Saturday, 21 July 2018

Ones Jaman: La philosophie orante! Sebuah Obituary




Kanisius Teobaldus Deki S.Fil., M.Th
Dosen STKIP Santu Paulus, Anggota FKUB Kabupaten Manggarai



S
iang yang panas. Lengkingan suara orasi memecah keheningan kota Ruteng. Barisan pencinta NKRI rapih dengan yel-yel yang terus menggema, sebagai penyela orasi yang dibawakan oleh beberapa orang yang secara khusus didaulat untuk itu. Maklum, akhir-akhir ini, Negara ini sedang dalam rong-rongan kaum pemecah belah atas macam-macam alasan. Tak hanya suku dan etnik yang menjadi basis rasional untuk menyerang Negara Kesatuan, tetapi juga agama dan keyakinan. Tak cukup kemiskinan dan ketidakmerataan pembangunan yang dijadikan tameng menyerang pemerintah, tetapi juga niat untuk mengubah heterogenitas menjadi homogenitas dalam banyak aspek. Intinya, Negara dalam kondisi bahaya. Karena itu, mengembalikan NKRI dengan empat pilar kebangsaan: UUD 1945, Pancasila, NKRI dan Bhineka Tunggal Ika adalah jalan lapang membebaskan bangsa ini dari cengkeraman penindas-penindas ideologi!

Saya juga didaulat untuk membawakan orasi, mewakili kelompok pemuda. Sebuah orasi yang isinya mengembalikan marwah bangsa ini dengan focus pada usaha kaum muda membangun Manggarai dengan kecintaan yang tulus, hidup berdampingan dalam pluralitas, bekerja dengan giat dan tak lupa menerimaan perbedaan sebagai berkat. Seperti biasa, tepuk tangan meriah adalah hadiah gratis sesudah orasi. Saya duduk kembali.

“Kita ketemu sesudah kegiatan ini selesai”, bisik seorang lelaki yang sudah berumur. Beliau duduk bersebelahan dengan saya di tribun utama. Dan jadilah demikian. “Orasi tadi bagus. Perbedaan adalah sesuatu yang disyukuri. Itulah yang harus kita tanamkan dalam kesadaran, bukan saja pada kaum muda, tetapi juga pada semua orang di bangsa ini”, komentarnya memberikan apresiasi sekaligus pendalaman. Saya juga berterima kasih, ada yang menyampaikan pendapat atas orasi saya. Saya rasa ini bukan sebuah formalitas. Ini datang dari kedalaman, dari seorang yang betul mencintai Negara ini. Sebuah sedimentasi nilai yang kemudian mengalir dan membentuk arus kalimat bermakna (full of meaning). Setelah acara selesai, saya pulang. Saya termenung pada perhatian lelaki tua ini.

Beberapa bulan kemudian, saya ditelepon. “Kraeng (sapaan sopan untuk lelaki dewasa), kirim nama lengkapmu melalui SMS”, ujar lelaki di seberang sana. Saya lalu menulis nama kemudian mengirimnya melalui pesan singkat. Tanpa menanyakan untuk apa nama saya diminta. Tak terlintas sedikitpun dalam bayangan akan ada hal negative dengan nama itu, kecuali harapan bahwa ada sesuatu yang baik dari permintaan nama. Belakangan tiba-tiba saya dihubungi oleh Kesbangpolinmas. Aduh, ada apa ini? Begitu spontan saya bertanya. Ternyata, nama saya ada dalam barisan anggota Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) bersama beberapa teman lain utusan masing-masing agama yang ada di kabupaten Manggarai. “Saya sudah tua, saya menaruh harapan besar pada kalian, orang-orang muda, untuk melanjutkan perjuangan kami, membuat Manggarai menjadi lebih baik. Manggarai yang permai dan nyaman untuk dihuni. Tempat yang layak dikisahkan sebagai rumah damai bagi semua orang”, jelas beliau tatkala saya bertanya: Mengapa saya yang dia pilih?

Sebagai anggota FKUB Kabupaten Manggarai, sekaligus inisiator Forum Pemuda Manggarai, saya sering ditugaskan menjadi narasumber seminar. Sealur dengan permenungan Frans Magnis Suseno dalam Tantangan Kemanusiaan Universal (1993:109) yang melihat ancaman bagi keberadaban hidup bersama umat di masa depan tidak lagi datang dari ideologi-ideologi universalis, melainkan pada partikularisme primordialisme, lelaki itu memandang kesempatan berseminar sebagai ruang untuk mengubah mindset (pola pikir). Bahwa konsep-konsep individu dan kelompok yang eksklusif cenderung memenangkan egoisme dan fanatisme sempit yang justru menjadi ancaman serius bagi kebersamaan.

 Seminar-seminar yang terentang mulai dari kecamatan Ruteng, Reok dan Langke Rembong, menjadi moment yang tak terlupakan untuk menyuarakan dengan lantang komitmen untuk membangun fundasi hidup dalam penerimaan yang tulus akan fakta keberagaman dan kepelbagaian dalam multiaspek. “Kita menjadi penyumbang kegagalan ketika kehidupan tidak lagi dibangun di atas konsep yang jelas untuk kebaikan bersama (bonum commune); ketika dalil kita berada pada hitungan jumlah bukan pada mutu; penciptaan konsep yang benar itulah yang harus dilakukan terus menerus”, tandasnya pada suatu ketika saat kami bersua kembali.

La philosophie orante!

A
da banyak hal baik yang dapat dideretkan dari lelaki ini. Namun tentu tidak semuanya dapat ditulis satu per satu. Pertemuan kami makin intens ketika gereja lokal Keuskupan Ruteng diterpa badai skandal yang menghebohkan. Keruntuhan hidup rohani yang akut, kejatuhan lembaga gereja, ketidakpercayaan yang menguat umat terhadap kaum religius, menjadi kisah harian yang mencengangkan. Lebih dari memerihatinkan! Ada pilu yang tak terkatakan. Ada derita yang sulit dibebaskan. Ada situasi mencekam yang harus dilintasi untuk melawan ketakutan atas nama identitas dan nama baik.

 “Kita harus berbuat sesuatu. Kita harus berani menyatakan benar sebagai benar, salah sebagai salah. Kaum Awam harus berani bersikap atas situasi ini”, jelasnya berapi-api dalam pidato awal saat para tokoh awam berhasil dikumpulkan di rumahnya, di Kampung Maumere. Sejak saat itu, pertemuan demi pertemuan dilakukan. Konsolodasi diperlebar. Jumlah orang yang terlibat makin besar. Agenda makin mengerucut untuk secara bersama parapihak lainnya (stakeholders) mengeluarkan keuskupan dari derita.

Kraeng jadi sekretaris sekaligus juru bicara kami”, demikian lelaki itu menitahkan perintahnya kepada saya. “Kami sudah tua, kami butuh orang muda untuk menjadi corong kami”, lanjutnya. Itulah yang terjadi. Saya menjadi sekretaris sekaligus juru bicara, perwakilan resmi kelompok awam untuk penyelesaian masalah ini. Puji Tuhan! Akhirnya, Tuhan mendengar doa-doa dan usaha umatNya dengan keputusan yang melegakan hati.

Lelaki pemberani nan cerdas ini adalah Ones Jaman, biasa disapa begitu. Letupan semangat yang terus menyala, membakar semangat setiap orang yang dijumpainya. Sejak kecil nama ini sudah familiar di telinga saya. Kiprahnya pada Sinode Gereja Katolik Keuskupan Ruteng tak terbantahkan. Selaras dengan profesinya sebagai abdi Negara di Departemen Agama, entah sebagai staf pun sebagai kepala, di Ruteng juga sampai Kupang. Menurut kesaksian para sahabat dan muridnya, Ones adalah dirigen yang hebat, pengajar yang rendah hati dan penyemangat. Dia, selain jago bola kaki juga adalah seorang seniman teater. Selain itu, dia juga suka menulis dan bercerita. Mendengar Ones bercerita dengan mimiknya yang ekspresif membuat pendengar bisa lupa waktu. Seabrek jabatan untuk layanan publik sudah dilakukannya. Termasuk menjadi ketua Dewan Pastoral Paroki Katedral.

Pada saat kaum awam yang tergabung dalam kelompok peduli keuskupan menulis alamat sekretariat gerakan adalah Paroki Katedral, banyak pihak menjadi berang. Mereka yang kontra merilis informasi resmi melalui media sosial bahwa tempat itu tak pernah menjadi sekretariat dari gerakan apapun. Terhadap hal itu dia berkomentar, “Katedral itu pusat. Tidak sekedar nama. Katedral itu tempat yang menjadi pemicu perubahan. Di sana tahta uskup menjadi lambang pelayanan, kebenaran dan kebaikan. Karenanya, pelayanan, kebaikan dan kebenaran harus datang dari katedral”. Memang benar. Kata bahasa Latin “cathedra” berarti tempat duduk uskup (ecclesia cathedralis) yang berarti juga tahta uskup untuk menjalankan tugas yang dipercayakan Kristus kepadanya, menggembalakan domba-dombaNya.

Rekam jejak kehidupan Ones Jaman dapat disimpulkan dalam ungkapan ini: La philosophie orante! Ungkapan ini secara sederhana dapat diterjemahkan sebagai “filsafat yang berdoa”. Sebuah ungkapan yang berasal dari Maurice Blondel (hidup 1861-1949) dalam karyanya yang berjudul “La Pensee” (terbit 1934). Dalam penjelasan yang dibuat oleh Aime Forest dalam artikel berjudul “La philosophie orante” yang terbit tahun 1952. Forest menulis: “Bila pikiran mencapai dasarnya ia dengan sendirinya menjadi religious, bukan sebagai sesuatu yang disimpulkan, melainkan sesuatu yang pasti”. Blondel pun Forest ingin menegaskan hubungan yang intim antara filsafat dengan keyakinan. Filsafat sebagai sebuah kebijaksanaan pada akhirnya bermuara pada penciptaan keyakinan-keyakinan yang menjadi pilar-pilar prinsip nilai dan sikap hidup. Filsafat berarti cinta (philia) akan kebijaksanaan (Sophia), merujuk pada usaha mencari kebenaran yang pada akhirnya menghantar ke satu sasaran terakhir, yang oleh agama-agama diyakini sebagai Yang Ilahi dan diberi nama Tuhan, Dia yang diimani sebagai sumber kebijaksanaan, pemilik kebenaran yang utuh (Ceunfin & Baghi, 2005:vii).

Ones Jaman adalah manusia yang belajar filsafat, bukan saja di Ledalero sebagai sebuah lembaga filsafat yang disegani di kawasan timur Indonesia, tetapi pada kampus kehidupan, terus menerus dari waktu ke waktu. Dia berpikir, merenung, bermeditasi tentang kebenaran, kebaikan dan pelayanan tak lama berselang dia menjadi pelaku, subjek dari temuan-temuannya bersama yang lain. Kebijaksanaan yang dimilikinya bukanlah ide kosong yang absurd dan mengatasi realitas. Kebijaksanaan itu datang sebagai simpul-simpul penting pada pengambilan kebijakan penting di ruang sinode, pencerahan bagi mahasiswa di ruang kuliah, sebuah seni dalam nada dan lagu, kata dan gerakan indah pada drama, kerja sama tim dan kerja cerdas dalam dunia sepak bola, kerja jaringan pada kantor-kantor, kesetiaan penuh cinta kepada gereja dalam gerakan penyelamatan keuskupan!

Dia ingin menggarisbawahi bahwa filsafat dari kodratnya bersifat religious (philosophia naturaliter pia). Berpikir, membangun konsep, membahasakan gagasan pada akhirnya harus berkiblat pada pelayanan yang tak jemu kepada Tuhan dengan seluruh diri. Itulah sebabnya, saya menemukan pada diri Ones Jaman sebuah keyakinan yang teguh bahwa apapun yang dilakukannya, semuanya demi kemuliaan Tuhan (Ad maiorem Dei gloriam). Sebuah ungkapan yang diasalkan pada Paus Gregorius Agung (Dialogi I,2,160). Sebuah catatan kritis untuk kita di zaman yang senantiasa menjagokan rasio dalam membangun argumentasi untuk memenangkan egoisme pribadi pun kelompok di atas landasan kecerdasan berpikir yang salah dan dalam status yang legal.

Menderita, Tetap Melawan

O
nes Jaman lahir di Compang Pacar, Manggarai Barat pada 16 Februari 1950. Dia menempuh pendidikan sekolah dasar di SDK Compang, lalu pendidikan sekolah menengah di Seminar Kisol dan mengenyam pendidikan filsafat di STFK Ledalero. Setelah menyelesaikan pendidikannya, dia menjadi kepala sekolah PGAK, dosen APK Santu Paulus, dosen STIPAS Santo Sirilus, Kepala Kantor Agama di Manggarai dan kota madya Kupang. Selepas pension, dia pernah mengajukan dirinya sebagai bakal calon bupati Manggarai Barat bersama Drs. Yohanes Sehandi, namun belum berhasil. Dia lalu didapuk menjadi Ketua FKUB kabupaten Manggarai dan masih banyak aktivitas sosial yang dilakukannya.

Sakit dan derita kanker usus sudah dialaminya sejak tahun 1986. Dia terus berobat hingga tahun 2007. Tahun 2007 cobaan lagi-lagi datang dalam rupa kanker di kantong kemih. Oleh karena sakit yang sudah melampaui daya tahan, pada tahun 2008 dikuret. Karena sudah membaik, seharusnya tahun 2009-2010 harus ada pengontrolan, namun tidak dilakukan. Pada tahun 2011, dokter yang menangani penyakit Ones, prof. Tarmono melakukan bedah urologi untuk membuang kantong kemihnya, berhubung kanker makin menyebar ke ginjal kiri. Pilihanya, melakukan cuci darah atau operasi atas ginjal yang sudah terkena kanker. Ones memilih ginjalnya dibuang. Jadilah, tanpa kantong kemih, saluran dari ginjal kanan dibuat dari usus halus. Ones memakai kantong kemih buatan. Kanker seakan akrab dengan dirinya ketika tahun 2014 tumbuh kanker baru sekitar 5-7cm dari anus.

Dalam kehidupan yang diserang kanker terus menerus, Ones tetap beraktivitas seperti biasa. Seakan sehat, prima dan tidak terjadi apa-apa. Tetap mengajar, berceramah, mengendarai mobil, memimpin gerakan perubahan. Ones seakan-akan ingin melampui kodrat yang fana. Ia tidak ingin menyerah dari kepungan keterbatasan raga. Ia melawan penderitaan dengan aktivitas positif.

Ones sadar bahwa apa yang dilakukannya sebentar lagi berakhir. Dalam keterbatasan raga, dia mendekati istrinya, ibu Imel Hagul. “Ambilkan aku kertas dan ballpoint, aku mau menulis”. Ibu Imel menurut. Ones menulis sambil tersenyum:  "Amin! puji-pujian dan kemuliaan, dan hikmat dan syukur, dan hormat dan kekuasaan dan kekuatan bagi Allah kita sampai selama-lamanya! Amin!” (Wahyu 7:12). “Aku mau tulisan ini nanti ada di batu nisanku”, katanya sambil menyerahkan kertas itu kepada ibu Imel. Lagi-lagi menguat motto hidupnya:  Ad maiorem Dei gloriam!”

Awal tahun 2017, Ones kembali dibantai kanker baru. Sejak saat itu, perlawanannya mulai lemah. Dia mulai dirawat intensif di RS Siloam Labuan Bajo, dirujuk ke Surabaya dan akhirnya ke RS Sanglah di Bali. Di Bali dia diare hebat. Pertahanan fisiknya makin goyah. Dia minta kembali ke Labuan Bajo. Persis pada Senin, 16 Juli sore, dia minta kembali ke Ruteng. Sekitar pkl. 01.00 dini hari Ones menghembuskan nafas terakhirnya didampingi ibu Imel Hagul, sang istri tercinta dan dikitari anak-anak serta orang-orang dekatnya. Tangisan kesedihan pecah. Ones pasrah pada Sang Khalik, tak sanggup lagi melawan kodrat.

Pada Jumat, 20 Juli 2018, dihantar oleh sahabat, keluarga dan umat keuskupan Ruteng, Ones Jaman disemayamkan di Katedral Lama St. Yosef dalam perayaan ekaristi kudus yang dipimpin oleh Vikjen Keuskupan Ruteng, Rm. Alfons Segar Pr. Ones Jaman hidup sepanjang 68 tahun. Bukanlah usia yang sangat tua. Dalam diam abadinya seakan dia menitipkan pesan pada kita dari ungkapan bahasa latin “Quam benevivas, non quam diu refert” dari Seneca yang berarti: Yang penting bukan berapa lama engkau hidup, tetapi bagaimana engkau hidup dengan baik!

(Dipublikasikan pertama oleh: www.floressmart.com pada 22 Juli 2018)

Sunday, 15 July 2018

RITUS ADAT ORANG MANGGARAI




Kanisius Teobaldus Deki M.Th
Dosen STKIP Santu Paulus,
Ketua Lembaga Nusa Bunga Mandiri


Ritus

R
itus merupakan serangkaian tindakan simbolis yang dimaksudkan untuk menjalin relasi yang intim dengan Sang Pencipta, dunia roh, para leluhur, lingkungan dan alam semesta (kosmos) karena ada keyakinan akan keterhubungan hidup manusia dengan unsur-unsur itu. Manusia menyadari keterbatasan dirinya di hadapan tata ciptaan dan penciptanya. Karena itu manusia membangun relasi secara sadar melalui simbol-simbol demi menjamin kehidupan dan kebahagiaannya (bdk. David Kertzer, 1988:9). Simbol-simbol itu melukiskan dimensi spiritual dari kehidupan manusia. Selain itu ritus meyatu-padukan individu dengan masyarakatnya. Ada dimensi privat serentak komunal, individual sekaligus sosial (Durkheim 1915: 226).

Ritus Orang Manggarai

R
itus bagi orang Manggarai, sejalan dengan konsep di atas, adalah manivestasi akan kesadaran keberadaan sebagai manusia yang utuh, lengkap dan holistik. Manusia adalah “ada” dalam “ada-bersama yang lain”. Individu tidak pernah sendiri dalam artian tanpa ada keterhubungan dengan dunia dan sesamanya. Orang Manggarai percaya akan adanya Wujud Tertinggi (Verheijen, 1992) yang disebut dalam berbagai rupa, mulai dengan ungkapan parallel hingga sebutan ringkas. Wujud Tertinggi disebut dalam paralelisme simbolik seperti: “parn awon-kolepn sale” (Dia yang terbit di timur-terbenam di Barat); “tanan wa-awangn eta” (Dia yang ada di bumi- ada di langit); “ulun le-wa’in lau” (Dia yang memiliki hulu-Dia memiliki hilir). Sebutan bernuansa aktivitas kedirianNya misalnya: “Mori Jari Dedek “ (Tuhan Pengada-Pencipta); “Mori Wowo” (Tuhan Penjadi); “Mori agu Ngaran” (Tuhan dan Pemilik). Dalam kehidupan sehari-hari, sebutan untuk Tuhan adalah “Mori Keraeng” (Tuhan Penguasa).

Pengakuan atas ketidaksendirian manusia dalam alam ciptaan terbangun dalam keyakinan akan kehadiran “ada-yang-lain” yakni para roh (naga, ata pele sina). Ada roh penjaga kampung  (naga golo); roh penjaga rumah (naga mbaru), roh leluhur (wura agu ceki). Keberlangsungan hidup yang tak pernah terputus dimanifestasi dalam kepercayaan akan kehidupan dunia abadi melalui perantara sejati dalam diri para leluhur (ende-ema) yang sudah meninggal. Mereka adalah jembatan komunikator (letang temba; laro jaong; mu’u tungku) berhadapan dengan Tuhan Sang Pemilik Kehidupan (Mori agu Ngaran, Mori Jari Dedek; Mori Wowo).

Dalam cinta yang tak terbatas, melampaui dunia dan waktu, mereka akan membantu manusia yang masih berjuang di dunia oleh karena permohonan manusia yang masih hidup melalui kurban tertentu sesuai dengan ujud. Kurban yang dipersembahkan sebagai simbol cinta manusia terentang mulai dari telur ayam (ruha manuk), ayam (manuk), babi (ela), kambing (mbe), kuda (jarang) hingga yang paling besar adalah kerbau (kaba). Telur dan darah hewan kurban adalah simbol kehidupan. Telur adalah rumah sekaligus awal kehidupan. Darah adalah kehidupan itu sendiri. Hewan kurban memiliki warna tersendiri (wulu) seturut tata upacara dan intensinya. Warna putih melambangkan kesucian dan kemurnian. Ayam jantan putih dipersembahkan pada ritus Wuat Wa’i (perutusan). Ungkapan yang utama pada doa (torok) Wuat Wa’i adalah “poro neho lalong bakok du lakom, neho lalong rombeng du kolem” (semoga engkau seperti ayam jantan putih sewaktu menuju tempat perjuangan, seperti ayam berwarna-warni tatkala engkau kembali). Ungkapan ini memiliki makna bahwa seseorang yang diutus harus memiliki kesucian batin untuk memenangkan perjuangan dan berhasil sebagai pemenang dalam pertarungan kehidupan sehingga ia memiliki kesemarakan bagaikan ayam berbulu warna-warni.

Tujuan Ritus

R
itus orang Manggarai dilaksanakan karena ada maksud dan tujuan. Sebuah ritus lahir karena memberikan jawaban atas pertanyaan tentang kenyataan pun masalah yang dihadapi. Kehamilan misalnya adalah kenyataan tentang proses cikal bakal kelahiran seorang manusia. Karena itu ritus Lamba Wakas adalah sebentuk doa yang dimaksudkan agar ibu sang bayi tetap sehat dan aman, bebas dari gangguan roh jahat. Ritus Cear Cumpe dan Teing Ngasang merupakan pengukuhan status seorang anak kepada masyarakat. Ritus Dopo Wing merupakan akhir dari seluruh proses nifas seorang ibu yang dimaklumkan final (ditandai menopause) dan karenanya memiliki alasan kuat untuk mengucapkan syukur dan terima kasih kepada Tuhan atas karunia keturunan dan kehidupan yang berkelimpahan (mose di’a-mose lencek). Demikian halnya dengan ritus-ritus adat yang lainnya dalam hal pekerjaan, perkawinan, kesehatan, kematian dan pascakematian (Deki, et.al., 2017).

Ritus selalu mengandaikan maksud baik. Ritus yang dibuat asal-asalan akan selalu membawa bencana bagi pelakunya. Karena itu, ritus dalam susunannya yang sudah baku dimulai dengan persetujuan bersama melalui pernyataan langsung (kari). Kari yang dilakukan sebelum upacara wajib hukumnya sehingga upacara itu menjadi sah dan pantas. Ada tiga pihak yang harus ada dalam setiap ritus: 1) ase-ka’e (keluarga dari garis keturunan ayah), 2) anak rona (keluarga dari pemberi gadis) dan 3) anak wina (keluarga dari penerima anak gadis). Ase ka’e adalah saksi dari niat. Anak rona adalah penguat dari niat dan Anak Wina adalah penerima berkat dari niat itu. Oleh kehadiran tiga pihak itu, ritus orang Manggarai berciri relasional. Melalui ritus, relasi dibangun untuk selalu dan senantiasa ada dalam kekompakkan dan perdamaian. Moment memperlihatkan usus atau hati ayam (toto urat) adalah kesempatan untuk mengetahui apakah niat dan doa diterima oleh Tuhan dan para leluhur. Saat sakral di mana dimensi spiritual bercorak mistis menjadi kekuatan sebuah ritual: kata-kata doa (torok/tudak) yang diucapkan dijawab dalam rupa tanda!

Hewan Kurban

H
ewan yang telah disembelih memberikan tanda lahiriah dalam bentuk-bentuk terbaca oleh penutur torok. Tanda-tanda itu sudah lazim diterima dengan masing-masing maksud sesuai dengan pernyataan dalam doa (torok/tudak). Jawaban atas doa yang terungkap dalam tanda memberikan arah positif pun negative bagi pelaku ritual. Jika usus atau hati ayam berkilau, lurus tak bercela, maka Tuhan, roh leluhur, roh alam mersetui permohonan. Jika sebaliknya yang terjadi maka itu pertanda doa tak dikabulkan. Doa yang tak dikabulkan memberi kesempatan kepada pemilik hajatan untuk melakukan tindakan silih sesuai dengan tata aturan ritus yang berlaku.

Imam dalam Ritus

U
ntuk menyampaikan torok/tudak dalam ritus adat, peran penutur torok sebagai imam sangatlah penting. Dialah yang membawakan doa-doa (ata mu’u luju-lema emas) dan memperlihatkan tanda (toto urat) yang dinyatakan lewat usus atau hati hewan kurban. Melalui pembacaan atas tanda, dia pula yang menegaskan pesan dari tanda itu. Seorang penutur torok/tudak sejatinya adalah orang-orang terpilih dalam satu kampung. Ia memunyai kemampuan bukan saja karena hasil belajar semata melainkan juga karena mendapat wasiat langsung dari roh leluhur (ita one nai-lang one nipi). Karenanya, dia harus memiliki kerelaan hati dalam melayani dan menjaga kesucian diri agar pelayanannya membawa manfaat baik bagi masyarakat.

Pelestarian Ritus Adat

Ritus orang Manggarai akan terus bertahan. Hal itu disebabkan karena ritus-ritus itu tetap aktual dan relevan dalam memberikan jawaban bagi kebutuhan manusia. Selama orang Manggarai tetap percaya bahwa ritus-ritus itu berdampak positif, maka ritus-ritus itu akan tetap dijalankan.

Selain itu dalam setiap moment kehidupan, privat maupun komunal, hendaknya upacara-upacara adat tetap dijalankan secara konsisten. Upacara-upacara komunal seperti pesta Penti Weki Peso Beo (syukuran) setiap tahun dilakukan secara konsisten agar masyarakat tetap tahu berterima kasih. Pada lini privat, kendati beberapa ritus inisiasi sudah dilakukan melalui agama, namun upacara Cear Cumpe dan Teing Ngasang tetaplah dibuat sebagai penanda masuknya seorang individu ke dalam lingkup sosial masyarakat.

Dengan jalan pembiasaan itu, ritus-ritus lain mendapat tempat keberadaannya dengan memerhatikan filosofi kehidupan orang Manggarai “Gendangn one-lingkon pe’ang” yang memberikan bingkai bagi kehidupan manusia di tengah dunia ini. Ketika ritus-ritus dijalankan dengan benar maka orang Manggarai belajar mengaya nilai darinya dan membentuk karakternya berbasis nilai-nilai itu. ***

Dipublikasi pertama oleh: www.floressmart.com pada 15 Juli 2018.