Kanisius Teobaldus
Deki S.Fil., M.Th
Dosen STKIP Santu
Paulus, Anggota FKUB Kabupaten Manggarai
S
|
iang yang panas. Lengkingan suara orasi memecah
keheningan kota Ruteng. Barisan pencinta NKRI rapih dengan yel-yel yang terus
menggema, sebagai penyela orasi yang dibawakan oleh beberapa orang yang secara
khusus didaulat untuk itu. Maklum, akhir-akhir ini, Negara ini sedang dalam
rong-rongan kaum pemecah belah atas macam-macam alasan. Tak hanya suku dan etnik
yang menjadi basis rasional untuk menyerang Negara Kesatuan, tetapi juga agama
dan keyakinan. Tak cukup kemiskinan dan ketidakmerataan pembangunan yang
dijadikan tameng menyerang pemerintah, tetapi juga niat untuk mengubah
heterogenitas menjadi homogenitas dalam banyak aspek. Intinya, Negara dalam
kondisi bahaya. Karena itu, mengembalikan NKRI dengan empat pilar kebangsaan:
UUD 1945, Pancasila, NKRI dan Bhineka Tunggal Ika adalah jalan lapang
membebaskan bangsa ini dari cengkeraman penindas-penindas ideologi!
Saya juga didaulat untuk
membawakan orasi, mewakili kelompok pemuda. Sebuah orasi yang isinya
mengembalikan marwah bangsa ini dengan focus pada usaha kaum muda membangun
Manggarai dengan kecintaan yang tulus, hidup berdampingan dalam pluralitas, bekerja
dengan giat dan tak lupa menerimaan perbedaan sebagai berkat. Seperti biasa,
tepuk tangan meriah adalah hadiah gratis sesudah orasi. Saya duduk kembali.
“Kita ketemu sesudah
kegiatan ini selesai”, bisik seorang lelaki yang sudah berumur. Beliau duduk
bersebelahan dengan saya di tribun utama. Dan jadilah demikian. “Orasi tadi
bagus. Perbedaan adalah sesuatu yang disyukuri. Itulah yang harus kita tanamkan
dalam kesadaran, bukan saja pada kaum muda, tetapi juga pada semua orang di
bangsa ini”, komentarnya memberikan apresiasi sekaligus pendalaman. Saya juga
berterima kasih, ada yang menyampaikan pendapat atas orasi saya. Saya rasa ini
bukan sebuah formalitas. Ini datang dari kedalaman, dari seorang yang betul
mencintai Negara ini. Sebuah sedimentasi nilai yang kemudian mengalir dan
membentuk arus kalimat bermakna (full of
meaning). Setelah acara selesai, saya pulang. Saya termenung pada perhatian
lelaki tua ini.
Beberapa bulan kemudian,
saya ditelepon. “Kraeng (sapaan sopan
untuk lelaki dewasa), kirim nama lengkapmu melalui SMS”, ujar lelaki di
seberang sana. Saya lalu menulis nama kemudian mengirimnya melalui pesan
singkat. Tanpa menanyakan untuk apa nama saya diminta. Tak terlintas sedikitpun
dalam bayangan akan ada hal negative dengan nama itu, kecuali harapan bahwa ada
sesuatu yang baik dari permintaan nama. Belakangan tiba-tiba saya dihubungi
oleh Kesbangpolinmas. Aduh, ada apa ini? Begitu spontan saya bertanya.
Ternyata, nama saya ada dalam barisan anggota Forum Kerukunan Umat Beragama
(FKUB) bersama beberapa teman lain utusan masing-masing agama yang ada di
kabupaten Manggarai. “Saya sudah tua, saya menaruh harapan besar pada kalian,
orang-orang muda, untuk melanjutkan perjuangan kami, membuat Manggarai menjadi
lebih baik. Manggarai yang permai dan nyaman untuk dihuni. Tempat yang layak
dikisahkan sebagai rumah damai bagi semua orang”, jelas beliau tatkala saya
bertanya: Mengapa saya yang dia pilih?
Sebagai anggota FKUB
Kabupaten Manggarai, sekaligus inisiator Forum Pemuda Manggarai, saya sering ditugaskan
menjadi narasumber seminar. Sealur dengan permenungan Frans Magnis Suseno dalam
Tantangan Kemanusiaan Universal
(1993:109) yang melihat ancaman bagi keberadaban hidup bersama umat di masa
depan tidak lagi datang dari ideologi-ideologi universalis, melainkan pada
partikularisme primordialisme, lelaki itu memandang kesempatan berseminar
sebagai ruang untuk mengubah mindset (pola
pikir). Bahwa konsep-konsep individu dan kelompok yang eksklusif cenderung memenangkan
egoisme dan fanatisme sempit yang justru menjadi ancaman serius bagi
kebersamaan.
Seminar-seminar yang terentang mulai dari
kecamatan Ruteng, Reok dan Langke Rembong, menjadi moment yang tak terlupakan
untuk menyuarakan dengan lantang komitmen untuk membangun fundasi hidup dalam
penerimaan yang tulus akan fakta keberagaman dan kepelbagaian dalam multiaspek.
“Kita menjadi penyumbang kegagalan ketika kehidupan tidak lagi dibangun di atas
konsep yang jelas untuk kebaikan bersama (bonum
commune); ketika dalil kita berada pada hitungan jumlah bukan pada mutu;
penciptaan konsep yang benar itulah yang harus dilakukan terus menerus”,
tandasnya pada suatu ketika saat kami bersua kembali.
La
philosophie orante!
A
|
da banyak hal baik yang dapat dideretkan dari lelaki ini.
Namun tentu tidak semuanya dapat ditulis satu per satu. Pertemuan kami makin
intens ketika gereja lokal Keuskupan Ruteng diterpa badai skandal yang
menghebohkan. Keruntuhan hidup rohani yang akut, kejatuhan lembaga gereja,
ketidakpercayaan yang menguat umat terhadap kaum religius, menjadi kisah harian
yang mencengangkan. Lebih dari memerihatinkan! Ada pilu yang tak terkatakan.
Ada derita yang sulit dibebaskan. Ada situasi mencekam yang harus dilintasi
untuk melawan ketakutan atas nama identitas dan nama baik.
“Kita harus berbuat sesuatu. Kita harus berani
menyatakan benar sebagai benar, salah sebagai salah. Kaum Awam harus berani
bersikap atas situasi ini”, jelasnya berapi-api dalam pidato awal saat para
tokoh awam berhasil dikumpulkan di rumahnya, di Kampung Maumere. Sejak saat
itu, pertemuan demi pertemuan dilakukan. Konsolodasi diperlebar. Jumlah orang
yang terlibat makin besar. Agenda makin mengerucut untuk secara bersama
parapihak lainnya (stakeholders) mengeluarkan
keuskupan dari derita.
“Kraeng jadi sekretaris sekaligus juru bicara kami”, demikian lelaki
itu menitahkan perintahnya kepada saya. “Kami sudah tua, kami butuh orang muda
untuk menjadi corong kami”, lanjutnya. Itulah yang terjadi. Saya menjadi
sekretaris sekaligus juru bicara, perwakilan resmi kelompok awam untuk penyelesaian
masalah ini. Puji Tuhan! Akhirnya, Tuhan mendengar doa-doa dan usaha umatNya
dengan keputusan yang melegakan hati.
Lelaki pemberani nan cerdas
ini adalah Ones Jaman, biasa disapa begitu. Letupan semangat yang terus
menyala, membakar semangat setiap orang yang dijumpainya. Sejak kecil nama ini
sudah familiar di telinga saya. Kiprahnya pada Sinode Gereja Katolik Keuskupan
Ruteng tak terbantahkan. Selaras dengan profesinya sebagai abdi Negara di
Departemen Agama, entah sebagai staf pun sebagai kepala, di Ruteng juga sampai
Kupang. Menurut kesaksian para sahabat dan muridnya, Ones adalah dirigen yang
hebat, pengajar yang rendah hati dan penyemangat. Dia, selain jago bola kaki
juga adalah seorang seniman teater. Selain itu, dia juga suka menulis dan
bercerita. Mendengar Ones bercerita dengan mimiknya yang ekspresif membuat
pendengar bisa lupa waktu. Seabrek jabatan untuk layanan publik sudah
dilakukannya. Termasuk menjadi ketua Dewan Pastoral Paroki Katedral.
Pada saat kaum awam yang
tergabung dalam kelompok peduli keuskupan menulis alamat sekretariat gerakan
adalah Paroki Katedral, banyak pihak menjadi berang. Mereka yang kontra merilis
informasi resmi melalui media sosial bahwa tempat itu tak pernah menjadi
sekretariat dari gerakan apapun. Terhadap hal itu dia berkomentar, “Katedral
itu pusat. Tidak sekedar nama. Katedral itu tempat yang menjadi pemicu
perubahan. Di sana tahta uskup menjadi lambang pelayanan, kebenaran dan
kebaikan. Karenanya, pelayanan, kebaikan dan kebenaran harus datang dari
katedral”. Memang benar. Kata bahasa Latin “cathedra” berarti tempat duduk
uskup (ecclesia cathedralis) yang berarti juga tahta uskup untuk
menjalankan tugas yang dipercayakan Kristus kepadanya, menggembalakan
domba-dombaNya.
Rekam jejak kehidupan Ones
Jaman dapat disimpulkan dalam ungkapan ini: La philosophie orante!
Ungkapan ini secara sederhana dapat diterjemahkan sebagai “filsafat yang
berdoa”. Sebuah ungkapan yang berasal dari Maurice Blondel (hidup 1861-1949)
dalam karyanya yang berjudul “La Pensee” (terbit 1934). Dalam penjelasan yang
dibuat oleh Aime Forest dalam artikel berjudul “La philosophie orante” yang
terbit tahun 1952. Forest menulis: “Bila pikiran mencapai dasarnya ia dengan
sendirinya menjadi religious, bukan sebagai sesuatu yang disimpulkan, melainkan
sesuatu yang pasti”. Blondel pun Forest ingin menegaskan hubungan yang intim
antara filsafat dengan keyakinan. Filsafat sebagai sebuah kebijaksanaan pada
akhirnya bermuara pada penciptaan keyakinan-keyakinan yang menjadi pilar-pilar
prinsip nilai dan sikap hidup. Filsafat berarti cinta (philia) akan kebijaksanaan (Sophia),
merujuk pada usaha mencari kebenaran yang pada akhirnya menghantar ke satu
sasaran terakhir, yang oleh agama-agama diyakini sebagai Yang Ilahi dan diberi
nama Tuhan, Dia yang diimani sebagai sumber kebijaksanaan, pemilik kebenaran
yang utuh (Ceunfin & Baghi, 2005:vii).
Ones Jaman adalah manusia
yang belajar filsafat, bukan saja di Ledalero sebagai sebuah lembaga filsafat
yang disegani di kawasan timur Indonesia, tetapi pada kampus kehidupan, terus
menerus dari waktu ke waktu. Dia berpikir, merenung, bermeditasi tentang
kebenaran, kebaikan dan pelayanan tak lama berselang dia menjadi pelaku, subjek
dari temuan-temuannya bersama yang lain. Kebijaksanaan yang dimilikinya bukanlah
ide kosong yang absurd dan mengatasi realitas. Kebijaksanaan itu datang sebagai
simpul-simpul penting pada pengambilan kebijakan penting di ruang sinode,
pencerahan bagi mahasiswa di ruang kuliah, sebuah seni dalam nada dan lagu,
kata dan gerakan indah pada drama, kerja sama tim dan kerja cerdas dalam dunia
sepak bola, kerja jaringan pada kantor-kantor, kesetiaan penuh cinta kepada
gereja dalam gerakan penyelamatan keuskupan!
Dia ingin menggarisbawahi
bahwa filsafat dari kodratnya bersifat religious (philosophia naturaliter pia). Berpikir, membangun konsep,
membahasakan gagasan pada akhirnya harus berkiblat pada pelayanan yang tak jemu
kepada Tuhan dengan seluruh diri. Itulah sebabnya, saya menemukan pada diri
Ones Jaman sebuah keyakinan yang teguh bahwa apapun yang dilakukannya, semuanya
demi kemuliaan Tuhan (Ad maiorem Dei
gloriam). Sebuah ungkapan yang diasalkan pada Paus Gregorius Agung (Dialogi
I,2,160). Sebuah catatan kritis untuk kita di zaman yang senantiasa menjagokan
rasio dalam membangun argumentasi untuk memenangkan egoisme pribadi pun
kelompok di atas landasan kecerdasan berpikir yang salah dan dalam status yang
legal.
Menderita,
Tetap Melawan
O
|
nes Jaman lahir di Compang Pacar, Manggarai Barat pada 16
Februari 1950. Dia menempuh pendidikan sekolah dasar di SDK Compang, lalu
pendidikan sekolah menengah di Seminar Kisol dan mengenyam pendidikan filsafat
di STFK Ledalero. Setelah menyelesaikan pendidikannya, dia menjadi kepala
sekolah PGAK, dosen APK Santu Paulus, dosen STIPAS Santo Sirilus, Kepala Kantor
Agama di Manggarai dan kota madya Kupang. Selepas pension, dia pernah
mengajukan dirinya sebagai bakal calon bupati Manggarai Barat bersama Drs.
Yohanes Sehandi, namun belum berhasil. Dia lalu didapuk menjadi Ketua FKUB
kabupaten Manggarai dan masih banyak aktivitas sosial yang dilakukannya.
Sakit dan derita kanker usus
sudah dialaminya sejak tahun 1986. Dia terus berobat hingga tahun 2007. Tahun
2007 cobaan lagi-lagi datang dalam rupa kanker di kantong kemih. Oleh karena
sakit yang sudah melampaui daya tahan, pada tahun 2008 dikuret. Karena sudah
membaik, seharusnya tahun 2009-2010 harus ada pengontrolan, namun tidak
dilakukan. Pada tahun 2011, dokter yang menangani penyakit Ones, prof. Tarmono
melakukan bedah urologi untuk membuang kantong kemihnya, berhubung kanker makin
menyebar ke ginjal kiri. Pilihanya, melakukan cuci darah atau operasi atas
ginjal yang sudah terkena kanker. Ones memilih ginjalnya dibuang. Jadilah,
tanpa kantong kemih, saluran dari ginjal kanan dibuat dari usus halus. Ones memakai
kantong kemih buatan. Kanker seakan akrab dengan dirinya ketika tahun 2014
tumbuh kanker baru sekitar 5-7cm dari anus.
Dalam kehidupan yang
diserang kanker terus menerus, Ones tetap beraktivitas seperti biasa. Seakan
sehat, prima dan tidak terjadi apa-apa. Tetap mengajar, berceramah, mengendarai
mobil, memimpin gerakan perubahan. Ones seakan-akan ingin melampui kodrat yang
fana. Ia tidak ingin menyerah dari kepungan keterbatasan raga. Ia melawan
penderitaan dengan aktivitas positif.
Ones sadar bahwa apa yang
dilakukannya sebentar lagi berakhir. Dalam keterbatasan raga, dia mendekati
istrinya, ibu Imel Hagul. “Ambilkan aku kertas dan ballpoint, aku mau menulis”.
Ibu Imel menurut. Ones menulis sambil tersenyum: "Amin!
puji-pujian dan kemuliaan, dan hikmat dan syukur, dan hormat dan kekuasaan dan
kekuatan bagi Allah kita sampai selama-lamanya! Amin!” (Wahyu 7:12). “Aku
mau tulisan ini nanti ada di batu nisanku”, katanya sambil menyerahkan kertas
itu kepada ibu Imel. Lagi-lagi menguat motto hidupnya: “Ad
maiorem Dei gloriam!”
Awal tahun 2017, Ones
kembali dibantai kanker baru. Sejak saat itu, perlawanannya mulai lemah. Dia
mulai dirawat intensif di RS Siloam Labuan Bajo, dirujuk ke Surabaya dan
akhirnya ke RS Sanglah di Bali. Di Bali dia diare hebat. Pertahanan fisiknya
makin goyah. Dia minta kembali ke Labuan Bajo. Persis pada Senin, 16 Juli sore,
dia minta kembali ke Ruteng. Sekitar pkl. 01.00 dini hari Ones menghembuskan
nafas terakhirnya didampingi ibu Imel Hagul, sang istri tercinta dan dikitari
anak-anak serta orang-orang dekatnya. Tangisan kesedihan pecah. Ones pasrah
pada Sang Khalik, tak sanggup lagi melawan kodrat.
Pada Jumat, 20 Juli 2018,
dihantar oleh sahabat, keluarga dan umat keuskupan Ruteng, Ones Jaman
disemayamkan di Katedral Lama St. Yosef dalam perayaan ekaristi kudus yang
dipimpin oleh Vikjen Keuskupan Ruteng, Rm. Alfons Segar Pr. Ones Jaman hidup
sepanjang 68 tahun. Bukanlah usia yang sangat tua. Dalam diam abadinya seakan dia
menitipkan pesan pada kita dari ungkapan bahasa latin “Quam benevivas, non quam diu refert” dari Seneca yang berarti: Yang
penting bukan berapa lama engkau hidup, tetapi bagaimana engkau hidup dengan
baik!
(Dipublikasikan pertama oleh: www.floressmart.com pada 22 Juli 2018)