Kanisius Teobaldus
Deki, S.Fil. M.Th
Pendahuluan
Dalam hal agama dan aliran kepercayaan,
Negara Indonesia sangat plural. Pluralitas keyakinan ini dilandasi oleh
Pancasila dan UUD 1945 yang sangat mengedepankan kebebasan memeluk agama bagi
setiap warganya. Negara Indonesia juga mengakui fakta pluralisme agama dalam
masyarakat Indonesia. Dan negara menjamin kebebasan setiap warga negara untuk
memeluk agama dan menjalankan ibadat menurut agama dan kepercayaannya.
Pengakuan ini dieksplisitkan dalam sila pertama Pancasila, "Ketuhanan Yang
Mahaesa" dan dalam Pembukaan UUD 1945 Pasal 29 ayat 1 dan 2. Pengakuan
akan adanya Tuhan ini memberi landasan bagi pengakuan akan pluralisme agama dan
kepercayaan, dan pengakuan akan kebebasan dalam menganut agama dan menjalankan
ibadah bagi setiap warga negara.
Sejak semula, para foundator bangsa
telah mengantar kita kepada pemahaman akan kerukunan antara umat beragama dan
penghargaan akan perbedaan sebagai kekayaan. Dalam UUD pasal 29 ayat 1 dan 2
dikatakan: “Negara berdasarkan atas ketuhanan yang Maha Esa (ayat 1) dan Negara
menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agama masing-masing dan
beribadat menurut agama dan kepercayaannya itu (ayat 2). Rumusan-rumusan di
atas menunjukkan bahwa di negeri ini semua agama berkedudukan sama di mata
hukum. Maka, pemerintah dan negara berperan penting untuk menjamin agar hak
warga negara berkaitan dengan kebebasan beragama dan kebebasan menjalankan
ibadat tidak ditindas dan dihalangi oleh kelompok lain.
Menanggapi fakta keberagaman ini, dan
begitu banyak persoalan yang ditimbulkan konflik antaragama, bagaimana
perspektif Katolik membentuk kehidupan
bersama yang mengaraskan diri pada peciptaan kehidupan yang rukun, harmonis dan
damai? Bagimana perspektif Katolik menciptakan tatanan kehidupan sosial yang
saling menghargai dalam kehidupan yang dialogis? Inilah pertanyaan-pertanyaan
yang dapat diajukan dalam kerangka mencari dasar filosofis, teologis dan
sosiologis serta praktis dalam membangun kehidupan bersama di tengah
masyarakat.
Pandangan Kitab Suci
Bangsa Israel sejak awal telah hidup
bersama dengan bangsa lain. Bahkan pluralitas menjadi kenyataan mereka tatkala
mereka tinggal dan hidup bersama dengan bangsa Mesir dan sekitarnya. Teks-teks
berikut bisa mewakili keyakinan umat Perjanjian Lama tentang kehidupan bersama
yang dilumuri fakta penghargaan akan pluralitas.
Kitab Imamat 19:18: “Janganlah engkau
menuntut balas, dan janganlah menaruh dendam terhadap orang- orang sebangsamu,
melainkan kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri; Akulah TUHAN.” Kitab Amsal 25:21 "Jikalau
seterumu lapar, berilah dia makan roti, dan jikalau ia dahaga, berilah dia minum air.”
Kitab Ulangan 10:18: “Ia membela hak para
janda dan yatim dan menunjukkan kasih-Nya kepada orang asing dengan memberikan
makanan dan pakaian kepada mereka.” Bahkan Ulangan 27:19 menulis: “Terkutuklah
orang yang memperkosa hak orang asing, anak yatim dan janda.
Dan seluruh bangsa itu haruslah berkata: Amin!”
Jelang kehidupan-Nya di dunia berakhir, Yesus
memberikan kepada para murid-Nya apa yang Dia sebut “perintah baru” (Yoh
13:34). Diulangi tiga kali, perintah itu sederhana namun sulit: “Saling
mengasihi, seperti Aku telah mengasihi kamu” (Yoh 15:12). Ajaran untuk saling
mengasihi telah menjadi ajaran sentral dari pelayanan Juruselamat. Perintah
besar kedua adalah “Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri” (Mat
22:39). Yesus bahkan mengajarkan, “Kasihilah musuhmu” (Mat 5:44).
Untuk bisa mengasihi sesama, kasih itu
mengalir dari kasih kepada Allah. Matius 22: 17-18 berkata, “Kasihilah
Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan
segenap akal budimu. Itulah hukum yang terutama dan yang pertama”. Ya,
mengasihi Allah berarti mencintai hal-hal yang dicintainya. Ulangan 10:18
memberitahu kita bahwa Allah ‘memberikan keadilan bagi anak yari kasih tim dan
janda, dan mencintai orang asing, memberinya makanan dan pakaian’. Yesus
mengajak kita untuk mengasihi orang asing, termasuk mereka yang berbeda dengan
kita.
Yesus menasehati: “Kasihilah sesamamu sebagaimana kamu
mengasihi dirimu sendiri”. Nasihat ini disampaikan Yesus dengan
mengisahkan kebaikan seorang Samaria saat menolong seorang pria yang terkujur
tak berdaya di tengah jalan (Lukas 10: 30-36). Yesus mengajarkan kita bahwa
orang-orang di sekitar kita adalah sesama kita, bukan musuh. Jadi, berbuat
baiklah kepada siapapun yang memerlukan pertolongan.
Selain itu, Yesus bersabda: “Perbuatlah kepada orang lain seperti apa yang
ingin mereka perbuat kepadamu”. Pernyataan ini disebut juga the golden way (jalan emas). Matius
7: 12 mengatakan bahwa apapun yang kita ingin orang lain lakukan untuk kita,
lakukan jugalah kepada mereka. Yesus tidak mengatakan agar kita sengaja
melakukan beberapa hal untuk orang lain demi mendapatkan perlakuan yang sama.
Tetapi Yesus lebih menekankan agar kita melakukan sesuatu yang pantas kita
lakukan kepada orang lain.
Hal terberat dalam kehidupan adalah
bagaimana mengasihi orang yang telah berbuat jahat kepada kita. Tetapi Yesus
bersabda: ”Kasihilah musuhmu”.
Dalam Matius 5: 43-48 dijelaskan tentang bagaimana kita harus mengasihi musuh
kita dan lebih memilih untuk berdoa untuk keselamatan mereka. Kita hanya
melakukan hal yang sia-sia apabila kita hanya membalas kebaikan dengan
kebaikan. Oleh karena itu, kita harus meneladani Yesus yang telah menunjukkan
kasih-Nya bagi kita orang berdosa. Kristus telah mati bagi kita untuk dapat
diperdamaikan dengan Allah.
Orang yang berhasil mengasihi adalah
orang sedang berjalan di jalan Tuhan.
Jauhkahlah dirimu dari sikap mementingkan diri sendiri dan mengarah pada
kepedulian kepada orang lain. Sama seperti Yesus yang telah meninggalkan tahta
kerajaan-Nya demi menjadi serupa dengan manusia (Filipi 2: 4-8). Kerendahan
hati diperlukan pengikut-pengikut Yesus untuk mampu mengerjakan pekerjaan Yesus
di dunia, yakni menjadi hamba untuk melayani orang lain.
Surat Roma 12:20: “Tetapi, jika seterumu lapar, berilah dia
makan; jika ia haus, berilah dia minum! Dengan berbuat demikian kamu
menumpukkan bara api di atas kepalanya.” Surat Roma 12:21. “Janganlah kamu
kalah terhadap kejahatan, tetapi kalah kanlah
kejahatan dengan kebaikan!”
Dialog Antar Agama Dalam Dokumen
Gereja
Gereja Katolik sangat menaruh
perhatian kepada kerukunan hidup antar umat beragama. Hal itu dapat kita baca
dalam dokumen – dokumen Gereja secara khusus dalam Konsili Vatikan II. Dokumen
Pernyataan tentang hubungan Gereja dengan Agama – Agama bukan Kristen (Nostrae Aetate) menyatakan pada
pendahuluan bahwa: “Semua bangsa merupakan satu masyarakat, mempunyai satu
asal, sebab Allah menghendaki segenap umat manusia mendiami seluruh muka bumi.
Semua juga mempunyai satu tujuan terakhir yakni Allah, yang yang
menyelenggarkan”. Selain dari pada itu dokumen pernyataan tentang kebebasan
beragama (Dignitatis Humanae),
no. 6: “Pada hakekatnya termasuk tugas setiap kuasa sipil: melindungi dan
mengembangkan hak-hak manusia yang tak dapat diganggu-gugat. Maka kuasa sipil
wajib melalui hukum-hukum yang adil serta upaya-upaya lainnya yang sesuai,
secara berhasil-guna menanggung perlindungan kebebasan beragama semua warga
negara dan menciptakan kondisi-kondisi yang menguntungkan dan mengembangkan
hidup keagamaan”.
Konsili Vatikan II dapat dikatakan
sebagai titik tolak dari hidup Gereja yang dialogis. Ini tidak berarti bahwa
sebelumnya Gereja sangat tidak dialogis. Dialog sebagaimana yang dicetuskan
oleh Konsili Vatikan II mempunyai akar pada Tradisi hidup Gereja. Sikap
dialogis Gereja sebelum Konsili Vatikan II tampak dalam kesaksian para Bapa
Gereja, para misionaris, dan ajaran para paus masa lampau yang menunjukkan
sikap positif terhadap agama-agama lain. Memang ajaran yang menunjukkan sikap
positif terhadap agama-agama lain itu bersifat sporadis, tersebar, dan kurang
menjadi sikap dasar yang menonjol. Sikap Gereja seringkali kebalikannya, yakni
eklusivisme, triumphalisme, dan sebagainya. Akibatnya Gereja sebelum Konsili
Vatikan II tampak tertutup dan kurang memandang positif agama-agama.
Angin segar yang ditiupkan oleh
Konsili Vatikan II membuat dialog umat beragama menjadi unsur integral dalam
perutusan Gereja. Dalam dokumen-dokumen Konsili dan post Konsili Vatikan II,
dialog agama menempati posisi penting. Redemptoris
Missio 55 menyatakan bahwa dialog antar agama merupakan bagian dari misi
penginjilan Gereja; dialog tidak bertentangan dengan tugas perutusan Gereja.
Dialog merupakan bentuk tugas
perutusan yang otentik. Bersama dengan pewartaan yang merupakan komunikasi
pesan Injil, dialog dengan cara dan kedudukannya sendiri, menjadi unsur penentu
dari kegiatan perutusan Gereja. Dialog dan pewartaan diarahkan untuk
mengkomunikasikan kebenaran yang menyelamatkan kepada semua orang.
Melihat tempat dialog dalam
keseluruhan tugas perutusan Gereja, siapakah yang berpartisipasi dan
bertanggung jawab dalam dialog? Paus Yohanes Paulus II (alm.) menegaskan bahwa
Gereja Lokal-lah yang pertama-tama harus memiliki komitmen untuk membangun
dialog dengan umat beragama lain di tempatnya masing-masing. Tidak ada Gereja
Lokal satu pun yang dapat menghindarkan diri dari kewajiban ini. Sejauh
tanggung jawab dialog ada pada Gereja Lokal, maka umat beriman sendiri yang
harus terlibat dalam dialog agama-agama.
Masa depan dialog agama-agama
pertama-tama terletak pada kaum awam. Ini berarti dibutuhkan barisan imam yang
tangguh, yang tahu mendampingi kaum awam sebagai saudara-saudara seiman, yang
ada di tengah-tengah umat sebagai orang-orang yang sungguh beriman. Dalam
kehidupan sehari-hari, setiap orang memiliki amanat perutusan untuk menjalin
kerja sama dan berdialog dengan sesamanya dari agama-agama lain guna
meningkatkan kesejahteraan sosial dan kehidupan masyarakat sekitarnya (Apostolicam Actuositatem 14). Perhatian
khusus harus diberikan kepada kaum muda yang hidup dalam masyarakat yang
pluralistis ini.
Demikian juga dalam KHK 1983, kan. 748, ditegaskan bahwa:
“Semua orang wajib mencari kebenaran dalam hal-hal yang menyangkut Allah dan
Gereja-Nya, dan berdasarkan hukum Ilahi mereka wajib dan berhak memeluk dan
memelihara kebenaran yang mereka kenal”. Selain itu, “tak seorang pun boleh
memaksa orang untuk memeluk iman katolik melawan hati nuraninya”. Bagaimana
relevansinya kanon ini dalam membangun kerukunan hidup antar umat beragama? Dalam
alam kebebasan itu manusia dapat menentukan imannya berdasarkan hati nuraninya
yang bebas dari segala paksaan dan tekanan. Semua usaha manusia dalam mencari
Allah yang diimaninya akan terwujud sebuah perdamaian jika diiringi dengan
praktek hidup sehari-hari dalam dialog antar umat beragama.
Bentuk-bentuk Dialog yang Dapat
Dikembangkan
Kongregasi Evangelisasi Bangsa-bangsa
dan Dewan Kepausan Untuk Dialog Antaragama mengeluarkan dokumen dengan judul Dialog dan Pewartaan. Dalam dokumen ini
dinyatakan bentuk-bentuk dialog (art. 42) sbb:
a) Dialog Kehidupan
Dialog ini diperuntukkan bagi semua
orang dan merupakan level dialog yang paling mendasar. Dalam kehidupan
sehari-hari di masyarakat yang plural dialog kehidpan ini sangat dibutuhkan.
Aneka pengalaman, entah suka maupun duka, gembira maupun sedih dialami bersama.
Dalam tingkatan dialog ini manusia dari setiap agama hidup dan bekerja sama,
dan setiap orang memperkaya dirinya dengan pengantaraan mengamati. Dialog
kehidupan memang sudah terlaksana dalam masyarakat Indonesia, seperti
silahturahmi pada hari raya, kerja bakti membersihkan lingkungan, dan
sebagainya.
b) Dialog Karya
Yang dimaksudkan dengan dialog karya
adalah kerja sama yag lebih intens dan mendalam dengan penganut-penganut agama
lain. Sasaran yang hendak diraih yakni pembangunan dan peningkatan martabat
mausia. Bentuk dialog ini kerap berlangsung dalam kerangka kerja sama
organisasi-organisasi internasional maupun nasional di mana agama-agama
bersama-sama menghadapi masalah dunia. Jadi pelbagai macam pemeluk agama dapat
melaksanakan proyek-proyek pembangunan dalam meningkatkan kehidupan keluarga
dan nilai-nilainya, membantu rakyat dari kemiskinan, dan proyek-proyek
kemanusiaan lainnya. Gereja secara konkret dan resmi terlibat dalam dialog
karya ini. Sekurang-kurangnya ada dua sekretariat yang pelaksanaan kerjanya
meminta kerja sama dengan penganut agama lain. Dua sekretariat itu adalah; The
Pontifical commission for Justice and Peace dan Dewan Kepausan Cor Unum.
Gereja juga mendesak umatnya untuk mengusahakan dialog karya, sebuah dialog
yang ditumpukkan tidak pada agama melainkan pada kerja sama dalam kaya-karya.
c) Dialog Pandangan Teologis
Dialog ini dikhususkan bagi para
teolog atau siapa saja yang mempunyai kemampuan untuk itu. Dalam dialog ini
orang diajak menggumuli, memperdalam dan memperkaya warisan-warisan keagamaan
masing-masing. Dialog semacam ini jelas membutuhkan visi yang mantap. Dalam
dialog pandangan teologis tidak boleh ada pretensi, kecuali untuk saling
memahami pandangan teologis masing-masing agama dan penghargaan terhadap
nilai-nilai rohani masing-masing.
d) Dialog Pengalaman Iman
Dialog ini dimaksudkan untuk saling
memperkaya dan memajukan penghayatan nilai-nilai tertinggi dan cita-cita rohani
masing-masing pribadi. Dalam dialog ini, pribadi-pribadi yang berakar dalam
tradisi keagamaan masing-masing berbagi pengalaman doa, kontemplasi, dan
meditasi, bahkan pengalaman iman dalam arti yang lebih mendalam.
Tantangan-tantangan dalam Usaha
Membangun Dialog Antar Agama
Melihat bentuk-bentuk dialog
sebagaimana disebutkan di atas, dapat kita ketahui bahwa tidaklah setiap dialog
cocok bagi setiap orang atau setiap situasi. Tiap bentuk dialog mempunyai
pelaku, tempat, dan waktunya. Dialog agama adalah suatu hal yang tidak mudah
dijalankan. Dialog selalu mengandaikan adanya keterbukaan dari tiap-tiap pihak
yang berdialog. Dibutuhkan pengetahuan dan pemahaman akan agama yang seimbang.
Dialog tidak akan berjalan apabila muncul faktor-faktor sosial politik, dan
beban ingatan traumatis akan konflik sejarah, pemahaman yang salah tentang
agama lain, sikap merasa diri paling sempurna yang memunculkan sikap agresif
dan defensif, permasalahan zaman ini seperti materialisme, sekularisme, sikap
acuh tak acuh terhadap kehidupan beragama, dan munculnya sekte-sekte
fundamentalis, juga sikap tidak toleran yang kerap kali diperparah oleh faktor
politik, ekonomi, ras, etnis, dan aneka kesenjangan lainnya.
Dalam dialog karya terkadang bantuan
kemanusiaan dicurigai sebagai bentuk proseletisme. Dialog kehidupan seperti
silahturahmi pada hari raya kadang tidak berjalan karena adanya golongan agama
yang ‘mengharamkan’ kelompok lain yang tidak seagama. Dalam dialog pengalaman
iman harus dihindari sikap yang menjurus pada sinkretisme, ada pun dialog
pandangan teologis hendaknya dilakukan oleh orang yang ahli. Di dalamnya butuh
kesabaran mendengarkan orang lain yang menyampaikan ajaran agama yang berbeda
dengan ajaran agamanya sendiri.
Penutup
Walaupun terdapat sejumlah tantangan
dalam membangun dialog antar agama, keterlibatan Gereja dalam membangun dialog
harus tetap kokoh dan tidak goyah. Disadari bahwa untuk menciptakan suasana
kondusif di tengah masyarakat plural, dialog merupakan salah satu unsur
esensial. Gereja Indonesia telah mencetuskan dirinya sebagai Gereja Abdi, yang
digunakan Tuhan untuk membangun kerajaanNya. Kerajaan itu dipercaya mulai
tumbuh dalam masyrakat, karenanya Gereja melayani, menyambut baik, mendukung
dan ikut terlibat memajukan dialog yang bertujuan merukunkan kaum beriman.
Kendati menyusuri lorong gelap, Gereja harus berjuang merealisasi perannya
sebagai tanda dan sarana keselamatan bagi semua dengan terus berusaha menjalin
dialog membangun Kerajaan Allah. Sebuah panggilan yang mendesak dilaksanakan,
meskipun tidak gampang.
Dialog kristiani berlandaskan kasih.
Kasihlah yang harus menyata pada pola pikir, pola berbahasa dan pola tindak.
Dengan kasih sebagai bahasa universal dan laku setiap manusia akan menciptakan
tatanan kehidupan yang dikehendaki Allah.
Referensi:
Alkitab. Jakarta: LBI, 2001.
Dokumen Konsili Vatikan II , ter. R. Hardawiryana, SJ, Dokpen
KWI, Jakarta: Obor, 1993.
Ignatius Haryanto dan Pax Benedanto, Terbuka
terhadap Sesama Umat Beragama: Aktualisasi Ajaran Sosial Gereja tentang Agama
yang Inklusif, Komisi Kerawam KWI, Jakarta: Kanisius, 2004.
Jacques
Dupuis, A Theological Commentary: Dialog
and Proclamation. New York: Orbis Book, 1993.
Kampschulle,
Theodore, Situasi HAM di Indonesia:
Kebebasan Beragama dan Aksi Kekerasan, Mission, (tanpa tahun).
Kirchberger Georg, Dialog dan Pewartaan. Maumere:
LPBAJ, 1999.
Kitab Hukum Kanonik. Jakarta: Obor, 1992.
Kongregasi
Evangelisasi Bangsa-Bngsa dan Dewan Kepausan Untuk Dialog Antaragama, Dialog dan Pewartaan-Refleksi dan Orientasi
Mengenai Dialog Antaragama dan Pewartaan Injil Yesus Kristus. Maumere:
LPBAJ, 1991.
Sumartana,
Th., dkk, Pluralisme, Konflik dan Pendidikan
Agama di Indonesia, Yogyakarta: Intefidei, 2001.