Tak dapat disangkal, kebijasanaan lokal kerap kali menjadi rujukan alternatif di saat modernisasi telah menciptakan individualisme ekstrem. Modernitas oleh individualismenya itu meciptakan sekat-sekat pemisah yang terjal sehingga memungkinkan sosialitas menjadi bagian yang terpinggirkan. Tragedinya muncul, ketika acuan kita lebih dominan ke area modernitas itu, ketimpangan menjadi tak terelekan. Pihak yang kuat akan tetap hidup yang lemah menyerah lalu tak berdaya. Menyadari hal itu, berpaling ke nilai budaya tradisional menjadi pilihan alternatif.
Orang Manggarai punya tradisi yang menarik dalam banyak bidang, termasuk bidang pendidikan. Kesadaran akan kelemahan personal menyebabkan mereka mengandalkan komunalisme. Itulah sebabnya banyak sisi kehidupan yang ditanggung bersama. Ada tradisi yang disebut "wuad Wa'i" (kerap juga disebut acara Pesta Sekolah) yakni sebuah ritus perutusan yang dibuat jelang orang pergi ke tempat perantauan demi melanjutkan pendidikannya.
Melalui acara Wuad Wa'i ada beberapa nilai yang muncul. 1) Nilai kebersamaan. Orang datang menghadiri acara itu lalu memberikan sumbangan uang demi melancarkan biaya pendidikan anak yang bersangkutan. 2) Nilai motivasi. Anak yang dibantu diminta untuk sungguh-sungguh bersekolah sehingga kelak bisa menjadi orang baik.
Nilai-nilai inilah yang menghasilkan begitu banyak sarjana di Manggarai. Melalui kebersamaan ini, seorang pribadi kemudian menempatkan diri secara benar dalam kebersamaan dengan yang lain. Ia tidak sendirian (no man is an island). Ini menegaskan esensi manusia sebagai mahkluk sosial (ens sociale). Dengan ini menjadi jelas, pendidikan yang benar bukan pada soal biaya, tetapi lebih pada bagiamana memberi isi. Kembali ke budaya dan nilainya merupakan salah satu orientasi yang mungkin jika nilai modernitas tak sepenuhnya bisa memberi jawaban atas tantangan yang aktual.***