sumber gambar: www.kaskus.co.id
Kanisius Teobaldus Deki
Manusia memiliki kecenderungan untuk
bertanya tentang tujuan dan hakekat hidupnya. Dalam mencari jawaban
eksistensial atas pertanyaan-pertanyaannya, manusia sangat tertarik dengan
kemungkinan ultim.[1]
Setiap manusia yang berpikir memandang kemungkinan ultim sebagai makna
kehidupannya. Di tengah upaya pencarian akan kemungkinan ultim itu manusia lalu
menyadari bahwa makna paling substansial dari keberadaannya sebagai manusia
ialah bahwa ia ingin mengalami kebahagiaan dan keselamatan.
Selaras dengan gagasan itu, agama-agama,
baik formal maupun primal, memperlihatkan kenyataan bahwa hidup manusia tidak
pernah berakhir hanya sampai peda kematiannya. Lebih dari itu, manusia masih
memiliki suatu harapan akan kehidupan baru, hidup kekal dan selamat dalam roh.[2]
Keselamatan ini menjadi puncak atau mahkota dari seluruh perjuangannya selama
hidup di dunia. Setiap orang beragama percaya bahwa kehidupan kekal yang
bahagia itulah yang memberikan semangat serentak dorongan untuk tetap berjuang
di dunia ini dengan segala daya upaya yang ada.
Kepercayaan akan eksistensi roh jahat
tersebar luas di seluruh dunia.[3]
Dalam banyak kepercayaan, menurut sifatnya roh bisa dibedakan atas dua yakni,
yakni roh yang memiliki kualitas baik seperti Wujud tertinggi suatu masyarakat
tertentu, malaikat atau roh dari mereka yang telah meninggal dunia. Selain itu
ada juga roh jahat yakni roh yang memiliki kualitas buruk. Roh jahat sering
diidentifikasi sebagai setan dengan berbagai macam nama yang diberikan
kepadanya.[4]
Masyarakat Wonda juga memiliki kepercayaan
akan eksistensi roh jahat. Bagi mereka dunia merupakan kosmos yang memiliki
satu kesatuan dan keteraturan yang terbentuk dari pelbagai unsure: material dan
spiritual. Dan di antara banyak unsure spiritual, termaktub di dalamnya
kenyataan bahwa mereka percaya akan roh-roh. P. Paul Arndt, SVD dalam karyanya:
Du’a Ngga’e: Wujud Tertinggi dan Upacara Keagamaan di wilayah Lio (Flores
Tengah),[5]
menjelaskan bahwa masyarakat Lio (di mana masyarakat Wonda juga termaktub di
dalamnya) telah memiliki kepercayaan akan Wujud Tertinggi yang diberi nama Du’a
Ngga’e.[6]
Du’a Ngga’e menjadi asal dan sumber segala sesuatu yang ada di dunia ini dan
kepada persatuan dengan Dialah manusia dan semua ciptaan mengarahkan diri.
Sebuah studi yang cukup komprehensif juga telah dilakukan oleh P. Yosef Smith,
SVD semakin mempertegas apa yang telah diungkapkan oleh P. Paul Arndt walaupun
dengan kesimpulan yang agak lain. Menurut P. Yosef, pandangan tentang Du’a
Ngga’e yang terkesan plural dalam kenyataan sebenarnya bukanlah demikian.
Meskipun ada nuansa plural dalam pelbagai ungkapan tentang Wujud Tertinggi
namun Du’a Ngga’e hanyalah satu pribadi saja.[7]
Hal yang sama dibenarkan juga oleh P. Sareng Orimbao, SVD dalam penelitiannya
terhadap suku Lio, yang mengatakan bahwa sejak zaman purba orang Lio telah
menganut monotheisme yang bersih dan asli. Jika muncul perbedaan dalam
menanggapi eksistensi Du’a Ngga’e yang dualistis-polytheistis itu disebabkan
oleh salah tafsir mengenai ketunggalan kodrat Ilahi dan kejamakan pribadi
Ilahi.
Selain berbicara mengenai Wujud Tertinggi, para
peneliti terdahulu juga mengidentifikasi kepercayaan akan roh-roh: roh baik dan
roh jahat. Dalam bahasa Lio, kata “setan” sinonim dengan “polo” dan menyebut
semua jenis setan dengan istilah “nitu-nitu” yang termaktub juga di dalamnya
roh-roh halus.[8]
Selain polo, terdapat juga istilah “ata polo wera” (suanggi)
yakni pribadi atau orang tertentu yang memiliki kekuatan magis yang berasal
dari roh jahat.[9]
Ia dalam keadaan normal adalah manusia biasa, tetapi ada saatnya ia dikuasai
oleh roh jahat dan melakukan apa yang dikehendakinya, khususnya untuk
mencelakakan orang lain[10].
Eksistensi roh-roh diakui dan menjadi entitas yang berpengaruh dalam kehidupan
orang Lio. Dalam artikelnya, “Samudera Raya dalam Sebutir Embun”, John Monsford
Prior, SVD menulis tentang pandangan primal, khususnya sebuah analisa tentang world-view
orang Lio, menyajikan kenyataan tentang kehadiran “roh alam” sebagai lambang
ambivalensi dan daya kekuatan yang tidak dapat dikendalikan oleh manusia.
Berbagai kepercayaan akan eksistensi roh
jahat dan pengaruhnya yang besar terhadap kehidupan masyarakat tetap
berlangsung hingga saat ini meskipun mereka telah menjadi penganut agama-agama
yang ada: Katolik, Protestan dan Islam. Agama-agama dan pelbagai kepercayaan
religius selalu menuntut setiap umatnya untuk bersikap radikal, setia dan
berusaha sedapat mungkin hanya mengarahkan diri kepada agama atau kepercayaan
itu.berhadapan dengan kenyataan ini, mempertimbangkan keinginan umat untuk
tetap setia kepada imannya akan Allah sebagaimana yang telah diwartakan oleh
Gereja di satu sisi dan kenyataan bahwa pengakuan-kepercayaan kepada roh jahat
sudah mendarah-daging dan sulit dilepaskan, di sisi lain, muncul pertanyaan:
bagaimana pewartaan Kabar Gembira mestu dijalankan dalam situasi ini? Untuk
mempertajam pertanyaan ini, ada tiga hal yang mau dijelaskan:
Pertama,
munculnya pluralitas kepercayaan. Bahwa beriman kepada Allah (Du’a Ngga’e) dan
menaruh harapan keselamatan kepadaNya adalah jalan yang dituntut oleh Gereja
Katolik. Konsekuensinya jelas, serentak percaya kepada Du’a Ngga’e dan kepada
roh-roh jahat adalah sikap yang kontras, yang tidak bisa dibenarkan oleh Gereja
Katolik. Kenyataan pluralisme kepercayaan ini pada gilirannya menjadi tantangan
bagi pewartaan Kabar Gembira Yesus Kristus. Yesus dating ke dunia untuk
menyelamatkan semua manusia dari perhambaan Kerajaan Maut yakni kematian abadi.
Kedua, Pengalaman Terbelenggu dan kerinduan
akan pembebasan. Ada dua hal yang bisa dijelaskan. Pertama, untuk roh-roh
halus. Masyarakat memiliki keyakinan bahwa supaya roh-roh jahat itu tidak mengganggu aktivitas manusia, maka
dibuatlah pelbagai macam ritus tertentu sebagai upaya untuk menolak bala yang
dilakukan, baik secara privat maupun komunal. Selain itu ada ritus tertentu
yang merupakan aksi spontan yang bisa dilakukan oleh setiap orang dalam
menghadapi problem harian dan tidak memiliki rubrik formal.[11]
Di samping itu, ada juga ritus yang membutuhkan pemimpin khusus dengan bentuk
formal dan rumusan yang baku. Jika ritus ini tidak dijalankan maka mereka yakin
bahwa roh-roh itu akan marah dan mengganggu ketenangan manusia. Persoalan
muncul tatkala ritus-ritus tertentu membutuhkan korban darah sementara umat
tidak mempunyai kemampuan yang cukup untuk menyediakannya. Kedua, untuk
Polo Wera. Polo wera hadir sebagai kekuatan destruktif lain yang sangat dekat
dengan kehidupan umat Wonda. Ata Polowera biasanya menyerang orang-orang
tertentu sesuai dengan kehendak pemiliknya. Ia tak segan-segan mengambil
sesuatu dari orang lain bahkan membutuhkan jika hal itu memang harus dilakukan.
Seringkali motivasi di balik pengiriman Polowera ini bermacam-macam, tetapi
terbanyak merupakan aksi pembalasan atas rasa sakit hati yang pernah timbul.
Kehadiran roho-roh jahat membawa rasa tidak
aman dalam diri umat Wonda. Ada satu situasi terbelenggu yang sulit ditolak
oleh umat. Karena itu mereka ingin bebas dan keluar dari situasi
keterbelengguan itu. Inilah kerinduan abadi yang tetap menjadi titik tolak (start
point) menuju pembebasan sejati.
Ketiga, Ata Polowera kerap dijadikan sarana
pengalih perhatian. Sering muncul isu-isu seputar kehadiran Polowera dalam
hubungan dengan masalah social politik masyarakat. Polo sering
dikambinghitamkan ketika manusia atau pribadi tertentu berusaha mengalihkan
persoalan politis di dalam masyarakat. Tujuannya ialah supaya masyarakat
menjadi resah dan lebih menghadapi masalah actual, (kerusakan yang disebabkan
polo “imitasi”) daripada berkutat dengan pemeriksaan kritis terhadapperilaku
timpang yang telah dilakukannya. Dengan kata lain, polo wera bisa dijadikan
“virus” baru untuk menghancurkan tatanan yang ada.
Berdiri di atas kerinduan akan munculnya
pembebasan, kepercayaan terhadap eksistensi roh jahat dan pengaruhnya tidak
hanya dilihat sebagai tantangan yang menghambat pewartaan melainkan dapat juga
ditilik dari sisi positif yakni sebagai peluang untuk memperkenalkan Yesus
Kristus, memperdalam iman kepadaNya dan menerima Dia dalam seluruh hidup umat.
Berkat imannya yang teguh, kokoh-kuat maka
mereka juga memperoleh pembebasan dan akhirnya keselamatan.[12]
Iman Kristiani menandaskan bahwa Yesus Kristus adalah Penyelamat. Namun
bagaimana Ia bisa dikenal oleh para bangsa yang belum menganl Dia? Bertitik
pijak pada pertanyaan itu dan kaitannya dengan kenyataan eksistensi roh jahat,
Tippet, melihat peran pewarta Injil sebagai berikut:
“Misionaris
sebagai komunikator, harus memungkinkan Injil meresap dalam pikiran dan hati
pendengarnya. Para pendengar tentu saja tidak dapat memahami pengalaman
misonaris, sekurang-kurangnya pada awalnya. Tugas misionaris ialah mendatangi
dan mencapai level pemahaman pendengar. Hal ini sangat penting dan fundamental
karena usaha untuk memenangkan umat Kristen yang baru agar level pemahaman
mereka harus sesuai dengan level komunikator hanya akan menyebabkan represi dan
bukan pertobatan”.[13]
Menyelisik secara mendalam fenomena
pluralitas kepercayaan dan kenyataan keterbelengguan serta kerinduan akan
pembebasan umat seraya mngingat tugas mulia Gereja untuk menjadi sarana
keselamatan,[14]
maka penulis merasa perlu dan urgen menilik lebih dalam religiositas umat
Wonda. Supaya pewartaan Injil mendapat tempat, menurut pemikiran penulis, maka
perlu memberi tempat yang luas untuk hadirnya sebuah teologi yang dibangun di
atas konteks mereka yang partikular.[15]
Sebab, agama Kristen sendiri menuntut suatu pendekatan kontekstual dalam ihwal
berteologi sebagai ciri katolisitas Gereja.[16]
Gereja Katolik sejatinya merangkul manusia karena ia melihat bahwa manusia baik
dan suci dari adanya. Menganggap kebudayaan manusia sebagai sesuatu yang tidak
penting adalah nirmakna. Juga sama krusialnya ketika praktisi teologi tidak
memandang peran pewarta Injil-teolog yang bertugas memberitakan Kabar Gembira
kepada mereka sesuai dengan konteksnya yang real. Stephen Bevans
menggarisbawahi hal ini dengan menulis:
“Peran
seorang teolog terlatih (imam, pengajar teologi) ialah membahasakan secara
lebih jelas apa yang diungkapkan umat secara umum dan kabur, memperdalam
gagasan-gagasan umat dengan menyiapkan bagi mereka khazanah kekayaan tradisi
Kristen, serta menantang mereka untuk meperluas horizonnya dengan menampilkan
kepada mereka keseluruhan pengungkapan teologi Kristen”.[17]
Kenyataan hadirnya roh jahat dan
pengaruhnya terhadap iman umat akan Yesus menarik untuk dikaji lebih jauh dan
mendalam. Bagaimana hal ini dapat dilakukan? Mari kita berpikir secara
bersama-sama.***
[1]
P.A. van der Weij menjelaskan bahwa kemungkinan ultim (Latin ultimus
berarti terakhir) adalah yang dapat dicapai manusia sebagai yang paling
terakhir dan paling menentukan; dengan kata lain: peruntukkan dan tujuannya.
Kees Bertens (penterj.), Filsuf-Filsuf tentang Manusia (Yogyakarta:
Kanisius, 2000), p. 21.
[2]
Bdk. Gorlier Incoporated, Encyclopedia International (Philippines,
1974), pp. 201-202.
[3]
Vincent Crapanzano & Vivian Garriso (eds.), Case Studies in Spirit
Possesion (New York: John Wiley & Sons. Inc., 1977), p. 7. Bdk. Kelik
M. Nugroho, et. Al., “Aborigin Sebuah Suku yang Terbuang” dalam: TEMPO,
7 Mei 2000, p. 55.
[4]
Setan juga biasa dsebut roh halus. Disebut demikian untuk menjelaskan
eksistensinya yang tidak tampak secara kasat mata dan tidak memiliki materi
seperti manusia atau obyek ciptaan lainnya. Bdk. Pusat Pengembagan Bahasa, Kamus
Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 1988), p. 752.
[5]
Paul Arndt, SVD, Du’a Ngga’e Wujud Tertinggi dan Upacara Keagamaan di
Wilayah Lio (Flores Tengah) (Maumere: PUslit Candraditya, 2002), p. 26.
Bdk. Sareng Orimbao, SVD, Peranan Religi dan Magi dalam Pertanian
Tradisional Suku Bangsa Lio (Ende, 1974), p. 12: “Kai eo latu pati latu”
(Dia yang Ada mengadakan dari Ada yang mutlak itu), “Kai eo bheri tei bheri”
(Dia yang Baik menerbitkan yang baik).
[6] Dalam doa-doa sering disebut: O Du’a getha
lulu wula (O Du’a yang berada di atas langit tertinggi), Ngga’e ghale mai wean
tana (Ngga’e yang ada di bawah bumi). Paul Arndt, Op. Cit., p. 27.
[7]
Yosef Smeets, SVD, “Du’a Ngga’e Wujud Tertinggi Orang Lio, Flores Tengah (Suatu
Refleksi Antropologis-Teologis Awal) dalam: Penyalur Keuskupan Agung Ende
Vol XIX (Juli-Agustus, 2002), pp. 21-22.
[8] Terdapat
identifikasi polo: polo ria (suanggi unggul), polo biasa, fengge ree
(mahkluk halus wanita yang merugikan tersebab ia memiliki kebiasaan
kleptomania), longgo bengga (roh halus wanita yang punggungnya bolong)
dan du’a hela (roh jahat yang berpenampilan cantik, ramah tapi
sebenarnya penuh tipu muslihat untuk mencelakan manusia). Bdk. Sareng Orimbao,
SVD, Op. Cit., pp. 27-28.
[9]
Selanjutnya, penulis mengarahkan perhatian terutama kepada polo wera
sebagai salah satu kekuatan magis-destruktif yang disebut dengan nama umum
sebagai suanggi. Mahkluk halus lain akan disebut jika ada hubungan yang
erat dengan pokok bahasan utama tentang polo wera.
[10]
Ada dua bentuk cara berada “polo wera”. Pertama, kehadiran polo wera
sebagai kenyataan terberi. Seseorang menjadi ata polo wera karena nenek
moyang mereka memiliki kemampuan untuk itu. Biasanya orang bersangkutan tidak
menyadari bahwa dirinya memiliki kemampuan demikian dan kekuatan magis akan
bekerja di luar kemampuannya untuk menolak. Kedua, ada orang tertentu
yang ingin memiliki kekuatan magis ata polo lalu berusaha untuk
memperolehnya dengan pelbagai cara. Misalnya: meminta kepada leluhur supaya
diberi kemampuan seperti itu atau berguru pada mereka yang memiliki kekuatan polo
wera.
[11]
Sebuah contoh sederhana: Setiap orang yang melewati Tiwu Kowa pada malam hari
selalu memiliki rasa takut yang besar karena tempat itu diyakini oleh
masyarakat sebagai “rumah roh jahat” seperti ata polo wera. Supaya
selamat (baca: tidak diganggu), orang melewati Tiwu Kowa mesti memberitahukan
dan meminta izin untuk lewat (ruti). Jika tidak melakukan tindakan ruti
maka orang bersangkutan akan diganggu. Umat juga memiliki upacara Joka Ju
sebagai ritus untuk menolak bala secara komunal. Upacara ini dilakukan dengan
dua maksud: pertama, untuk menolak bala yang disebabkan oleh wabah sampar dan
penyakit yang ditimbulkan tanah persekutuan, dan kedua, sebagai upacara
syukuran atas segala hasil panen yang telah diberikan oleh Du’a Ngga’e dan
kebaikan embu-mamo yang telah memberikan perlindungan.
[12]
Injil Yohanes menulis: “Begitu besar kasih Allah akan dunia ini, sehingga Ia
memberikan anakNya yang tunggal, supaya setiap orang yang percaya
kepadaNya…memperoleh kehidupan kekal” (Yoh 3:16).
[13]
Romanus Satu Pr (penterj.), “Suanggi dan Injil: Pengalaman dari Afrika dalam: Penyalur
Keuskupan Agung Ende, Vol. XIV, Mei-Juni 1997, p.
[14]
Bdk. R. Hardawiryana SJ (penterj.), “Konstitusi Dogmatis tentang Gereja” dalam:
Dokumen Konsili Vatikan II (Jakarta: Obor, 1993), p. 75.
[15]
Bdk. Yosef Maria Florisan (penterj.), Model-Model Teologi Kontekstual
(Maumere: Ledalero, 2002), pp. 18-19.
[16]
Sebutan “Katolik” berasal dari dua kata dalam bahasa Yunani, yakni kata
dan holos (seturut keseluruhan), dan mengacu kepada hakikat jemaat
Kristen yang merangkul semua, meliputi semua dan menerima semua. Yosef Maria
Florisan (penterj.), Ibid, p. 23.
[17]
Yosef Maria Florisan (penterj.), Ibid, p. 31.