Pada Perkawinan
Terdapat dua implikasi besar dari konsep di atas untuk perkawinan orang Manggarai yakni berefek pada biaya dan posisi perempuan dalam perkawinan, dapat dijelaskan sebagai berikut:

5.1.            Perkawinan berefek pada Biaya
Perkawinan orang Manggarai, sebagaimana perkawinan lainnya, juga berefek pada biaya. Biaya ini berfokus pada dua hal yakni pertama, biaya untuk mengurus prosesi adat istiadat yang melibatkan keluarga besar dan anak rona. Anak rona sebagai pemberi ibu dari gadis akan mendapat tempat istimewa dalam tata upacara adat perkawinan orang Manggarai. Selain mendapat kehormatan sebagai pemberi restu dan berkat, dia juga akan mendapat sejumlah uang dan hewan yang secara khusus disediakan untuk dirinya.
Demikianpun keluarga besar (ase-kae) dari pengantin akan mendapat bagian dalam bentuk seng wai anak (har. anak telah dibelisi) dan kose number (har. penghapus keringat) atau samo lime (har. mencuci tangan) sebagai bentuk penghargaan karena telah berjerih lelah dalam urusan itu.
Selain itu, biaya dikerahkan untuk menyelesaikan urusan perkawinan baik secara adat (tuke rewa-wee mbaru, nempung, dan podo) maupun nantinya secara gerejani yang diakhiri dengan resepsi bersama.

5.2.           Posisi Perempuan dalam Perkawinan
Bagaimana posisi seorang perempuan dalam perkawinan ini? Dalam banyak kenyataan anak gadis yang akan menikah tidak memiliki otonomi dalam penentuan jumlah paca kepada pihak calon suaminya. Semuanya sudah diatur dan ditentukan oleh keluarga besar. Bahkan ada kecenderungan stand point dari keluarga besar dibuat melalui kalkulasi matematis yang merujuk pada perhitungan secara jelimet atas semua biaya yang akan dihabiskan dalam prosesi perkawinan itu.
Lemahnya posisi perempuan diakibatkan oleh dua factor. Pertama, rujukan terhadap ibu. Makin besar paca yang telah diterima oleh sang ibu, demikianpun yang akan dikenakan pada anak gadisnya. Kedua, oleh karena menyandang status sosial tertentu, ada anggapan secara otomatis bahwa anak gadis dilindungi, supaya jangan ada anggapan yang rendah dari masyarakat terkait jumlah paca yang diambil.
Pelemahan posisi perempuan sedemikian sistematis dalam budaya patrilineal sehingga secara otomatis dia hanya mengikuti apa yang dimaksudkan oleh keluarga besar.

6. Catatan Kritis: Sumbang Gagas
Mengikuti alur gagas yang berkembang dalam kajian ini, ada dua catatan kritis yang menjadi titik sampai untuk mencapai sebuah perkawinan yang betul membahagiakan orang Manggarai di masa yang akan datang. Tiga catatan kritis berikut merupakan sebuah sedimentasi dari semangat pembaharuan yang harus digemakan demi sebuah reformasi mental orang Manggarai dalam budayanya.

6.1.            Mempertimbangkan Hakikat Perkawinan
Perkawinan antara seorang pria dan wanita pada dasarkan diarahkan untuk mencapai kebahagiaan. Untuk mencapai kebahagiaan itu, mula pertama yang harus diandalkan adalah cinta di antara kedua mempelai. Cinta inilah yang harus menjadi titik sentral. Prosesi perkawinan, entah sederhana atau meriah sekalipun, hanyalah jalan menuju pemenuhan ikatan cinta antara kedua mempelai itu.
Dengan demikian, penentuan paca, pada gilirannya hanyalah sebuah penegasan diperlukannya penghargaan atas rahim perempuan, tanda ikatan penyatu-paduan kedua mempelai dan penegasan keyakinan bahwa keluarga memiliki potensi untuk menghidupi secara ekonomis keluarganya nanti.
Jika jalan ini yang dipilih maka pembangunan kesepakatan lewat dialog yang setara tanpa pemaksaan kehendak adalah pilihan sikap yang tepat. Sehingga kedua mempelai yang didukung oleh kedua keluarga besar memiliki kebahagiaan yang utuh dan total.

6.2.           Distingsi yang Tegas antara Belis dan Biaya Perkawinan
Dalam pelbagai temuan lapangan, diperlihatkan bahwa tidak ada atau belum adanya distingsi yang tegas antara paca dengan biaya perkawinan. Itulah sebabnya, pemisahan dua hal besar ini harus dilakukan demi pencapaian pemahaman tatkala ada penentuan angka atau jumlah hewan maupun uang yang akan ditanggungkan anak rona kepada anak wina.
Paca sebagai sebuah penghargaan dan tanda kiranya tidak boleh dinyatakan dalam angka nominal yang besar. Tetapi yang didiskusikan secara serius ialah bagaimana acara resepsi perkawinan dilangsungkan. Biaya-biaya itulah yang dapat ditanggung secara bersama sehingga salah satu pihak tidak menyatakan diri sebagai penanggung beban (tukang pola mendo) dalam prosesi perkawinan itu.

6.3.           Otonomitas Diri Perempuan
Perempuan pada posisi ini harus bisa menegaskan dirinya secara otonom. Konsep-konsep tentang emansipasi dan kesetaraan gender harus menjadi nyata dalam proses adat semacam ini. Perempuanlah yang secara aktif menentukan apa yang menjadi pilihan sikapnya sebelum acara adat weda rewa tuke mbaru atau pongo (peminangan) dimulai. Dia tidak boleh mengikuti begitu saja apa yang menjadi kehendak keluarga besar atas dirinya.
Dalam usaha menggalang dana, pihak laki-laki mengerahkan pelbagai cara yang wajar, semisal sida laki (pemberian beban kepada pihak saudari atau tanta) dan kumpul kope (penggalangan dana missal). Makin besar biaya yang diminta pihak anak rona dan tidak sebanding dengan kemampuan finanasial anak wina akan melahirkan resistensi yang besar pasca perkawinan. Hal ini berefek pada pilihan sikap keluarga besar pada anak perempuan yang sudah pindah ke keluarga atau klan suaminya.
Penegasan otonomi perempuan setidaknya juga untuk secara jelas dan terang benderang menentukan langkah hidupnya bersama keluarga baru di tengah masyarakat. Saatnya itu harus dilakukan sebagai sebuah semangat pembaharuan dalam area di mana keperempuanan sebagai wanita dilecehkan secara sepihak oleh suatu sistem yang belum secara benar menempatkan dirinya di posisi yang wajar dan adil.

7. Kesimpulan
Membahas tentang konsep belis orang Manggarai tidak terlepas dari bagaimana pemahaman dan pandangan orang Manggarai tentang perkawinan. Pada galibnya, perkawinan merupakan sesuatu sacral dan diarahkan untuk mencapai kebahagiaan kedua mempelai, mempersatukan dua keluarga besar dan memperoleh keturunan.
Belis tidak lebih dari sarana dan tanda untuk menghargai rahim, mempersatukan ikatan perkawinan dan menjadi tanda bukti bahwa keluarga besar memiliki kemampuan ekonomis yang baik. Khusus untuk tanda yang terakhir ini, kiranya perlu dicermati secara sungguh bahwa kemampuan ekonomi genetis dan berciri kelompok sosial mulai ditinggalkan. Setiap pribadi sebenarnya memiliki potensi dan kemampuan yang bisa jadi lebih besar, oleh pengalaman dan pendidikan, dibandingkan yang disebabkan oleh factor keturunan. Karena itu, konsekuensi logisnya, mengukurkan kemampuan seseorang hanya berdasarkan factor ekonomi komunal dan klan bukanlah tindakan yang rasional.
Kendati demikian, perkawinan membutuhkan tanda dan symbol-simbol tertentu. Menghasilkan sebuah prosesi perkawinan yang sacral, khidmat dan membahagiakan merupakan impian semua orang. Itulah sebabnya, kesadaran akan mempersiapkan perkawinan dengan segala konsekuensinya, yang dimulai dengan perencanaan yang matang, jauh lebih baik daripada menyalahkan konsep budaya yang sudah ada. Jikapun merunut pada konsep baku, salah satu sifat budaya adalah dinamis. Tak ada salahnya kita memperbaiki nilai-nilai tertentu dalam budaya untuk memenangkan kehidupan yang leibuh bermutu dan bermartabat.***


(Dipublikasikan pertama dalam: Hendrikus Midun dan Matheus Beny Mite, Peran Keluarga dan Pendidikan di Era Globalisasi (Malang:Dioma, 2016, hal. 208-225).

DAFTAR PUSTAKA


DOKUMEN DAN KAMUS

Dendy Sugono, dkk., Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa. Jakarta: Gramedia, 2012.

Jillis Verheijen, Kamus Manggarai-Indonesia. Leiden: Koninklijk Institute Voor Taal-Land-En Volkenkunde, 1967.

Kartosiswoyo (penterj.), Kitab Hukum Kanonik. Jakarta: Obor, 1992.


BUKU

C. Groenen, Perkawinan Sakramental. Yogayakarta: Kanisius, 1993.

Bernard Raho, Keluarga Berziarah Lintas Zaman. Ende: Nusa Indah, 2003.

Jillis Verheijen, Manggarai dan Wujud Tertinggi. Jakarta: LIPI, 1989.

_______, Manggarai Texts II. Ruteng: Regio SVD Ruteng, 1977.

Kanisius Teobaldus Deki, Tradisi Lisan Orang Manggarai. Jakarta: Parrhesia Institute, 2011.

_______, Belis, Kegelisahan yang tak teratasi?” dalam: Harian Umum Pos Kupang, 11 Februari 2016.

Petrus Janggur, Butir-butir Adat Manggarai Jilid 2. Ruteng: Yayasan Siribongkok, 2011.

Peter Hagul, “Dowry systems and extended family networks: a case study in Manggarai and Nagekeo, Flores, Indonesia” dalam:  Gavin W. Jones, Terence H. Hull dan Maznah Mohamad (eds.), Changing Marriage Patterns in South Asia-Economic and socio-cultural dimensions (London-New York: Rouledge, 2011, hal. 117-132.

Piet Go, Hukum Perkawinan Gereja Katolik-Teks dan Komentar. Malang: Dioma, 2003.

Robert Mirsel dan Eman Embu [eds.], Gugat! Darah Petani Kopi Manggarai. Maumere: Ledalero, 20014.




WEBSITE

Cellus Pahun, “Belis di Manggarai Flores Barat-Neo Traficking atau Human Awards?” dalam: http://sosbud.kompasiana.com/2012/10/25/belis-di-manggarai-flores-barat-504084.html. Diakses 08 Oktober 2014.

Kanisius T. Deki “Pendapat tentang Belis” melalui www.facebook.com.

https://www.facebook.com/groups/572124902821918/ikatan alumni stkip st. paulus- disingkat IASP, https://www.facebook.com/groups/445002692184347/manggarai dalam kearifan lokal- disingkat  MDKL dan https://www.facebook.com/nickteobald?fref=nf//Nick Teobald Decky-disingkat NTD dan https://www.facebook.com/groups/kongres.pmr/Kongres Pemuda Manggarai Raya-disingkat PMR)

WAWANCARA

Stanislaus Jelatu, 65 tahun. Wawancara dibuat pada 09 Oktober 2014 di rumah kediamannya di Jl. Limau-Tenda.


[1] Bdk. C. Groenen, Perkawinan Sakramental (Yogayakarta: Kanisius, 1993), hal. 26.
[2] Bdk. Bernard Raho, Keluarga Berziarah Lintas Zaman (Ende: Nusa Indah, 2003), hal. 61.
[3] Kartosiswoyo (penterj.), Kitab Hukum Kanonik (Jakarta: Obor, 1992). Bdk. Piet Go, Hukum Perkawinan Gereja Katolik-Teks dan Komentar (Malang: Dioma, 2003), hal. 8.
[4] Dendy Sugono, dkk., Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa (Jakarta: Gramedia, 2012), hal. 164, 856 dan 884.
[5] Bdk. Peter Hagul, “Dowry systems and extended family networks: a case study in Manggarai and Nagekeo, Flores, Indonesia” dalam:  Gavin W. Jones, Terence H. Hull dan Maznah Mohamad (eds.), Changing Marriage Patterns in South Asia-Economic and socio-cultural dimensions (London-New York: Rouledge, 2011, hal. 117-132.
[6] Cellus Pahun, “Belis di Manggarai Flores Barat-Neo Traficking atau Human Awards?” dalam: http://sosbud.kompasiana.com/2012/10/25/belis-di-manggarai-flores-barat-504084.html. Diakses 08 Oktober 2014.
[7] Hal ini terangkum dalam Kanisius T. Deki “Pendapat tentang Belis” melalui www.face book.com.
[8] (https://www.facebook.com/groups/568645579820766/stipas crew- disingkat SC, https://www.facebook.com/groups/572124902821918/ikatan alumni stkip st. paulus- disingkat IASP, https://www.facebook.com/groups/445002692184347/manggarai dalam kearifan lokal- disingkat  MDKL dan https://www.facebook.com/nickteobald?fref=nf//Nick Teobald Decky-disingkat NTD dan https://www.facebook.com/groups/kongres.pmr/Kongres Pemuda Manggarai Raya-disingkat PMR)
[9] Uraian pada bagian ini merujuk pada Bdk. Jillis Verheijen, Manggarai dan Wujud Tertinggi (Jakarta: LIPI, 1989), hal. 25, Petrus Janggur, Butir-butir Adat Manggarai Jilid 2 (Ruteng: Yayasan Siribongkok, 2011), hal. 51-54 dan Kanisius Teobaldus Deki, Tradisi Lisan Orang Manggarai (Jakarta: Parrhesia Institute, 2011), hal. 72-75.
[10] Adak dapat dipahami sebagai “Kerajaan” yang membawahi “Kedaluan” yakni pemerintahan provinsial otonom. Robert Mirsel dan Eman Embu [eds.], Gugat! Darah Petani Kopi Manggarai (Maumere: Ledalero, 20014), hal. 6. Menurut Verheijen dalam kamusnya, Adak memiliki pengertian yang sangat luas mencakupi hal-hal sebagai berikut: adat istiadat, budi bahasa, tegur-sapa, upacara, pesta resmi yang penting dan bisa berarti baik. Jilis Verheijen, Kamus Manggarai-Indonesia (Leiden: Koninklijk Institute Voor Taal-Land-En Volkenkunde, 1967), hal. 2.
[11] Di zaman dahulu, melalui perkawinan segala kesalahan, kekhilafan masa lalu dalam satu keluarga besar dimaafkan dan mulai berdamai kembali. Hal ini nyata terlihat dalam perkawinan antara Ke-dalu-an setelah berperang sekian lama atau bercekcok sekian lama. Bandingkan misalnya perkawinan antara Ke-dalu-an Cibal dengan Ke-dalu-an Todo dan Pongkor zaman dulu.
[12] Lihat Petrus Janggur, Op.cit., hal. 54-62
[13] Bdk. Jillis Verheijen, Manggarai Texts II (Ruteng: Regio SVD Ruteng, 1977), hal. 99-145, Petrus Janggur, Op.cit., hal. 62-64
[14] Jillis Verheijen, Kamus Manggarai-Indonesia, Op.cit., hal. 483.
[15] Wawancara dengan bapak Stanislaus Jelatu, 65 tahun. Wawancara dibuat pada 09 Oktober 2014 di rumah kediamannya di Jl. Limau-Tenda.
[16] Chellus Pahun, Loc. cit.