Kanisius Teobaldus Deki, M.Th
Dosen STKIP St. Paulus,
Penulis Buku “Tradisi Lisan Orang Manggarai
(Parrhesia Institute Jakarta, 2011)”
Menarik sekali apa yang tersaji oleh Harian Umum Pos Kupang edisi 10-11 Februari 2012 tentang tulisan saudari Maria Matildis Banda (MMB) di bawah judul “Program Kajian Tradisi Lisan: Kesadaran Multikultur Dalam Rumah Indonesia” dan “Studi Magister, Doktor dan Program Penelitian”. Dua tulisan ini sungguh menyentak kesadaran nurani untuk secara lebih dalam menelisik kesejatian diri kita sebagai orang berbudaya sekaligus sebagai kaum intelektual.
Menurut hemat saya, tulisan MMB ini memiliki dua kiblat utama, yakni pertama: memberikan kesadaran baru bahwa nilai-nilai budaya kita memiliki arti yang sangat positif dalam membangun humanitas kita. Kedua, akibat lanjutannya adalah suatu keniscayaan untuk menelitinya, mengembangkannya secara kreatif untuk dapat diimplementasi dalam kehidupan kongkrit masyarakat pemiliknya.
Tradisi Lisan
Penggunaan tradisi lisan sebagai seni dalam ilmu-ilmu sosial menjadi hal biasa setelah terbitnya buku Jan Vansina: De la Tradition Orale: esai de methode historique (dalam bahasa Perancis 1961, dalam bahasa Inggris 1973). Di sini Vansina menampilkan sarana-sarana sistematik untuk mengidentifikasi, mengumpulkan dan menafsirkan tradisi-tradisi lisan dalam rangka menemukan aspek-aspek masa lampau, terutama di tempat yang tidak memiliki dokumentasinya secara tertulis. Vansina mendefinisikan tradisi lisan sebagai “kesaksian verbal yang ditransimisikan dari satu generasi ke generasi lainnya atau ke generasi masa depan” (Kupler &Kuper, 2000:719). Sebelumnya, Vansina membuat uraian sistematis dengan menampilkan contoh-contoh dari hasil penelitiannya di Ruanda-Urundi dan Kuba di Kongo, Afrika, tradisi lisan sudah berkembang secara universal pada berbagai kebudayaan di seluruh dunia. Tradisi lisan merupakan cikal-bakal tradisi tulisan yang berkembang sangat kuat pada zaman modern (dan kontemporer) hingga saat ini.
Dalam banyak literatur, istilah tradisi lisan sering disepadankan dengan “folklor” (oral and customary tradition), seperti yang digunakan di Amerika Serikat oleh Jan Harold Brunvand. Tentang Folklor, Arche Taylor mendefinisikannya sebagai bahan-bahan yang diwariskan oleh tradisi, baik melalui kata-kata dari mulut atau oleh adat istiadat dari praktek. Pada tahun 1948, dengan tegas Taylor mengatakan: “Folklor adalah bahan (material) yang diwariskan oleh tradisi, baik melalui kata-kata yang keluar dari mulut, atau melalui adat kebiasaan maupun praktek”(Brundvand, 1998:5).
Istilah tradisi berasal dari kata Latin traditio (kata kerja tradere) yang berarti tradisi atau penyerahan (handing down). Menurut Lorens Bagus, kata “tradisi” (bahasa Inggris: tradition) memiliki perluasan makna dalam berbagai bidang. Dalam bidang sejarah, tradisi berarti adat istiadat, ritus-ritus, ajaran-ajaran sosial, pandangan-pandangan, nilai-nilai, aturan-aturan, perilaku-perilaku yang diwariskan dari generasi ke generasi. Ia merupakan unsur warisan sosio-kultural yang dilestarikan dalam masyarakat atau dalam kelompok sosial masyarakat dalam kurun waktu yang panjang. Tradisi bersifat progresif kalau dihubungkan dengan perkembangan kreatif kebudayaan tetapi tradisi bersifat reaksioner kalau ia berkaitan dengan sisa-sisa yang sudah usang dari unsur-unsur budaya masa lampau. Dalam ranah ilmu, tradisi berarti kontinuitas pengetahuan dan metode-metode penelitian. Sedangkan dalam dunia seni, tradisi berarti kesinambungan gaya dan keterampilan (Bagus, 1996:1115dst).
Istilah “lisan” (oral) dapat diartikan sebagai kata-kata yang dituturkan, diucapkan. Dengan demikian, kata “lisan” dalam kaitan dengan Tradisi Lisan (Oral Tradition) berarti tradisi yang ditransmisikan secara lisan dalam berbagai bentuknya seperti ujaran rakyat (folk speech) yang diperinci lagi ke dalam bentuk dialek, julukan (naming), ungkapan-ungkapan dan kalimat tradisional (traditional pharases and sentences) yang dapat digolongkan dalam kelompok peribahasa (proverb and proverbial saying), sedangkan pertanyaan tradisional termasuk ke dalam teka-teki rakyat (folk riddles). Selain itu ada sanjak rakyat (folk rhymes), syair rakyat (folk poetry), dan bermacam-macam cerita rakyat (folk narratives) seperti mite, legenda dan dongeng. Bentuk terakhir adalah nyanyian rakyat (folk song) dan balada rakyat (folk ballads) dengan musiknya (Brundvand, 1998:11).
Belajar dari Kearifan Lokal, Membangun Basis Kehidupan
Di antara banyak bahasa dan dialek di Indonesia, hanya delapan yang memiliki tradisi tertulis. Pada zaman sekarang di beberapa wilayah tertentu di Indonesia keberaksaraan masih merupakan hal yang baru. Pemeliharaan dan penyampaian adat kebiasaan, sejarah, pandangan hidup, agama, kedudukan sosial dan bahasa sangat mengandalkan kata lisan. Teks kisahan dapat berbentuk macam-macam: nyanyian, syair, prosa, lirik atau syair bebas. Cerita-cerita tersebut mengajarkan para pendengarnya memecahkan masalah atau teki-teki, menyampaikan tradisi, menyokong jati diri kebudayaan, dongeng khayalan, dan tak kalah pentingnya, menghibur (McGlynn, 1998:49).
Di Manggarai ada begitu banyak kasus persengketaan dapat diselesaikan oleh pelbagai bentuk kearifan lokal yang sudah mentradisi dalam kehidupan masyarakat. Dalam menyelesaikan konflik misalnya, ada tahapan proses yang musti dilalui sebelum di bawah ke meja hijau melalui forum ”lonto leok” (musyawarah untuk mufakat). Karena inti dari kehidupan bersama adalah bagaimana membangun persaudaraan, seperti terungkap melalui pepatah (go’et): “Neka koas neho kota, neka behas neho kena, neka bike neho céwak, neka behas neho lide. Ai hitu ngasang ase-ka’e: natas neki ca, beo lonto télo”. (Janganlah persaudaraan itu dirusakkan seperti susunan batu yang diporak-porandakan, seperti bakul yang pecah, atau wadah yang rusak karena pada prinsipnya hidup sebagai saudara mesti selalu bersatu, seperti lapangan yang cuma satu untuk semua, seperti kampung yang didiami bersama). Pada zaman dahulu, kekuatan kata-kata ini menjadi tata peneguhan untuk penyelesaian konflik. Pada zaman sekarang, referensi tunggal pada hukum positif menyebabkan seluruh tatanan kehidupan manusia diukur oleh pasal-pasal yang tentu mengalami keterbatasan juga.
Dalam telisikan saya, Tradisi Lisan orang Manggarai berbentuk Prosa naratif yang terungkap dalam pelbagai kisah rakyat [tombo nunduk, tombo turuk] dan Puisi lirik yang dieskpresikan melalui peribahasa, tamsil-tamsil [go’et], syair-syair doa [torok] dan syair-syair lagu-lagu rakyat [dere, nenggo]. Sejarah lisan [Oral History] maupun tradisi lisan dalam tradisi budaya Orang Manggarai memang merupakan bagian “keutamaan adak” [disebut pecing adak: tahu adat, kenal hukum], sebuah perilaku budaya yang harus dilakoni setiap warga generasi sebagai jati diri sejarah tanah air dan keturunannya.
Tombo Nunduk dapat dipahami sebagai aktivitas dalam meneruskan sejarah keberadaan sebuah keturunan suku [klan yang disebut wa’u] yang dikisahkan terus menerus secara lisan kepada setiap generasi keturunan itu. Sedangkan Tombo Turuk dimengerti sebagai cerita-cerita yang memiliki berbagai makna kehidupan: sosial, spiritual, ekonomis, humor, pendidikan nilai, dll. Kedua jenis prosa ini dikisahkan dalam bentuk lisan oleh generasi tua kepada anak-anaknya umumnya demi alasan pedagogis dan penerusan sejarah keberadaan diri dan masyarakat. Go’et-go’et adalah kata-kata bijak yang diramu sebagai syair-syair bertuah. Bentuknya tidak selalu sama tetapi bervariasi namun memiliki tujuan yang sama yakni untuk mendidik, mengeritik dan juga menghibur. Torok adalah doa-doa yang biasa didaraskan di berbagai tempat, misalnya di lodok [titik pusat dari perkebunan komunal yang disebut lingko], di compang [batu-batu yang disusun menyerupai altar persembahan], di Mbaru Gendang [disebut juga Mbaru Tembong, rumah adat], dan tempat-tempat lain pada saat upacara-upacara adat dilangsungkan. Syair-syair dere adalah barisan kata bermakna yang membentuk sebuah lagu. Syair-syair dere ini memiliki fungsi yang sama seperti prosa-prosa: menyampaikan usul-asal, mengisahkan kembali sebuah peristiwa, mengajukan sebuah pertanyaan, mengeritik sistem sosial yang ada, menghibur, dsb (Deki, 2011: 97-98).
Benarlah Konvensi UNESCO tertanggal 17 September 2003 yang menetapkan kedudukan tradisi lisan sebagai bagian dari warisan budaya bangsa. Sebagai bagian dari intangible cultural heritage, dikatakan bahwa “Oral traditions is important to be transmitted value things: oral traditions is going to be the source of identity for humanity in this millenium” (Konggres IFLA, Agustus 1999). Karena, tradisi lisan terbukti juga, selain merupakan identitas komunitas dan salah satu sumber penting dalam pembentukan karakter bangsa, ia adalah pintu masuk untuk memahami permasalahan masyarakat pemilik tradisi yang bersangkutan. Maka, menghidupkan tradisi lisan bukanlah sebuah upaya untuk mengembalikan memoria pada tradisionalisme, melainkan membangun basis kehidupan bertitik pijak pada kearifan yang sudah terbukti menyajikan sebuah kehidupan yang lebih human dan bermutu. Dan, penelitian atau kajian ilmiah untuknya merupakan sebuah imperatif demi meraih kedalaman nilai yang terkandung di dalamnya. Terima kasih Maria Matildis Banda. Tulisanmu sungguh menggugah kami!***
Pos Kupang, 21 Februari 2012