Wednesday, 28 December 2011

Wuad Wa'i & Pendidikan Orang Manggarai


Tak dapat disangkal, kebijasanaan lokal kerap kali menjadi rujukan alternatif di saat modernisasi telah menciptakan individualisme ekstrem. Modernitas oleh individualismenya itu meciptakan sekat-sekat pemisah yang terjal sehingga memungkinkan sosialitas menjadi bagian yang terpinggirkan. Tragedinya muncul, ketika acuan kita lebih dominan ke area modernitas itu, ketimpangan menjadi tak terelekan. Pihak yang kuat akan tetap hidup yang lemah menyerah lalu tak berdaya. Menyadari hal itu, berpaling ke nilai budaya tradisional menjadi pilihan alternatif.

Orang Manggarai punya tradisi yang menarik dalam banyak bidang, termasuk bidang pendidikan. Kesadaran akan kelemahan personal menyebabkan mereka mengandalkan komunalisme. Itulah sebabnya banyak sisi kehidupan yang ditanggung bersama. Ada tradisi yang disebut "wuad Wa'i" (kerap juga disebut acara Pesta Sekolah) yakni sebuah ritus perutusan yang dibuat jelang orang pergi ke tempat perantauan demi melanjutkan pendidikannya.

Melalui acara Wuad Wa'i ada beberapa nilai yang muncul. 1) Nilai kebersamaan. Orang datang menghadiri acara itu lalu memberikan sumbangan uang demi melancarkan biaya pendidikan anak yang bersangkutan. 2) Nilai motivasi. Anak yang dibantu diminta untuk sungguh-sungguh bersekolah sehingga kelak bisa menjadi orang baik.

Nilai-nilai inilah yang menghasilkan begitu banyak sarjana di Manggarai. Melalui kebersamaan ini, seorang pribadi kemudian menempatkan diri secara benar dalam kebersamaan dengan yang lain. Ia tidak sendirian (no man is an island). Ini menegaskan esensi manusia sebagai mahkluk sosial (ens sociale). Dengan ini menjadi jelas, pendidikan yang benar bukan pada soal biaya, tetapi lebih pada bagiamana memberi isi. Kembali ke budaya dan nilainya merupakan salah satu orientasi yang mungkin jika nilai modernitas tak sepenuhnya bisa memberi jawaban atas tantangan yang aktual.***

Tuhan dan Agama

Suatu siang saya dikejutkan oleh beberapa pertanyaan:

Apakah Tuhan butuh agama?

Ataukah Manusia saja yang butuh agama?

Apakah Tuhan hanya "disalurkan" lewat agama?

Apakah manusia bisa bertemu dengan Tuhan walau tanpa agama?

Apakah Tuhan bisa dijumpai secara resmi tanpa pihak yang disebut sebagai "wakil, perantara, gembala?"

Kalau Tuhan yang butuh agama, betulkah Ia perlu urusan berbelit-belit?

Kalau Tuhan tidak butuh agama, mengapa Dia membiarkan agama-agama tetap ada?

Ataukah biarTuhan tahu ada agama, namun karena kedirianNya tidak terwakili agama

maka agama bukan soal bagi diriNya?

pertanyaan ini datang dari seorang yang baru pulang sembayang...

saya tidak menyangka pertanyaan-pertanyaan ini diajukan

walau sebenarnya setiap orang beragama berhak untuk mencari pemahaman atas imannya

sebuah pencarian untuk menemukan otentisitas dan originalitas atasnya...

sambil minum kopi robusta yang enak

saya membentangkan penjelasan rasional-sistematis yang menjadi inti hadirnya agama dalam kehidupan manusia

teori-teori dan refleksi iman berhamburan dari zaman Bapa-bapa Gereja hingga teolog mashur sekelas Karl Rahner dan Joseph Ratzinger, tak lupa teolog Amerika Latin kesohor seperti Guttierez dkk

namun leleki tua ini tetap tak menemukan pencerahan malah kembali ia bertanya:

"Siapakah yang butuh ada agama, Tuhan atau Manusia atau Agama itu sendiri sebagai institusi?"

diskusi ini akhirnya dihentikan karena hujan mulai rintik-rintik

dia berpamitan pulang...

di ruang kerja, pertanyaan itu kembali menggema...

aku tak pedulikan isi pertanyaannya, namun mencari latar mengapa orang bertanya.

pasti ada sesuatu dengan agama

benarkah agama kita sekarang ini terlampau formalistis-legalistik?

penuh dengan aturan admisnistrasi dan hukum?

penuh dengan doktrin (ajaran) namun kurang perbuatan baik?

sesak dengan dimensi ajaran keselamatan yang akan datang lupa para dimensi selamat hari ini?

membangun gedung fisik yang mewah-menterang, lupa pada pembangunan spiritual?

kaum elit agama berkawan dengan elit birokrat sehingga tidak ada lagi sikap kritis dan kekuatan kenabian?

sehingga perubahan total di segala bidang tak bisa diharapkan dari dimensi kebijakan yang populis

mimbar agama dijadikan medan kampanye politis sehingga penjahatpun bisa jadi pemimpini?

..................

masih banyak pertanyaan yang datang silih berganti...

namun satu hal yang sementara ini saya temukan,

Yesus pernah bilang, mendengar Dia bicara itu penting, tetapi lebih penting lagi sesudah itu melakukannya...

iman kita perlu bahasa baru, bukan lagi bahasa ajaran (yang kadang angkuh)

melainkan bahasa perbuatan yang mengalahkan semua kedurjanaan

sehingga dunia ini didamaikan oleh aksi-aksi kasih yang nyata,

ditenangkan oleh kasih murni tanpa perhitungan untung-rugi

bukan menjadi pasar slogan yang hiruk pikuk dengan kebohongan...

saya yakin itulah yang membahasakan kehadiran Tuhan di tengah kita.

Tuhan yang Kupercayai

oleh Nick Teobald Decky pada 30 Oktober 2010 pukul 16:16

siapakah Tuhan? siapakah Allah?

begitu banyak gambaran tentang diriNya

sekian defenisi menumpuk dalam kesadaran manusia

terlampau banyak ide mengenai Dia

siapakah Dia?

banyak orang membunuh atas namaNya

tak kurang juga yang menipu demi namaNya

berjuta alasan munafik telah timbul karenaNya

juga hukum-hukum dan peraturan bengis untuk memuliakan Dia

benarkah itu identitas diriNya?

jika ada bencana, Dia disebut sedang beri cobaan

jika ada kehancuran, Dia jadi asal-muasalnya

jika ada kelaparan, wabah, sakit Dia lagi murka

jika ada kematian orang tercinta, di kotbah2 disebut, Tuhan telah memanggilnya

karena lebih mencintai dia

betulkah itu adalah jati diriNya?

Allah yang merampas?

Allah yang tega?

Allah yang jahat?

apakah dalam diri Allah ada dua kodrat yang saling berlawanan

(kadang Dia baik, kadang Dia jahat)?

malam2 permenunganku menyentuh kesadaran

bahwa manusia terlalu gampang menyerahkan segala sesuatu kepada Tuhan

bahkan jika yang diserahkan itu adalah sesuatu yang melawan kodratNya...

manusia mengalami penderitaan, termasuk kematian sebagai akibat dari eksistensinya yang rapuh

ia menerima kerapuhan itu sebagai pewarisan terberi,

dunia ini bisa hancur karena kodratnya yang fana, berproses terus menerus sesuai hukum alam,

pengalaman-pengalaman kekacauan, peperangan, ketidakadilan, penindasan

adalah bagian tak terpisahkan dari penyalahgunaan kebebasan manusia

dan instink dasarnya untuk menguasai...

apakah Tuhan juga merupakan asal kejahatan, bencana, kelaparan, kebinasaan, kemelaratan, sekit, kematian sekaligus sumber sumber kebaikan, cinta dan sayang?

saya tidak meyakini itu

karena esensi dan eksistensi Tuhan adalah kebaikan.

hanya yang baik datang dari Tuhan karena itu adalah kodratNya!

kodrat inilah yang seharusnya mengubah setiap orang yang percaya:

"kebaikan"

sehingga dunia ini kian sembuh dari segala deritanya

termasuk karena iman yang salah kaprah...

(Ruteng, saat Hujan sedang mengguyur deras...keheningan menjadi warna siang ini).

Saturday, 14 May 2011

Trdisi Lisan Orang Manggarai


Penggunaan tradisi lisan sebagai seni dalam ilmu-ilmu sosial menjadi hal biasa setelah terbitnya buku Jan Vansina: De la Tradition Orale: esai de methode historique (dalam bahasa Perancis 1961, dalam bahasa Inggris 1973). Di sini Vansina menampilkan sarana-sarana sistematik untuk mengidentifikasi, mengumpulkan dan menafsirkan tradisi-tradisi lisan dalam rangka menemukan aspek-aspek masa lampau, terutama di tempat yang tidak memiliki dokumentasinya secara tertulis. Vansina mendefinisikan tradisi lisan sebagai “kesaksian verbal yang ditransimisikan dari satu generasi ke generasi lainnya atau ke generasi masa depan”.[1] Sebelum Vansina membuat uraian sistematis dengan menampilkan contoh-contoh dari hasil penelitiannya di Ruanda-Urundi dan Kuba di Kongo, Afrika, tradisi lisan sudah berkembang secara universal pada berbagai kebudayaan di seluruh dunia. Tradisi lisan merupakan cikal-bakal tradisi tulisan yang berkembang sangat kuat pada zaman modern (dan kontemporer) hingga saat ini.

Dalam banyak literatur, istilah tradisi lisan sering disepadankan dengan “folklor” (oral and customary tradition), seperti yang digunakan di Amerika Serikat oleh Jan Harold Brunvand. Tentang Folklor, Arche Taylor mendefinisikannya sebagai bahan-bahan yang diwariskan oleh tradisi, baik melalui kata-kata dari mulut atau oleh adat istiadat dari praktek. Pada tahun 1948, dengan tegas Taylor mengatakan: “Folklor adalah bahan (material) yang diwariskan oleh tradisi, baik melalui kata-kata yang keluar dari mulut, atau melalui adat kebiasaan maupun praktek”.[2]

Istilah tradisi berasal dari kata Latin traditio (kata kerja tradere) yang berarti tradisi atau penyerahan (handing down). Francis Bacon, seorang Filsuf Ilmu Pengetahuan, menggunakan kata yang sama untuk mendefinisikan pernyataan atau pengiriman pengetahuan. Sedangkan menurut Lorens Bagus, kata “tradisi” (bahasa Inggris: tradition) memiliki perluasan makna dalam berbagai bidang. Dalam bidang sejarah, tradisi berarti adat istiadat, ritus-ritus, ajaran-ajaran sosial, pandangan-pandangan, nilai-nilai, aturan-aturan, perilaku-perilaku yang diwariskan dari generasi ke generasi. Ia merupakan unsur warisan sosio-kultural yang dilestarikan dalam masyarakat atau dalam kelompok sosial masyarakat dalam kurun waktu yang panjang. Tradisi bersifat progresif kalau dihubungkan dengan perkembangan kreatif kebudayaan tetapi tradisi bersifat reaksioner kalau ia berkaitan dengan sisa-sisa yang sudah usang dari unsur-unsur budaya masa lampau. Dalam ranah ilmu, tradisi berarti kontinuitas pengetahuan dan metode-metode penelitian. Sedangkan dalam dunia seni, tradisi berarti kesinambungan gaya dan keterampilan.[3]

Istilah “lisan” (oral) dapat diartikan sebagai kata-kata yang dituturkan, diucapkan.[4] Dengan demikian, kata “lisan” dalam kaitan dengan Tradisi Lisan (Oral Tradition) berarti tradisi yang ditransmisikan secara lisan[5] dalam berbagai bentuknya seperti ujaran rakyat (folk speech) yang diperinci lagi ke dalam bentuk dialek, julukan (naming), ungkapan-ungkapan dan kalimat tradisional (traditional pharases and sentences) yang dapat digolongkan dalam kelompok peribahasa (proverb and proverbial saying), sedangkan pertanyaan tradisional termasuk ke dalam teka-teki rakyat (folk riddles). Selain itu ada sanjak rakyat (folk rhymes), syair rakyat (folk poetry), dan bermacam-macam cerita rakyat (folk narratives) seperti mite, legenda dan dongeng. Bentuk terakhir adalah nyanyian rakyat (folk song) dan balada rakyat (folk ballads) dengan musiknya.[6]

Di antara banyak bahasa dan dialek di Indonesia, hanya delapan yang memiliki tradisi tertulis. Pada zaman sekarang di beberapa wilayah tertentu di Indonesia keberaksaraan masih merupakan hal yang baru. Pemeliharaan dan penyampaian adat kebiasaan, sejarah, pandangan hidup, agama, kedudukan sosial dan bahasa sangat mengandalkan kata lisan. Teks kisahan dapat berbentuk macam-macam: nyanyian, syair, prosa, lirik atau syair bebas. Cerita-cerita tersebut mengajarkan para pendengarnya memecahkan masalah atau teki-teki, menyampaikan tradisi, menyokong jati diri kebudayaan, dongeng khayalan, dan tak kalah pentingnya, menghibur.[7]

Bagi penduduk di Nusa Tenggara, keadaan keberanekaragaman memberikan sumbangan terhadap kesusastraan pribumi yang hidup dan didasarkan pada susunan lisan. Pendongeng, ahli silsilah, pencerita suku, dan penggumam upacara keagamaan sangat penting bagi kelestarian tradisi setempat.[8] Tradisi setempat mulanya terbentuk oleh keprihatinan kebudayaan dan upacara, kemudian berlangkah lebih jauh memasuki seluruh aspek kehidupan.

Pada uraian dan analisa-analisa yang akan berkembang dalam tulisan ini, tanpa menampik hasil penelitian dari perspektif lain, tilikan saya lebih berorientasi pada tradisi lisan Orang Manggarai yang dieksplisitasi dalam berbagai bentuk sastranya.[9] Dalam pembagian yang umum, menurut isinya kesusastraan dibagi menjadi empat bagian yakni epik, lirik, didaktik dan dramatik. Sementara menurut bentuknya ada prosa, puisi dan prosa liris.[10] Epik adalah karangan yang bersifat obyektif. Artinya, pengarang melukiskan apa yang terjadi sesungguhnya seperti dalam kenyataan tanpa memasukan unsur emosi dan imajinasi penulisnya. Sebaliknya lirik adalah semua jenis karangan yang bersifat subyektif. Dalam karangan jenis ini pengarang secara intens melukiskan imajinasi dan ilham pribadinya.[11] Bahasa sastra selalu terkait dengan emosi [perasaan] dan pikiran, fantasi dan lukisan angan-angan, penghayatan batin dan lahir, peristiwa dan khayalan dengan bentuk bahasa yang istimewa.[12]

Secara khusus dalam tulisan ini, saya akan memusatkan perhatian pada dua bentuk utama sastra yang sudah menjadi lazim yakni Prosa naratif[13] yang terungkap dalam pelbagai kisah rakyat [tombo nunduk, tombo turuk] dan Puisi lirik[14] yang dieskpresikan melalui peribahasa, tamsil-tamsil [go’et], syair-syair doa [torok] dan syair-syair lagu-lagu rakyat [dere, nenggo]. Sejarah lisan [Oral History] maupun tradisi lisan dalam tradisi budaya Orang Manggarai memang merupakan bagian “keutamaan adak” [disebut pecing adak: tahu adat, kenal hukum], sebuah perilaku budaya yang harus dilakoni setiap warga generasi sebagai jati diri sejarah tanah air dan keturunannya.[15]

Tombo Nunduk dapat dipahami sebagai aktivitas dalam meneruskan sejarah keberadaan sebuah keturunan suku [klan yang disebut wa’u] yang dikisahkan terus menerus secara lisan kepada setiap generasi keturunan itu. Sedangkan Tombo Turuk dimengerti sebagai cerita-cerita yang memiliki berbagai makna kehidupan: sosial, spiritual, ekonomis, humor, pendidikan nilai, dll.[16] Kedua jenis prosa ini dikisahkan dalam bentuk lisan oleh generasi tua kepada anak-anaknya umumnya demi alasan pedagogis dan penerusan sejarah keberadaan diri dan masyarakat. Go’et-go’et adalah kata-kata bijak yang diramu sebagai syair-syair bertuah. Bentuknya tidak selalu sama tetapi bervariasi namun memiliki tujuan yang sama yakni untuk mendidik, mengeritik dan juga menghibur. Torok adalah doa-doa yang biasa didaraskan di berbagai tempat, misalnya di lodok [titik pusat dari perkebunan komunal yang disebut lingko], di compang [batu-batu yang disusun menyerupai altar persembahan], di Mbaru Gendang [disebut juga Mbaru Tembong, rumah adat], dan tempat-tempat lain pada saat upacara-upacara adat dilangsungkan. Syair-syair dere adalah barisan kata bermakna yang membentuk sebuah lagu. Syair-syair dere ini memiliki fungsi yang sama seperti prosa-prosa: menyampaikan usul-asal, mengisahkan kembali sebuah peristiwa, mengajukan sebuah pertanyaan, mengeritik sistem sosial yang ada, menghibur, dsb.

Di tengah usaha mencari jawaban atas persoalan kekerasan yang tengah melanda wilayah Manggarai, sempat timbul sebuah kesangsian metodis [dubium methodicum] di dalam diri saya yang berakhir pada pada pertanyaan: “Masih relevankah membuat analisa atas tradisi lisan pada zaman di mana tradisi itu sudah banyak tertinggal bila dibandingkan dengan tradisi tulisan dan audio-visual yang sulit diimbangi?” Pertanyaan ini sungguh menggelitik untuk melihat kembali urgensitas sebuah analisa yang bertitik pangkal pada tradisi lisan, khususnya bentuk sastra yang dimiliki oleh Orang Manggarai. Di Indonesia pada masa sekarang, tradisi lisan harus bersaing dengan cetakan, radio, televisi dan film. Sementara itu menjadi kenyataan yang umum, pendidikan massal yang dilakukan dalam bahasa Indonesia, bahasa resmi negara, cenderung menekankan yang dominan, kebudayaan “sastra” dengan mengorbankan yang “non sastra”. Meneruskan pengetahuan yang terwujud dalam teks lisan merupakan tantangan bagi kebudayaan Indonesia yang sedang berubah sekarang.

Untuk memberikan jawaban sementara, saya berasumsi bahwa meskipun tradisi tertulis dan budaya audio-visual kian menjamur, namun perkembangan itu belum merata. Masih banyak wilayah yang belum dirambah oleh teknologi canggih seperti itu. Dan yang lebih penting, tradisi lisan adalah bagian dari kehidupan manusia. Ia bahkan merupakan bentuk primer dari komunikasi manusia. Kemajuan, bagaimanapun pesatnya, tak akan menghapus tradisi lisan sebagai bagian dari kebudayaan. Jika kenyataan ini diterima, maka penjelasan yang adekuat tentang relasi antara sastra dan budaya mesti dibuat sehingga analisa apapun yang akan berkembang dalam tulisan ini tidak keluar dari bingkai itu.

Sastra merupakan bagian dari kebudayaan.[17] Sastra mengungkapkan budaya manusia, manusia mengekspresikan dirinya dalam pelbagai bentuk unsur dan komponen budaya. Jadi, ada relasi timbal balik antara sastra, budaya dan manusia. Mengikuti alur pemikiran ini, manusia akan bisa dipahami apabila dapat dimengerti budayanya. Tentang budaya E.B. Taylor, seorang antropolog, berpendapat bahwa kebudayaan adalah keseluruhan pengetahuan, kepercayaan, kesenian, kesusilaan dan hukum, adat-istiadat dan setiap kecakapan serta kebiasaan yang diperoleh manusia sebagai anggota masyarakat.[18]

[1] Jan Vansina sebagaimana dikutip Elizabeth Tonkin, “Oral Tradition” dalam: Adam Kupler & Jessica Kuper, Ensiklopedi Ilmu-Ilmu Sosial, terj. Harismunandar, et. al. [Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2000], p. 719.

[2] Brundvand Jan Harold, American Folklore: An Encyclopedia [New York & London: Garland Publishing, Inc, 1998], pp. 5-6.

[3] Lorens Bagus, Kamus Filsafat [Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1996], pp. 1115-1116.

[4] Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia [Jakarta: Balai Pustaka, 1990], p. 528.

[5] Soerjono Soekanto, Kamus Sosiologi [Jakarta: RajaGrafido, 1993], p. 520.

[6] Jan Harold Brundvand, Op. Cit., p. 11.

[7] Dalam ulasan tentang “Oral Tradition” John H. McGlynn menjelaskan juga tempat tradisi lisan di Indonesia. Menurut dia, masih banyak penduduk Indonesia yang mengandalkan tradisi lisan bila dibandingkan tradisi tulisan. John H. McGlynn (ed.), “Language and Literature” dalam: Indonesian Heritage [Singapore: Archipelago Press, 1998], p. 49.

[8] Ulasan tentang tradisi lisan mencakup pelbagai wilayah, termasuk Nusa Tenggara. Bdk. John H. McGlynn (ed.), Ibid, pp. 64-65.

[9] Sastra adalah salah satu rumpun kesenian yang menggunakan bahasa sebagai alat komunikasi. Sastra merupakan ungkapan batin seseorang melalui bahasa dengan cara penggambaran. Penggambaran atau imaji ini dapat merupakan titian terhadap kenyataan hidup, dapat merupakan wawasan individu terhadap kenyataan kehidupan, dapat merupakan imaji murni [rekaan] yang sama sekali tidak berkaitan dengan kenyataan hidup atau gambaran intuisi individu dan bisa juga campuran dari semua hal itu. Bdk. Jacob Sumarjo, “Kesusastraan” dalam: Ensiklopedi Nasional Indonesia [Jakarta: Cipta Adi Pustaka, 1990], p. 441. Bdk. A. Teew, Membaca dan Menilai Sastra [Jakarta: Gramedia, 1983], p. 1.

[10] Prisco Firgo, “Definisi Kesusastraan” dalam: DIAN, Minggu, 27 Februari 2005, p. 4.

[11] Prisco Firgo, Ibid.

[12] W.J.S. Poerwadarminta, Bahasa Indonesia untuk Karang-Mengarang [Yogyakarta: U.P. Indonesia, 1979], p. 20.

[13] Secara etimologis, kata “puisi” berasal dari bahasa Yunani poeima yang berarti membuat, poesis [perbuatan] atau poeties [pembuat, pembangun dan pembentuk]. Di Inggris puisi disebut poetry yang artinya tidak beda dengan to make atau to create. Sehingga lama sekali di Inggris puisi disebut maker. Dikatakan pembuat atau pembangun karena pada dasarnya menulis puisi adalah membangun, membentuk dan membuat suatu dunia baru secara lahir batin. Dibandingkan dengan prosa, puisi lebih lengkap dan padat karena memiliki bunyi, irama, diksi, kombinasi kata-kata, bahasa kiasan dan gaya bahasa. Bertho Gagu, “Mengungkap Rintihan Rendra dan Sutardji”dalam: Buletin Suaka, No. 2, 2003. Bentuk puisi terdiri atas puisi epik [balada, epos], puisi lirik [lirik kognitif, lirik ekspresif dan lirik afektif] dan puisi dramatik. Sedangkan bentuk prosa terdiri atas prosa naratif [cerita pendek, roman atau novel] dan prosa dramatik [tragedi, komedi, tragikomedi dan melodrama]. Jacob Sumarjo, “Kesusastraan” dalam: Op.Cit, p. 442.

[14] Puisi merupakan jenis sastra yang menekankan kepadatan bentuk, keplastisan bahasa dan kepekatan lambangnya. Pada jenis puisi segalanya bersifat konotatif, artinya kandungan isi dari pada apa yang dikatakan lebih kaya daripada yang terdengar atau terbaca. Dalam karya prosa, apa yang tertulis, biasanya hanya mempunyai arti seperti yang dituliskannya, cenderung berarti denotatif saja, meskipun pada zaman sekarang perbedaan ini sangat tipis. Jacob Sumarjo, “Kesusastraan” dalam: Ibid.

[15] Dami N. Toda, Manggarai Mancari Pencerahan Historiografi [Ende: Nusa Indah, 1999], p. 13.

[16] Bdk. Petrus Janggur, “Tombo Turuk: Cerita Rakyat Manggarai”, Stensilan [Ruteng, 1995]. Seluruh materi yang terdapat dalam stensilan ini pernah dibawakan dalam acara siaran budaya di RPD [Radio Pemerintah] Manggarai. Atas berbagai pertimbangan, khususnya kekayaan nilai yang terkandung di dalamnya maka bahan yang sama dijadikan pelajaran pada Sekolah Dasar sebagai Muatan Lokal [Mulok].

[17] Bdk. Ignas Kleden, Sastra Indonesia Dalam Enam Pertanyaan [Jakarta: Grafiti-Freedom Institute, 2004], p. 8.

[18] Louis Luzbetak, “Kerasulan dan Kebudayaan”, disadur dan diterjemahkan oleh Josef Glinka dalam: Seri Buku Pastoralia, Seri IX/7/1984 [Maumere: Ledalero, 1984], p. 19: [That complex whole which includes knowledge, belief, art, morals, law, customs and any other capabilities and habits acquired as member of society].

Penggunaan tradisi lisan sebagai seni dalam ilmu-ilmu sosial menjadi hal biasa setelah terbitnya buku Jan Vansina: De la Tradition Orale: esai de methode historique (dalam bahasa Perancis 1961, dalam bahasa Inggris 1973). Di sini Vansina menampilkan sarana-sarana sistematik untuk mengidentifikasi, mengumpulkan dan menafsirkan tradisi-tradisi lisan dalam rangka menemukan aspek-aspek masa lampau, terutama di tempat yang tidak memiliki dokumentasinya secara tertulis. Vansina mendefinisikan tradisi lisan sebagai “kesaksian verbal yang ditransimisikan dari satu generasi ke generasi lainnya atau ke generasi masa depan”.[1] Sebelum Vansina membuat uraian sistematis dengan menampilkan contoh-contoh dari hasil penelitiannya di Ruanda-Urundi dan Kuba di Kongo, Afrika, tradisi lisan sudah berkembang secara universal pada berbagai kebudayaan di seluruh dunia. Tradisi lisan merupakan cikal-bakal tradisi tulisan yang berkembang sangat kuat pada zaman modern (dan kontemporer) hingga saat ini.

Dalam banyak literatur, istilah tradisi lisan sering disepadankan dengan “folklor” (oral and customary tradition), seperti yang digunakan di Amerika Serikat oleh Jan Harold Brunvand. Tentang Folklor, Arche Taylor mendefinisikannya sebagai bahan-bahan yang diwariskan oleh tradisi, baik melalui kata-kata dari mulut atau oleh adat istiadat dari praktek. Pada tahun 1948, dengan tegas Taylor mengatakan: “Folklor adalah bahan (material) yang diwariskan oleh tradisi, baik melalui kata-kata yang keluar dari mulut, atau melalui adat kebiasaan maupun praktek”.[2]

Istilah tradisi berasal dari kata Latin traditio (kata kerja tradere) yang berarti tradisi atau penyerahan (handing down). Francis Bacon, seorang Filsuf Ilmu Pengetahuan, menggunakan kata yang sama untuk mendefinisikan pernyataan atau pengiriman pengetahuan. Sedangkan menurut Lorens Bagus, kata “tradisi” (bahasa Inggris: tradition) memiliki perluasan makna dalam berbagai bidang. Dalam bidang sejarah, tradisi berarti adat istiadat, ritus-ritus, ajaran-ajaran sosial, pandangan-pandangan, nilai-nilai, aturan-aturan, perilaku-perilaku yang diwariskan dari generasi ke generasi. Ia merupakan unsur warisan sosio-kultural yang dilestarikan dalam masyarakat atau dalam kelompok sosial masyarakat dalam kurun waktu yang panjang. Tradisi bersifat progresif kalau dihubungkan dengan perkembangan kreatif kebudayaan tetapi tradisi bersifat reaksioner kalau ia berkaitan dengan sisa-sisa yang sudah usang dari unsur-unsur budaya masa lampau. Dalam ranah ilmu, tradisi berarti kontinuitas pengetahuan dan metode-metode penelitian. Sedangkan dalam dunia seni, tradisi berarti kesinambungan gaya dan keterampilan.[3]

Istilah “lisan” (oral) dapat diartikan sebagai kata-kata yang dituturkan, diucapkan.[4] Dengan demikian, kata “lisan” dalam kaitan dengan Tradisi Lisan (Oral Tradition) berarti tradisi yang ditransmisikan secara lisan[5] dalam berbagai bentuknya seperti ujaran rakyat (folk speech) yang diperinci lagi ke dalam bentuk dialek, julukan (naming), ungkapan-ungkapan dan kalimat tradisional (traditional pharases and sentences) yang dapat digolongkan dalam kelompok peribahasa (proverb and proverbial saying), sedangkan pertanyaan tradisional termasuk ke dalam teka-teki rakyat (folk riddles). Selain itu ada sanjak rakyat (folk rhymes), syair rakyat (folk poetry), dan bermacam-macam cerita rakyat (folk narratives) seperti mite, legenda dan dongeng. Bentuk terakhir adalah nyanyian rakyat (folk song) dan balada rakyat (folk ballads) dengan musiknya.[6]

Di antara banyak bahasa dan dialek di Indonesia, hanya delapan yang memiliki tradisi tertulis. Pada zaman sekarang di beberapa wilayah tertentu di Indonesia keberaksaraan masih merupakan hal yang baru. Pemeliharaan dan penyampaian adat kebiasaan, sejarah, pandangan hidup, agama, kedudukan sosial dan bahasa sangat mengandalkan kata lisan. Teks kisahan dapat berbentuk macam-macam: nyanyian, syair, prosa, lirik atau syair bebas. Cerita-cerita tersebut mengajarkan para pendengarnya memecahkan masalah atau teki-teki, menyampaikan tradisi, menyokong jati diri kebudayaan, dongeng khayalan, dan tak kalah pentingnya, menghibur.[7]

Bagi penduduk di Nusa Tenggara, keadaan keberanekaragaman memberikan sumbangan terhadap kesusastraan pribumi yang hidup dan didasarkan pada susunan lisan. Pendongeng, ahli silsilah, pencerita suku, dan penggumam upacara keagamaan sangat penting bagi kelestarian tradisi setempat.[8] Tradisi setempat mulanya terbentuk oleh keprihatinan kebudayaan dan upacara, kemudian berlangkah lebih jauh memasuki seluruh aspek kehidupan.

Pada uraian dan analisa-analisa yang akan berkembang dalam tulisan ini, tanpa menampik hasil penelitian dari perspektif lain, tilikan saya lebih berorientasi pada tradisi lisan Orang Manggarai yang dieksplisitasi dalam berbagai bentuk sastranya.[9] Dalam pembagian yang umum, menurut isinya kesusastraan dibagi menjadi empat bagian yakni epik, lirik, didaktik dan dramatik. Sementara menurut bentuknya ada prosa, puisi dan prosa liris.[10] Epik adalah karangan yang bersifat obyektif. Artinya, pengarang melukiskan apa yang terjadi sesungguhnya seperti dalam kenyataan tanpa memasukan unsur emosi dan imajinasi penulisnya. Sebaliknya lirik adalah semua jenis karangan yang bersifat subyektif. Dalam karangan jenis ini pengarang secara intens melukiskan imajinasi dan ilham pribadinya.[11] Bahasa sastra selalu terkait dengan emosi [perasaan] dan pikiran, fantasi dan lukisan angan-angan, penghayatan batin dan lahir, peristiwa dan khayalan dengan bentuk bahasa yang istimewa.[12]

Secara khusus dalam tulisan ini, saya akan memusatkan perhatian pada dua bentuk utama sastra yang sudah menjadi lazim yakni Prosa naratif[13] yang terungkap dalam pelbagai kisah rakyat [tombo nunduk, tombo turuk] dan Puisi lirik[14] yang dieskpresikan melalui peribahasa, tamsil-tamsil [go’et], syair-syair doa [torok] dan syair-syair lagu-lagu rakyat [dere, nenggo]. Sejarah lisan [Oral History] maupun tradisi lisan dalam tradisi budaya Orang Manggarai memang merupakan bagian “keutamaan adak” [disebut pecing adak: tahu adat, kenal hukum], sebuah perilaku budaya yang harus dilakoni setiap warga generasi sebagai jati diri sejarah tanah air dan keturunannya.[15]

Tombo Nunduk dapat dipahami sebagai aktivitas dalam meneruskan sejarah keberadaan sebuah keturunan suku [klan yang disebut wa’u] yang dikisahkan terus menerus secara lisan kepada setiap generasi keturunan itu. Sedangkan Tombo Turuk dimengerti sebagai cerita-cerita yang memiliki berbagai makna kehidupan: sosial, spiritual, ekonomis, humor, pendidikan nilai, dll.[16] Kedua jenis prosa ini dikisahkan dalam bentuk lisan oleh generasi tua kepada anak-anaknya umumnya demi alasan pedagogis dan penerusan sejarah keberadaan diri dan masyarakat. Go’et-go’et adalah kata-kata bijak yang diramu sebagai syair-syair bertuah. Bentuknya tidak selalu sama tetapi bervariasi namun memiliki tujuan yang sama yakni untuk mendidik, mengeritik dan juga menghibur. Torok adalah doa-doa yang biasa didaraskan di berbagai tempat, misalnya di lodok [titik pusat dari perkebunan komunal yang disebut lingko], di compang [batu-batu yang disusun menyerupai altar persembahan], di Mbaru Gendang [disebut juga Mbaru Tembong, rumah adat], dan tempat-tempat lain pada saat upacara-upacara adat dilangsungkan. Syair-syair dere adalah barisan kata bermakna yang membentuk sebuah lagu. Syair-syair dere ini memiliki fungsi yang sama seperti prosa-prosa: menyampaikan usul-asal, mengisahkan kembali sebuah peristiwa, mengajukan sebuah pertanyaan, mengeritik sistem sosial yang ada, menghibur, dsb.

Di tengah usaha mencari jawaban atas persoalan kekerasan yang tengah melanda wilayah Manggarai, sempat timbul sebuah kesangsian metodis [dubium methodicum] di dalam diri saya yang berakhir pada pada pertanyaan: “Masih relevankah membuat analisa atas tradisi lisan pada zaman di mana tradisi itu sudah banyak tertinggal bila dibandingkan dengan tradisi tulisan dan audio-visual yang sulit diimbangi?” Pertanyaan ini sungguh menggelitik untuk melihat kembali urgensitas sebuah analisa yang bertitik pangkal pada tradisi lisan, khususnya bentuk sastra yang dimiliki oleh Orang Manggarai. Di Indonesia pada masa sekarang, tradisi lisan harus bersaing dengan cetakan, radio, televisi dan film. Sementara itu menjadi kenyataan yang umum, pendidikan massal yang dilakukan dalam bahasa Indonesia, bahasa resmi negara, cenderung menekankan yang dominan, kebudayaan “sastra” dengan mengorbankan yang “non sastra”. Meneruskan pengetahuan yang terwujud dalam teks lisan merupakan tantangan bagi kebudayaan Indonesia yang sedang berubah sekarang.

Untuk memberikan jawaban sementara, saya berasumsi bahwa meskipun tradisi tertulis dan budaya audio-visual kian menjamur, namun perkembangan itu belum merata. Masih banyak wilayah yang belum dirambah oleh teknologi canggih seperti itu. Dan yang lebih penting, tradisi lisan adalah bagian dari kehidupan manusia. Ia bahkan merupakan bentuk primer dari komunikasi manusia. Kemajuan, bagaimanapun pesatnya, tak akan menghapus tradisi lisan sebagai bagian dari kebudayaan. Jika kenyataan ini diterima, maka penjelasan yang adekuat tentang relasi antara sastra dan budaya mesti dibuat sehingga analisa apapun yang akan berkembang dalam tulisan ini tidak keluar dari bingkai itu.

Sastra merupakan bagian dari kebudayaan.[17] Sastra mengungkapkan budaya manusia, manusia mengekspresikan dirinya dalam pelbagai bentuk unsur dan komponen budaya. Jadi, ada relasi timbal balik antara sastra, budaya dan manusia. Mengikuti alur pemikiran ini, manusia akan bisa dipahami apabila dapat dimengerti budayanya. Tentang budaya E.B. Taylor, seorang antropolog, berpendapat bahwa kebudayaan adalah keseluruhan pengetahuan, kepercayaan, kesenian, kesusilaan dan hukum, adat-istiadat dan setiap kecakapan serta kebiasaan yang diperoleh manusia sebagai anggota masyarakat.[18]

[1] Jan Vansina sebagaimana dikutip Elizabeth Tonkin, “Oral Tradition” dalam: Adam Kupler & Jessica Kuper, Ensiklopedi Ilmu-Ilmu Sosial, terj. Harismunandar, et. al. [Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2000], p. 719.

[2] Brundvand Jan Harold, American Folklore: An Encyclopedia [New York & London: Garland Publishing, Inc, 1998], pp. 5-6.

[3] Lorens Bagus, Kamus Filsafat [Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1996], pp. 1115-1116.

[4] Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia [Jakarta: Balai Pustaka, 1990], p. 528.

[5] Soerjono Soekanto, Kamus Sosiologi [Jakarta: RajaGrafido, 1993], p. 520.

[6] Jan Harold Brundvand, Op. Cit., p. 11.

[7] Dalam ulasan tentang “Oral Tradition” John H. McGlynn menjelaskan juga tempat tradisi lisan di Indonesia. Menurut dia, masih banyak penduduk Indonesia yang mengandalkan tradisi lisan bila dibandingkan tradisi tulisan. John H. McGlynn (ed.), “Language and Literature” dalam: Indonesian Heritage [Singapore: Archipelago Press, 1998], p. 49.

[8] Ulasan tentang tradisi lisan mencakup pelbagai wilayah, termasuk Nusa Tenggara. Bdk. John H. McGlynn (ed.), Ibid, pp. 64-65.

[9] Sastra adalah salah satu rumpun kesenian yang menggunakan bahasa sebagai alat komunikasi. Sastra merupakan ungkapan batin seseorang melalui bahasa dengan cara penggambaran. Penggambaran atau imaji ini dapat merupakan titian terhadap kenyataan hidup, dapat merupakan wawasan individu terhadap kenyataan kehidupan, dapat merupakan imaji murni [rekaan] yang sama sekali tidak berkaitan dengan kenyataan hidup atau gambaran intuisi individu dan bisa juga campuran dari semua hal itu. Bdk. Jacob Sumarjo, “Kesusastraan” dalam: Ensiklopedi Nasional Indonesia [Jakarta: Cipta Adi Pustaka, 1990], p. 441. Bdk. A. Teew, Membaca dan Menilai Sastra [Jakarta: Gramedia, 1983], p. 1.

[10] Prisco Firgo, “Definisi Kesusastraan” dalam: DIAN, Minggu, 27 Februari 2005, p. 4.

[11] Prisco Firgo, Ibid.

[12] W.J.S. Poerwadarminta, Bahasa Indonesia untuk Karang-Mengarang [Yogyakarta: U.P. Indonesia, 1979], p. 20.

[13] Secara etimologis, kata “puisi” berasal dari bahasa Yunani poeima yang berarti membuat, poesis [perbuatan] atau poeties [pembuat, pembangun dan pembentuk]. Di Inggris puisi disebut poetry yang artinya tidak beda dengan to make atau to create. Sehingga lama sekali di Inggris puisi disebut maker. Dikatakan pembuat atau pembangun karena pada dasarnya menulis puisi adalah membangun, membentuk dan membuat suatu dunia baru secara lahir batin. Dibandingkan dengan prosa, puisi lebih lengkap dan padat karena memiliki bunyi, irama, diksi, kombinasi kata-kata, bahasa kiasan dan gaya bahasa. Bertho Gagu, “Mengungkap Rintihan Rendra dan Sutardji”dalam: Buletin Suaka, No. 2, 2003. Bentuk puisi terdiri atas puisi epik [balada, epos], puisi lirik [lirik kognitif, lirik ekspresif dan lirik afektif] dan puisi dramatik. Sedangkan bentuk prosa terdiri atas prosa naratif [cerita pendek, roman atau novel] dan prosa dramatik [tragedi, komedi, tragikomedi dan melodrama]. Jacob Sumarjo, “Kesusastraan” dalam: Op.Cit, p. 442.

[14] Puisi merupakan jenis sastra yang menekankan kepadatan bentuk, keplastisan bahasa dan kepekatan lambangnya. Pada jenis puisi segalanya bersifat konotatif, artinya kandungan isi dari pada apa yang dikatakan lebih kaya daripada yang terdengar atau terbaca. Dalam karya prosa, apa yang tertulis, biasanya hanya mempunyai arti seperti yang dituliskannya, cenderung berarti denotatif saja, meskipun pada zaman sekarang perbedaan ini sangat tipis. Jacob Sumarjo, “Kesusastraan” dalam: Ibid.

[15] Dami N. Toda, Manggarai Mancari Pencerahan Historiografi [Ende: Nusa Indah, 1999], p. 13.

[16] Bdk. Petrus Janggur, “Tombo Turuk: Cerita Rakyat Manggarai”, Stensilan [Ruteng, 1995]. Seluruh materi yang terdapat dalam stensilan ini pernah dibawakan dalam acara siaran budaya di RPD [Radio Pemerintah] Manggarai. Atas berbagai pertimbangan, khususnya kekayaan nilai yang terkandung di dalamnya maka bahan yang sama dijadikan pelajaran pada Sekolah Dasar sebagai Muatan Lokal [Mulok].

[17] Bdk. Ignas Kleden, Sastra Indonesia Dalam Enam Pertanyaan [Jakarta: Grafiti-Freedom Institute, 2004], p. 8.

[18] Louis Luzbetak, “Kerasulan dan Kebudayaan”, disadur dan diterjemahkan oleh Josef Glinka dalam: Seri Buku Pastoralia, Seri IX/7/1984 [Maumere: Ledalero, 1984], p. 19: [That complex whole which includes knowledge, belief, art, morals, law, customs and any other capabilities and habits acquired as member of society].